Pembentukan
moral yang tinggi adalah tujuan utama dari pendidikan Islam. Pada ulama
telah berusaha menanamkan akhlak yang mulia, meresapkan fadhilah dalam
jiwa manusia, membiasakan mereka berpegang teguh kepada moral yang
tinggi dan menghindari hal-hal yang tercela. Ilmu di masa Rasul dan
khalifah adalah suatu yang paling berharga di dunia. Sedangkan ulama
yang beramal adalah pewaris para Nabi, seseorang tidak akan sanggup
menjalankan mission (tugas-tugas) ilmiah kecuali bila ia berhias dengan
akhlak yang tinggi, jiwanya bersih dari berbagai celaan. Dengan jalan
ilmu dan amal serta kerja yang baik, rohani mereka meningkat naik
mendekati Maha Pencipta yaitu Allah SWT.
Pendidikan
Islam mengutamakan segi kerohanian dan moral, maka segi pendidikan
mental, jasmani, matematik, ilmu sosial dan jurusan-jurusan praktis
tidak diabaikan begitu saja, sehingga dengan demikian pendidikan
tersebut merupakan pendidikan yang komplit dan pendidikan tersebut telah
meninggalkan bekas yang tidak dapat dibantah dibidang keimanan, aqidah
dan pencapaian ilmu karena zat ilmiah itu sendiri. Pada masa Rasul telah
memiliki perkembangan diberbagai bidang, misalnya ilmiah, kesusasteraan
dan kebendaan, tetapi belum sampai ke tingkah rohaniah dan akhlak yang
tinggi seperti yang pernah dicapai oleh kaum muslimin di masa
kejayaannya.
A. Lembaga Pendidikan Pada Masa Rasul dan Khalifah
Adapun
alasan yang muncul bagi penentuan ilmu, yang menuntutnya dijadikan
tugas agama, satu hal yang pasti adalah bahwa ayat-ayat al-Qur’an dan
ucapan Rasul yang menekankan kepentingan belajar bersama fakta, bahwa
simbol sentral dari wahyu Islam adalah sebuah kitab, menjadikan belajar
tidak dapat dipisahkan dari agama yang menjadi tempat utama dimana
pengajaran dilaksanakan dalam Islam adalah masjid, dan sejak dekade
pertama sejarah Islam, lembaga pengajaran sebagian besar tetap tak dapat
dipisahkan dari masjid dan biasanya dibiayai dengan shadaqah agama.
Masjid
mulai berfungsi sebagai sekolah sejak pemerintahan khalifah kedua,
yaitu “Umar” yang mengangkat “penutur” sebagai qashsh untuk masjid di
kota-kota, umpama Kufa, Bashrah, dan Damsyik guna membacakan Qur’an dan
hadits (sunnah Nabi), dari pengajaran awal dalam bahasa dan agama ini
lahirlah sekolah dasar rakyat (Maktab) dan juga pusat pengajaran
lanjutan, yang berkembang menjadi universitas-universitas pertama abad
pertengahan, dan yang akan menjadi model bagi universitas permulaan di
Eropa pada abad 11 dan ke-12.
Tujuan
maktab yang masih bertahan di banyak bagian dunia Islam, yaitu
memperkenalkan remaja dengan ilmu membaca, menulis, dan lebih khusus
dengan prinsip-prinsip agama. Jadi maktab berfungsi disamping sebagai
pusat pendidikan agama dan sastra bagi masyarakat umum, juga sebagai
sesuatu yang lebih menarik bagi studi kita ini tingkat persiapan bagi
lembaga pengajaran lanjutan, dimana sains diajarkan dan dikembangkan.
Pada
masa ini pula, muncul kelompok tabi’in yang berguru pada lulusan awal,
di antara yang paling terkenal adalah Rabi’ah al-Razi yang membuka
pertemuan ilmiah di Masjid Nabawi, adapun murid-muridnya adalah Malik
bin Anas al-Asbahi pengarang kitab “al-Muwatta”
dan pendiri mazhab Maliki. Sedangkan ulama-ulama tabi’in adalah Sa’id
bin al-Musayyab, Urwah bin al-Zubair, Salim Mawla bin Umar dan
lain-lain. Di antara yang belajar pada Ibnu Abbas adalah Mujahid (w. 105
H), Sa’id bin Jubair (w. 94 H), Ikrimah Mawla ibn Abbas, Tawus
al-Yammani, ‘Ata bin Abi Rabah, semuanya dari Mekah. Di antara tabi’in
itu juga adalah al-Hasan al-Basri yang belajar pada Rabi’ah al-Ra’y di
Madinah, kemudian kembali ke Bashrah yang dikunjungi oleh
penuntut-penuntut ilmu dari seluruh pelosok negeri Islam.
Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam
Ketika
agama Islam diturunkan Allah, sudah ada di antara para sahabat yang
pandai tulis baca. Kemudian tulis baca tersebut ternyata mendapat tempat
dan dorongan yang kuat dalam Islam, sehingga berkembang luas di
kalangan umat Islam. Ayat al-Qur’an yang pertama diturunkan, telah
memerintahkan untuk membaca dan memberikan gambaran bahwa kepandaian
membaca dan menulis merupakan sarana utama dalam pengembangan ilmu
pengetahuan dalam pandangan Islam. Kepandaian tulis baca dalam kehidupan
sosial dan politik umat Islam ternyata memegang peranan penting, sejak
nama Nabi Muhammad saw digunakan sebagai media komunikasi dakwah kepada
bangsa-bangsa di luar bangsa Arab, dan dalam menuliskan berbagai macam
perjanjian. Pada masa Khulafaur Rasyidin dan masa-masa selanjutnya tulis
baca digunakan dalam komunikasi ilmiah dan berbagai buku ilmu
pengetahuan. Karena tulis baca semakin terasa perlu, maka maktab
berbagai tempat belajar, menulis dan membaca, terutama bagi anak-anak,
berkembang dengan pesat. Pada mulanya, di awal perkembangan Islam maktab
tersebut dilaksanakan di rumah guru-guru yang bersangkutan dan yang
diajarkan adalah semata-mata menulis dan membaca, sedangkan yang ditulis
atau dibaca adalah syair-syair yang terkenal pada masanya.
Lembaga Pendidikan Islam Sebelum Berdirinya Sekolah
Amalan
Rasulullah saw diikuti oleh para sahabat dan pengikut-pengikutnya dan
juga kaum muslimin kemudian semakin berkembang negara Islam, semakin
banyak pula masjid didirikan untuk memainkan peranannya yang penting
dalam masyarakat. Pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, negeri Parsi,
Syam, Mesir dan seluruh semenanjung tanah Arab ditaklukkan,
masjid-masjid didirikan di semua kampung sebagai tempat ibadah dan pusat
pendidikan Islam.
B. Pusat Pendidikan Islam Pada Masa Rasul dan Khalifah
Bahwa
meluasnya daerah kekuasaan Islam dibarengi dengan usaha penyampaian
ajaran Islam kepada penduduknya oleh para sahabat, baik yang ikut
sebagai anggota pasukan maupun yang kemudian dikirim oleh khalifah
dengan tugas khusus mengajar dan mendidik, maka di luar Madinah,
dipusat-pusat wilayah yang baru dikuasai, berdirilah pusat pendidikan
dibawah pengurusan para sahabat yang kemudian dikembangkan oleh para
tabi’in.
Mahmud Yunus dalam bukunya “Sejarah Pendidikan Islam” menerangkan bahwa pusat pendidikan tersebar di kota-kota besar seperti:
1. Kota Makkah dan Madinah (Hijaz)
2. Kota Bashrah dan Kuffah (Irak)
3. Kota Damsyik dan Palestina (Syam)
4. Kota Fistat (Mesir).
Pada
masa itu pula timbullah madrasah, madrasah yang masih merupakan sekedar
tempat memberikan pelajaran dalam bentuk khalaqah di masjid atau tempat
pertemuan yang lain.
C. Madrasah-Madrasah yang Terkenal dan Para Tokohnya
1. Madrasah Makkah
Guru
pertama yang mengajar di Makkah adalah Mu’ad bin Jabal, pada masa
khalifah Abdul Malik bin Marwan (65-86 H). Abdullah bin Abbas pergi ke
Makkah, lalu dia mengajar tafsir, hadits, fiqih, dan sastra. Abdullah
bin Abbas adalah pembangun madrasah Makkah. Di antara murid Ibn Abbas
yang menggantikannya sebagai guru di madrasah Mekkah adalah Mujahid bin
Jabar (seorang ahli tafsir al-Qur’an yang meriwayatkannya dari Ibn
Abbas), Atak bin Abu Rabah (ahli dalam fiqh), dan Tawus bin Kaisan
(seorang fuqaha) dan mufti di Makkah, dan seterusnya diwariskan kepada
muridnya juga.
2. Madrasah Madinah
Di
sinilah madrasah termasyhur, karena khalifah Abu Bakar, Umar dan Usman
serta banyak pula sahabat Nabi yang mengajar. Seperti Umar bin Khattab,
Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Sabit dan Abdullah bin Umar. Zaid bin Sabit
adalah seorang ahli qiraat dan fiqih, beliau mendapat tugas memimpin
penulisan kembali al-Qur’an, baik di zaman Abu Bakar ataupun Usman bin
Affan. Sedangkan Abdullah bin Umar adalah ahli hadits, beliau juga
sebagai pelopor madzhab Ahl al-Hadits yang berkembang.
Adapun ulama-ulama sahabat yang gugur kemudian digantikan muridnya adalah :
a. Sa’ad bin Musyayab
b. Urwah bin al-Zubair bin al-Awwan.
3. Madrasah Bashrah
Ulama
sahabat yang terkenal di Bashrah adalah Abu Musa al-Asy’ari (sebagai
ahli fiqih, hadits dan ilmu al-Qur’an). Sedangkan Anas bin Malik
(terkenal dalam ilmu Hadits), guru yang terkenal adalah Hasan al-Basari
dan Ibn Sirin. Hasan al-Basri disamping seorang ahli fiqh, ahli pidato
dan kisah, juga terkenal sebagai seorang ahli pikir dan ahli tasawuf. Ia
dianggap sebagai perintis mazhab ahl as-sunnah dalam lapangan ilmu
kalam. Sedangkan Ibn Sirin adalah seorang ahli hadits dan fiqh yang
belajar langsung dari Zaid bin Sabit dan Anas bin Malik.
4. Madrasah Kufah
Di
Kufah ada Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Mas’ud. Ali bin Abi
Thalib mengurus masalah politik dan urusan pemerintahan, sedangkan
Abdullah bin Mas’ud sebagai guru agama. Ibn Mas’ud adalah utusan resmi
khalifah Umar untuk menjadi guru agama di Kufah. Beliau adalah seorang
ahli tafsir, ahli fiqh dan banyak meriwayatkan hadits Nabi saw, di
antara murid Ibn Mas’ud yang terkenal adalah Alqamah, al-Aswad, Masruq,
al-Haris bin Qais dan Amr bin Syurahbil. Madrasah Kufah ini kemudian
melahirkan Abu Hanifah salah imam mazhab yang terkenal dengan penggunaan
ra’yu dalam berijtihad.
5. Madrasah Fistat (Mesir)
Tokohnya
Abdullah bin Amr bin al-As. Ia adalah seorang ahli hadits, ia tidak
hanya menghafal hadits yang didengarnya dari Nabi Muhammad saw saja,
melainkan juga menuliskannya dalam bentuk catatan, sehingga ia tidak
lupa dalam meriwayatkan hadits kepada para muridnya. Guru termasyhur
setelahnya adalah Yazid bin Abu Habib al-Huby dan Abdullah bin Abu
Ja’far bin Rabi’ah. Di antara murid Yazid yang terkenal adalah Abdullah
bin Lahi’ah dan al-Lais bin Sa’id.
D. Cara Pengajaran / Penyampaian Ilmunya
Ada empat orang Abdullah yang besar sekali jasanya dalam mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada muridnya, yaitu :
1) Abdullah bin Umar di Madinah
2) Abdullah bin Mas’ud di Kufah
3) Abdullah bin Abbas di Makkah
4) Abdullah bin Amr bin al-Ash di Mesir.
Sahabat-sahabat
itu tidak menghafal semua perkataan Nabi dan tidak melihat semua
perbuatannya. Dia hanya menghafal setengahnya. Maka oleh karena itu,
kadang-kadang hadits yang diajarkan oleh ulama di Madinah belum tentu
sama dengan hadits yang diajarkan ulama di Makkah. Oleh sebab itu, para
pelajar harus belajar di luar negerinya untuk melanjutkan studi.
Misalnya, pelajar Mesir melawat ke Madinah, pelajar Madinah melawat ke
Kufah dan lain-lain seperti hadits Nabi :
طَلَبُ الْعِلْمِ وَلَوْ بِالسِّنّ
“Carilah ilmu walaupun sampai ke negeri Cina”.
Yang
dimaksud di sini adalah pengajaran ilmu al-Qur’an dan sunnahnya. Pada
awalnya saat permulaan turunnya al-Qur’an Nabi mengajarkan Islam secara
sembunyi-sembunyi. Mereka berkumpul membaca al-Qur’an dan memahami
kandungan setiap ayat yang diturunkan Allah dengan jalan bertadarus.
Pengajaran
al-Qur’an tersebut berlangsung terus sampai Nabi Muhammad saw bersama
pada sahabatnya hijrah ke Madinah. Sejalan dengan itu, berpindahlah
pusat pengajaran al-Qur’an ke Madinah. Penghafalan dan penulisan
al-Qur’an berjalan terus sampai masa akhir turunnya. Dengan demikian
al-Qur’an menjadi bagian dari kehidupan mereka. Selanjutnya untuk
memantapkan al-Qur’an dalam hafalannya, Nabi Muhammad saw sering
mengadakan ulangan terhadap hafalan-hafalan mereka.
Al-Qur’an
adalah dasar pengajaran, fondasi semua kebiasaan yang akan dimiliki
kelak. Sebabnya ialah segala yang diajarkan pada masa muda seseorang,
berakar lebih dalam dari pada yang lainnya.
Sedangkan
pada masa Khulafaur Rasyidin, cara pengajaran dan penyampaian ilmunya
masih sama pada masa Nabi Muhammad saw, yaitu meneruskan jejak Nabi.
KESIMPULAN
Kesimpulannya
bahwa sejarah pendidikan Islam di masa Rasul dan Khulafaur Rasyidin
sangat menekankan pada pemahaman dan penghafalan al-Qur’an. Pada masa
ini keilmuan yang berkembang belum terlalu meluas seperti pada masa
setelahnya. Adapun cara pengajarannya sangat sederhana yaitu dengan
bertatapan langsung antara pendidik dan peserta didiknya, sehingga
pelajaran lebih cepat dipahami.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Abrasjy, Muhammad Athijah, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1970.
Fadjar, Abdullah, Peradaban dan Pendidikan Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 1991.
Fahmi, Asma Hasan, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Langgulung, Hasan, Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke-21, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1988.
Nasr, Sayyed Hossein, Sains dan Peradaban di dalam Islam, Bandung: Penerbit Pustaka, 1986.
Zuharini, dkk., Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1986.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar