BAB I
PENDAHULUAN A.Latar Belakang
Dalam khazanah peradaban Islam persolan bahasa dan logika muncul ketika terjadi perdebatan tentang kata dan makna antara Abu sa’id al-Syirafi (893-950 M) dengan Abu Bisyr Matta (870-940 M). menurut sl-Syirafi yang ahli bahasa, kata muncul lebih dahulu daripada makna, dan setiap bahasa lebih merupakan cerminan dari budaya masyarakat masing-masing. Sebaliknya, menurut Abu Bisyr Matta, makna ada lebih dahulu disbanding kata, begitu pula logika muncul lebih dahulu daripada bahasa. Makna dan logiika inilah yang menentukan kata dan bahasa, bukan sebaliknya.
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia dapat berinteraksi secara aktif dan melakukan transformasi dengan sesamanya tak lain karena ia memiliki akal untuk berfikir. Al-Qur’an yang merupakan sumber autentik dan absolut, yang tak diragukan lagi kebenaranya sangat menghargai peranan akal ini. Bahkan, pertanyaan yang berupa seruan “untuk selalu berfikir” bagi seseorang sangat banyak sekali dijumpai dalam berbagai ayat, di antaranya : Al-Baqarah: 44, 76, Ali Imran: 65, Al-An’am: 32, Al-A’raf: 169, Hud: 51, Yusuf: 109, Al-Anbiya’: 67, Al-Mukminun: 80, Al-Qashash: 60, Shaffat: 138 (Lihat. Fathurrahman, pada sub kalimat “afalaa ta’qilun”).
Akal merupakan suatu sarana super canggih, dikaruniai Tuhan kepada manusia, tidak kepada makhluk lainnya. Dengan akal manusia dapat mengetahui sesuatu yang belum diketahuinya. Atau memahami lebih mendalam lagi sesuatu yang telah diketahuinya, baik tentang dirinya maupun hakikat alam dan rahasia yang terkandung di dalamnya. Manusia karena akalnya menjadi makhluk unik yang senantiasa terdorong untuk berfikir sepanjang hayatnya sesuai dengan kemampuan befikir yang dimilikinya.
Ketika manusia itu masih diberi kehidupan, dan hidup dalam keadaan normal, selama itu pula aktivitas berfikir tidak akan terlepas darinya. Manusia termasuk anda selalu berambisi untuk mencari kebenaran dengan jalan berpikir. Pada saat itulah ilmu logika berperan penting dalam mencari suatu kebenaran.
Rene Descartes, seorang tokoh rasionalisme berkata: “Aku berfikir, karena itu aku ada”. Bahkan dalam teori pensyariatan hukun Islam, teori logika — yang jelas menggunakan nalar—, sama sekali tak dapat “melepaskan diri” dari apa yang kita sebut sebagai logika tadi. Begitu pula ahlu al-ra’yu (logika/mantiq) dan ahlu al-qiyas (analogi) memandang syariat itu sebagai pengertian yang masuk akal dan dipandangnya sebagai asal yang universal yang diisyaratkan oleh Al-Qur’an al-Karim. (Lihat tarikh at-Tasyri’, hlm. 366)
Dalam teori ijtihad, Imam Syafi’ie, ketika memahami al-Qur’an maupun Sunnah ada istilah dilalah ghairu mandhum (penunjukan kalimat terhadap makna dengan menggunakan lafdh yang tidak sharih) yang tentunya dibutuhkan analisis ‘berfikir tepat’ dalam memahaminya.(Lih. Modifikasi Hukum Islam, hlm. 35).
Contoh di atas sengaja penulis paparakan, sekali lagi, tak lain hanyalah untuk menekankan bahwa signifikansi akal teramat krusial sebagai langkah untuk memperoleh kredibilitas dan akuntabilitas dalam memecahkan dan membuat kesimpulan pada setiap persoalan kehidupan.
Akan tetapi, hasil pemikiran manusia, meskipun dengan menggunakan akal tidak selalu benar. Hasil pemikirannya, kadang-kadang salah meskipun ia telah bersungguh-sungguh berupaya mencari yang benar. Kesalahan itu bisa saja terjadi tanpa unsur kesengajaan. Jika hal itu memang terjadi, maka ia telah mendapat pengetahuan yang salah meskipun ia yakin akan kebenarannya.
Oleh karena itu, supaya manusia aman dari kekeliruan berfikir dan selamat dari mendapat kesimpulan yang salah, maka disusunlah kaidah-kaidah berfikir atau metodologi berfikir ilmiah yang kita kenal ilmu logika atau manthiq. Bahkan, Syeh Abdurrahman al-Akkhdari dalam Al-Mandhumah Sullam al-Munawraq mengatakan bahwa peran ilmu mantiq atau logika seperti halnya “nahwi li allisan” (grammar dalam pegucapan).
Maka setidaknya, itulah yang menjadi latar belakang penulisan makalah ini, meskipun di dalamnya hanya menyinggung sebagaian kecil dari ilmu logika itu sendiri, seperti arti, obyek, bagian, dan manfaatnya.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian di atas, penulis dapat memberikan rumusan masalah dalam makalah ini menjadi beberapa topik, yakni:
1.apakah pengertian logika itu?
2.bagaimana sejarah munculnya ilmu logika?
3.apa saja obyek dan pembagian logika?
4.mengapa logika penting untuk dipelajari?
BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian Logika
Kata logika menurut kamus berarti cabang ilmu pengetahuan yang mengamati tentang prinsip-prinsip pemikiran deduktif dan induktif. Kata logika menurut istilahnya berarti suatu metode atau teknik yang diciptakan untuk meneliti ketepatan penalaran. Maka untuk memahami apakah logika itu haruslah mempunyai pengertian yang jelas tentang penalaran, penalaran adalah suatu bentuk pemikirann yang meliputi tiga unsur, yaitu konsep pernyataan dan penalaran.
Logika adalah bahasa Latin berasala dari kata “logos” yang berarti perkataan atau sabda. Istilah lain digunakan sebagai gantinya adalah “mantiq”, kata Arab yang diambil dari kata kerja “nathaqa” yang berarati berkata atau berucap. Dalam bahasa sehari-hari kita sering mendengar ungkapan serupa: ‘alasannya tidak logis’, ‘argumentasi logis’, ‘kabar itu tidak logis’. Yang dimaksud dengan logis adalah masuk akal, dan tidak logis adalah sebaliknya.
Dalam buku Logicand Language of Education mantiq disebut sebagai “penyelidikan tentang dasar-dasar dan metode-metode berfikir benar, sedangkan dalam kamus Munjid disebut sebagai hukum yang memelihara hati nurani dari kersalahan dalam berfikir. Sedangkan Irving. M. Copi menyatakan, “logika adalah ilmu yang mempelajari metode dan hukum-hukum yang digunakan untuk membedakan penalaran yang betul dari penalaran yang salah.”
Dalam keterangan lain disebutkan bahwa perkataan logika adalah berasal dari kata sifat “logike” (bahasa Yunani) yang berhubungan dengan kata benda logos, yang artinya pikiran atau kata sebagai pernyataan dari pikiran itu. Hal ini menunjukkan adanya hubungan yang erat antara pikiran dan kata yang merupakan pernyataannya dalam bahasa. Jadi logika adalah ilmu yang mempelajari pikiran yang dinyatakan dalam bahasa.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ilmu mantiq atau logika adalah ilmu tentang kaidah-kaidah yang dapat membimbing manusia ke arah berfikir secara benar yang menghasilkan kesimpulan yang benar sehingga ia terhindar dari berfikir secara keliru yang menghasilkan kseimpulan salah. Hal ini tentunya, disebabakan bahwa dalam berfikir, manusia tidak selalu benar serta acapkali terjerumus dalam sikap skeptis dan terjebak dalam kesalahan berfikir dengan tanpa terasa. Bahkan akal satu-satunya bentuk yang indah, karena akal paling penting dalam pandangan Islam. Oleh karena itu, Allah swt selalu memuji orang-orang yang berakal sebagaimana firman-Nya dalm surat al-Baqarah ayat 164 dan surat Ar-Ra’d ayat 3-4.
Atau sederhananya, ilmu ini bisa disebut pula sebagai studi sistematik tentang struktur proposisi dan syarat-syarat umum mengenai penalaran yang shahih dengan menggunakan metode yang mengesampingkan isi atau bahan proposisi dan hanya membahas bentuk logisnya saja.
Dengan demikian, maka tak heran jika Al-Farabi menjuluki ilmu logika atau mantiq ini dengan dasar ilmu-ilmu (raisul uluum), Ibnu sina menjulukinya sebagai khadim al-uluum, dan sebagian yang lain menjulukinya sebagai ilmu akal.
B.Sejarah Munculnya Ilmu Logika
Nama logika pertama kali muncul pada Filsuf Cicero (abad ke-1 sebelum Masehi) tetapi dalam arti “seni berdebat”. Alexander Aphrodisias (sekitar permulaan abad ke-3 sesudah Masehi) adalah orang pertama yang mempergunakan kata ‘logika’ dalam arti ilmu yang menyelidiki lurus tidaknya pemikiran kita.
Yunani adalah negeri asal ilmu mantiq atau logika karena banyak penduduknya yang mendapat karunia otak cerdas. Negeri Yunani, terutama Athena diakui menjadi sumber berbagai ilmu. Socrates, Plato, Aristoteles dan banyak yang lainnya adalah tokoh-tokoh ilmiah kelas super dunia yang tidak ada ilmuwan nasional dan internasional tidak mengenalnya sampai sekarang dan akan datang. Tetapi, khusus untuk logika atau ilmu mantiq Aristoteleslah yang menjadi guru utamanya.
Akan tetapi, meski Aristoteles terkenal sebagai “Bapak Logika”, itu tidak berarti bahwa sebelum dia tidak ada logika. Segala orang ilmiah dan ahli filosofi sebelum Aristoteles menggunakan logika sebaik-baiknya. Dalam literatur lain, disebutkan bahwa Aristoteleslah orang yang pertama kali meletakkan ilmu logika, yang sebelumnya memang tidak pernah ada ilmu tentang logika tersebut. Maka tak heran jika ia dijuluki sebagai “Muallim Awwal” (Guru pertama). Bahkan Filosof Besar Immanuel Kant mengatakan 21 abad kemudian, bahwa sejak Aristoteles logika tidak maju selangkah pun dan tidak pula dapat mundur.
Sepintas, ada beragam pendapat tentang siapa peletak pertama ilmu logika ini. Akan tetapi jika ditelisik lebih mendalam, maka akan tampak suatu benang merah bahwa sebelum Aristoteles memang ada logika, akan tetapi ilmu logika sebagai ilmu yang sistematis dan tersusun resmi baru muncul sejak Aristoteles, dan memang dialah yang pertama akali membentangkan cara berfikir yang teratur dalam suatu sistem.
Kecerdasan penduduk Yunani itulah barangkali yang telah menyebabkan antara lain, lahirnya kelompok Safshathah. Kelompk ini dengan ketangkasan debat yang mereka miliki menghujat dan malah merusak sistem sosial, agama dan moral dengan cara mengungkap pernyataan-pernyataan yang kelihatannya sebagai benar, tetapi membuat penyesatan-penyesatan pemikiran nilai dan moral.
Di antara pernyataan-pernyataan mereka adalah:
Kebaikan adalah apa yang Anda pandang baik
Keburukan adalah apa yang anda pandang buruk
Apa yang diyakini benar oleh seseorang, itulah yang benar buat dia
Apa yang diyakini salah oleh seseorang, itulah yang salah buat dia
Aristoteles (384 –322 SM.) berusaha mengalahkan mereka secara ilmiah dengan pernyataan-pernyataan logis yang brilian. Pernyataan itu ia peroleh melalui diskusi dengan murid-muridnya. Karya Aristoteles itu sangat dikagumi pada masanya dan masa sesudahnya sehingga logika dipelajari di setiap perguruan. Plato (427-347 SM.), Murid Socrates hanya menambahnya sedikit. Immanuel Kant (1724-1804 M) pemikir terbesar bangsa Jerman menyatakan bahwa logika yang diciptakan Aristoteles itu tidak bisa ditambah lagi walau sedikit karena sudah cukup sempurna.
Logika formal merupakan hasil ciptaan Aristoteles yang dirintis oleh retorika kaum Shofis dan dialektika yang umum digunakan untuk menimbang-nimbang pada masa hidup Plato. Inti pokok logika Aristoteles ialah ajarannya mengenai penalaran dan pembuktian. Baginya, penalaran pertama-tama merupakan silogisme yang di dalamnya berdasar dua buah tanggapan orang menyimpulkan tanggapan ketiga. Untuk dapat secara lurus melakukan penyimpulan ini perlu diketahui mengenai hakikat tanggapan, ada tanggapan singular dan tanggapan particular.
Akan tetapi Konsili Nicae (325 M), menyatakan menutup pusat-pusat pelajaran filsafat Grik di Athena, Antiokia dan Roma. Pelajar logika juga dilarang kecuali bab-bab tertentu saja yang dipandang tidak merusak akidah kristiani. Hal ini merupakan pukulan mematikan bagi filsafat Yunani dan sekaligus logika. Sejak masa itu sampai hampir seribu tahun lamanya alam pemikiran di Barat menjadi padam, sehingga dikenal dengan zaman Drak Ages (zaman gelap).
Pada abad ke-7 Masehi berkembanglah agama islam di jazirah Arab dan pada abad ke-8, agama ini telah dipeluk secara meluas ke Barat sampai perbatasan Perancis sampai Thian Shan. Dizaman kekuasaan khalifah Abbasiyyah sedemikian banyaknya karya-karya ilmiah Yunani dan lainnya diterjemahkan ke dalam bahasa, sehingga ada suatu masa dalam sejarah islam yang dijuluki dengan Abad Terjemahan. Logika karya Aristoteles juga diterjemahkan dan diberi nama Ilmu Mantiq.
Di antara ulama dan cendikiawan muslim yang terkenal mendalami, menerjemah dan mengarang di bidang ilmu Mantiq adalah Abdullah bin Muqaffa’, ya’kub Ishaq Al-Kindi, Abu Nasr Al-farabi, Ibnu Sina, Abu Hamid Al-Gahzali, Ibnu Rusyd, Al-Qurthubi dan banyak lagi yang lain. Al-Farabi, pada zaman kebangkitan Eropa dari abad gelapnya malah dijuluki dengan Guru Kedua Logika.
Kemudian menyusullah zaman kemunduran dibidang mantiq atau logika karena dianggap terlalu memuja akal. Di antara ulama-ulama besar islam seperti Muhyiddin An-Nawawi, Ibnu Shalah, Taqiyuddin ibnu Taimiyah, Syadzuddin at-Taftsajani malah mengharamkan mempelajari ilmu mantiq. Namun komunitas ulama dan cendikiawan Muslim membolehkan bahkan menganjurkan untuk mempelajarinya sebagai penyempurna dalam menginterpretasikan hadits dan al-Qur’an.
C.Obyek Kajian Logika
Oleh karena yang berfikir itu manusia maka harus dikatakan bahwa lapangan penyelidikan logika ialah manusia itu sendiri. Tetapi manusia ini disoroti dari sudut tertentu, yakni budinya. Begitu pula berfikir adalah obyek material logika. Berfikir di sini adalah kegiatan pikiran, akal budi manusia. Dengan berfikir manusia mengolah, mengerjakan pengetahuan yang telah diperolehnya. Dengan mengolah dan mengerjakannya ini terjadi dengan mempertimbangkan, menguraikan, membandingkan serta menghubungkan pengertian yang satu dengan pengertian yang lainnya.
Jika dilihat dari obyeknya, dikenal sebagai logika formal (Manthiq As-Shuari) dan logika material (al-Manthiq al-maddi). Pemikiran yang benar dapat dibedakan menjadi dua bentuk yang berbeda secara radikal, yakni cara berfikir dari umum ke khusus dan cara berfikir dari khusus ke umum. Cara pertama disebut berfikir deduktif dipergunakan dalam logika formal yang mempelajari dasar-dasar persesuaian (tidak adanya pertentangan) dalam pemikiran dengan mempergunakan hukum-hukum, rumus-rumus, patokan-patokan berfikir benar. Cara berfikir induktif dipergunakan dalam logika material, yakni menilai hasil pekerjaan logika formal dan menguji benar tidaknya dengan kenyataan empiris. Logika formal disebut juga logika minor. Logika material disebut logika mayor.
D.Pembagian logika
Sistematisasi logika dapat diklsaifikasikan menjadi beberapa bagian, tergantung dari mana kita meninjaunya.
Pertama, dari segi obyeknya. Pada bagian ini logika dapat dibedakan menjadi dua, (1) logika formal atau mantiq as-shuwari, (2) logika material atau mantiq al-maddi. Hal ini sudah dijelaskan pada sub “Obyek Logika”.
Kedua, dari segi kualitasnya. Disini Mantiq/logika dapat dibedakan menjadi Naturalis (Mantiq al-Fithri), yaitu kecakapan berlogika berdasarkan kemampuan manusia. Akal manusia yang normal dapat berjalan dan bekerja secara spontan sesuai hokum-hukum logika dasar. Bagaimanapun rendahnya intelegensi seseorang ia dapat membedakan bahwa sesuatu itu adalah berbeda dengan sesuatu yang lain, dan bahwa dua kenyataan yang bertentangan adalah tidak sama.
Tetapi dalam mengahadapi permasalahan yang rumit dan dalam berfikir, manusia banyak dipengaruhi oleh kecendrungan pribadi disamping bahwa pengetahuan manusia sangat terbatas mengakibatkan tidak mungkin terhindar dari kesalahan. Nah, untuk mengatsai kenyataan yang tidak bisa ditanggulangi oleh Mnatiq al-Fitri, manusia menyusun hokum-hukum patokan-patokan , rumus-rumus berfikir lurus. Logika inilah yang disebut dengan Logika Artifisialis atau Logika Ilmiah (Mantiq As-Suri) yang bertugas membantu Mantiq Al-Fitri. Mantiq ini memperhalus, mempertajam, serta menunjukkan jalan pemikiran agar akal dapat bekerja lebih teliti,, efisien, mudah dan aman.
Ketiga, dari segi metodenya, mantiq/logika dapat dibedakan atas Logika Tradisional (Mantiq al-Qadim) dan Logika Modern (Mantiq al-Hadits). Logika tradisional adalah logika Aristoteles, dan logika para Logikus yang lebih kemudian, tetapi masih mengikuti system Logika Aristoteles. Sedangkan Logika Modern tumbuh dan berkembang mulai pada abad XIII. Mulai abad ini ditemukan sistem baru, metode baru yang berlainan dengan sisitem Logika Aristoeteles. Saatnya dimulai sejak Raymundus Lullus menemukan metode baru logika yang disebut Ars magna.
Adapun Logika menurut The Liang Gie (1980) terbagi menjadi lima bagian:
1.Logika makna luas dan logika makna sempit
Dalam arti sempit istilah tersebut dipakai searti dengan deduktif atau logika formal. Sedangkan dalam arti yang lebih luas pemakaiannya mencakup kesimpulan-kesimpulan dari berbagai bukti dan tentang bagaimana sistem penjelasan di susun dalam ilmu alam serta meliputi pula pembahasan mengenai logika itu sendiri.
2.Logika Deduktif dan Induktif
Logika deduktif adalah suatu ragam logika yang mempelajari asas-asas pelajaran yang bersifat deduktif, yakni suatu penalaran yang menurunkan suatu kesimpulan sebagai kemestian dari pangkal pikirnya sehingga bersifat betul menurut bentuknya saja. Logika induktif merupakan suatu ragam logika yang mempelajari asas-asas penalaran yang betul dari sejumlah hal khusus sampai pada suatu kesimpulan umum yang bersifat boleh jadi.
3.Logika Formal dan Material
Logika formal adalah mempelajari asas aturan atau hukum-hukum berfikir yang harus ditaati agar orang dapat berfikir dengan benar mencapai kebenaran. Logika material mempelajari langsung pekerjaan akal serta menilai hasil-hasil logika formal dan mengujinya dengan kenyataan praktis sesungguhnya. Logika material mempelajari sumber-sumber dan asalnya pengetahuan, proses terjadinya pengetahuan dan akhirnya merumuskan metode ilmu pengetahuan itu. Dan sekarang, logika formal adalah ilmu yang mengandung kumpulan kaidah cara berfikir untuk mencapai kebenaran.
4.Logika Murni dan Terapan
Logika murni adalah merupakan suatu pengetahuan mengenai asas dan aturan logika yang berlaku umum pada semua segi dan bagian dari pernyataan-pernyataan dengan tanpa mempersoalkan arti khusus dalam suatu cabang ilmu dari sitilah yang dipakai dalam pernyataan dimaksud. Logika terapan adalah pengetahuan logika yang diterapkan dalam setiap cabang ilmu bidang-bidang filsafat dan juga dalam pembicaraan yang menggunakan bahasa sehari-hari.
5.Logika Falsafati dan Matematik
Logika falsafati dapat digolongkan sebagai suatu ragam atau bagian logika yang masih berhubungan sangat erat dengan pembahasan dalam bidang filsafat, seperti logika kewajiban dengan etika atau logika arti dengan metafisika. Adapun logika matematik serta bentuk lambang yang khusus dan cermat untuk menghindarkan makna ganda atau kekaburan yang terdapat dalam bahasa biasa.
E.Manfaat Logika (Ilmu Mantiq)
Di antara manfaat ilmu mantiq atau logika ialah:
a.membuat daya fikir akal tidak saja menjadi lebih tajam tetapi juga lebih menjadi berkembang melalui latihan-latihan berfikir dan menganalisis serta mengungkap permasalahan secara ilmiah.
b.membuat seseorang menjadi mampu meletakkan sesuatu pada tempatnya dan mengerjakan sesuatu pada waktunya.
c.membuat seseorang mampu membedakan— ini merupakan manfaat yang paling asasi ilmu mantiq atau logika —antara pikir yang benar dan oleh karenanya akan menghasilkan kesimpulan yang benar dan urut pikir yang salah yang dengan sendirinya akan menampilkan kesimpulan yang salah.
F.Analisis Pembahasan
Dari berbagai uraian di atas maka dapatlah ditarik “benang merah” bahwa para pemikir muslim sepaakat bahwa kekuatan akal atau rasionalisme sangat diperlukan dalm kajian-kajian keagamaan. Namun, sampai sejauh mana kemampuan rasio bisa diikuti dan dipakai, inilah yang menjadi persoalan. Sebagian menyatakan bahwa rasio mesti ditempatkan di bawah wahyu, sebaliknya sebagian yang lain menganggap bahwa rasio saja telah cukup untuk membimbing manusia dalam mengenal kebenaran dan Tuhan, wahyu hanya diperlukan sebagai justifikasi penemuan akal.
Bertolak dari berbagai pendapat para pemikir muslim tersebut, ada beberapa catatan yang perlu disampaikan dalam analisis ini, yakni tentang cacat dan kelemahan dari penalaran logika yang di dalamnya menggunakan prinsip silogisme. Artinya, meskipun kekuatan nalar burhani ini sangat diperlukan dalam kajian keislaman, ternyata banyak mengandung kelemahan-kelemahan.
1.Prinsip silogisme burhani yang diambil dari Aristoteles yang lebih mengutamakan sesuatu yang rasional dan kebenaran yang empiris, secara tidak langsung berarti telah membatasi keberagaman serta keluasan realitas. Kenyataannya, realitas tidak hanya pada apa yang konkret, yang tertangkap indera, tetapi ada juga realitas yang di luar itu, seperti jiwa dan konsep mental. Artinya, di sini ada kebenaran-kebenaran lain yang tidak bisa didekati dengan silogisme, seperti dikatakan Suhrawardi.
2.Silogisme tidak bisa menjelaskan atau menyimpulkan eksisitensi empiris di luar pikiran seperti soal warna, rasa, bau atau bayangan. Artinya, tidak semua keadaan atau objek diungkap lewat silogisme sebagimana kritik yang disampaikan Suhrawrdi dan Leibniz (1646-1716 M). (Lorens Bagus, 1996 : 87)
3.Prinsip logika burhani yang menyatkan bahwa atribut sesuatu harus didefinisikan oleh atribut yang lain akan menggiring pada proses tanpa akhir, ad infinitum. Itu berarti tidak akan ada absurditas yang bisa diketahui. Logika burhani, dengan prinsip silogisme-nya, seperti dikritik Suhrwardi, sebenarnya tidak memberikan apa-apa, tidak menghasilkan pengetahuan baru.
4.Sejalan dengan no. 3, dengan prinsip bahwa kesimpulan yang khusus harus dideduksikan dari pernyataan yang umum, maka apa yang disebut kesimpulan sebenarnya telah tercantum secara implicit pada pernyataan umu yang disebut premis mayor; jika belum ada, maka sia-sialah usaha silogisme tersebut karena sesuatu yang tidak ada tidak akan melahirkan sesuatu yang baru. Ini termasuk kritik yang dilontarkan Bacon (1561-1626 M) dan John Stuart Mill (1806-1873 M) pada logika Aristoteles yang dipakai burhani. (Verhaak, 1997 : 137- 145; Bernard Delfgaaw, 1992 : 108)
5.Silogisme ternyata telah cenderung mengiring penganutnya pad cara berfikir hitam putih, benar salah, sebagaimana yang terjadi dalam model pikiran teologi (ilmu kalam) yang memang banyak menggunakan logika ini. Akibatnya, pemikiran teologi menjadi sangat keras dan mudah menimbulkan konflik, karena tidak mengenal keebenaran pada pihak lain. Kebanaran hanya ada di pihaknya sendiri.
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Dari pembahasan di atas maka dapat disimpulkan beberapa kesimpulan, di antaranya adalah:
a.Logika dapat diartikan sebagai ilmu tentang kaidah-kaidah yang dapat membimbing manusia ke arah berfikir secara benar yang menghasilkan kesimpulan yang benar sehingga ia terhindar dari berfikir secara keliru yang menghasilkan kseimpulan salah. Atau sederhananya, ilmu ini bisa disebut pula sebagai studi sistematik tentang struktur proposisi dan syarat-syarat umum mengenai penalaran yang shahih dengan menggunakan metode yang mengesampingkan isi atau bahan proposisi dan hanya membahas bentuk logisnya saja.
b.Dalam sejarahnya logika muncul secara resmi dan tersusun pada saat Aristoteles melakukan reaksi terhadap paham Shopis yang telah membuat kekaburan dalam masyarakat dengan pemikirannya yang sesat.
c.Obyek logika dapat dibedakan menjadi logika formal (Manthiq As-Shuari) dan logika material (al-Manthiq al-maddi). Cara pertama disebut berfikir deduktif dipergunakan dalam logika formal. Cara berfikir induktif dipergunakan dalam logika material. Logika formal disebut juga logika minor dan material disebut juga logika mayor.
Sedangan pembagian logika dapat dikelompokkan menjadi (a) logika makna luas dan logika makna sempit, (b) logika deduktif dan induktif, (c) logika formal dan logika material, (d) logika murni dan terapan, (e) logika falsafati dan logika matematik.
d.Manfaat yang paling asasi mempelajari ilmu logika adalah untuk membuat seseorang mampu membedakan antara berpikir yang benar dan oleh karenanya akan menghasilkan kesimpulan nyang benar dan terhindar dari kesimpulan yang salah.
e.Logika burhani (prinsip silogisme) ternyata juga memiliki banyak cacat dan kelemahan sebagaimana pada sub bab “Analisis Pembahasan”. Itulah barangkali yang menyebabakan sebagian para pemikir muslim mengklaim haram untuk mempelajari ilmu mantiq.
B. Saran dan Harapan
Dengan membaca makalah ini penulis berharap semoga kita dapat berfikir tepat dan benar sehingga terhindar dari kesimpulan yang salah dan kabur. Setidaknya dengan makalah ini, ada semacam pencerahan intelektual dan menyuguhkan motivasi yang intrinsik untuk segera mempelajari ilmu logika sehingga kita dapat meminimalisasi kesalahan dalam berfikir.
Tentunya, dalam makalah ini akan ditemukan kelemahan-kelemahan atau bahkan kekeliruan. Dengan itu, penulis sangat berharap adanya masukan dari pembaca dan kritik konstruktif sebagai upaya pembangunan mental guna penyelesaian pada makalah-makalah selanjutnya. Dan, hal itu penulis harapkan dengan kerendahan hati dan ketulusan jiwa.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ahdhari, Abdurrahman, Mandhumah Sullam al- Munawraq fi Ilmi al-Manthiq, Dar Hifdh Assalafiyah, t.tp.
Aziz, Muhammad Ali, Logika, Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel, 1993
Bagus, Lorens, Kanus Filsafat, Jakarta, Gramedia, 1996
Baihaqi, AK, Ilmu Mantiq Teknik dasar Berfikir Logik, Jakarta, Dar Ulum Press, cet-2, 2001
Bernard Delfgaauw, Sejarah Ringkas Filsafat Barat, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1992, cet-1
Dahlan, Mohammad dkk., Kamus Induk Ilmiah, Surabaya, Target Press, 2003
Mohammad Hata, Alam Pikiran Yunani, Jakarta, UI-Press, cet-3, 1986
Mundiri, Logika, Jakarta: PT. Raja Garfindo Persada, 2001
Nur Ibrahimi, Mohammad, Ilmul Mantiq, Surabaya, Sa’ad Bin Nashir Nubhan, t.th.
Poejawijatna, Logika Filsafat Berfikir, Jakarta, PT. Rineka Cipta, cet-7, 1992
Syeh Hadi, Naqd al_Araa’ al-Manthiqiyyah wa Hilli Musykilatihaa, t.tp. t.th.
Soekadijo, Logika Dasar, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1991
A. Khudari Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004
Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Jakarta, Bumi Aksara, cet-1, 2005
Verhaak, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta, Gramedia, 1997
Zaini Dahlan dkk., Filsafat Hukum Islam, Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, 1987
Zuhri, Muhammad, Tarjamah Tarikh Tasyri’, Semarang, Darul Ihya’, 1980
PENDAHULUAN A.Latar Belakang
Dalam khazanah peradaban Islam persolan bahasa dan logika muncul ketika terjadi perdebatan tentang kata dan makna antara Abu sa’id al-Syirafi (893-950 M) dengan Abu Bisyr Matta (870-940 M). menurut sl-Syirafi yang ahli bahasa, kata muncul lebih dahulu daripada makna, dan setiap bahasa lebih merupakan cerminan dari budaya masyarakat masing-masing. Sebaliknya, menurut Abu Bisyr Matta, makna ada lebih dahulu disbanding kata, begitu pula logika muncul lebih dahulu daripada bahasa. Makna dan logiika inilah yang menentukan kata dan bahasa, bukan sebaliknya.
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia dapat berinteraksi secara aktif dan melakukan transformasi dengan sesamanya tak lain karena ia memiliki akal untuk berfikir. Al-Qur’an yang merupakan sumber autentik dan absolut, yang tak diragukan lagi kebenaranya sangat menghargai peranan akal ini. Bahkan, pertanyaan yang berupa seruan “untuk selalu berfikir” bagi seseorang sangat banyak sekali dijumpai dalam berbagai ayat, di antaranya : Al-Baqarah: 44, 76, Ali Imran: 65, Al-An’am: 32, Al-A’raf: 169, Hud: 51, Yusuf: 109, Al-Anbiya’: 67, Al-Mukminun: 80, Al-Qashash: 60, Shaffat: 138 (Lihat. Fathurrahman, pada sub kalimat “afalaa ta’qilun”).
Akal merupakan suatu sarana super canggih, dikaruniai Tuhan kepada manusia, tidak kepada makhluk lainnya. Dengan akal manusia dapat mengetahui sesuatu yang belum diketahuinya. Atau memahami lebih mendalam lagi sesuatu yang telah diketahuinya, baik tentang dirinya maupun hakikat alam dan rahasia yang terkandung di dalamnya. Manusia karena akalnya menjadi makhluk unik yang senantiasa terdorong untuk berfikir sepanjang hayatnya sesuai dengan kemampuan befikir yang dimilikinya.
Ketika manusia itu masih diberi kehidupan, dan hidup dalam keadaan normal, selama itu pula aktivitas berfikir tidak akan terlepas darinya. Manusia termasuk anda selalu berambisi untuk mencari kebenaran dengan jalan berpikir. Pada saat itulah ilmu logika berperan penting dalam mencari suatu kebenaran.
Rene Descartes, seorang tokoh rasionalisme berkata: “Aku berfikir, karena itu aku ada”. Bahkan dalam teori pensyariatan hukun Islam, teori logika — yang jelas menggunakan nalar—, sama sekali tak dapat “melepaskan diri” dari apa yang kita sebut sebagai logika tadi. Begitu pula ahlu al-ra’yu (logika/mantiq) dan ahlu al-qiyas (analogi) memandang syariat itu sebagai pengertian yang masuk akal dan dipandangnya sebagai asal yang universal yang diisyaratkan oleh Al-Qur’an al-Karim. (Lihat tarikh at-Tasyri’, hlm. 366)
Dalam teori ijtihad, Imam Syafi’ie, ketika memahami al-Qur’an maupun Sunnah ada istilah dilalah ghairu mandhum (penunjukan kalimat terhadap makna dengan menggunakan lafdh yang tidak sharih) yang tentunya dibutuhkan analisis ‘berfikir tepat’ dalam memahaminya.(Lih. Modifikasi Hukum Islam, hlm. 35).
Contoh di atas sengaja penulis paparakan, sekali lagi, tak lain hanyalah untuk menekankan bahwa signifikansi akal teramat krusial sebagai langkah untuk memperoleh kredibilitas dan akuntabilitas dalam memecahkan dan membuat kesimpulan pada setiap persoalan kehidupan.
Akan tetapi, hasil pemikiran manusia, meskipun dengan menggunakan akal tidak selalu benar. Hasil pemikirannya, kadang-kadang salah meskipun ia telah bersungguh-sungguh berupaya mencari yang benar. Kesalahan itu bisa saja terjadi tanpa unsur kesengajaan. Jika hal itu memang terjadi, maka ia telah mendapat pengetahuan yang salah meskipun ia yakin akan kebenarannya.
Oleh karena itu, supaya manusia aman dari kekeliruan berfikir dan selamat dari mendapat kesimpulan yang salah, maka disusunlah kaidah-kaidah berfikir atau metodologi berfikir ilmiah yang kita kenal ilmu logika atau manthiq. Bahkan, Syeh Abdurrahman al-Akkhdari dalam Al-Mandhumah Sullam al-Munawraq mengatakan bahwa peran ilmu mantiq atau logika seperti halnya “nahwi li allisan” (grammar dalam pegucapan).
Maka setidaknya, itulah yang menjadi latar belakang penulisan makalah ini, meskipun di dalamnya hanya menyinggung sebagaian kecil dari ilmu logika itu sendiri, seperti arti, obyek, bagian, dan manfaatnya.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian di atas, penulis dapat memberikan rumusan masalah dalam makalah ini menjadi beberapa topik, yakni:
1.apakah pengertian logika itu?
2.bagaimana sejarah munculnya ilmu logika?
3.apa saja obyek dan pembagian logika?
4.mengapa logika penting untuk dipelajari?
BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian Logika
Kata logika menurut kamus berarti cabang ilmu pengetahuan yang mengamati tentang prinsip-prinsip pemikiran deduktif dan induktif. Kata logika menurut istilahnya berarti suatu metode atau teknik yang diciptakan untuk meneliti ketepatan penalaran. Maka untuk memahami apakah logika itu haruslah mempunyai pengertian yang jelas tentang penalaran, penalaran adalah suatu bentuk pemikirann yang meliputi tiga unsur, yaitu konsep pernyataan dan penalaran.
Logika adalah bahasa Latin berasala dari kata “logos” yang berarti perkataan atau sabda. Istilah lain digunakan sebagai gantinya adalah “mantiq”, kata Arab yang diambil dari kata kerja “nathaqa” yang berarati berkata atau berucap. Dalam bahasa sehari-hari kita sering mendengar ungkapan serupa: ‘alasannya tidak logis’, ‘argumentasi logis’, ‘kabar itu tidak logis’. Yang dimaksud dengan logis adalah masuk akal, dan tidak logis adalah sebaliknya.
Dalam buku Logicand Language of Education mantiq disebut sebagai “penyelidikan tentang dasar-dasar dan metode-metode berfikir benar, sedangkan dalam kamus Munjid disebut sebagai hukum yang memelihara hati nurani dari kersalahan dalam berfikir. Sedangkan Irving. M. Copi menyatakan, “logika adalah ilmu yang mempelajari metode dan hukum-hukum yang digunakan untuk membedakan penalaran yang betul dari penalaran yang salah.”
Dalam keterangan lain disebutkan bahwa perkataan logika adalah berasal dari kata sifat “logike” (bahasa Yunani) yang berhubungan dengan kata benda logos, yang artinya pikiran atau kata sebagai pernyataan dari pikiran itu. Hal ini menunjukkan adanya hubungan yang erat antara pikiran dan kata yang merupakan pernyataannya dalam bahasa. Jadi logika adalah ilmu yang mempelajari pikiran yang dinyatakan dalam bahasa.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ilmu mantiq atau logika adalah ilmu tentang kaidah-kaidah yang dapat membimbing manusia ke arah berfikir secara benar yang menghasilkan kesimpulan yang benar sehingga ia terhindar dari berfikir secara keliru yang menghasilkan kseimpulan salah. Hal ini tentunya, disebabakan bahwa dalam berfikir, manusia tidak selalu benar serta acapkali terjerumus dalam sikap skeptis dan terjebak dalam kesalahan berfikir dengan tanpa terasa. Bahkan akal satu-satunya bentuk yang indah, karena akal paling penting dalam pandangan Islam. Oleh karena itu, Allah swt selalu memuji orang-orang yang berakal sebagaimana firman-Nya dalm surat al-Baqarah ayat 164 dan surat Ar-Ra’d ayat 3-4.
Atau sederhananya, ilmu ini bisa disebut pula sebagai studi sistematik tentang struktur proposisi dan syarat-syarat umum mengenai penalaran yang shahih dengan menggunakan metode yang mengesampingkan isi atau bahan proposisi dan hanya membahas bentuk logisnya saja.
Dengan demikian, maka tak heran jika Al-Farabi menjuluki ilmu logika atau mantiq ini dengan dasar ilmu-ilmu (raisul uluum), Ibnu sina menjulukinya sebagai khadim al-uluum, dan sebagian yang lain menjulukinya sebagai ilmu akal.
B.Sejarah Munculnya Ilmu Logika
Nama logika pertama kali muncul pada Filsuf Cicero (abad ke-1 sebelum Masehi) tetapi dalam arti “seni berdebat”. Alexander Aphrodisias (sekitar permulaan abad ke-3 sesudah Masehi) adalah orang pertama yang mempergunakan kata ‘logika’ dalam arti ilmu yang menyelidiki lurus tidaknya pemikiran kita.
Yunani adalah negeri asal ilmu mantiq atau logika karena banyak penduduknya yang mendapat karunia otak cerdas. Negeri Yunani, terutama Athena diakui menjadi sumber berbagai ilmu. Socrates, Plato, Aristoteles dan banyak yang lainnya adalah tokoh-tokoh ilmiah kelas super dunia yang tidak ada ilmuwan nasional dan internasional tidak mengenalnya sampai sekarang dan akan datang. Tetapi, khusus untuk logika atau ilmu mantiq Aristoteleslah yang menjadi guru utamanya.
Akan tetapi, meski Aristoteles terkenal sebagai “Bapak Logika”, itu tidak berarti bahwa sebelum dia tidak ada logika. Segala orang ilmiah dan ahli filosofi sebelum Aristoteles menggunakan logika sebaik-baiknya. Dalam literatur lain, disebutkan bahwa Aristoteleslah orang yang pertama kali meletakkan ilmu logika, yang sebelumnya memang tidak pernah ada ilmu tentang logika tersebut. Maka tak heran jika ia dijuluki sebagai “Muallim Awwal” (Guru pertama). Bahkan Filosof Besar Immanuel Kant mengatakan 21 abad kemudian, bahwa sejak Aristoteles logika tidak maju selangkah pun dan tidak pula dapat mundur.
Sepintas, ada beragam pendapat tentang siapa peletak pertama ilmu logika ini. Akan tetapi jika ditelisik lebih mendalam, maka akan tampak suatu benang merah bahwa sebelum Aristoteles memang ada logika, akan tetapi ilmu logika sebagai ilmu yang sistematis dan tersusun resmi baru muncul sejak Aristoteles, dan memang dialah yang pertama akali membentangkan cara berfikir yang teratur dalam suatu sistem.
Kecerdasan penduduk Yunani itulah barangkali yang telah menyebabkan antara lain, lahirnya kelompok Safshathah. Kelompk ini dengan ketangkasan debat yang mereka miliki menghujat dan malah merusak sistem sosial, agama dan moral dengan cara mengungkap pernyataan-pernyataan yang kelihatannya sebagai benar, tetapi membuat penyesatan-penyesatan pemikiran nilai dan moral.
Di antara pernyataan-pernyataan mereka adalah:
Kebaikan adalah apa yang Anda pandang baik
Keburukan adalah apa yang anda pandang buruk
Apa yang diyakini benar oleh seseorang, itulah yang benar buat dia
Apa yang diyakini salah oleh seseorang, itulah yang salah buat dia
Aristoteles (384 –322 SM.) berusaha mengalahkan mereka secara ilmiah dengan pernyataan-pernyataan logis yang brilian. Pernyataan itu ia peroleh melalui diskusi dengan murid-muridnya. Karya Aristoteles itu sangat dikagumi pada masanya dan masa sesudahnya sehingga logika dipelajari di setiap perguruan. Plato (427-347 SM.), Murid Socrates hanya menambahnya sedikit. Immanuel Kant (1724-1804 M) pemikir terbesar bangsa Jerman menyatakan bahwa logika yang diciptakan Aristoteles itu tidak bisa ditambah lagi walau sedikit karena sudah cukup sempurna.
Logika formal merupakan hasil ciptaan Aristoteles yang dirintis oleh retorika kaum Shofis dan dialektika yang umum digunakan untuk menimbang-nimbang pada masa hidup Plato. Inti pokok logika Aristoteles ialah ajarannya mengenai penalaran dan pembuktian. Baginya, penalaran pertama-tama merupakan silogisme yang di dalamnya berdasar dua buah tanggapan orang menyimpulkan tanggapan ketiga. Untuk dapat secara lurus melakukan penyimpulan ini perlu diketahui mengenai hakikat tanggapan, ada tanggapan singular dan tanggapan particular.
Akan tetapi Konsili Nicae (325 M), menyatakan menutup pusat-pusat pelajaran filsafat Grik di Athena, Antiokia dan Roma. Pelajar logika juga dilarang kecuali bab-bab tertentu saja yang dipandang tidak merusak akidah kristiani. Hal ini merupakan pukulan mematikan bagi filsafat Yunani dan sekaligus logika. Sejak masa itu sampai hampir seribu tahun lamanya alam pemikiran di Barat menjadi padam, sehingga dikenal dengan zaman Drak Ages (zaman gelap).
Pada abad ke-7 Masehi berkembanglah agama islam di jazirah Arab dan pada abad ke-8, agama ini telah dipeluk secara meluas ke Barat sampai perbatasan Perancis sampai Thian Shan. Dizaman kekuasaan khalifah Abbasiyyah sedemikian banyaknya karya-karya ilmiah Yunani dan lainnya diterjemahkan ke dalam bahasa, sehingga ada suatu masa dalam sejarah islam yang dijuluki dengan Abad Terjemahan. Logika karya Aristoteles juga diterjemahkan dan diberi nama Ilmu Mantiq.
Di antara ulama dan cendikiawan muslim yang terkenal mendalami, menerjemah dan mengarang di bidang ilmu Mantiq adalah Abdullah bin Muqaffa’, ya’kub Ishaq Al-Kindi, Abu Nasr Al-farabi, Ibnu Sina, Abu Hamid Al-Gahzali, Ibnu Rusyd, Al-Qurthubi dan banyak lagi yang lain. Al-Farabi, pada zaman kebangkitan Eropa dari abad gelapnya malah dijuluki dengan Guru Kedua Logika.
Kemudian menyusullah zaman kemunduran dibidang mantiq atau logika karena dianggap terlalu memuja akal. Di antara ulama-ulama besar islam seperti Muhyiddin An-Nawawi, Ibnu Shalah, Taqiyuddin ibnu Taimiyah, Syadzuddin at-Taftsajani malah mengharamkan mempelajari ilmu mantiq. Namun komunitas ulama dan cendikiawan Muslim membolehkan bahkan menganjurkan untuk mempelajarinya sebagai penyempurna dalam menginterpretasikan hadits dan al-Qur’an.
C.Obyek Kajian Logika
Oleh karena yang berfikir itu manusia maka harus dikatakan bahwa lapangan penyelidikan logika ialah manusia itu sendiri. Tetapi manusia ini disoroti dari sudut tertentu, yakni budinya. Begitu pula berfikir adalah obyek material logika. Berfikir di sini adalah kegiatan pikiran, akal budi manusia. Dengan berfikir manusia mengolah, mengerjakan pengetahuan yang telah diperolehnya. Dengan mengolah dan mengerjakannya ini terjadi dengan mempertimbangkan, menguraikan, membandingkan serta menghubungkan pengertian yang satu dengan pengertian yang lainnya.
Jika dilihat dari obyeknya, dikenal sebagai logika formal (Manthiq As-Shuari) dan logika material (al-Manthiq al-maddi). Pemikiran yang benar dapat dibedakan menjadi dua bentuk yang berbeda secara radikal, yakni cara berfikir dari umum ke khusus dan cara berfikir dari khusus ke umum. Cara pertama disebut berfikir deduktif dipergunakan dalam logika formal yang mempelajari dasar-dasar persesuaian (tidak adanya pertentangan) dalam pemikiran dengan mempergunakan hukum-hukum, rumus-rumus, patokan-patokan berfikir benar. Cara berfikir induktif dipergunakan dalam logika material, yakni menilai hasil pekerjaan logika formal dan menguji benar tidaknya dengan kenyataan empiris. Logika formal disebut juga logika minor. Logika material disebut logika mayor.
D.Pembagian logika
Sistematisasi logika dapat diklsaifikasikan menjadi beberapa bagian, tergantung dari mana kita meninjaunya.
Pertama, dari segi obyeknya. Pada bagian ini logika dapat dibedakan menjadi dua, (1) logika formal atau mantiq as-shuwari, (2) logika material atau mantiq al-maddi. Hal ini sudah dijelaskan pada sub “Obyek Logika”.
Kedua, dari segi kualitasnya. Disini Mantiq/logika dapat dibedakan menjadi Naturalis (Mantiq al-Fithri), yaitu kecakapan berlogika berdasarkan kemampuan manusia. Akal manusia yang normal dapat berjalan dan bekerja secara spontan sesuai hokum-hukum logika dasar. Bagaimanapun rendahnya intelegensi seseorang ia dapat membedakan bahwa sesuatu itu adalah berbeda dengan sesuatu yang lain, dan bahwa dua kenyataan yang bertentangan adalah tidak sama.
Tetapi dalam mengahadapi permasalahan yang rumit dan dalam berfikir, manusia banyak dipengaruhi oleh kecendrungan pribadi disamping bahwa pengetahuan manusia sangat terbatas mengakibatkan tidak mungkin terhindar dari kesalahan. Nah, untuk mengatsai kenyataan yang tidak bisa ditanggulangi oleh Mnatiq al-Fitri, manusia menyusun hokum-hukum patokan-patokan , rumus-rumus berfikir lurus. Logika inilah yang disebut dengan Logika Artifisialis atau Logika Ilmiah (Mantiq As-Suri) yang bertugas membantu Mantiq Al-Fitri. Mantiq ini memperhalus, mempertajam, serta menunjukkan jalan pemikiran agar akal dapat bekerja lebih teliti,, efisien, mudah dan aman.
Ketiga, dari segi metodenya, mantiq/logika dapat dibedakan atas Logika Tradisional (Mantiq al-Qadim) dan Logika Modern (Mantiq al-Hadits). Logika tradisional adalah logika Aristoteles, dan logika para Logikus yang lebih kemudian, tetapi masih mengikuti system Logika Aristoteles. Sedangkan Logika Modern tumbuh dan berkembang mulai pada abad XIII. Mulai abad ini ditemukan sistem baru, metode baru yang berlainan dengan sisitem Logika Aristoeteles. Saatnya dimulai sejak Raymundus Lullus menemukan metode baru logika yang disebut Ars magna.
Adapun Logika menurut The Liang Gie (1980) terbagi menjadi lima bagian:
1.Logika makna luas dan logika makna sempit
Dalam arti sempit istilah tersebut dipakai searti dengan deduktif atau logika formal. Sedangkan dalam arti yang lebih luas pemakaiannya mencakup kesimpulan-kesimpulan dari berbagai bukti dan tentang bagaimana sistem penjelasan di susun dalam ilmu alam serta meliputi pula pembahasan mengenai logika itu sendiri.
2.Logika Deduktif dan Induktif
Logika deduktif adalah suatu ragam logika yang mempelajari asas-asas pelajaran yang bersifat deduktif, yakni suatu penalaran yang menurunkan suatu kesimpulan sebagai kemestian dari pangkal pikirnya sehingga bersifat betul menurut bentuknya saja. Logika induktif merupakan suatu ragam logika yang mempelajari asas-asas penalaran yang betul dari sejumlah hal khusus sampai pada suatu kesimpulan umum yang bersifat boleh jadi.
3.Logika Formal dan Material
Logika formal adalah mempelajari asas aturan atau hukum-hukum berfikir yang harus ditaati agar orang dapat berfikir dengan benar mencapai kebenaran. Logika material mempelajari langsung pekerjaan akal serta menilai hasil-hasil logika formal dan mengujinya dengan kenyataan praktis sesungguhnya. Logika material mempelajari sumber-sumber dan asalnya pengetahuan, proses terjadinya pengetahuan dan akhirnya merumuskan metode ilmu pengetahuan itu. Dan sekarang, logika formal adalah ilmu yang mengandung kumpulan kaidah cara berfikir untuk mencapai kebenaran.
4.Logika Murni dan Terapan
Logika murni adalah merupakan suatu pengetahuan mengenai asas dan aturan logika yang berlaku umum pada semua segi dan bagian dari pernyataan-pernyataan dengan tanpa mempersoalkan arti khusus dalam suatu cabang ilmu dari sitilah yang dipakai dalam pernyataan dimaksud. Logika terapan adalah pengetahuan logika yang diterapkan dalam setiap cabang ilmu bidang-bidang filsafat dan juga dalam pembicaraan yang menggunakan bahasa sehari-hari.
5.Logika Falsafati dan Matematik
Logika falsafati dapat digolongkan sebagai suatu ragam atau bagian logika yang masih berhubungan sangat erat dengan pembahasan dalam bidang filsafat, seperti logika kewajiban dengan etika atau logika arti dengan metafisika. Adapun logika matematik serta bentuk lambang yang khusus dan cermat untuk menghindarkan makna ganda atau kekaburan yang terdapat dalam bahasa biasa.
E.Manfaat Logika (Ilmu Mantiq)
Di antara manfaat ilmu mantiq atau logika ialah:
a.membuat daya fikir akal tidak saja menjadi lebih tajam tetapi juga lebih menjadi berkembang melalui latihan-latihan berfikir dan menganalisis serta mengungkap permasalahan secara ilmiah.
b.membuat seseorang menjadi mampu meletakkan sesuatu pada tempatnya dan mengerjakan sesuatu pada waktunya.
c.membuat seseorang mampu membedakan— ini merupakan manfaat yang paling asasi ilmu mantiq atau logika —antara pikir yang benar dan oleh karenanya akan menghasilkan kesimpulan yang benar dan urut pikir yang salah yang dengan sendirinya akan menampilkan kesimpulan yang salah.
F.Analisis Pembahasan
Dari berbagai uraian di atas maka dapatlah ditarik “benang merah” bahwa para pemikir muslim sepaakat bahwa kekuatan akal atau rasionalisme sangat diperlukan dalm kajian-kajian keagamaan. Namun, sampai sejauh mana kemampuan rasio bisa diikuti dan dipakai, inilah yang menjadi persoalan. Sebagian menyatakan bahwa rasio mesti ditempatkan di bawah wahyu, sebaliknya sebagian yang lain menganggap bahwa rasio saja telah cukup untuk membimbing manusia dalam mengenal kebenaran dan Tuhan, wahyu hanya diperlukan sebagai justifikasi penemuan akal.
Bertolak dari berbagai pendapat para pemikir muslim tersebut, ada beberapa catatan yang perlu disampaikan dalam analisis ini, yakni tentang cacat dan kelemahan dari penalaran logika yang di dalamnya menggunakan prinsip silogisme. Artinya, meskipun kekuatan nalar burhani ini sangat diperlukan dalam kajian keislaman, ternyata banyak mengandung kelemahan-kelemahan.
1.Prinsip silogisme burhani yang diambil dari Aristoteles yang lebih mengutamakan sesuatu yang rasional dan kebenaran yang empiris, secara tidak langsung berarti telah membatasi keberagaman serta keluasan realitas. Kenyataannya, realitas tidak hanya pada apa yang konkret, yang tertangkap indera, tetapi ada juga realitas yang di luar itu, seperti jiwa dan konsep mental. Artinya, di sini ada kebenaran-kebenaran lain yang tidak bisa didekati dengan silogisme, seperti dikatakan Suhrawardi.
2.Silogisme tidak bisa menjelaskan atau menyimpulkan eksisitensi empiris di luar pikiran seperti soal warna, rasa, bau atau bayangan. Artinya, tidak semua keadaan atau objek diungkap lewat silogisme sebagimana kritik yang disampaikan Suhrawrdi dan Leibniz (1646-1716 M). (Lorens Bagus, 1996 : 87)
3.Prinsip logika burhani yang menyatkan bahwa atribut sesuatu harus didefinisikan oleh atribut yang lain akan menggiring pada proses tanpa akhir, ad infinitum. Itu berarti tidak akan ada absurditas yang bisa diketahui. Logika burhani, dengan prinsip silogisme-nya, seperti dikritik Suhrwardi, sebenarnya tidak memberikan apa-apa, tidak menghasilkan pengetahuan baru.
4.Sejalan dengan no. 3, dengan prinsip bahwa kesimpulan yang khusus harus dideduksikan dari pernyataan yang umum, maka apa yang disebut kesimpulan sebenarnya telah tercantum secara implicit pada pernyataan umu yang disebut premis mayor; jika belum ada, maka sia-sialah usaha silogisme tersebut karena sesuatu yang tidak ada tidak akan melahirkan sesuatu yang baru. Ini termasuk kritik yang dilontarkan Bacon (1561-1626 M) dan John Stuart Mill (1806-1873 M) pada logika Aristoteles yang dipakai burhani. (Verhaak, 1997 : 137- 145; Bernard Delfgaaw, 1992 : 108)
5.Silogisme ternyata telah cenderung mengiring penganutnya pad cara berfikir hitam putih, benar salah, sebagaimana yang terjadi dalam model pikiran teologi (ilmu kalam) yang memang banyak menggunakan logika ini. Akibatnya, pemikiran teologi menjadi sangat keras dan mudah menimbulkan konflik, karena tidak mengenal keebenaran pada pihak lain. Kebanaran hanya ada di pihaknya sendiri.
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Dari pembahasan di atas maka dapat disimpulkan beberapa kesimpulan, di antaranya adalah:
a.Logika dapat diartikan sebagai ilmu tentang kaidah-kaidah yang dapat membimbing manusia ke arah berfikir secara benar yang menghasilkan kesimpulan yang benar sehingga ia terhindar dari berfikir secara keliru yang menghasilkan kseimpulan salah. Atau sederhananya, ilmu ini bisa disebut pula sebagai studi sistematik tentang struktur proposisi dan syarat-syarat umum mengenai penalaran yang shahih dengan menggunakan metode yang mengesampingkan isi atau bahan proposisi dan hanya membahas bentuk logisnya saja.
b.Dalam sejarahnya logika muncul secara resmi dan tersusun pada saat Aristoteles melakukan reaksi terhadap paham Shopis yang telah membuat kekaburan dalam masyarakat dengan pemikirannya yang sesat.
c.Obyek logika dapat dibedakan menjadi logika formal (Manthiq As-Shuari) dan logika material (al-Manthiq al-maddi). Cara pertama disebut berfikir deduktif dipergunakan dalam logika formal. Cara berfikir induktif dipergunakan dalam logika material. Logika formal disebut juga logika minor dan material disebut juga logika mayor.
Sedangan pembagian logika dapat dikelompokkan menjadi (a) logika makna luas dan logika makna sempit, (b) logika deduktif dan induktif, (c) logika formal dan logika material, (d) logika murni dan terapan, (e) logika falsafati dan logika matematik.
d.Manfaat yang paling asasi mempelajari ilmu logika adalah untuk membuat seseorang mampu membedakan antara berpikir yang benar dan oleh karenanya akan menghasilkan kesimpulan nyang benar dan terhindar dari kesimpulan yang salah.
e.Logika burhani (prinsip silogisme) ternyata juga memiliki banyak cacat dan kelemahan sebagaimana pada sub bab “Analisis Pembahasan”. Itulah barangkali yang menyebabakan sebagian para pemikir muslim mengklaim haram untuk mempelajari ilmu mantiq.
B. Saran dan Harapan
Dengan membaca makalah ini penulis berharap semoga kita dapat berfikir tepat dan benar sehingga terhindar dari kesimpulan yang salah dan kabur. Setidaknya dengan makalah ini, ada semacam pencerahan intelektual dan menyuguhkan motivasi yang intrinsik untuk segera mempelajari ilmu logika sehingga kita dapat meminimalisasi kesalahan dalam berfikir.
Tentunya, dalam makalah ini akan ditemukan kelemahan-kelemahan atau bahkan kekeliruan. Dengan itu, penulis sangat berharap adanya masukan dari pembaca dan kritik konstruktif sebagai upaya pembangunan mental guna penyelesaian pada makalah-makalah selanjutnya. Dan, hal itu penulis harapkan dengan kerendahan hati dan ketulusan jiwa.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ahdhari, Abdurrahman, Mandhumah Sullam al- Munawraq fi Ilmi al-Manthiq, Dar Hifdh Assalafiyah, t.tp.
Aziz, Muhammad Ali, Logika, Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel, 1993
Bagus, Lorens, Kanus Filsafat, Jakarta, Gramedia, 1996
Baihaqi, AK, Ilmu Mantiq Teknik dasar Berfikir Logik, Jakarta, Dar Ulum Press, cet-2, 2001
Bernard Delfgaauw, Sejarah Ringkas Filsafat Barat, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1992, cet-1
Dahlan, Mohammad dkk., Kamus Induk Ilmiah, Surabaya, Target Press, 2003
Mohammad Hata, Alam Pikiran Yunani, Jakarta, UI-Press, cet-3, 1986
Mundiri, Logika, Jakarta: PT. Raja Garfindo Persada, 2001
Nur Ibrahimi, Mohammad, Ilmul Mantiq, Surabaya, Sa’ad Bin Nashir Nubhan, t.th.
Poejawijatna, Logika Filsafat Berfikir, Jakarta, PT. Rineka Cipta, cet-7, 1992
Syeh Hadi, Naqd al_Araa’ al-Manthiqiyyah wa Hilli Musykilatihaa, t.tp. t.th.
Soekadijo, Logika Dasar, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1991
A. Khudari Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004
Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Jakarta, Bumi Aksara, cet-1, 2005
Verhaak, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta, Gramedia, 1997
Zaini Dahlan dkk., Filsafat Hukum Islam, Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, 1987
Zuhri, Muhammad, Tarjamah Tarikh Tasyri’, Semarang, Darul Ihya’, 1980
Tidak ada komentar:
Posting Komentar