Abdullah bin Mas’ud berkata,
يا أيها الناس من علم شيئا فليقل به ومن لم يعلم فليقل الله أعلم فإن من العلم أن يقول لما لا يعلم الله أعلم
"Wahai manusia barangsiapa yang berilmu tentang sesuatu maka
hendaklah ia berkata dengan ilmunya tersebut dan barangsiapa yang tidak
berilmu (tidak mengetahui) maka hendaklah ia berkata “Allahu A’lam”
(Allahlah yang labih mengetahui) karena sesungguhnya merupakan ilmu
seseorang berkata “Allahu A’lam” tentang perkara yang ia tidak
mengetahui ilmunya"[1]
Beliau juga berkata,
إن الذي يفتي الناس في كل ما يستفتونه فيه مجنون
((Sesungguhnya orang yang berfatwa kepada manusia pada setiap perkara yang mereka tanyakan maka ia adalah orang gila))[2]
Kenyataan Pahit dan Menyedihkan
Suatu hal yang sangat patut untuk disedihkan yang merajalela saat ini
adalah banyak sekali para pemuda di negeri-negeri Islam yang semangat
dalam berdakwah dan menjadi para aktivis dakwah, begitu besar ghiroh
mereka terhadap agama mereka, namun mereka sangat jauh dari ilmu
syar’i, mereka tidak memiliki semangat untuk menuntut ilmu. Mereka
sangat jauh dari para ulama. Yang lebih menyedihkan lagi adalah sikap
mereka yang sangat berani dalam berfatwa tanpa ilmu (berbicara tentang
agama Allah tanpa landasan ilmu).
Kita dapati ada diantara mereka yang telah terjun di medan dakwah
lebih dari sepuluh tahun namun jika ditanya tentang beberapa
permasalahan yang berkaitan dengan sholat atau puasa atau ibadah-ibadah
yang lainnya maka mereka tidak menguasai jawabannya dan merekapun
membabi buta dalam memberikan jawaban. Bahkan yang lebih menyedihkan
lagi mereka berfatwa pada perkara-perkara yang berkaitan dengan
kepentingan banyak orang, yang berkaitan dengan keselamatan kaum
muslimin secara umum…. sungguh menyedihkan dan aneh, mereka tidak
mengerti hukum-hukum yang berkaitan dengan kepentingan individu-individu
mereka sendiri, lantas bagaimana mereka berani berfatwa tentang
perkara-perkara yang berkaitan dengan orang lain, bahkan berkaitan
dengan kepentingan orang banyak…???, bahkan yang berkaitan dengan darah
kaum muslimin??. Apakah agama ini bisa dipimpin oleh orang-orang yang
tidak paham dengan ilmu syar’i…?? bagaimanakah nasib agama ini jika
demikian…??.
Dan sungguh mengherankan, jika seluruh manusia di atas muka bumi ini
baik yang sholeh maupun yang fajir bersepakat bahwasanya tidaklah
mungkin seseorang bisa membangun bangunan kecuali jika ia memiliki
keahlian tentang bangunan, namun anehnya kenapa mereka meremehkan
perkara yang sangat urgen yaitu dakwah, yang jauh lebih urgen dari
segala urusan dunia??, kenapa mereka yang tidak menguasai ilmu syar’i
nekat memimpin gerakan-gerakan dakwah???, apakah mungkin dakwah bisa
dibangun oleh orang-orang yang tidak menguasai ilmu syar’i??
Kita dapati juga sebagian orang berani masuk dalam area orang lain.
Banyak orang yang memiliki gelar doktor dalam bidang keduniaan nekat
untuk masuk dalam area para ulama. Merekapun ikut nimbrung dalam
permasalahan-permasalahan agama, mereka berani berfatwa tentang
permasalahan-permasalahan agama, bahkan mereka berani untuk memprotes
ulama??. Apakah mereka tidak mentertawakan diri mereka sendiri…?, benar
memang mereka ahli dalam bidang kimia, fisika, kedokteran, tekhnologi,
dan lain-lain namun pada hakekatnya mereka jahil dalam masalah agama.
Mereka tidak menguasai Al-Qur’an dengan baik, tidak menguasai
cabang-cabang ilmu yang berkaitan dengan hadits dan ilmu-ilmu agama yang
lain. Bahkan diantara mereka ada yang belum bisa membaca Al-Qur’an
dengan baik apalagi mengerti bahasa Arab, namun nekat untuk nimbrung
dalam berfatwa.
Renungkanlah…kalau ada seorang ulama yang benar-benar ‘alim dalam agama
namun tidak menguasai ilmu kedokteran lantas nekat untuk nimbrung di
ruang operasi untuk melaksanakan operasi, apakah kita
membenarkannya??. Orang-orang pasti mengatakan bahwa ulama ini sudah
tidak waras, apalagi jika sang ulama tersebut ingin menjadi pemimpin
dalam jalannya operasi tersebut. Meskipun ulama ini berniat baik untuk
menolong sang pasien namun jelas pasti yang terjadi malah akan
mengakibatkan hal yang fatal bagi sang pasien, dan bisa jadi
membinasakan sang pasien.
Demikian juga kita katakan sebaliknya, jika ada seorang dokter yang
tidak menguasai ilmu agama ikut nimbrung dalam area para ulama yang
sedang mengobati umat yang kritis agama mereka, krisis aqidah mereka,
akhlak mereka, dan seterusnya, maka kita katakan dokter ini adalah
seorang dokter yang tidak waras. Apalagi dokter ini ingin memegang
kepemimipinan dalam berdakwah…???. Apakah yang akan terjadi dengan umat
ini??, kebinasaan dan kehancuran yang akan dirasakannya??.
Inilah yang terjadi saat ini, betapa banyak aktivis dakwah yang menjadi
ujung tombak gerakan-gerakan dakwah namun sangat minim pengetahuan
agama mereka….
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إذا وسد الأمر إلى غير أهله فانتظر الساعة
((Jika diserahkan urusan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah tibanya hari kiamat))[3]
فسئلوا فأفتوا بغير علم فضلوا وأضلوا
((…Merekapun ditanya lalu mereka berfatwa tanpa ilmu maka merekapun sesat dan menyesatkan))[4]
Yang lebih menyedihkan lagi banyak diantara para pemuda tersebut yang
tidak menyadari bahwa diri mereka adalah orang-orang yang jahil tentang
ilmu agama. Bahkan yang lebih parah lagi mereka merasa bahwa diri
mereka adalah orang-orang yang alim sehingga terkumpulah pada mereka
dua kebodohan (bodoh kuadrat). Pertama mereka adalah bodoh, dan yang
kedua adalah mereka bodoh (tidak tahu) bahwa mereka adalah bodoh.
Berkata Al-Kholil bin Ahmad,
الرجال أربعة رجل يدري ولا يدري أنه يدري فذاك غافل فنبهوه ورجل لا يدري
ويدري أنه لا يدري فذاك جاهل فعلموه ورجل يدري ويدري أنه يدري فذاك عاقل
فاتبعوه ورجل لا يدري ولا يدري أنه لا يدري فذاك مائق فاحذروه
“Orang-orang itu ada empat macam, (1) seorang yang mengetahui dan
tidak mengetahui bahwasanya ia mengetahui, itulah orang yang lalai maka
ingatkanlah ia. (2) Dan seorang yang tidak tahu dan ia mengetahui
bahwasanya ia tidak tahu, itulah orang yang jahil (bodoh) maka ajarilah
ia. (3) Dan seorang yang mengetahui dan ia tahu bahwasanya ia
mengetahui, itulah orang yang pandai maka ikutilah. (4) Dan seorang
yang tidak tahu dan tidak tahu bahwsanya ia tidak tahu, itulah orang
tolol maka jauhilah ia”[5]
Ia Juga berkata, “Manusia ada tiga macam, dua macam diajari dan yang
satu tidak diajari. Orang yang alim dan mengetahui bahwa ia adalah
alim, orang ini diajari. Dan seorang yang alim namun ia tidak
mengetahui bahwa ia tahu maka kedua orang ini juga diajari. Dan orang
yang tidak mengetahui dan ia memandang bahwa ia mengetahui maka ini
tidak diajari”[6]
Berkata seorang penyair
ومن نال العلومَ بغير شيوخٍ
يضلُّ عن الصراط المستقيمِ
وتلتبس الأمورُ عليه حتى
يكونَ أضلَّ من تَوْمَى الحكيمِ
تصدَّقَ بِالْبناتِ على رجالٍ
يريد بذلك جناتِ النَّعِيمِ
Barangsiapa yang meraih ilmu tanpa melalui guru maka ia akan tersesat dari jalan yang lurus
Dan perkara-perkara menjadi rancu baginya hingga lebih sesat daripada Hakim Tauma
Hakim Tauma telah (berfatwa untuk) menyedekahkan para wanita kepada
para lelaki karena ia berharap masuk surga yang penuh kenikmatan.
Tentunya fatwa Hakim Tauma ini menyelisih syari’at karena syari’at kita
mewajibkan mahar dalam pernikahan. Ia berniat baik tatkala berfatwa
yaitu bersedekah bagi para lelaki yang mungkin kesulitan mencari mahar
untuk menikah, namun niat baik saja tidak cukup apalagi jika melanggar
syari’at.
Karena terlalu bodohnya Hakim Tauma hingga dikatakan bahwa himar (keledai) tunggangannya berkata
قال حمار الحكيم تومى لو أنصف الدَهْرُ كنتُ أركبُ
لأَنَّنِي جَاهل بَسِيْطٌ وصاحبي جاهلٌ مركَّبُ
Berkata himar (tunggangannya) si Hakim Tauma
“Kalau memang zaman itu adil mestinya akulah yang menunggangi
Karena aku bodoh murni dan tuanku bodoh kuadrat”[7]
Bahaya berfatwa tanpa ilmu
Allah berfirman,
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ
وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولـئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً (الإسراء : 36 )
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan
hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya. (QS. 17:36)
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا
بَطَنَ وَالإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُواْ
بِاللّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَاناً وَأَن تَقُولُواْ عَلَى
اللّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ (الأعراف : 33 )
Katakanlah:"Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik
yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak
manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) kalian mempersekutukan
Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan
(mengharamkan) kalian berbicara tentang Allah apa saja yang tidak
kamu ketahui"". (QS. 7:33)
Syaikh Utsaimin berkata, “Sesungguhnya pembicaraan tentang permasalahan-permasalahan agama (tanpa ilmi) adalah sangat berbahaya karena hal ini merupakan pembicaraan tentang Allah tanpa ilmu”[8]
Berkata Al-Munawi, ((…Karena sesungguhnya seseorang yang berfatwa pada
hakekatnya adalah wakil Allah dalam menjelaskan hukum-hukum Allah,
maka jika ia berfatwa di atas kebodohan atau tanpa ilmu atau
menggampangkan dalam berfatwa atau dalam mengambil hukum maka ia telah
menyebabkan dirinya untuk masuk ke dalam neraka karena keberaniannya
yang ngawur tentang hukum-hukum Allah. Allah berfirman
قُلْ أَرَأَيْتُم مَّا أَنزَلَ اللّهُ لَكُم مِّن رِّزْقٍ فَجَعَلْتُم
مِّنْهُ حَرَاماً وَحَلاَلاً قُلْ آللّهُ أَذِنَ لَكُمْ أَمْ عَلَى اللّهِ
تَفْتَرُونَ (يونس : 59 )
Katakanlah:"Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan
Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya)
halal". Katakanlah:"Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu
(tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?" (QS.
10:59)
Az-Zamakhsyari berkata, “Cukuplah ayat ini sebagai peringatan yang
sangat keras terhadap sikap nekat dalam hukum perkara-perkara yang
ditanyakan dan merupakan pendorong untuk wajib berhati-hati dalam hal
ini dan agar tidak seorangpun berkata tentang hukum sesuatu bahwasanya
hukumnya adalah boleh atau tidak boleh kecuali setelah mantap
(mengusai dengan baik hukumnya) dan dalam keadaan yakin. Barangsiapa
yang tidak dalam keadaan yakin –tatkala berfatwa- maka hendaknya ia
takut kepada Allah dan hendaknya ia diam karena jika tidak maka ia telah berdusta atas nama Allah”)) [9]
Seseorang bertanya kepada ‘Amr bin Dinar suatu perkara dan ‘Amr bin
Dinar tidak memberikan jawaban kepadanya maka orang itu berkata,
“Sesungguhnya ada sesuatu pada diriku tentang perkara ini maka
jawablah!”, maka ‘Amr berkata, لأن يكون في نفسك مثل أبي قبيس أحب إلي من
أن يكون في نفسي منها مثل الشعرة “Jika dalam dirimu terdapat sesuatu
seberat gunung Abu Qubais lebih aku sukai daripada ada pada diriku
(keraguan) tentang perkara ini seberat sehelai rambut”[10]
Oleh karena itu fatwa merupakan hak para ulama (yaitu hak orang-orang
yang benar-benar berilmu), karena merekalah pewaris para nabi.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamr bersabda
وإن العلماء ورثة الأنبياء وإن الأنبياء لم يورثوا دينارا ولا درهما إنما ورثوا العلم فمن أخذه أخذ بحظ وافر
((Dan para ulama adalah pewaris para nabi, dan para nabi tidaklah
mewariskan dinar dan dirham namun mereka mewariskan ilmu, maka
barangsiapa yang mengambil ilmu maka ia telah mendapatkan bagian yang
banyak))[11]
Ibnus Sholah mengomentari hadits ini, “Maka Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menetapkan keistimewaan bagi para ulama yang dengan
keistimewaan tersebut mereka mengungguli seluruh manusia, dan pekerjaan
mereka yaitu berfatwa menjelaskan bahwa mereka memang berhak untuk
mendapatkan keistimewaan tersebut di hadapan orang-orang yang meminta
fatwa. Oleh karena itu dikatakan bahwa fatwa adalah tanda tangan dari
Allah….berkata Muhamaad bin Al-Munkadir, إن العالم بين الله وبين خلقه
فلينظر كيف يدخل بينهم “Sesungguhnya seorang alim berposisi antara Allah
dan makhluknya maka hendaknya ia melihat bagaimana ia masuk di antara
mereka”[12]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
من أفتي بغير علم كان إثمه على من أفتاه
((Barangsiapa yang berfatwa tanpa ilmu maka dosanya bagi orang yang memberi fatwa))[13]
Ibnu Umar berkata, يريدون أن يجعلونا جسرا يمرون علينا على جهنم “Mereka
(orang-orang yang meminta fatwa) ingin menjadikan kami jembatan untuk
mereka lalui di atas api neraka” [14]
Bagaimana jika fatwa seseorang yang berbicara tanpa ilmu tersebut
diamalkan oleh ratusan orang atau bahkan ribuan orang, tentunya seluruh
dosa-dosa mereka akan dipikul oleh orang tersebut.
Maka barangsiapa yang ditanya tentang fatwa maka hendaknya ia diam dan
ia mengalihkannya kepada orang yang lebih alim darinya atau ia
serahkan fatwa tersebut kepada orang yang lebih alim tersebut dan ini
adalah sikap para salaf
Berkata Al-Qosim bin Muhammad, قال والله لأن يعيش الرجل جاهلا بعد أن
يعلم حق الله عليه خير له من أن يقول مالا يعلم “Demi Allah seseorang
hidup dalam keadaan bodoh setelah mengetahui hak Allah atas dirinya
maka lebih baik daripada ia berkata tanpa ilmu”[15]
Sikap para salaf yang takut untuk berfatwa karena takut salah dalam berfatwa
Berkata Ibnu Abi Laila,
لقد أدركت عشرين ومائة من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم من
الأنصار إن كان أحدهم ليسأل عن المسألة فيردها إلى غيره فيرد هذا إلى هذا
وهذا إلى هذا حتى ترجع إلى الأول وإن كان أحدهم ليقول في شيء وانه ليرتعد
“Sungguh aku telah bertemu dengan 120 sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam dari kaum Anshor, sungguh ada salah seorang dari mereka
ditanya tentang satu permasalahan maka iapun melemparkannya kepada
yang lainnya, maka yang ini melemparkan kepada yang itu, dan yang itu
menyerahkannya kepada yang ini hingga kembalilah permasalahan tersebut
kepada orang yang pertama tadi, dan sungguh salah seorang dari mereka
berkata tentang sesuatu dan ia dalam keadaan gemetar”[16]
Beliau juga berkata,
أدركت عشرين ومائة من الأنصار من أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم ما منهم
من أحد يحدث إلا ود أن أخاه كفاه إياه ولا يستفتى عن شيء إلا ود أن أخاه
كفاه الفتوى
“Aku bertemu dengan 120 sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
tidak seorangpun dari mereka yang berbicara kecuali ia berharap
saudaranya telah mencukupkan perkataannya (sehingga ia tidak perlu
lagi berbicara)[17], dan tidak seorangpun dari mereka yang berfatwa
tentang suatu perkara kecuali ia berharap agar saudaranya telah
mencukupi fatwanya (sehingga ia tidak perlu lagi berfatawa)”[18]
Lihatlah bagaimana keadaan sekarang yang telah berbalik, sesuatu yang
para salaf lari darinya (yaitu berfatwa) namun sekarang malah diminati
dan sebaliknya sesuatu yang dituntut (untuk berfatwa dengan hati-hati
dan di atas ilmu) namun sekarang malah dijauhi[19]
Abdurrahman bin Mahdi berkata, “Seorang pria menemui Malik bin Anas
berhari-hari lamanya untuk bertanya tentang suatu perkara, namun Malik
tidak memberi jawaban, maka iapun berkata, “Wahai Abu Abdillah
sesungguhnya aku ingin keluar (kota) dan aku telah lama berulang-ulang
bolak-balik menemuimu!”. Maka Malikpun menundukan kepalanya lama
kemudian ia mengangkat kepalanya dan berkata, “Masya Allah wahai fulan,
sesungguhnya aku tidaklah berkata kecuali yang menurutku baik dan aku
tidak bisa menguasai jawaban pertanyaanmu ini”[20]
Dari Al-Haitsam bin Jamil ia berkata, “Aku menyaksikan Imam Malik bin
Anas ditanya 48 pertanyaan dan ia berkata pada 32 pertanyaan tersebut
“Aku tidak tahu””
Dan diriwayatkan juga darinya bahwa ia ditanya suatu pertanyaan lalu ia
berkata, “Aku tidak tahu” maka dikatakan kepadanya “Ini adalah
pertanyaan yang ringan dan mudah!”, maka iapun marah dan berkata, “Tidak
ada dalam ilmu sesuatupun yang ringan, tidakah engkau mendengar
firman Allah.
إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلاً ثَقِيلاً (المزّمِّل : 5 )
Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat. (QS. 73:5)
Maka ilmu itu seluruhnya berat terutama sesuatu yang akan ditanya pada
hari kiamat (yaitu orang yang berfatwa akan dimintai
pertanggungjawabannya pada hari kiamat-pen)”
Imam Malik juga berkata, “Jika para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam merasa berat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dan tidaklah
salah seorang dari mereka menjawab hingga ia melihat pendapat
sahabatnya yang lain, padahal mereka telah dianugrahi taufiq dan
kelurusan dari Allah dan sucinya hati-hati mereka maka lantas
bagaimanakah dengan kita yang kesalahan-kesalahan serta dosa-dosa kita
telah menutup hati-hati kita” [21]
Berkata Ibnu Kholdah kepada Robi’ah,
يا ربيعة إياك أن تفتي الناس فإذا جاءك الرجل يسألك فلا تكن همتك أن تخرجه مما وقع فيه ولتكن همتك أن تتخلص مما سألك عنه
“Wahai Robi’ah waspadalah engkau dari memberi fatwa kepada manusia,
maka jika datang kepadamu seseorang yang bertanya kepadamu maka
janganlah tujuanmu adalah untuk menyelematkan dia (sipenanya) dari apa
yang sedang ia alami, namun jadikanlah tujuanmu adalah agar engkau
bisa selamat dari pertanyaannya”[22]
Ada orang yang bertanya kepada Imam Malik dan Imam Malik tidak
menjawabnya maka ia berkata, “Wahai Abu Abdillah jawablah
pertanyaanku!”, Imam Malik berkata, “Celaka engkau apakah engkau hendak
menjadikan aku hujjah antara aku dan Allah?, maka aku yang lebih
dahulu butuh untuk aku melihat bagaimana keselamatanku kemudian aku
menyelamatkan engkau”[23]
Oleh karena itu tidaklah Ibnul Musayyib berfatwa kecuali ia berkata,
اللهم سلمني وسلمه مني “Ya Allah selamatkanlah aku dan selamatkanlah ia
dariku”[24]
Berkata Imam Malik, “Terkadang aku menerima satu pertanyaan yang
menjadikan aku tidak bisa makan dan minum serta tidak bisa tidur”
Beliau juga berkata, “Sungguh aku pernah memikirkan satu permasalahan
sejak belasan tahun namun aku belum bisa memiliki pendapat yang pas
hingga sekarang”.
Beliau juga berkata, “Terkadang aku menemukan permasalahan maka akupun memikirkannya beberapa malam”[25]
Dan dari Imam Malik juga bahwasanya terkadang beliau ditanya 50
pertanyaan maka ia tidak menjawab kecuali satu pertanyaan saja dan ia
berkata,
من أجاب في مسألة فينبغي من قبل أن يجيب فيها أن يعرض نفسه على الجنة والنار وكيف يكون خلاصة في الآخرة ثم يجيب فيها
“Barangsiapa yang menjawab suatu pertanyaan maka hendaknya sebelum ia
menjawab maka ia meletakan dirinya diantara surga dan neraka dan
bagaimanakah jalan keluar di akhirat kemudian ia menjawab pertanyaan
tersebut”
Berkata sebagian orang, “Demi Allah Imam Malik jika ditanya suatu
pertanyaan maka demi Allah ia sedang berdiri antara surga dan neraka”
Imam Malik jika sedang duduk maka ia menggerakan kedua bibirnya untuk
berdzikir kepada Allah dan ia tidak menengok ke kanan dan ke kiri, dan
jika ia ditanya tentang sautu permasalahan maka berubahlah warna kulit
wajahnya, dan ia berkulit merah maka berubahlah jadi kuning (pucat)
dan ia menundukan kepalanya dan menggerakan kedua bibirnya kemudian
berkata ما شاء الله لا حول ولا قوة إلا بالله[26]
Beliau berkata, “Tidak ada sesuatupun yang lebih berat bagiku daripada aku ditanya tentang permasalahan halal dan haram”
Berkata Asy-Syatibhi mengomentari perkataan Malik, “Karena hal ini
adalah memutuskan hukum Allah. Sungguh aku telah bertemu dengan para
ulama dan ahli fiqih di negeri-negeri kami, dan sungguh salah seorang
dari mereka jika ditanya tentang satu permasalahan maka seakan-akan
kematian dihadapan mereka, dan aku melihat penduduk negeri zaman kita
ini mereka begitu suka berbicara tentang halal dan haram dan suka
berfatwa. Jika seandainya mereka berhenti memikirkan akhir yang mereka
tuju kelak maka mereka akan mempersedikit hal ini.
Sesungguhnya Umar bin Al-Khotthob, Ali, dan seluruh para sahabat yang
mulia jika mereka berhadapan dengan permasalahan-permasalahan –padahal
mereka adalah generasi yang terbaik yang diutus kepada mereka Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam- maka merekapun mengumpulan para sahabat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan merekapun bertanya kepada
mereka, kemudian setelah itu mereka berfatwa. Adapun penduduk zaman kita sekarang ini jadilah kebanggaan mereka adalah berfatwa”[27]
Ada seseorang yang bertanya kepada Imam Malik tentang suatu
permasalahan dan sang penanya tersebut menyebutkan bahwa ia diutus dari
perjalanan sejauh enam bulan perjalanan dari Magrib untuk menanyakan
permasalahan tersebut. Maka Imam Malik berkata, “Katakan kepada yang
mengutusmu bahwa aku tidak memiliki ilmu tentang permasalahan ini”.
Orang itu berkata, “Kalau begitu siapakah yang mengetahui permasalahan
ini?”, Imam Malik berkata, “Orang yang diajari oleh Allah”.
Imam Malik ditanya oleh seseorang tentang permasalahan dan orang
tersebut telah dititipkan oleh penduduk Magrib kepadanya, maka Imam
Malik berkata, “Aku tidak tahu, kami tidak pernah menghadapi
permasalahan seperti ini, dan kami tidak pernah mendengar guru-guru
kami berbicara tentang permasalahan ini akan tetapi kembalilah engkau
ke Magrib”. Dan tatkala keesokan harinya orang itupun datang dan telah
mengangkat barang-barangnya di atas begolnya yang ia tunggangi dan ia
berkata, “Pertanyaanku bagaimana?”, Imam Malik berkata, “Aku tidak
tahu jawabannya”, orang itupun berkata, “Wahai Abu Abdillah aku telah
meninggalkan di belakangku orang yang berkata bahwa tidak ada di atas
muka bumi ini yang lebih pandai daripada engkau”, Imam Malikpun
berkata, “Ada apa denganmu jika engkau tidak bersedih, jika engkau
kembali maka kabarkanlah mereka bahwa aku tidak menguasai jawaban
pertanyaan itu” [28]
Berkata As-Syatibhi, “Dan riwayat-riwayat dari imam Malik tentang
perkataannya “Aku tidak tahu” dan “Aku tidak menguasai permasalahan
ini” sangatlah banyak hingga dikatakan kalau ada seseorang yang ingin
memenuhi bukunya dengan perkataan Imam Malik “Aku tidak tahu” maka ia
akan bisa melakukannya”… dan dikatakan kepada beliau, “Jika engkau
berkata wahai Abu Abdillah “Aku tidak tahu” maka siapakah yang
mengetahui?, maka Imam Malik berkata, “Celaka engkau, apakah engkau
mengetahui siapa aku?, dan siapakah aku?, apakah kedudukanku hingga aku
harus mengetahui apa yang kalian tidak ketahui?”, kemudian Imam Malik
berhujjah dengan hadits Ibnu Umar dan ia berkata, “Lihatlah Ibnu
Umar, ia berkata, “Aku tidak tahu”, lantas siapakah aku??,
sesungguhnya yang membinasakan mansia adalah ujub dan mencari
kedudukan”…
Beliau juga pernah berkata, “Umar bin Al-Khottob pernah berhadapan
dengan permasalahan-permasalahan ini dan ia tidak menjawabnya”[29]
Berkata Abu Hushoin, إن أحدهم ليفتي في المسألة ولو وردت على عمر بن
الخطاب رضي الله عنه لجمع لها أهل بدر “Sesungguhnya salah seorang dari
mereka (yang hidup di zamannya-pen) sungguh berfatwa tentang suatu
permasalahan yang jika permasalahan tersebut ditanyakan pada Umar bin
Al-Khottob maka ia akan mengumpulkan para sahabat yang ikut perang
Badar untuk menjawab pertanyaan tersebut”[30]
Berkata Sufyan bin ‘Uyainah, أجسر الناس على الفتيا أقلهم علما “Orang
yang paling berani berfatwa adalah orang yang paling sedikit
ilmunya”[31]
Perkataan “Aku tidak tahu” bukanlah aib bahkan merupakan kemuliaan
Merupakan perangkap syaitan yang sangat halus yaitu seseorang jika
berada bersama orang-orang yang ilmu mereka lebih sedikit dari
ilmunya[32] maka terkadang ia tanpa ia sadari telah memposisikan
dirinya sebagai seorang imam diantara mereka dan ia berusaha untuk
tidak mengakui ketidaktahuannya pada suatu perkara yang ditanyakan
kepadanya yang ia tidak memiliki ilmu tentang perkara tersebut, bahkan
terkadang jika mereka sedang membicarakan sesuatu permasalahan maka
iapun masuk diantara mereka dan memberikan keputusan hukum perkara
tersebut padahal ia tidak memiliki ilmunya. Terkadang ia memposisikan
dirinya seakan-akan ia adalah seorang ahli hadits dan seorang ahli
fikih padahal ia tidak mengetahui bahwa seungguhnya ia telah
membinasakan dirinya[33]
Syaikh Utsaimin berkata, “…Apakah yang menyebabkan seseorang untuk
berbicara tanpa ilmu?, sebabnya karena ia ingin terangkat, ingin ia
mengungguli para sahabatnya, ingin disebut-sebut, ingin popularitas
agar ia dijuluki seorang ‘allamah (yang sangat alim), fahhamah (yang
sangat paham), laut yang luas (yaitu yang sangat luas ilmunya), dan
yang semisalnya. Dan tidak diragukan lagi ini adalah termasuk
perangkap-perangkap syaitan. Yang wajib bagi engkau adalah engkau
mengetahui ukuran dirimu dan janganlah engkau memposisikan dirimu lebih
dari ukuranmu”[34]
Ketahuilah bahwasanya perkataan seseorang yang ditanya kemudian ia
tidak tahu jawabannya “Aku tidak tahu” tidaklah merendahkan
kedudukannya sebagaimana yang disangkakan oleh sebagian orang-orang
bodoh bahkan perkataannya ini akan mengangkat derajatnya. Karena ini
merupakan tanda akan kuat agamanya, ketakwaannya, bersihnya hatinya,
sempurnanya ilmunya, serta kehati-hatiannya.
Hanyalah enggan untuk mengatakan “Aku tidak tahu” orang yang lemah
agamanya dan sedikit ilmunya karena ia takut jatuh di mata para
hadirin, dan hal ini merupakan kebodohan dan lemahnya agama. Dan bisa
jadi ia terkenal di kalangan manusia dengan kesalahan-kesalahannya
karena ketidak hati-hatiannya dalam berfatwa (menjawab) maka iapun
terjatuh pada sesuatu yang ia lari darinya, dan iapun disifati oleh
manusia dengan sifat yang ia lari darinya[35]
Oleh karena itu Al-Qosim bin Muhammad berkata, إن من إكرام المرء نفسه
أن لا يقول إلا ما أحاط به علمه “Termasuk bentuk pemuliaan seseorang
terhadap dirinya yaitu ia tidak berkata kecuali sesuatu yang ia kuasai
ilmunya”[36]
Berkata orang-orang bijak,
من العلم أن لا تتكلم فيما لا تعلم بكلام من يعلم فحسبك خجلا من نفسك
وعقلك أن تنطق بما لا تفهم وإذا لم يكن إلى الإحاطة بالعلم من سبيل فلا
عار أن تجهل بعضه وإذا لم يكن في جهل بعضه عار فلا تستحي أن تقول لا أعلم
فيما لا تعلم
“Merupakan ilmu engkau tidak berbicara tentang perkara yang engkau
tidak ketahui dengan perkataan orang yang mengetahuinya, cukuplah
engkau malu dengan dirimu dan akalmu jika engkau berbicara dengan
perkataan yang tidak kau pahami. Jika tidak ada jalan untuk bisa
mengetahui seluruh ilmu maka bukanlah aib jika engkau tidak mengilmui
sebagaian perkara, dan jika tidak mengetahui sebagian ilmu bukanlah
suatu aib maka janganlah engkau malu untuk mengatakan pada perkara yang
tidak kau ketahui “Aku tidak tahu”” [37]
As-Sya’bi berkata, لا أدري نصف العلم ((“Aku tidak tahu” adalah setengah ilmu))[38].
Syaikh Bakr Abu Zaid berkata, “Jika setengah ilmu adalah perkataan “Aku
tidak tahu” maka setengah kebodohan adalah perkataan “Dikatakan…” dan
perkataan “Aku sangka…””[39]
Faedah yang bisa didapatkan bagi orang yang mengatakan “Aku tidak tahu”
1. Inilah yang wajib baginya.
2. Jika dia tidak menjawab dan berkata, “Aku tidak tahu” maka akan
segera datang ilmu kepadanya karena ia akan segera muroja’ah (mencari
jawaban) pertanyaan yang tidak bisa ia jawab tersebut atau orang lain
yang memeriksa jawabannya. Karena seorang murid jika melihat gurunya
tidak menjawab maka ia akan berusaha dengan keras untuk menemukan
jawabannya kemudian mengabarkan jawaban tersebut kepada gurunya, maka
sungguh baik hal ini.
3. Jika ia tidak menjawab apa yang ia tidak ketahui maka hal ini
merupakan indikasi akan terpercayanya dia dan amanahnya serta
penguasaannya secara sempurna pada permasalahan-permasalahan yang ia
jawab, sebagaimana orang yang berani menjawab perkara-perkara yang ia
tidak ketahui maka hal itu akan menimbulkan keraguan pada seluruh
perkataannya hingga keraguan pada perkara-perkara yang telah jelaspun.
4. Jika para murid melihat gurunya tidak menjawab perkara-perkara yang
tidak diketahuinya maka hal ini merupakan pelajaran bagi mereka untuk
bertindak demikian juga, karena meneladani perkataan yang disertai
amalan dari sang guru lebih mengena daripada hanya sekedar meneladani
perkataan saja.[40]
Berkata Abdullah bin Yazid bin Hurmuz, “Hendaknya seorang alim
mengajarkan para muridnya setelahnya perkataan “Aku tidak tahu” hingga
perkataan tersebut menjadi pegangan mereka yang mereka segera
menggunakannya jika salah seorang dari mereka ditanya sesuatu yang
tidak diketahuinya, maka ia akan berkata, “Aku tidak tahu””[41]
Syaikh Bakr Abu Zaid berkata, جُنَّةُ العالم لا أدري “Perisai seorang yang berilmu adalah perkataan “Aku tidak tahu””[42]
Peringatan
1. Bukan berarti tidak boleh berfatwa tanpa ilmu berarti tidak boleh
berfatwa sama sekali bahkan orang yang memiliki ilmu jika ditanya
tentang apa yang ia ketahui maka wajib bagi dia untuk menjawabnya hal
ini sebgaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
من سئل عن علم فكتمه ألجم يوم القيامة بلجام من نار
((Barangsiapa yang ditanya tentang ilmu kemudian ia menyembunyikannya
maka ia akan dikekang (dimulutnya) pada hari kiamat dengan kekangan
dari api neraka))[43].
Dan hal ini sebagaimana wasiat Ibnu Mas’ud يا أيها الناس من علم شيئا
فليقل به ((Wahai manusia barangsiapa yang mengilmui sesuatu maka
hendaknya ia berkata dengan ilmunya tersebut))
2. Bukan berarti karena takut berfatwa tanpa ilmu maka seseorang
meninggalkan dakwah sama sekali dan tidak berdakwah hingga ia menjadi
ulama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda بلغوا عني
ولو آيةً ((Sampaikanlah dariku meskipun hanya satu ayat))[44].
Berkata Syaikh Utsaimin, “Barangsiapa yang menyangka tidak mungkin
menggabungkan antara menuntut ilmu dan berdakwah maka ia telah keliru
karena sesungguhnya seseorang mungkin baginya untuk belajar sambil
mendakwahi keluarganya, tetangganya, kampungnya, penduduk kotanya dan
ia sambil menuntut ilmu”[45].
Ada perkara-perkara yang bisa dipahami dengan mudah yang bisa
didakwahkan oleh siapa saja. Namun perlu diingat sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam((dariku)) menunjukan bahwa yang disampaikan harus benar-benar merupakan agama dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Penulis: Firanda Andirja
Artikel www.firanda.com
Catatan Kaki:
[1] Atsar riwayat Al-Bukhori dalam shahihnya 4/1809 no 4531
[2] Atsar riwayat At-Thobroni dalam Al-Mu’jam Al-Kabir 9/188 no 8923,
berkata Al-Haitsami “Para perawinya terpercaya” (Majma’ Az-Zawaid
1/183) dan juga Al-Baihaqi dalam Al-Madkhol ila As-Sunan Al-Kubro
1/432, dan perkataan yang semisal ini juga dikatakan oleh Ibnu Abbas
sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Al-Madkhol 1/433
[3] HR Al-Bukhari 1/33 no 59
[4] HR Al-Bukhari 1/50 no 100, Muslim 4/2058 no 2673
[5] Atsar riwayat Al-Baihaqi dalam Al-Madkhol ila As-Sunan Al-Kubro 1/441 no 828
[6]Atsar riwayat Al-Baihaqi dalam Al-Madkhol ila As-Sunan Al-Kubro 1/441 no 829
[7] Lihat kedua syair ini dalam syarah mandzumah Al-Waroqoot oleh Syaikh Utsaimin pada penjelasan makna ilmu
[8] At-Ta’liq Ats-Tsamin hal 322
[9] Faidhul Qodir 1/158-159
[10] Atsar riwayat Al-Baihaqi dalam Al-Madkhol ila As-Sunan Al-Kubro 1/437 no 815
[11] HR Abu Dawud 3/317 no 3641, Ibnu Majah 1/81 no 223, At-Thirmidzi
5/48 no 2682 dari hadits Abu Darda’ dan dishahihkan oleh Syaikh
Al-Albani.
[12] Fatawa Ibnus Solah 1/7-8 bab بيان شرف مرتبة الفتوى وخطرها وغررها
[13] HR Abu Dawud 3/321 no 3657, Ibnu Majah 1/20 no 53 dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani
[14] Faidhul Qodir 1/158-159
[15] Atsar riwayat Al-Baihaqi dalam Al-Madkhol ila As-Sunan Al-Kubro 1/434 no 806
[16] Tarikh Bagdad 13/412, Tarikh Ad-Dimasyq 36/87 dari Sufyan Ibnu
Uyainah ia berkata, “Telah mengabarkan kepadaku ‘Ato’ bin As-Saib dari
Ibni Abi Laila….”
[17] Tidak sebagaimana sekarang dimana kebanyakan orang mereka menghendaki merekalah yang berbicara
[18] Atsar riwayat Al-Baihaqi dalam Al-Madkhol ila As-Sunan Al-Kubro 1/433 no 800
[19] Faidhul Qodir 1/159
[20] Fatawa Ibnus Solah 1/13
[21] Fatawa Ibnus Solah 1/13-15
[22] Atsar riwayat Al-Baihaqi dalam Al-Madkhol ila As-Sunan Al-Kubro 1/439 no 823
[23] Al-Muwafaqoot 4/288
[24] Atsar riwayat Al-Baihaqi dalam Al-Madkhol ila As-Sunan Al-Kubro 1/439 no 824
[25] Al-Muwafaqoot 4/286 permasalahan yang ketujuh
[26] Al-Muwafaqoot 4/286 permasalahan yang ketujuh
[27] Al-Muwafaqoot 4/287
[28] Al-Muwafaqoot 4/288
[29] Al-Muwafaqoot 4/289
[30] Atsar riwayat Al-Baihaqi dalam Al-Madkhol ila As-Sunan Al-Kubro 1/434 no 803
[31] Fatawa Ibnus Solah 1/12
[32] Berbeda jika ia sedang berada diantara orang-orang yang ilmunya
lebih daripada dia atau setara dengannya maka ia cenderung untuk lebih
berhati-hati karena takut ketahuan kesalahan-kesalahannya.
[33] Ma’alim fi toriq tolabil ‘ilmi hal 249
[34] At-Ta’liq Ats-Tsamin hal 322
[35] Ma’alim fi toriq tolabil ‘ilmi hal 206
[36] Atsar riwayat Al-Baihaqi dalam Al-Madkhol ila As-Sunan Al-Kubro 1/434 no 805
[37] Faidhul Qodir 1/158-159
[38] Atsar riwayat Al-Baihaqi dalam Al-Madkhol ila As-Sunan Al-Kubro 1/434 no 810
[39] At-Ta’liq Ats-Tsamin hal 325
[40] Keempat faedah ini disampaikan oleh Syaikh As-Sa’di dalam kitab
Al-Fatawa As-Sa’diyah hal 627-629 sebagaimana dinukil dalam buku ma’alim
fi toriq tolabil ilmi hal 206-207
[41] Atsar riwayat Al-Baihaqi dalam Al-Madkhol ila As-Sunan Al-Kubro 1/434 no 809
[42] At-Ta’liq Ats-Tsamin hal 325. Kisah : Syaikh Muhammad Amin
Asy-Syinqithi –rohimahulloh- jika sedang mengawasi para mahasiswa
Universitas Islam Madinah yang sedang melaksanakan ujian kemudian ada
diantara mahasiswa yang bertanya kepada beliau tentang soal ujian maka
beliau memberi jawabannya, padahal mereka sedang ujian. Tatkala beliau
ditanya kenapa beliau memberi tahu jawaban soal ujian maka beliau
berdalil dengan hadits ((Barangsiapa yang ditanya tentang ilmu kemudian
ia menyembunyikannya maka ia akan dikekang (dimulutnya) pada hari
kiamat dengan kekangan dari api neraka)). Kalau seluruh pengawas ujian
seperti beliau…???
[43] HR Ibnu Majah 1/97 no 264, At-Thirmidzi 5/29 no 2649 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani
[44] HR Al-Bukhari 3/1275 no 3274, para ulama berbeda pendapat tentang makna ayat dalam hadits ini
1. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah ayat Al-Qur’an.
Berkata Al-Baydhowi, “Maka menyampaikan hadits dipahami dengan mafhum
awlawi” (Umdatul Qori 16/45)
2. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah perkataan yang berfaedah (yaitu hadits-hadits Nabi r)
3. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah hukum-hukum yang
diwahyukan kepada Nabi r maka lebih luas daripada hanya sekedar ayat
yang dibaca. (Tuhfatul Ahwadzi 7/360)
[45] Kitabul ilmi hal 162
Tidak ada komentar:
Posting Komentar