I. PENDAHULUAN
Al-Hallaj
adalah sufi terkemuka dari abad ke-9 (3 H). kehidupannya,
pengembaraannya dan pandangan hidupnya serta faham tasawufnya, semuanya
telah menggegerkan dunia fiqih. Beratus ulama fiqh menentangnya dan
beratus pula membelanya.
Dia
dihukum mati dengan kejam sekali, karena ajarannya dipandang oleh
ulama-ulama dizamannya merusak kepada pokok kepercayaan Islam.
Pendekatannya asal saja orang menyelami perkembangan ilmu tasawuf dalam
Islam orang senantiasa akan bertemu dengan al-Hallaj.
Dalam
makalah ini akan mencoba menjelaskan tentang perjalanan hidup al-Hallaj
dan ajaran yang seperti apa yang akhirnya membawa al-Hallaj dalam
kematian.
II. PEMBAHASAN
A. Biografi
Nama lengkapnya al-Hallaj adalah Abu al-Mughits al-Husain bin Mansur bin Muhammad al-Baidhawi, lahir di Baida, sebuah kota kecil di wilayah Persia, pada tahun 244 H/858 M.[1] dan dia mulai dewasa di kota Wasith, dekat Baghdad. Ketika usia 16 tahun, yaitu di tahun 260 H (873 M), dia telah pergi belajar pada seorang sufi yang besar dan terkenal, yaitu Sahl bin Abdullah al-Tusturi di negeri Ahwaaz.[2]
Selama 2 tahun lamanya dia belajar kepada sufi besar itu. Sehabis
belajar dengan Tusturi, dia berangkat ke Basrah dan belajar kepada Sufi
‘Amar al-Makki, di tahun 264 H (878 M) dia masuk ke Baghdad
dan belajar kepada al-Junaid. Setelah itu dia pun pergi mengembara dari
satu negeri ke negeri lain, menambah pengetahuan dan pengamalan dalam
ilmu tasawuf. Sehingga tidak ada lagi seorang syeikh ternama, semua
telah dijelangnya dan dimintanya fatwa dan tuntutannya. Dan tiga kali
dia naik Haji ke Mekkah.[3]
Saat pergi ke Mekkah untuk pertama kalinya dalam rangka menunaikan ibadah haji, dan kembali ke Baghdad,
mulailah ia memperoleh murid atau pengikut yang semakin lama semakin
banyak. Ia juga melakukan perlawatan ke berbagai negeri, seperti Ahwaz,
Khurasan, Turkistan, dan bahkan juga ke India.
Dimanapun ia berada, ia melaksanakan dakwah, mengajak umat agar
mendekatkan diri kepada Allah. Dengan demikian pengikut-pengikutnya yang
dikenal dengan sebutan Hallajiyah, makin bertambah besar. Para pengikutnya itu yakin bahwa ia adalah seorang wali, yang memiliki berbagai kekeramatan.
Dia kembali ke Baghdad pada tahun 296 H / 909 M. Di kota
ini, secara kebetulan ia bersahabat dengan kepala rumah tangga istana,
Nashr al-Qusyairi, yang mengingatkan sistem tata usaha yang baik dan
pemerintah yang bersih. Al-Hallaj selalu mendorong sahabatnya melakukan
perbaikan dalam pemerintahan dan selalu melontarkan kritik terhadap
penyelewengan yang terjadi. Gagasan "pemerintah yang bersih" dari Nash
al-Qusyairi dan al-Hallaj ini jelas berbahaya, karena khalifah tidak
boleh dikatakan tidak memiliki kekuasaan yang nyata dan hanya merupakan
lambang saja.[4]
Mungkin
karena kekhawatiran pada kebesaran pengaruhnya, kecenderungan pada
aliran syi'ah, dan besarnya jumlah pengikutnya, penguasa di Baghdad
menangkap dan memenjarakannya pada 910 (297 H). Dengan sejumlah tuduhan
(bahwa ia berkomplot dengan kaum Qaramith, yang mengancam kekuasaan
Daulat Bani Abbas; ia dianggap bersifat ketuhanan oleh sebagian
pengikutnya yang fanatik; ia mengucapkan "ana al-haq" (akulah yang maka benar); dan menyatakan bahwa ibadah haji tidak wajib).[5]
Karena
ucapannya, al-Hallaj dipenjara, tetapi setelah satu tahun dipenjara dia
dapat melarikan diri dengan pertolongan seorang penjaga yang menaruh
simpati kepadanya. Dari Baghdad dapatlah ia melarikan diri ke Sus dalam
wilayah Ahwas. Disinilah ia bersembunyi empat tahun lamanya. Namun pada
tahun 301 H / 930 M dapat ditangkap kembali dan dimasukkan lagi ke
penjara sampai delapan tahun lamanya. Akhirnya pada tahun 309 H / 921 M,
diadakan persidangan ulama dibawah kerajaan Bani Abbas di masa khalifah
al-Muktadirbillah. Pada tanggal 18 Zulkaidah 309 H, jatuhlah hukuman
padanya. Dia dihukum bunuh dengan mula-mula di pukul dan di cambuk
dengan cemeti, lalu di salib, sesudah itu dipotong kedua tangan dan
kakinya, di penggal lehernya dan ditinggalkan tergantung pecahan-pecahan
tubuh itu di pintu gerbang kota Baghdad, kemudian dibakar dan abunya
dihanyutkan ke sungai Dajlah.[6]
Konon al-Hallaj menghadapi hukuman itu dengan penuh keberanian dan berkata pada saat di salib : "Ya
Allah, mereka adalah hamba-hambaMu, yang telah terhimpun untuk
membunuhku, karena fanatik pada agama-Mu dan hendak mendekatkan diri
kepada-Mu. Ampunilah mereka, sekiranya Engkau singkapkan kepada mereka
apa yang telah Engkau singkapkan kepadaku, niscaya mereka tidak akan
memperlakukan seperti ini".[7]
B. Karya-karya al-Hallaj
Selama
di penjara, al-Hallaj banyak menulis hingga mencapai 48 buah buku.
Judul-judul kitabnya itu tampak asing dan isinya juga banyak yang aneh
dan sulit dipahami. Kitab-kitab itu antara lain :
1. Kitab al-Shaihur fi Naqshid Duhur
2. Kitab al-Abad wa al-Mabud
3. Kitab Kaifa Kana wa Kaifa Yakun
4. Kitab Huwa Huwa
5. Kitab Sirru al-Alam wa al-Tauhid
6. Kitab al-Thawasin al-Azal
7. dan lain-lain.[8]
Kitab-kitab
itu hanya tinggal catatan, karena ketika hukuman dilaksanakan,
kitab-kitab itu juga ikut dimusnahkan, kecuali sebuah yang disimpan
pendukungnya yaitu Ibnu 'Atha dengan judul Al-Thawasin al-Azal. Dari kitab-kitab ini dan sumber-sumber muridnya dapat diketahui tentang ajaran-ajaran al-Hallaj dalam tasawuf.
C. Ajaran Tasawuf Al-Hallaj
1. Hulul
Al-Hallaj mengajarkan bahwa Tuhan memiliki sifat lahut dan nasut, demikian juga manusia. Melalui maqamat, manusia mampu ke tingkat fana, suatu tingkat dimana manusia telah mampu menghilangkan nasut-nya dan meningkatkan lahut yang mengontrol dan menjadi ini kehidupan. Yang demikian itu memungkinkan untuk hulul-nya
Tuhan dalam dirinya, atau dengan kata lain, Tuhan menitis kepada hamba
yang dipilih-Nya, melalui titik sentral manusia yaitu roh.[9]
Adapun
menurut istilah ilmu tasawuf, al-hulul berarti paham yang mengatakan
bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat
di dalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu
dilenyapkan.
Al-Hallaj berpendapat bahwa dalam diri manusia sebenarnya ada sifat-sifat ketuhanan.[10] Ia menakwilkan ayat:
وَإِذْ
قُلْنَا لِلْمَلاَئِكَةِ اسْجُدُواْ لآدَمَ فَسَجَدُواْ إِلاَّ إِبْلِيسَ
أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ {البقرة : 34}
Artinya: Dan
(ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu
kepada Adam," maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur
dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir”. (QS. Al-Baqarah
: 34).
Sesuai dengan ajarannya, maka tatkala ia mengatakan "Aku adalah al-Haq" bukanlah al-Hallaj yang mengucapkan kata-kata itu, tetapi roh Tuhan yang mengambil dalam dirinya.
Sementara itu, hululnya Tuhan kepada manusia erat kaitannya dengan maqamat sebagaimana telah disebutkan, terutama maqam fana.
Fana bagi al-Hallaj mengandung tiga tingkatan : tingkat memfanakan
semua kecenderungan dan keinginan jiwa; tingkat memfanakan semua fikiran
(tajrid aqli), khayalan, perasaan dan perbuatan hingga tersimpul
semata-mata hanya kepada Allah, dan tingkat menghilang semua kekuatan
pikir dan kesadaran. Dari tingkat fana dilanjutkan ke tingkat fana
al-fana, peleburan ujud jati diri manusia menjadi sadar ketuhanan
melarut dalam hulul hingga yang disadarinya hanyalah Tuhan.
2. Al-Haqiqatul Muhammadiyah
Yaitu
Nur Muhammad sebagai asal-usul segala kejadian amal perbuatan dan ilmu
pengetahuan, dan dengan perantaranyalah seluruh alam ini dijadikan.
Al-Hallaj memandang kepada Nabi Muhammad dalam dua bentuk yang berbeda
satu sama lain. Satu bentuk adalah berupa Nur Muhammad yang qadim, telah
ada sebelum adanya segala yang maujud ini dan pengetahuan yang gaib.
Yang kedua adalah bentuk Nabi yang diutus keadaannya baharu, dibatasi
oleh tempat dan waktu dan dari sini lahir kenabian dan kewalian.[11]
Ide Nur Muhammad itu menghendaki adanya Insan Kamil sebagai
manifestasi sempurna pada manusia. Dari sini al-Hallaj menampilkan
Insan Kamil itu bukan pada diri Nabi Muhammad sendiri melainkan kepada
diri Nabi Isa al-Masih. Bagi al-Hallaj, Isa al-Masih adalah al-Syahid ala wujudillah, tempat tajalli dan berujudnya Tuhan. Demikian juga hidup kewalian yang sesungguhnya ada pada kehidupan Isa al-Masih itu.
3. Kesatuan Segala Agama
Nama
Agama yang berbagai macam, seperti Islam, Nasrani, Yahudi dan yang
lain-lain hanyalah perbedaan nama dari hakikat yang satu saja.
Nama
berbeda, maksudnya satu. Segala agama adalah agama Allah maksudnya
ialah menuju Allah. Orang memilih suatu agama, atau lahir dalam satu
agama, bukanlah atas kehendaknya, tetapi dikehendaki untuknya. Cara
ibadah bisa berbeda warnanya, namun isinya hanya satu. Pendirian ini
disandarkannya kepada ketentuan (takdir) yang telah ditentukan Tuhan
Allah. Tidak ada faedahnya seseorang mencela orang yang berlainan agama
dengan dia, karena itu adalah takdir (ketentuan) Tuhan buat orang itu.
Tidak ada perlunya berselisih dan bertingkah. Tetapi perdalamlah
pegangan dalam agama masing-masing.[12]
D. Respon Ulama terhadap Ajaran al-Hallaj
Berbagai
ragam perkataan orang tentang al-Hallaj. Setengahnya mengkafirkan dan
setengahnya lagi membela. Beberapa perkataan, terutama dari pihak
kekuasaan pada masa itu tersiar bahwasanya ajaran al-Hallaj sangat
merusak ketenteraman umum.
Kebanyakan
kaum fiqhi mengkafirkannya,dengan alasan bahwasanya, mengatakan bahwa
dari manusia bersatu dengan Tuhan, adalah stirik yang besar, sebab
mempersekutukan Tuhan dengan dirinya, oleh karena itu hukum bunuh yang
diterimanya adalah hal yang patut. Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, pengrang
yang ternama Ibnu Nadim dan lain lain berpendapat demikian. Tetapi
ulama-ulama yang lain seperti Ibnu syuriah, seorang ulama yang sangat
terkemuka dalam madzhab Malik, telah memberikan jawaban: “Ilmuku tidak
mendalam tentang tentang dirinya, sebab itu saya tidak berkata apa-apa.[13]
Imam
Ghozali seketika ditanya orang pula pendapatnya, tentang Al Hallaj
“Ana’l Haaq” itu, telah menjawab:”Perkataan yang demikian keluar dari
mulutnya adalah karena sangat cintanya kepada Allah,Apabila cinta sudah
sekian mendalamnya, tidak dirasakan lagi perpisahan diantara diri dengan
yang dicintai.
Sedangkan Ad-Damiri pengarang “Hayatul Hayawan” berkata: “bukanlah perkara mudah mudah
menuduh seorang Islam keluar dari dalamnya. kalau kata-katanya masih
dapat dita’wilkan (diartikan lain),lebih baik diartikan yang lain.
Karena mengeluarkan seseorang dari lingkungan Islam, adalah perkara
besar. Dan bergesa-gesa menjatuhkan hukum begitu, hanyalah perbuatan
orang jahil.[14]
III. ANALISIS
Hulul yaitu ketuhanan (lahut) menjelma ke dalam diri insan (nasut).
Dan menurut al-Hallaj bahwa dalam diri manusia sebenarnya ada
sifat-sifat ketuhanan. Sesuai dengan ajarannya, al-Hallaj mengatakan "Aku adalah Haq".
Persatuan
antara Tuhan dan Manusia dapat terjadi dengan mengambil bentuk hulul.
Agar manusia dapat bersatu, manusia harus terlebih dahulu menghilangkan
sifat-sifat kemanusiaannya. Setelah sifat-sifat kemanusiaannya hilang
dan hanya tinggal sifat ketuhanan yang ada dalam dirinya.
Setelah
manusia memahami dan bisa melaksanakan maka akan dengan mudah memahami
dan merasakan hulu seperti yang dialami oleh al-Hallaj.
Tentang
pluralisme agama yang ada di dunia ini pada dasarnya itu hanyalah
perbedaan nama saja. Tetapi hakekatnya adalah satu. Mereka mempunyai
tujuan yang sama yaitu menuju Allah. Hanya isi dan jalan yang ditempuh
dalam menuju Tuhan (beribadah) berbeda. Jadi walaupun kita berlainan
agama tidak perlu saling mencela dan berselisih. Yang terpenting adalah
bagaimana kita lebih mendalami ajaran kita masing-masing.
IV. KESIMPULAN
Nama al-Hallaj adalah Abu al-Mughits al-Husain bin Mansur bin Muhammad al-Baidhawi, lahir di Baida, sebuah kota kecil di wilayah Persia, pada tahun 244 H / 858 M. al-Hallaj adalah sufi terkemuka dari abad ke-9 (3 H).
Karena ucapannya "Ana al-Haq (Akulah yang maha benar)", al-Hallaj dipenjara. Yang akhirnya pada tahun 309 H / 921 M al-Hallaj dihukum mati.
Ajaran Tasawuf al-Hallaj yaitu tentang :
1. Hulul
2. Al-Haqiqatul Muhammadiyah
3. Kesatuan segala agama.
Kitab karya al-Hallaj mencapai 48 buah buku. Kitabnya antara lain :
1. Kitab al-Shaihur fi Naqshid Duhur
2. Kitab al-Abad wa al-Mabud
3. Kitab Kaifa Kana wa Kaifa Yakun
4. Kitab Huwa Huwa
5. Kitab Sirru al-Alam wa al-Tauhid
6. Kitab al-Thawasin al-Azal
7. dan lain-lain.
_________(o)(o)_________
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihon, Ilmu Tasawuf, Pustaka Setia, Bandung, 2000.
Asmara As, Pengantar Studi Tasawuf, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.
Hamka, Tasauf, Perkembangan dan Pemurniannya, Pustaka Pelajar, Jakarta, 1994.
IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1992.
Mansur, Laily, Ajaran dan Teladan Para Sufi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.
[1] Anwar, Rosihon, Ilmu Tasawuf, Pustaka Setia, Bandung, 2000, hlm. 135
[2] Hamka, Tasauf, Perkembangan dan Pemurniannya, Pustaka Pelajar, Jakarta, 1994, hlm. 108
[3] Ibid.,
[4] IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1992, hlm. 292
[5] Anwar, Rosihon, op.cit., hlm. 136
[6] Asmara As, Pengantar Studi Tasawuf, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 312
[7] IAIN Syarif Hidayatullah, op.cit., hlm. 293
[8] Mansur, Laily, Ajaran dan Teladan Para Sufi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 111
[9] Ibid., hlm. 112
[11] Ibid., hlm. 113
[12] Hamka, op.cit., hlm. 112
[13] Ibid., hlm. 116
Tidak ada komentar:
Posting Komentar