Dr. Aam Amiruddin
53. Dan (ingatlah), ketika Kami berikan kepada Musa Al kitab (Taurat) dan keterangan yang membedakan antara yang benar dan yang salah, agar kamu mendapat petunjuk.
54. Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: “Hai kaumku, Sesungguhnya kamu telah Menganiaya dirimu sendiri karena kamu telah menjadikan anak lembu (sembahanmu), Maka bertaubatlah kepada Tuhan yang menjadikan kamu dan bunuhlah dirimu. Hal itu adalah lebih baik bagimu pada sisi Tuhan yang menjadikan kamu; Maka Allah akan menerima taubatmu. Sesungguhnya Dialah yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”
55. Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: “Hai Musa, Kami tidak akan beriman kepadamu sebelum Kami melihat Allah dengan terang, karena itu kamu disambar halilintar, sedang kamu menyaksikannya”.
56. Setelah itu Kami bangkitkan kamu sesudah kamu mati, supaya kamu bersyukur.
57. Dan Kami naungi kamu dengan awan, dan Kami turunkan kepadamu “manna” dan “salwa”. makanlah dari makanan yang baik-baik yang telah Kami berikan kepadamu; dan tidaklah mereka Menganiaya kami; akan tetapi merekalah yang Menganiaya diri mereka sendiri.
***
dan (ingatlah), ketika Kami berikan kepada Musa Al-Kitab (Taurat) dan keterangan yang membedakan antara yang benar dan yang salah, agar kamu mendapat petunjuk.
Dalam beberapa pembahasan yang lalu dan beberapa pembahasan ke depan kita telah dan akan mengetahui serangkaian informasi mengenai keistimewaan yang diberikan Allah kepada Bani Israil. Akan tetapi, saya yakin pembaca telah sama-sama mengerti bahwa kisah yang diutarakan Al-Quran bukanlah cerita-cerita kosong tanpa makna.
Diungkapnya banyak kisah dalam Al-Quran semata untuk menjadi cermin demi memperbaiki kinerja diniyyah menyongsong masa depan ukhrowi yang abadi.
Bila kita coba cermati ayat ke-53 surat Al-Baqarah sebagai bagian dari rangkaian keistimewaan atau nikmat yang diberikan kepada Bani Israil, betapa dengan sengaja Allah mengingatkan akan arti penting diturunkannya Al-Kitab dan Al-Furqan bagi mereka. Jika Al-Kitab dan Al-Furqan bagi mereka adalah Taurat, maka bagi kita, umat Nabi Muhammad, Al-Kitab dan Al-Furqan tersebut tiada lain adalah Al-Quran.
Sekarang mari kita tarik benang merah, bahwa ada keterkaitan yang melekat antara kehadiran nikmat dan mensyukurinya dengan mengamalkan ajaran Allah yang tertuang dalam Al-Quran plus sunah Rasul-Nya. Adalah sia-sia, jika memaknai syukur hanya sebatas membagi-bagikan rezeki yang diperoleh. Semua itu hanya bagian terkecil di antaranya. Sudah seharusnya kita memahami betul jika arti nikmat bukan sebatas keuntungan yang bersifat bendawi saja, tetapi juga keuntungan-keuntungan immateri yang bahkan jauh lebih besar dan luas. Mensyukurinya adalah dengan mengamalkan ajaran Al-Quran dan as-sunah sesuai dengan kemampuan yang kita miliki.
Dalam tingkat tertentu, disadari atau tidak, setiap wahyu yang diturunkan kepada para Nabi, khususnya Al-Quran, merupakan bagian dari nikmat yang tak terhingga. Karena dengan Al-Quran, makna hidup semakin terasa, tujuan hidup semakin terarah, dan jalan hidup semakin tertata.
dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: “Hai kaumku, sesungguhnya kamu telah menganiaya dirimu sendiri karena kamu telah menjadikan anak lembu (sembahanmu), maka bertaubatlah kepada Tuhan yang menjadikan kamu dan bunuhlah dirimu. Hal itu adalah lebih baik bagimu pada sisi Tuhan yang menjadikan kamu; Maka Allah akan menerima taubatmu. Sesungguhnya Dialah yang Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”
Itulah watak sebagian Bani Israil yang keterlaluan dan tak tahu diri. Sederet nikmat yang diberikan Allah disikapi dengan perilaku kufur. Pemberian Allah yang demikian tak terhingga dibalas dengan kekejian. Atas dasar kebodohan, mereka menjadikan anak sapi sebagai sembahan. Padahal yang namanya sapi, bagaimanapun adalah tetap seekor hewan yang tak ada bedanya dengan hewan lain yang tidak memiliki kemuliaan seperti manusia. Sungguh perbuatan yang telah menghinakan diri sendiri karena diri yang mulia menghamba-hamba pada benda yang rendah. Jika menyembah patung sapi yang sapi itu asalnya benda hidup sudah sedemikian hinanya, apalah namanya ketika kita mempunyai perilaku menghamba-hamba pada benda mati seperti kuburan, batu, dan lain sebagainya.
Atas perintah Allah, Nabi Musa menyampaikan instruksi pada umatnya yang menyimpang tersebut agar segera bertaubat. Proses pertaubatan yang diperintahkan Allah dalam ayat tersebut adalah dengan “membunuh dirimu sendiri”. Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengungkap sejumlah riwayat yang menjelaskan maksud “membunuh dirimu sendiri”. Saya coba gabungkan pendapat sejumlah ahli tafsir tersebut sebagai berikut.
“Setelah Nabi Musa dan Nabi Harun mengetahui secara nyata bahwa sebagian umatnya telah berbuat nista dengan menjadikan anak sapi sesembahan, atas petunjuk dari Allah, Nabi Musa memerintahkan mereka untuk bertaubat dengan saling membunuh sesama diri mereka. Ribuan dari mereka berkumpul di suatu tempat dengan memegang senjata masing-masing. Setelah mereka berkumpul, tiba-tiba keadaan menjadi gelap gulita. Di saat itu, mereka saling membunuh tanpa mengetahui siapa yang mereka bunuh. Setelah sekian lama terjadi, datanglah kembali cahaya atas permintaan Nabi Musa. Setelah cahaya datang, suasana kembali tenang dan terang, saling bunuh pun terhenti, dan akhirnya terlihatlah mereka yang telah menjadi mayat bergelimpangan meski di antaranya masih ada yang tetap dalam keadaan hidup. Mereka yang mati mencapai puluhan ribu orang dan disebutkan dalam sejumlah riwayat sebagai kebaikan yang Allah berikan kepada mereka, sedangkan sisanya yang hidup merupakan kesempatan yang Allah berikan pada mereka untuk memperbaiki kesalahan dan penerimaan Allah atas taubat mereka.”
Jika yang saya paparkan di atas menunjukkan bahwa “membunuh dirimu sendiri” adalah saling bunuh di antara mereka yang sama-sama menyembah patung anak sapi, sebagian ahli tafsir yang lain berpendapat bahwa yang membunuh adalah orang-orang yang tidak menyembah anak lembu dan yang dibunuh adalah orang yang menyembahnya. Ada juga yang berpendapat bahwa mereka diperintah untuk membunuh diri mereka masing-masing untuk bertaubat.
Lepas dari itu semua, ayat di atas menunjukkan bahwa, bagaimanapun, perbuatan musyrik adalah perbuatan nista yang akan berakibat hina, baik di dunia apalagi nanti di akhirat. Upaya pertaubatan dengan membunuh diri sendiri pada masa Nabi Musa barangkali sebagai gambaran betapa perbuatan syirik yang termasuk najis itu harus dikikis dan dikuras habis tanpa tersisa. Karena itu Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidilharam sesudah tahun ini. Dan jika kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberikan kekayaan kepadamu dari karunia-Nya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha-bijaksana (Q.S. At-Taubah [9]: 28)
dan (ingatlah), ketika kamu berkata: “Hai Musa, Kami tidak akan beriman kepadamu sebelum Kami melihat Allah dengan terang, karena itu kamu disambar halilintar, sedang kamu menyaksikannya”
Jangan sampai kita sebagai umat Islam mengikuti jejak perilaku Bani Israil yang sulit untuk dimengerti. Baru saja mereka diberi pelajaran berharga dengan adanya peristiwa pertaubatan “dahsyat” bagi penyembah anak lembu, sekarang pembangkangan terhadap Allah terjadi lagi pada mereka yang diberi kesempatan bertaubat. Dalam sejumlah riwayat dikisahkan bahwa di antara mereka yang diberi kesempatan hidup setelah peristiwa saling membunuh dan sejumlah 70 orang (di antaranya diajak Nabi Musa) untuk datang ke bukit Tursina dan mempelajari kisah yang belum lama mereka alami.
Sesampainya di bukit tersebut, di antara mereka berkata, “Wahai Musa, kami tahu bahwa engkau Nabiyyallah, doamu terkabul, dan engkau mendapat banyak keistimewaan. Patutlah jika kami mendapat sebagian keistimewaan itu dengan melihat Allah secara jelas tanpa perantara dan penghalang sedikit pun. Kami tidak akan beriman dan mempercayai apa yang kamu ajarkan sebelum keinginan kami dikabulkan.”
Tak lama kemudian, Allah mendatangkan halilintar yang menyambar dan menyebabkan mereka yang mengatakan itu terkapar. Sementara sebagian yang lain menyaksikan yang terjadi. Sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa yang disambar tersebut adalah semua yang mengikuti Nabi Musa saat itu. Lantas Nabi Musa meminta kepada Allah agar mereka tidak dibinasakan mengingat merekalah di antara yang terbaik yang tersisa setelah adanya peristiwa pertaubatan dengan cara saling membunuh. Doa Nabi Musa dikabulkan dan diterangkan dalam ayat berikut.
Setelah itu Kami bangkitkan kamu sesudah kamu mati, supaya kamu bersyukur.
Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang tetap memberikan nikmat tiada hingga pada hamba-Nya seberapa besarnya keburukan hamba-Nya jika di samping mereka ada kebaikan hamba-hamba-Nya yang shaleh. Kekeliruan yang dilakukan pengikut Nabi Musa saat itu bila diukur dengan pertimbangan akal manusia sudah tidak layak untuk diberi ampun. Namun, tidak demikian dengan Allah. Atas kasih sayang-Nya kepada Nabi Musa, Allah memberi kesempatan kedua pada Bani Israil dengan dihidupkannya kembali mereka setelah disambar halilintar yang dahsyat.
Para ulama tafsir berbeda pendapat yang dimaksud dengan “mati” dalam ayat tersebut. Menurut sebagian ulama tafsir, yang dimaksud “mati” dalam ayat tersebut adalah mati yang sebenarnya, yaitu berpisahnya ruh dengan jasad, sedangkan menurut sebagian yang lain, “mati” tersebut, berarti pingsan akibat sambaran halilintar.
Terlepas dari perbedaan tersebut, maka yang semestinya menjadi cerminan bagi kita adalah betapa Allah memiliki kasih sayang yang tanpa batas dan ampunan tiada akhir. Selama kita mengusahakan satu lubang kecil untuk masuknya cahaya kasih sayang dan ampunan Allah, maka segera cahaya itu pun datang menerangi dan membawa kebaikan pada kita. Sungguh sesuatu yang sepatutnya kita syukuri.
Dan Kami naungi kamu dengan awan, dan Kami turunkan kepadamu “manna” dan “salwa”. Makanlah dari makanan yang baik-baik yang telah Kami berikan kepadamu; dan tidaklah mereka menganiaya Kami; akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.
Lagi-lagi nikmat yang sungguh luar biasa Bani Israil dapatkan dari Sang Maha-kuasa. Sesaat setelah mereka terbebas dari kejaran Fir’aun dan tiba di daratan dengan selamat, mulailah mereka mengeluhkan kondisi cuaca panas menyengat pada daratan yang baru saja mereka injak. Untuk melindungi keadaan tersebut, Allah menurunkan awan agar mereka ternaungi dari panasnya terik matahari. Tidak sampai di situ, Allah kemudian menurunkan makanan yang tidak ditemui sebelum dan sesudahnya, yaitu manna dan salwa. Sungguh luar biasa!
Bagi kita umat Islam, khususnya di Indonesia saat ini, kenyataan bahwa Allah sangat memuliakan Bani Israil tidak perlu untuk dijadikan kecemburuan. Bila kita coba renungi secara saksama, banyak kemiripan antara deretan nikmat yang pernah Allah berikan kepada Bani Israil dengan deretan nikmat yang Allah berikan kepada Bangsa Indonesia yang berpenduduk mayoritas umat Islam. Pertanyaannya, akankah kita mengikuti jejak Bani Israil yang sungguh membuat Allah jengkel?
Dari serangkaian kisah yang saya kemukakan di atas, satu pelajaran di antaranya dapat kita ambil, bahwa apa pun nikmat yang diberikan Allah, akan dengan sendirinya menjadi seleksi atas keimanan kita. Toh pada kenyataannya banyak yang diberi nikmat lebih, malah menjadikannya semakin kufur kepada Allah. Padahal kufur akan nikmat Allah akan membawa kenistaan dan kemusnahan pada kita semua. Na’dzubillah min dzalik.
Wallahu a’lam bish-shawab.
53. Dan (ingatlah), ketika Kami berikan kepada Musa Al kitab (Taurat) dan keterangan yang membedakan antara yang benar dan yang salah, agar kamu mendapat petunjuk.
54. Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: “Hai kaumku, Sesungguhnya kamu telah Menganiaya dirimu sendiri karena kamu telah menjadikan anak lembu (sembahanmu), Maka bertaubatlah kepada Tuhan yang menjadikan kamu dan bunuhlah dirimu. Hal itu adalah lebih baik bagimu pada sisi Tuhan yang menjadikan kamu; Maka Allah akan menerima taubatmu. Sesungguhnya Dialah yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”
55. Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: “Hai Musa, Kami tidak akan beriman kepadamu sebelum Kami melihat Allah dengan terang, karena itu kamu disambar halilintar, sedang kamu menyaksikannya”.
56. Setelah itu Kami bangkitkan kamu sesudah kamu mati, supaya kamu bersyukur.
57. Dan Kami naungi kamu dengan awan, dan Kami turunkan kepadamu “manna” dan “salwa”. makanlah dari makanan yang baik-baik yang telah Kami berikan kepadamu; dan tidaklah mereka Menganiaya kami; akan tetapi merekalah yang Menganiaya diri mereka sendiri.
***
dan (ingatlah), ketika Kami berikan kepada Musa Al-Kitab (Taurat) dan keterangan yang membedakan antara yang benar dan yang salah, agar kamu mendapat petunjuk.
Dalam beberapa pembahasan yang lalu dan beberapa pembahasan ke depan kita telah dan akan mengetahui serangkaian informasi mengenai keistimewaan yang diberikan Allah kepada Bani Israil. Akan tetapi, saya yakin pembaca telah sama-sama mengerti bahwa kisah yang diutarakan Al-Quran bukanlah cerita-cerita kosong tanpa makna.
Diungkapnya banyak kisah dalam Al-Quran semata untuk menjadi cermin demi memperbaiki kinerja diniyyah menyongsong masa depan ukhrowi yang abadi.
Bila kita coba cermati ayat ke-53 surat Al-Baqarah sebagai bagian dari rangkaian keistimewaan atau nikmat yang diberikan kepada Bani Israil, betapa dengan sengaja Allah mengingatkan akan arti penting diturunkannya Al-Kitab dan Al-Furqan bagi mereka. Jika Al-Kitab dan Al-Furqan bagi mereka adalah Taurat, maka bagi kita, umat Nabi Muhammad, Al-Kitab dan Al-Furqan tersebut tiada lain adalah Al-Quran.
Sekarang mari kita tarik benang merah, bahwa ada keterkaitan yang melekat antara kehadiran nikmat dan mensyukurinya dengan mengamalkan ajaran Allah yang tertuang dalam Al-Quran plus sunah Rasul-Nya. Adalah sia-sia, jika memaknai syukur hanya sebatas membagi-bagikan rezeki yang diperoleh. Semua itu hanya bagian terkecil di antaranya. Sudah seharusnya kita memahami betul jika arti nikmat bukan sebatas keuntungan yang bersifat bendawi saja, tetapi juga keuntungan-keuntungan immateri yang bahkan jauh lebih besar dan luas. Mensyukurinya adalah dengan mengamalkan ajaran Al-Quran dan as-sunah sesuai dengan kemampuan yang kita miliki.
Dalam tingkat tertentu, disadari atau tidak, setiap wahyu yang diturunkan kepada para Nabi, khususnya Al-Quran, merupakan bagian dari nikmat yang tak terhingga. Karena dengan Al-Quran, makna hidup semakin terasa, tujuan hidup semakin terarah, dan jalan hidup semakin tertata.
dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: “Hai kaumku, sesungguhnya kamu telah menganiaya dirimu sendiri karena kamu telah menjadikan anak lembu (sembahanmu), maka bertaubatlah kepada Tuhan yang menjadikan kamu dan bunuhlah dirimu. Hal itu adalah lebih baik bagimu pada sisi Tuhan yang menjadikan kamu; Maka Allah akan menerima taubatmu. Sesungguhnya Dialah yang Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”
Itulah watak sebagian Bani Israil yang keterlaluan dan tak tahu diri. Sederet nikmat yang diberikan Allah disikapi dengan perilaku kufur. Pemberian Allah yang demikian tak terhingga dibalas dengan kekejian. Atas dasar kebodohan, mereka menjadikan anak sapi sebagai sembahan. Padahal yang namanya sapi, bagaimanapun adalah tetap seekor hewan yang tak ada bedanya dengan hewan lain yang tidak memiliki kemuliaan seperti manusia. Sungguh perbuatan yang telah menghinakan diri sendiri karena diri yang mulia menghamba-hamba pada benda yang rendah. Jika menyembah patung sapi yang sapi itu asalnya benda hidup sudah sedemikian hinanya, apalah namanya ketika kita mempunyai perilaku menghamba-hamba pada benda mati seperti kuburan, batu, dan lain sebagainya.
Atas perintah Allah, Nabi Musa menyampaikan instruksi pada umatnya yang menyimpang tersebut agar segera bertaubat. Proses pertaubatan yang diperintahkan Allah dalam ayat tersebut adalah dengan “membunuh dirimu sendiri”. Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengungkap sejumlah riwayat yang menjelaskan maksud “membunuh dirimu sendiri”. Saya coba gabungkan pendapat sejumlah ahli tafsir tersebut sebagai berikut.
“Setelah Nabi Musa dan Nabi Harun mengetahui secara nyata bahwa sebagian umatnya telah berbuat nista dengan menjadikan anak sapi sesembahan, atas petunjuk dari Allah, Nabi Musa memerintahkan mereka untuk bertaubat dengan saling membunuh sesama diri mereka. Ribuan dari mereka berkumpul di suatu tempat dengan memegang senjata masing-masing. Setelah mereka berkumpul, tiba-tiba keadaan menjadi gelap gulita. Di saat itu, mereka saling membunuh tanpa mengetahui siapa yang mereka bunuh. Setelah sekian lama terjadi, datanglah kembali cahaya atas permintaan Nabi Musa. Setelah cahaya datang, suasana kembali tenang dan terang, saling bunuh pun terhenti, dan akhirnya terlihatlah mereka yang telah menjadi mayat bergelimpangan meski di antaranya masih ada yang tetap dalam keadaan hidup. Mereka yang mati mencapai puluhan ribu orang dan disebutkan dalam sejumlah riwayat sebagai kebaikan yang Allah berikan kepada mereka, sedangkan sisanya yang hidup merupakan kesempatan yang Allah berikan pada mereka untuk memperbaiki kesalahan dan penerimaan Allah atas taubat mereka.”
Jika yang saya paparkan di atas menunjukkan bahwa “membunuh dirimu sendiri” adalah saling bunuh di antara mereka yang sama-sama menyembah patung anak sapi, sebagian ahli tafsir yang lain berpendapat bahwa yang membunuh adalah orang-orang yang tidak menyembah anak lembu dan yang dibunuh adalah orang yang menyembahnya. Ada juga yang berpendapat bahwa mereka diperintah untuk membunuh diri mereka masing-masing untuk bertaubat.
Lepas dari itu semua, ayat di atas menunjukkan bahwa, bagaimanapun, perbuatan musyrik adalah perbuatan nista yang akan berakibat hina, baik di dunia apalagi nanti di akhirat. Upaya pertaubatan dengan membunuh diri sendiri pada masa Nabi Musa barangkali sebagai gambaran betapa perbuatan syirik yang termasuk najis itu harus dikikis dan dikuras habis tanpa tersisa. Karena itu Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidilharam sesudah tahun ini. Dan jika kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberikan kekayaan kepadamu dari karunia-Nya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha-bijaksana (Q.S. At-Taubah [9]: 28)
dan (ingatlah), ketika kamu berkata: “Hai Musa, Kami tidak akan beriman kepadamu sebelum Kami melihat Allah dengan terang, karena itu kamu disambar halilintar, sedang kamu menyaksikannya”
Jangan sampai kita sebagai umat Islam mengikuti jejak perilaku Bani Israil yang sulit untuk dimengerti. Baru saja mereka diberi pelajaran berharga dengan adanya peristiwa pertaubatan “dahsyat” bagi penyembah anak lembu, sekarang pembangkangan terhadap Allah terjadi lagi pada mereka yang diberi kesempatan bertaubat. Dalam sejumlah riwayat dikisahkan bahwa di antara mereka yang diberi kesempatan hidup setelah peristiwa saling membunuh dan sejumlah 70 orang (di antaranya diajak Nabi Musa) untuk datang ke bukit Tursina dan mempelajari kisah yang belum lama mereka alami.
Sesampainya di bukit tersebut, di antara mereka berkata, “Wahai Musa, kami tahu bahwa engkau Nabiyyallah, doamu terkabul, dan engkau mendapat banyak keistimewaan. Patutlah jika kami mendapat sebagian keistimewaan itu dengan melihat Allah secara jelas tanpa perantara dan penghalang sedikit pun. Kami tidak akan beriman dan mempercayai apa yang kamu ajarkan sebelum keinginan kami dikabulkan.”
Tak lama kemudian, Allah mendatangkan halilintar yang menyambar dan menyebabkan mereka yang mengatakan itu terkapar. Sementara sebagian yang lain menyaksikan yang terjadi. Sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa yang disambar tersebut adalah semua yang mengikuti Nabi Musa saat itu. Lantas Nabi Musa meminta kepada Allah agar mereka tidak dibinasakan mengingat merekalah di antara yang terbaik yang tersisa setelah adanya peristiwa pertaubatan dengan cara saling membunuh. Doa Nabi Musa dikabulkan dan diterangkan dalam ayat berikut.
Setelah itu Kami bangkitkan kamu sesudah kamu mati, supaya kamu bersyukur.
Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang tetap memberikan nikmat tiada hingga pada hamba-Nya seberapa besarnya keburukan hamba-Nya jika di samping mereka ada kebaikan hamba-hamba-Nya yang shaleh. Kekeliruan yang dilakukan pengikut Nabi Musa saat itu bila diukur dengan pertimbangan akal manusia sudah tidak layak untuk diberi ampun. Namun, tidak demikian dengan Allah. Atas kasih sayang-Nya kepada Nabi Musa, Allah memberi kesempatan kedua pada Bani Israil dengan dihidupkannya kembali mereka setelah disambar halilintar yang dahsyat.
Para ulama tafsir berbeda pendapat yang dimaksud dengan “mati” dalam ayat tersebut. Menurut sebagian ulama tafsir, yang dimaksud “mati” dalam ayat tersebut adalah mati yang sebenarnya, yaitu berpisahnya ruh dengan jasad, sedangkan menurut sebagian yang lain, “mati” tersebut, berarti pingsan akibat sambaran halilintar.
Terlepas dari perbedaan tersebut, maka yang semestinya menjadi cerminan bagi kita adalah betapa Allah memiliki kasih sayang yang tanpa batas dan ampunan tiada akhir. Selama kita mengusahakan satu lubang kecil untuk masuknya cahaya kasih sayang dan ampunan Allah, maka segera cahaya itu pun datang menerangi dan membawa kebaikan pada kita. Sungguh sesuatu yang sepatutnya kita syukuri.
Dan Kami naungi kamu dengan awan, dan Kami turunkan kepadamu “manna” dan “salwa”. Makanlah dari makanan yang baik-baik yang telah Kami berikan kepadamu; dan tidaklah mereka menganiaya Kami; akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.
Lagi-lagi nikmat yang sungguh luar biasa Bani Israil dapatkan dari Sang Maha-kuasa. Sesaat setelah mereka terbebas dari kejaran Fir’aun dan tiba di daratan dengan selamat, mulailah mereka mengeluhkan kondisi cuaca panas menyengat pada daratan yang baru saja mereka injak. Untuk melindungi keadaan tersebut, Allah menurunkan awan agar mereka ternaungi dari panasnya terik matahari. Tidak sampai di situ, Allah kemudian menurunkan makanan yang tidak ditemui sebelum dan sesudahnya, yaitu manna dan salwa. Sungguh luar biasa!
Bagi kita umat Islam, khususnya di Indonesia saat ini, kenyataan bahwa Allah sangat memuliakan Bani Israil tidak perlu untuk dijadikan kecemburuan. Bila kita coba renungi secara saksama, banyak kemiripan antara deretan nikmat yang pernah Allah berikan kepada Bani Israil dengan deretan nikmat yang Allah berikan kepada Bangsa Indonesia yang berpenduduk mayoritas umat Islam. Pertanyaannya, akankah kita mengikuti jejak Bani Israil yang sungguh membuat Allah jengkel?
Dari serangkaian kisah yang saya kemukakan di atas, satu pelajaran di antaranya dapat kita ambil, bahwa apa pun nikmat yang diberikan Allah, akan dengan sendirinya menjadi seleksi atas keimanan kita. Toh pada kenyataannya banyak yang diberi nikmat lebih, malah menjadikannya semakin kufur kepada Allah. Padahal kufur akan nikmat Allah akan membawa kenistaan dan kemusnahan pada kita semua. Na’dzubillah min dzalik.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar