Dr. H. Aam Amiruddin, M.Si
“Dan ingatlah, ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil, ‘Janganlah kamu menyembah selain Allah dan berbuatbaiklah kepada kedua orang tua, kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin. Bertuturkatalah yang baik kepada manusia, laksanakanlah shalat, dan tunaikanlah zakat.” Namun, kamu berpaling, kecuali sebagian kecil dari kamu, dan kamu membangkang. Dan ingatlah, ketika Kami mengambil janjimu, ‘Janganlah kamu membunuh orang dan mengusir saudara sebangsamu dari kampung halamanmu.’ Kemudian, kamu berjanji dan bersaksi.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 83-84)
***
“Dan ingatlah, ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil, ‘Janganlah kamu menyembah selain Allah dan berbuatbaiklah kepada kedua orang tua, kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin. Bertuturkatalah yang baik kepada manusia, laksanakanlah salat, dan tunaikanlah zakat.” Namun, kamu berpaling, kecuali sebagian kecil dari kamu, dan kamu membangkang.”
***
Ayat ke-83 surat Al-Baqarah di atas mengungkap ikatan perjanjian secara tidak langsung antara Bani Israil dan Allah Swt. Disebut ikatan janji tidak langsung karena perjanjian tersebut berupa kesediaan yang tidak disampaikan secara lisan antara kedua belah pihak yang berhadap-hadapan. Perjanjian tersebut diawali dengan pernyataan kesiapan untuk senantiasa mengikuti dan mentaati ajaran yang dibawa para Rasul.
Secara redaksional, ayat ini menjelaskan jejak riwayat Bani Israil. Namun, secara substansial, khitab ayat ini ditujukan kepada kita, umat Nabi Muhammad Saw. Sangat perlu bagi umat Islam untuk senantiasa mengingat-ingat janji kita kepada Allah melalui keimanan yang terucap dalam lisan mengenai kebenaran Allah beserta rasul-Nya. Pernyatan tersebut, sadar atau tidak, telah mengikat kita dalam sebuah perjanjian dengan Allah. Ikatan janji ruhiah ini sudah dibuat antara Allah dengan hamba-Nya sejak pertama kali diciptakan. Allah Swt. berfirman,
“Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), ‘Bukankah aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab, ‘Betul (Engkau Tuhan kami), Kami menjadi saksi.’ (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).’” (Q.S. Al-Araf [7]: 172)
Berikut ini poin-poin perjanjian antara kita dengan Allah yang dimuat surat Al-Baqarah ayat 83.
1. Beribadah hanya kepada Allah dan tidak akan pernah menyekutukan-Nya. Pernyataan pertama, yang sarat dengan sederet makna, bahwa seluruh hidup ini akan senantiasa diisi dengan beribadah kepada Allah Swt. Tiada yang berhak untuk kita ibadahi selain Dia. Dia-lah yang menciptakan dan Dia-lah yang mengurus serta memberi nikmat kepada kita. Menghambakan diri selain kepada-Nya merupakan pengkhianatan terbesar yang dilakukan. Dalam ayat lain, Allah Swt. berfirman,
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuatbaiklah kepada ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (Q.S. An-Nisa [4]: 36)
2. Berbuat baik (ihsan) kepada kedua orangtua. Allah Swt. menyimpan kata “ihsan” dalam hal perbuatan yang berkaitan dengan orangtua karena kata tersebut mengandung pengertian perbuatan baik dengan tanpa mengharap balas dan imbalan. Adalah kekeliruan yang nyata jika seorang anak berbuat baik untuk orangtuanya dengan harapan ada sesuatu yang bisa dia dapatkan (balasan) dari orangtuanya. Hendaknya diingat oleh anak, dahulu orangtua mengurus mereka dengan segenap ketulusan tanpa mengharap balasan sepeser pun. Dengan peluh bercucuran, orangtua melakukan apa pun yang terbaik dalam hal mendidik dan membesarkan mereka.
Secara garis besar, ruang lingkup berbuat ihsan kepada orangtua digambarkan dalam ayat berikut.
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah, ‘Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.’” (Q.S. Al-Israa [17]: 23-24)
3. Berbuat baik kepada kerabat. Menurut Prof. Quraish Shihab, kata “kerabat” menunjuk pada mereka yang punya hubungan darah karena satu rahim (kandungan). Kerabat dekat artinya saudara yang ada pertalian darah terdekat, seperti kakak dengan adik. Sementara kerabat jauh artinya saudara yang terjadi karena hubungan darah atau pernikahan yang jauh, seperti saudara sepupu, paman, dan sebagainya. Namun, akan lebih menyeluruh jika kerabat lebih dimaknai sebagai persaudaraan dalam ikatan iman dan Islam.
4. Berbuat baik kepada anak yatim. Terminologi yatim umumnya digunakan pada anak yang belum aqil-baligh namun sudah ditinggal mati salah satu atau kedua orangtuanya. Pengertian tersebut tidak bisa dipersalahkan, tetapi belum menyentuh sisi substansi yang utama, yaitu hilangnya anak dari seseorang yang menjadi tempatnya berpangku, melindungi, dan menjamin masa depannya. Sehingga, boleh jadi anak yang memiliki orangtua utuh namun lemah (secara ekonomi) dapat dikategorikan sebagai anak yatim. Keutamaan berbuat kebaikan pada anak yatim disebutkan Rasulullah Saw. dalam hadits berikut.
“Aku dan orang yang mengurus anak yatim berada di surga seperti ini.” Beliau mengisyaratkan dengan kedua jarinya yaitu telunjuk dan jari tengah. (H.R. Bukhari)
Bagaimana kita seharusnya memperlakukan anak yatim? Penjelasannya ada dalam dua ayat berikut.
“Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang.” (Q.S. Adh-Dhuha [93]: 9)
“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan.” (Q.S. Al-Insan [76]: 8)
5. Berbuat baik kepada orang miskin. Orang miskin ialah mereka yang tidak mampu memenuhi kebutuhan sehari-harinya karena kelemahan atau bawaan yang ada pada dirinya. Salah satu yang masuk pada kategori miskin adalah para janda yang tidak mendapat bekal cukup sepeninggal suaminya. Dalam hal ini Rasulullah Saw. bersabda.
Dari Abu Hurairah dari Nabi Saw. bersabda, “Orang yang membantu para janda dan orang-orang miskin sama seperti orang yang berjihad di jalan Allah. Aku mengira beliau bersabda, ‘Dan seperti orang yang shalat malam tidak lelah dan seperti orang puasa tidak berbuka.’” (H.R. Muslim)
6. Bertutur kata yang mulia. Kata-kata apa pun yang keluar dari mulut manusia akan membawa konsekuensi yang tidak sederhana. Untuk itu, kita dituntut agar bertutur kata kepada siapa saja dengan kalimat-kalimat yang mulia. Dalam pengertian tidak menyakitkan, enak didengar, lembut, menarik hati, dan baik. Berbicaralah dengan tidak melukai hati atau menyinggung perasaan orang lain. Kata-kata yang terucap selalu bernilai kebaikan, nasihat, dan menunjukkan pada kebenaran. Bertutur mulia intinya adalah kata-kata yang bermanfaat bagi agama, dunia, dan bermanfaat bagi akhirat.
Dalam salah satu ayat-Nya, Allah mengingatkan kita untuk senantiasa mengatur dan menjaga kata-kata.
“Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (Q.S. Qaaf [50]: 18)
7. Mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Shalat dan zakat merupakan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan satu dari yang lainnya. Shalat merupakan penjaga dan pemelihara hubungan antara hamba dan Allah Swt. Sementara, zakat adalah penjaga dan pembangun hubungan antarsesama manusia, sebuah hubungan yang serasi dan senantiasa menjaga solidaritas serta menjauhkan kesenjangan ekonomi dan sosial. Allah memperingatkan kita dalam firman-Nya.
“Katakanlah, ‘Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa, maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya. Dan kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan (Nya), (yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan zakat dan mereka kafir akan adanya (kehidupan) akhirat.’” (Q.S. Fushshilat [41]: 6-7)
Selesai mengungkap sederet isi perjanjian yang dibuat bersama antara Allah dan hamba-Nya melalui ajaran yang dibawa para Rasul-Nya dalam bentuk perintah, kemudian Allah menurunkan isi perjanjian berikutnya dalam bentuk larangan.
***
“Dan ingatlah, ketika Kami mengambil janjimu, ‘Janganlah kamu membunuh orang dan mengusir saudara sebangsamu dari kampung halamanmu.’ Kemudian, kamu berjanji dan bersaksi.”
***
Larangan pertama adalah membunuh sesama manusia. Menurut Al-Quran, membunuh satu orang sama dengan membunuh satu generasi. Terbunuhnya satu orang akan menghilangkan potensinya memiliki keturunan. Sebaliknya, jika dibiarkan hidup, orang yang bersangkutan akan berketurunan dan berlanjutlah satu generasi dalam garis keturunannya. Maka, membunuh itu dilarang dalam Al-Quran.
Kedua adalah larangan mengusir manusia, yaitu mengusir sesama umat manusia. Ternyata, Yahudi Bani Israil tidak pernah memenuhi janjinya dalam Taurat. Mereka mengusir orang-orang Palestina, padahal orang Palestina berhak menempati negerinya. Orang Palestina pun menjadi terusir dan akhirnya menjadi tamu di negerinya sendiri. Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang harus hidup nomaden, menjadi imigran, atau hidup menderita di barak-barak pengungsian.
Tentu saja, pengusiran tidak harus dalam bentuk fisik dan dilakukan secara berkoloni. Sangat mungkin makna pengusiran berlaku pada satu seorang manakala dia tidak lagi mengindahkan hak-hak hidup orang lain sehingga orang tersebut merasa terpenjara dan jauh dari kenyamanan hidup. Na’udzubillah.
Karenanya, marilah kita segera mawas diri dan menyadari betapa detik-detik hidup yang kita jalani semestinya berada pada jalur yang telah disepakati dengan Sang Maha Pencipta, Allah Swt. yaitu Al-Quran dan sunah. Wallahu a’lam.
“Dan ingatlah, ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil, ‘Janganlah kamu menyembah selain Allah dan berbuatbaiklah kepada kedua orang tua, kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin. Bertuturkatalah yang baik kepada manusia, laksanakanlah shalat, dan tunaikanlah zakat.” Namun, kamu berpaling, kecuali sebagian kecil dari kamu, dan kamu membangkang. Dan ingatlah, ketika Kami mengambil janjimu, ‘Janganlah kamu membunuh orang dan mengusir saudara sebangsamu dari kampung halamanmu.’ Kemudian, kamu berjanji dan bersaksi.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 83-84)
***
“Dan ingatlah, ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil, ‘Janganlah kamu menyembah selain Allah dan berbuatbaiklah kepada kedua orang tua, kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin. Bertuturkatalah yang baik kepada manusia, laksanakanlah salat, dan tunaikanlah zakat.” Namun, kamu berpaling, kecuali sebagian kecil dari kamu, dan kamu membangkang.”
***
Ayat ke-83 surat Al-Baqarah di atas mengungkap ikatan perjanjian secara tidak langsung antara Bani Israil dan Allah Swt. Disebut ikatan janji tidak langsung karena perjanjian tersebut berupa kesediaan yang tidak disampaikan secara lisan antara kedua belah pihak yang berhadap-hadapan. Perjanjian tersebut diawali dengan pernyataan kesiapan untuk senantiasa mengikuti dan mentaati ajaran yang dibawa para Rasul.
Secara redaksional, ayat ini menjelaskan jejak riwayat Bani Israil. Namun, secara substansial, khitab ayat ini ditujukan kepada kita, umat Nabi Muhammad Saw. Sangat perlu bagi umat Islam untuk senantiasa mengingat-ingat janji kita kepada Allah melalui keimanan yang terucap dalam lisan mengenai kebenaran Allah beserta rasul-Nya. Pernyatan tersebut, sadar atau tidak, telah mengikat kita dalam sebuah perjanjian dengan Allah. Ikatan janji ruhiah ini sudah dibuat antara Allah dengan hamba-Nya sejak pertama kali diciptakan. Allah Swt. berfirman,
“Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), ‘Bukankah aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab, ‘Betul (Engkau Tuhan kami), Kami menjadi saksi.’ (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).’” (Q.S. Al-Araf [7]: 172)
Berikut ini poin-poin perjanjian antara kita dengan Allah yang dimuat surat Al-Baqarah ayat 83.
1. Beribadah hanya kepada Allah dan tidak akan pernah menyekutukan-Nya. Pernyataan pertama, yang sarat dengan sederet makna, bahwa seluruh hidup ini akan senantiasa diisi dengan beribadah kepada Allah Swt. Tiada yang berhak untuk kita ibadahi selain Dia. Dia-lah yang menciptakan dan Dia-lah yang mengurus serta memberi nikmat kepada kita. Menghambakan diri selain kepada-Nya merupakan pengkhianatan terbesar yang dilakukan. Dalam ayat lain, Allah Swt. berfirman,
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuatbaiklah kepada ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (Q.S. An-Nisa [4]: 36)
2. Berbuat baik (ihsan) kepada kedua orangtua. Allah Swt. menyimpan kata “ihsan” dalam hal perbuatan yang berkaitan dengan orangtua karena kata tersebut mengandung pengertian perbuatan baik dengan tanpa mengharap balas dan imbalan. Adalah kekeliruan yang nyata jika seorang anak berbuat baik untuk orangtuanya dengan harapan ada sesuatu yang bisa dia dapatkan (balasan) dari orangtuanya. Hendaknya diingat oleh anak, dahulu orangtua mengurus mereka dengan segenap ketulusan tanpa mengharap balasan sepeser pun. Dengan peluh bercucuran, orangtua melakukan apa pun yang terbaik dalam hal mendidik dan membesarkan mereka.
Secara garis besar, ruang lingkup berbuat ihsan kepada orangtua digambarkan dalam ayat berikut.
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah, ‘Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.’” (Q.S. Al-Israa [17]: 23-24)
3. Berbuat baik kepada kerabat. Menurut Prof. Quraish Shihab, kata “kerabat” menunjuk pada mereka yang punya hubungan darah karena satu rahim (kandungan). Kerabat dekat artinya saudara yang ada pertalian darah terdekat, seperti kakak dengan adik. Sementara kerabat jauh artinya saudara yang terjadi karena hubungan darah atau pernikahan yang jauh, seperti saudara sepupu, paman, dan sebagainya. Namun, akan lebih menyeluruh jika kerabat lebih dimaknai sebagai persaudaraan dalam ikatan iman dan Islam.
4. Berbuat baik kepada anak yatim. Terminologi yatim umumnya digunakan pada anak yang belum aqil-baligh namun sudah ditinggal mati salah satu atau kedua orangtuanya. Pengertian tersebut tidak bisa dipersalahkan, tetapi belum menyentuh sisi substansi yang utama, yaitu hilangnya anak dari seseorang yang menjadi tempatnya berpangku, melindungi, dan menjamin masa depannya. Sehingga, boleh jadi anak yang memiliki orangtua utuh namun lemah (secara ekonomi) dapat dikategorikan sebagai anak yatim. Keutamaan berbuat kebaikan pada anak yatim disebutkan Rasulullah Saw. dalam hadits berikut.
“Aku dan orang yang mengurus anak yatim berada di surga seperti ini.” Beliau mengisyaratkan dengan kedua jarinya yaitu telunjuk dan jari tengah. (H.R. Bukhari)
Bagaimana kita seharusnya memperlakukan anak yatim? Penjelasannya ada dalam dua ayat berikut.
“Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang.” (Q.S. Adh-Dhuha [93]: 9)
“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan.” (Q.S. Al-Insan [76]: 8)
5. Berbuat baik kepada orang miskin. Orang miskin ialah mereka yang tidak mampu memenuhi kebutuhan sehari-harinya karena kelemahan atau bawaan yang ada pada dirinya. Salah satu yang masuk pada kategori miskin adalah para janda yang tidak mendapat bekal cukup sepeninggal suaminya. Dalam hal ini Rasulullah Saw. bersabda.
Dari Abu Hurairah dari Nabi Saw. bersabda, “Orang yang membantu para janda dan orang-orang miskin sama seperti orang yang berjihad di jalan Allah. Aku mengira beliau bersabda, ‘Dan seperti orang yang shalat malam tidak lelah dan seperti orang puasa tidak berbuka.’” (H.R. Muslim)
6. Bertutur kata yang mulia. Kata-kata apa pun yang keluar dari mulut manusia akan membawa konsekuensi yang tidak sederhana. Untuk itu, kita dituntut agar bertutur kata kepada siapa saja dengan kalimat-kalimat yang mulia. Dalam pengertian tidak menyakitkan, enak didengar, lembut, menarik hati, dan baik. Berbicaralah dengan tidak melukai hati atau menyinggung perasaan orang lain. Kata-kata yang terucap selalu bernilai kebaikan, nasihat, dan menunjukkan pada kebenaran. Bertutur mulia intinya adalah kata-kata yang bermanfaat bagi agama, dunia, dan bermanfaat bagi akhirat.
Dalam salah satu ayat-Nya, Allah mengingatkan kita untuk senantiasa mengatur dan menjaga kata-kata.
“Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (Q.S. Qaaf [50]: 18)
7. Mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Shalat dan zakat merupakan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan satu dari yang lainnya. Shalat merupakan penjaga dan pemelihara hubungan antara hamba dan Allah Swt. Sementara, zakat adalah penjaga dan pembangun hubungan antarsesama manusia, sebuah hubungan yang serasi dan senantiasa menjaga solidaritas serta menjauhkan kesenjangan ekonomi dan sosial. Allah memperingatkan kita dalam firman-Nya.
“Katakanlah, ‘Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa, maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya. Dan kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan (Nya), (yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan zakat dan mereka kafir akan adanya (kehidupan) akhirat.’” (Q.S. Fushshilat [41]: 6-7)
Selesai mengungkap sederet isi perjanjian yang dibuat bersama antara Allah dan hamba-Nya melalui ajaran yang dibawa para Rasul-Nya dalam bentuk perintah, kemudian Allah menurunkan isi perjanjian berikutnya dalam bentuk larangan.
***
“Dan ingatlah, ketika Kami mengambil janjimu, ‘Janganlah kamu membunuh orang dan mengusir saudara sebangsamu dari kampung halamanmu.’ Kemudian, kamu berjanji dan bersaksi.”
***
Larangan pertama adalah membunuh sesama manusia. Menurut Al-Quran, membunuh satu orang sama dengan membunuh satu generasi. Terbunuhnya satu orang akan menghilangkan potensinya memiliki keturunan. Sebaliknya, jika dibiarkan hidup, orang yang bersangkutan akan berketurunan dan berlanjutlah satu generasi dalam garis keturunannya. Maka, membunuh itu dilarang dalam Al-Quran.
Kedua adalah larangan mengusir manusia, yaitu mengusir sesama umat manusia. Ternyata, Yahudi Bani Israil tidak pernah memenuhi janjinya dalam Taurat. Mereka mengusir orang-orang Palestina, padahal orang Palestina berhak menempati negerinya. Orang Palestina pun menjadi terusir dan akhirnya menjadi tamu di negerinya sendiri. Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang harus hidup nomaden, menjadi imigran, atau hidup menderita di barak-barak pengungsian.
Tentu saja, pengusiran tidak harus dalam bentuk fisik dan dilakukan secara berkoloni. Sangat mungkin makna pengusiran berlaku pada satu seorang manakala dia tidak lagi mengindahkan hak-hak hidup orang lain sehingga orang tersebut merasa terpenjara dan jauh dari kenyamanan hidup. Na’udzubillah.
Karenanya, marilah kita segera mawas diri dan menyadari betapa detik-detik hidup yang kita jalani semestinya berada pada jalur yang telah disepakati dengan Sang Maha Pencipta, Allah Swt. yaitu Al-Quran dan sunah. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar