A. Latar Belakang
Istilah pendidikan politik (political education) bukanlah tema atau konsep baru dalam kajian-kajian politik kontemporer. Keengganan mengunakan istilah "politik pendidikan" agaknya berkaitan dengan konotasi negatif yang melekat pada dirinya. Kenyataan menunjukkan bahwa hampir seluruh lembaga pendidikan dikontrol pemerintah. Alfred de Grazia dalam buku The Elements of Political Science cenderung menyamakan pendidikan politik dengan propaganda untuk memperkuat legitimasi dan status quo penguasa.
Istilah pendidikan politik (political education) bukanlah tema atau konsep baru dalam kajian-kajian politik kontemporer. Keengganan mengunakan istilah "politik pendidikan" agaknya berkaitan dengan konotasi negatif yang melekat pada dirinya. Kenyataan menunjukkan bahwa hampir seluruh lembaga pendidikan dikontrol pemerintah. Alfred de Grazia dalam buku The Elements of Political Science cenderung menyamakan pendidikan politik dengan propaganda untuk memperkuat legitimasi dan status quo penguasa.
Pendidikan politik dijadikan propaganda untuk membangun dukungan bagi
kebijakan-kebijakan penguasa. Melalui pendidikan politik, penguasa
misalnya mendidik tentang, bagaimana bertingkah laku sebagai warga
negara atau bagaimana menyikapi pemerintah, dan sebagainya. Bahkan dalam
kasus-kasus tertentu pendidikan politik yang semula bersifat persuasif
dapat berubah menjadi pemaksaan fisik yang oleh Faulo Freire sering
diistilahkan sebagai pendidikan yang licik. Ketika berbicara tentang
pendidikan dalam hubungannya dengan politik lebih senang mengunakan
istilah sosialisasi politik (political socialization).
Politik dalam artian ilmu politik telah menjadi bagian yang diterima
sepenuhnya. Istilah politik mengacu kepada proses dimana
individu-individu memperoleh sikap dan perasaan terhadap sistem politik;
dan terhadap peranan mereka di dalamnya. Politik adalah proses induksi
ke dalam budaya politik (political culture). Sistem dan lembaga
pendidikan merupakan salah satu dari institusi terpenting dalam politik
tersebut, terutama sejak seorang anak didik mulai memperoleh pendidikan
sampai ia mencapai kedewasaan.
Sedangkan Politik dan pendidikan bukanlah hal yang baru. Sejak zaman
Plato dan Aristoteles, para filsuf dan pemikir politik telah memberikan
perhatian yang cukup intens kepada masalah ini. Kenyataan ini misalnya
ditegaskan dengan ungkapan "As is the state, so is the school"
(sebagaimana negara seperti itulah sekolah) atau apa yang anda inginkan
dalam negara, harus ada masukan ke sekolah. Dominan dalam demokrasi
mengasumsikan bahwa pendidikan adalah sebuah korelasi, jika tidak sebua
persyaratan, bagi suatu tatanan demokratis.
B. Hubungan Politik dengan Pendidikan
Dalam sejarah Islam hubungan antara politik dengan pendidikan juga dapat dilacak sejak masa-masa pertumbuhan, paling subur dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam, semacam madrasah dan pesantren. Sepanjang sejarah, terdapat hubungan yang amat erat antara pendidikan dengan politik. Kenyataan ini misalnya dapat dilihat dari pendirian banyak madrasah di Timur Tengah yang disponsori oleh penguasa politik, misalnya madrasah Nizamiyyah di Baqhdad. Di madrasah ini terkenal karena melahirkan pemikir dan ulama besar, seperti al-Ghazali.
Dalam sejarah Islam hubungan antara politik dengan pendidikan juga dapat dilacak sejak masa-masa pertumbuhan, paling subur dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam, semacam madrasah dan pesantren. Sepanjang sejarah, terdapat hubungan yang amat erat antara pendidikan dengan politik. Kenyataan ini misalnya dapat dilihat dari pendirian banyak madrasah di Timur Tengah yang disponsori oleh penguasa politik, misalnya madrasah Nizamiyyah di Baqhdad. Di madrasah ini terkenal karena melahirkan pemikir dan ulama besar, seperti al-Ghazali.
Signifikansi dan implementasi politik dan pengembangan madrasah atau
pendidikan Islam pada umumnya bagi para penguasa muslim sudah jelas.
Madrasah-madrasah tersebut didirikan untuk menunjang
kepentingan-kepentingan politik tertentu dari penguasa muslim, di
antaranya untuk menciptakan dan memperkokoh citra penguasa sebagai
orang-orang yang mempunyai kesalehan, minat dan kepedulian kepada
kepentingan umat, dan yang lebih signifikan lagi sebagai pembela
ortodoksi Islam. Semua ini pada gilirannya akan memperkuat legitimasi
penguasa. Persoalannya kemudian, sejauh mana madrasah dan
lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya secara sadar juga difungsikan
sebagai wahana "pendidikan politik anak didik atau masyarakat muslim
umumnya.
Salah satu penyebab kemunduran Islam di masa lampau karena tidak
menjadikan "pendidikan politik" sebagai prioritas utama, sebagaimana
diketahui, lembaga-lembaga pendidikan Islam, di masa-masa tersebut lebih
merupakan salah satu wahana utama bagi transmissi. Meskipun pendirian
madrasah, misalnya sering berkaitan erat dengan motif-motif politik,
terdapat indikasi yang kuat. Ia tidak terlibat dalam proses-proses
politik.
Absolutisme politik muslim sebagaimana terlihat dari eksistensi berbagai
macam dinasti tidak memberikan ruang bukan hanya bagi keterlibatan
komunitas madrasah, tetapi bahkan masyarakat muslim umumnya, untuk turut
serta dalam proses politik dan mewujudkan partisipasi politik mereka.
Dengan demikian pendidikan politik mungkin sedikit sekali mempunyai
relevansi dengan sistem dan kelembagaan pendidikan Islam klasik dan
pertengahan. Tetapi ini tidak berarti bahwa apa yang kita sebut sebagai
pendidikan politik terlepas dari tingkatan intensitas dan kedalamannya
tidak berlangsung dalam masyarakat muslim umumnya.
Politik pendidikan itu mungkin menjadi salah satu concern utama
para pemikir politik muslim, semacam al-Mawardi dan al-Ghazali serta
cendikiawan lainnya. Dapat diduga dalam pendidikan politik itu para
pemikir politik muslim merumuskan dan mengajarkan tentang, misalnya,
hubungan timbal balik antara pemimpin dengan yang dipimpin. Hal ini bisa
kita lacak di dalam karya imam al-Gazali dengan judul Nashihat
al-Muluk, yang diperuntukkan bagi para penguasa dalam menjalankan
kekuasaannya.
Sejak abad ke-19 lembaga-lembaga pendidikan menemukan jati dirinya
sehingga ia dapat berfungsi sebagai arena pendidikan politik. Pendidikan
diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan keagamaan dan politik tentunya,
yang tentu saja harus sesuai dengan semangat modernisme keagamaan dan
politik Islam.
Nampaknya fenomena politik dan pendidikan ini mencoba untuk menempatkan
setiap pemikiran yang ada pada posisi yang relatif. Karena realitas
manusia yang padanya berlaku hukum-hukum eksistensial sebagaimana
makhluk lainnya, adalah terbatas (relatif). Manusia tidak mungkin mampu
menjangkau dan menangkap paradigma sebagai doktrin kebenaran secara
tepat dan menyeluruh. Karena itu, dapat dikatakan bahwa
seshahih-shahihnya suatu pendapat atau pemikiran seseorang pada akhirnya
berhenti di ruang relatif, nisbi dan terbatas.
Seseorang tidak boleh mengatakan bahwa pendapat atau pemikirannya mutlak
benar yang harus diterima secara paten, karena dalam produk pendapat
dan pemikiran itu tersirat pengertian dan pemahamannya sendiri yang amat
subyektif. Karena itu, dalam konteks politik dan pendidikan semua
pemutlakan pemahaman harus didekonstruksi (dibongkar).
Dalam pandangan Islam perbedaan (ikhtilaf) merupakan suatu yang
urgen, baik perbedaan paham keagamaan, budaya, dan ras. Ideal-logikanya
adalah bagaimana perbedaan pendapat menjadi daya dinamis dan kreatif
bagi tumbuhnya pemikiran-pemikiran baru dalam bidang keagamaan, termasuk
pemikiran pendidikan Islam.
Namun di Indonesia misalnya masih sering kita saksikan pertikaian antara
satu golongan dengan golongan yang lain, hal ini mengindikasikan bahwa
pluralitas dan demokrasi belum terwujud sehingga anak-anak lulusan
sekolah belum menghargai pluralisme dan demokrasi. Maka salah satu
institusi masyarakat yang berkompeten untuk membangun masyarakat
pluralistis dan demokratis adalah lembaga pendidikan. Bagi kaum liberal,
tujuan jangka panjang pendidikan adalah untuk melestarikan dan
meningkatkan mutu tatanan sosial yang ada sekarang dengan cara mengajar
setiap anak bagaimana cara mengatasi masalah-masalah kehidupan secara
efektif dalam hal menghargai pluralitas dan menjunjung tinggi
nilai-nilai demokrasi.
C. Penutup
Islam adalah agama yang inklusif dan tidak hanya berbicara pada hal-hal yang ritual saja. Tetapi lebih dari itu, termasuk dalam soal politik danpendidikan yang bertujuan untuk membangun dukungan bagi kebijakan-kebijakan penguasa. Dan lewat pendidikan manusia mampu membagun kebijakan-kebijakan politik yang arif dan bijaksana. Tetapi di sisi lain juga dalam kasus-kasus tertentu pendidikan politik yang semula bersifat persuasif dapat berubah menjadi pemaksaan fisik (marjinalisasi).
Islam adalah agama yang inklusif dan tidak hanya berbicara pada hal-hal yang ritual saja. Tetapi lebih dari itu, termasuk dalam soal politik danpendidikan yang bertujuan untuk membangun dukungan bagi kebijakan-kebijakan penguasa. Dan lewat pendidikan manusia mampu membagun kebijakan-kebijakan politik yang arif dan bijaksana. Tetapi di sisi lain juga dalam kasus-kasus tertentu pendidikan politik yang semula bersifat persuasif dapat berubah menjadi pemaksaan fisik (marjinalisasi).
Arah orientasi politik yang ditanamkan melalui pendidikan formal selaras
dengan ideologi negara. Terdapat bukti-bukti dan indikasi kuat yang
menunjukkan bahwa pengaruh pendidikan terhadap pembentukan sikap dan
tingkah laku politik jauh lebih kompleks, tidak pasti dan penuh
variabel. Pendidikan politik juga berorientasi pragmatis dan telah
terbukti banyaknya masyarakat yang berpikir kritis dan radikalistik.
Kepustakaan:
Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: Logos.
Badriatim. 1998. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada,
Freire, Paulo. 2000. Politik Pendidikan: Kebudayaan Kekuasaan dan Pembebasan. Jakarta: Pustaka Pelajar
Madjid, Nurcholish. 1995. Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina
Nata, H. Abuddin. 2000. Pemikiran Para Tokoh-tokoh Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: Logos.
Badriatim. 1998. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada,
Freire, Paulo. 2000. Politik Pendidikan: Kebudayaan Kekuasaan dan Pembebasan. Jakarta: Pustaka Pelajar
Madjid, Nurcholish. 1995. Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina
Nata, H. Abuddin. 2000. Pemikiran Para Tokoh-tokoh Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar