I. PENDAHULUAN
Di
dalam kehidupan manusia, jual beli merupakan kebutuhan dhoruri yaitu
kebutuhan yang tidak mungkin ditinggalkan, sehingga manusia tidak dapat
hidup tanpa kegiatan jual beli. Jual beli juga merupakan sarana tolong
menolong antara sesama manusia, sehingga Islam menetapkan kebolehannya
sebagaimana dalam banyak keterangan al-Qur’an dan Hadits Nabi,
diantaranya, yaitu :
وَاَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَمَ الرِّبَا (البقراه : 275)
“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.[1]
Sejalan
dengan perkembangan zaman, persoalan jual beli yang terjadi dalam
masyarakat semakin meluas, salah satunya adalah adanya praktek jual beli
ijon (jual beli tanaman, buah atau biji yang belum siap untuk di
panen). Praktek ini bukan hanya terjadi pada saat ini, akan tetapi
sudah ada sejak zaman Rasulullah.
Permasalahan
ijin ini secara hukum sudah tertera jelas dalilnya, akan tetapi
permasalahan ini tetap dibahas oleh para fuqaha mengingat di dalam jual
beli ijon sendiri, Ada
terdapat banyak permasalahan baik dari perluasan hukum yang sudah ada
maupun adanya ijon dalam bentuk lain dari ijon pada zaman Nabi.
Jual
beli ijon ini masih sangat kerap kita temui pada masyarakat pedesaan.
Praktek seperti ini lebih banyak berlaku pada buah-buahan, untuk biji
dan tanaman lain ada, akan tetapi tidak sebanyak pada buah-buahan.
II. PEMBAHASAN
a. Pengertian
Ijon atau dalam bahasa Arab dinamakan mukhadlaroh, yaitu memperjual belikan buah-buahan atau biji-bijian yang masih hijau.[2] Atau dalam buku lain dinamakan al-Muhaqalah yaitu menjual hasil pertanian sebelum tampak atau menjualnya ketika masih kecil.
Dari
pengertian di atas tampak adanya pembedaan antara menjual buah atau
biji-bijian yang masih di dahan tetapi sudah tampak wujud baiknya dan
menjual buah atau biji-bijian yang belum dapat dipastikan kebaikannya
karena belum kelihatan secara jelas wujud matang atau kerasnya.
b. Pendapat Para Fuqaha
Sebelum
madzhab sepakat bahwasanya jual beli buah-buahan atau hasil pertanian
yang masih hijau, belum nyata baiknya dan belum dapat dimakan adalah
salah satu diantara barang-barang yang terlarang untuk
diperjual-belikan. Hal ini merujuk pada Hadits Nabi yang disampaikan
oleh Anas ra :
نَهى
رَسُوْلُ اللهِ ص. م عَنِِِ الْمُحَا قَلَةِ وَاْلمُخَا ضَرَةِ وَاْلمُلاَ
مَسَةِ وَاْلمُنَا بَزَةِ وَاْلمُزَابَنَةِ (رواه البخارى)
“Rasulullah Saw melarang muhaqalah, mukhadlarah (ijonan), mulamasah, munabazah, dan muzabanah”. (HR. Bukhari)
Ibnu Umar juga memberitakan :
نَهى رَسُوْلُ اللهِ ص. م عَنْ بَيْعَ الثِّمَارِحَتَّى يَبْدُ وَصَلاَ حُهَانَهَىالبَا ئِعَ وَاْلمُبْتَاعَ (متفق عليه)
“Rasulullah Saw telah melarang buah-buahan sebelum nyata jadinya. Ia larang penjual dan pembeli ”.[3] (Muttafaq alaih)
Para
fuqaha berbeda pendapat mengenai jual beli di atas pohon dan hasil
pertanian di dalam bumi. Hal ini karena adanya kemungkinan bentuk ijon
yang didasarkan pada adanya perjanjian tertentu sebelum akad.
Imam Abu Hanifah atau fuqaha Hanafiyah membedakan menjadi tiga alternatif hukum sebagai berikut :
1. Jika
akadnya mensyaratkan harus di petik maka sah dan pihak pembeli wajib
segera memetiknya sesaat setelah berlangsungnya akad, kecuali ada izin
dari pihak penjual.
2. Jika akadnya tidak disertai persyaratan apapun, maka boleh.
3. Jika akadnya mempersyaratkan buah tersebut tidak dipetik (tetap dipanen) sampai masak-masak, maka akadnya fasad.[4]
Sedang
para ulama berpendapat bahwa mereka membolehkan menjualnya sebelum
bercahaya dengan syarat dipetik. Hal ini didasarkan pada hadits nabi
yang melarang menjual buah-buahan sehingga tampak kebaikannya. Para
ulama tidak mengartikan larangan tersebut kepada kemutlakannya, yakni
larangan menjual beli sebelum bercahaya. Kebanyakan ulama malah
berpendapat bahwa makna larangan tersebut adalah menjualnya dengan
syarat tetap di pohon hingga bercahaya.[5]
Jumhur
(Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah) berpendapat, jika buah tersebut
belum layak petik, maka apabila disyaratkan harus segera dipetik sah.
Karena menurut mereka, sesungguhnya yang menjadi halangan keabsahannya
adalah gugurnya buah atau ada serangan hama.
Kekhawatiran seperti ini tidak terjadi jika langsung dipetik. Sedang
jual beli yang belum pantas (masih hijau) secara mutlak tanpa
persyaratan apapun adalah batal.[6]
Pendapat-pendapat
ini berlaku pula untuk tanaman lain yang diperjual belikan dalam bentuk
ijon, seperti halnya yang biasa terjadi di masyarakat kita yaitu
penjualan padi yang belum nyata keras dan dipetik atau tetap dipohon,
kiranya sama-sama berpangkal pada prinsip menjauhi kesamaran dengan
segala akibat buruknya. Namun analisa hukumnya berbeda.[7]
Menurut
hemat penulis, penulis sepakat dengan jual beli sistem ijon, dengan
alasan bahwa tidak semua yang masih samar itu terlarang. Sebagian barang
ada yang tidak dapat dilepaskan dari kesamaran.
c. Hikmah Larangan Menjual Buah Yang Masih Hijau
Latar
belakang timbulnya larangan menjual buah yang belum nyata baiknya
adalah adanya hadits yang diriwayatkan dari Zaid bin Tsabil r.a “adalah
di masa Rasulullah Saw, manusia menjual beli buah-buahan sebelum tampak
kebaikannya. Apabila manusia telah bersungguh-sungguh dan tiba saatnya
pemutusan perkara mereka, maka berkatalah si pembeli “masa telah menimpa
buah-buahan, telah menimpanya apa yang merusakannya”. Mereka
menyebutkan cacat-cacat berupa kotoran dan penyakit ketika mereka
semakin banyak bertengkar dihadapan Nabi Saw, maka beliau pun berkata
“janganlah kamu menjual kurma sehingga tampak kebaikannya (matang)”.[8]
Apabila kita perhatikan latar belakang larangan tersebut, maka hikmah yang dapat kita ambil adalah :
1. Mencegah timbulnya pertengkaran (mukhashamah) akibat kesamaran.
2. Melindungi pihak pembeli, jangan sampai menderita kerugian akibat pembelian buah-buahan yang rusak sebelum matang.
3. Memelihara
pihak penjual jangan sampai memakan harta orang lain dengan cara yang
bathil, sehubungan dengan pesan Rasulullah Saw :
لَوْبِعْتَ
مِنْ اَحِيْكَ ثَمَرًا فَأَ صَابَتْهُ حَائِجَةٌ, فَلاَ يَحِلُّ لَكَ أَنْ
تَأْ خُذَ مِنْهُ شَيْأً, بِمَا تَاءْ خُذُ مَالَ اضَحِيْكَ بِغَيْرِ
حَقٍّ ؟ (رواه مسلم)
“Jika
engkau jual kepada saudaramu buah lalu ditimpa bahaya, maka tidak boleh
engkau ambil daripadanya sesuatu. Dengan jalan apa engkau mengambil
harta saudaramu degan tidak benar?”. (HR. Muslim)
4. Menghindarkan
penyesalan dan kekecewaan pihak penjual jika ternyata buah muda yang di
jual dengan harga murah itu memberikan keuntungan besar kepada pembeli
setelah buah itu matang dengan sempurna.[9]
Hukum
yang telah ditetapkan oleh fuqaha ini, tidak berlaku untuk buah atau
tanaman yang memang bisa dimanfaatkan atau di makan ketika masih hijau
seperti misalnya : jagung, mangga, pepaya, dan tanaman lain yag masanya
di petik sesudah matang, tetapi bisa juga di petik waktu muda untuk
dinikmati dengan cara-cara tertentu. Jika buah ini memang dimaksudkan
dengan jelas untuk di makan selagi muda, tidak mengandung kesamaran (gharar)
tidak ada unsur penipuan yang mengandung pertengkaran dikemudian hari,
serta tidak mengakibatkan resiko, sehingga tidak memakan harta orang
lain dengan cara yang bathil, hukumnya sama dengan buah yang sudah
nampak baiknya.
III. KESIMPULAN
Pada
intinya penjual ijon dalam seluruh madzhab adalah tidak diperbolehkan,
karena pada dasarnya permasalahan ini sudah jelas nass hukum yang berupa
hadits Rasulullah Saw. Hal ini karena permasalahan jual beli ijon sudah
ada sejak zaman Rasulullah dan bukan masalah kontemporer meskipun
prakteknya masih terus berlaku sampai sekarang.
Perbedaan
pendapat yang terjadi pada para fuqaha, sebenarnya berpangkal pada
prinsip yang sama, yaitu sama-sama menjauhi kesamaran dengan segala akibat buruknya. Namun analisa hukumnya yang berbeda.
Abu
Hanifah atau Imam hanafiyah membolehkan menjual buah-buahan yang masih
hijau dengan syarat dipetik, dan tidak membolehkan yang tetap berada di
pohon dengan alasan karena penjualan mengharuskan diserahkan.
Sedang
jumhur dan ulama membolehkan dengan syarat dipetik dengan alasan
menghilangkan dari adanya kerusakan atau adanya serangan hama
yang biasanya terjadi pada buah-buahan sebelum buah bercahaya. Pada
intinya pelarangan jual beli ijon yang tetap berada di pohon adalah
menghindarkan kesamaran (gharar), menghilangkan penipuan yang
mengandung pertengkaran dikemudian hari, serta tidak mengakibatkan
resiko sehingga terhindar dari memakan harta orang lain dengan cara
bathil.
DAFTAR PUSTAKA
A. Mas’adi Ghufron, Drs. M.Ag., Fiqh Muamalah Kontekstual, Rajawali Pers, Jakarta, 2002.
Ali Hasan M., Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Fiqh Muamalah), Rajawali Pres, Jakarta, 2003.
Ibnu Rusyd, Terjemah Bidayatul Mujtahid, CV. As-Sifa, Semarang, 1990.
Ya’qub Hamzah Dr. H; Kode Etik Dagang Menurut Islam (Pola Pembinaan Dalam Hidup Berekonomi), CV. Diponegoro, Bandung, 1992.
Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam, Bina Ilmu, Yogyakarta, 1993.
M. Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, Lentera, Jakarta, 2001.
[1] M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Fiqh Muamalah), Rajawali Pres, Jakarta, 2003, hlm. 115
[2] Hamzah Ya’qub, Kode Etik Dagang Menurut Islam (Pola Pembinaan Dalam Hidup Berekonomi), CV. Diponegoro, Bandung, 1992, hlm. 124
[3] Ibid, hlm. 124
[4] Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, Rajawali Pers, Jakarta, 2002, hlm. 139
[5] Ibnu Rusyd, Terjemah Bidayatul Mujtahid, CV. As-Sifa, Semarang, 1990, hlm. 52
[6] Ghufron A. Mas’adi, op. cit, hlm. 140
[7] Hamzah Ya’qub, op. cit, hlm. 126
[8] Ibnu Rusyd, op. cit, hlm. 54
[9] Hamzah Ya’qub, op. cit, hlm. 127
Tidak ada komentar:
Posting Komentar