Keimanan terhadap Islam sebagai sebuah manhajul hayah (sistem hidup) akan senantiasa membawa seorang muslim untuk kembali kepada ajaran agamanya. Segala permasalahan akan diupayakan untuk ditinjau dari “kaca mata” Islam. Bagaimana Islam mendudukkan persoalan tertentu, demikian pula seorang muslim akan mendudukkan persoalan tersebut.
Dunia pendidikan, dalam hal ini, tidak terkecuali. Seorang guru atau tenaga pendidik muslim, sebelum dia berperan sebagai guru atau tenaga pendidik, dia adalah seorang muslim. Artinya, dia akan memenuhi panggilan hati nuraninya untuk senantiasa membawa misi Islam dalam kehidupannya. Dan misi Islam itu adalah: rahmatan lil ’alamin.
Meletakkan wacana pendidikan dalam bingkai ajaran Islam, tentu juga bukan sesuatu yang aneh. Sebab, para nabi dan rasul ’alaihimus shalatu was salam sendiri, yang merupakan manusia-manusia figur keagamaan, adalah guru-guru kehidupan. Tugas pokok dan misi utama mereka adalah pendidikan dan pengajaran. Mereka adalah tokoh-tokoh pendidikan.
Di dalam Al-Qur’an, Allah subhanahu wata’ala mengabadikan doa Nabi Ibrahim, bapak para nabi:
رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آَيَاتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيهِمْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
Artinya: “Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. al-Baqarah/2: 129)
Ayat ini dalam konteks doa Ibrahim untuk anak cucu putranya, Ismail ‘alaihimas salam. Lebih spesifik, ayat ini tentang penutup para nabi sekaligus nabi termulia: Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam.
Dalam doanya itu, Ibrahim merinci misi kenabian Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam. Ia menyebut tiga strategi: membacakan, mengajarkan dan mensucikan. Tak pelak, ketiganya adalah tugas pendidik. Tidak salah bila dikatakan bahwa pendidikan adalah bagian integral dan tak terpisahkan dari ajaran Islam.3)
Makalah ini tidak berpretensi untuk merinci sistem pendidikan Islam. Pendidikan Islam terlalu luas untuk dapat dituangkan dalam tulisan sesederhana ini.4) Makalah ini hanya akan menyinggung dasar falsafah pendidikan Islam beserta metodenya. Dua segi yang dianggap paling mendasar dalam pendidikan. Bila yang pertama merupakan landasan nilai, maka yang kedua adalah implementasi nilai-nilai tersebut.
MOTIVASI KEAGAMAAN
Dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu ’anhu, ”Aku dibawa menghadap Nabi shallallahu ’alaihi wasallam ketika beliau baru tiba di Madinah. Orang-orang berkata, ’Ya Rasulallah, anak ini dari Bani Najjar (sebuah riwayat menyebut usianya waktu itu sebelas tahun). Ia telah hapal tujuh belas surah yang diturunkan padamu.
’Aku kemudian memperdengarkan hapalanku di depan Rasulullah. Beliau kagum dengan bacaanku.
’Beliau berkata, ’Ya Zaid, belajarlah untukku tulisan Yahudi (sebuah riwayat menyebut waktu itu dia bahkan tidak tahu bahasa Yahudi, Suryaniyah). Demi Allah, aku tidak percaya mereka menulis untukku.5)
’Aku kemudian belajar bahasa Yahudi. Tidak sampai setengah bulan, aku telah mampu bahasa Yahudi. Akulah yang menulis surat buat Rasulullah bila beliau bersurat kepada orang-orang Yahudi.
Sejarah Islam penuh dengan daftar ulama dan ilmuwan dalam segala bidang dan spesialisasi. Di zaman mereka, tidak ada sistem gaji atau bonus. Apalagi proyek yang disokong dengan kucuran dana dari pemerintah atau lembaga-lembaga donatur. Tapi, demikianlah. Mereka tetap bekerja dengan tekun walaupun dalam hening. Sebab mereka tahu, ganjaran mereka menunggu di akhirat. Sumber motivasi mereka satu: agama.
Agama adalah rahasia sejarah yang terbesar. Sepanjang sejarah manusia, tidak ada faktor yang mampu menggerakkan bahkan mengarahkan jarum sejarah seperti yang dilakukan agama.
Sayangnya, secara sadar ataupun tidak, pendidikan kita selama ini lebih kerap mengabaikan faktor agama. Agama atau sisi spiritual kehidupan manusia cenderung dilupakan kalau tidak malah diupayakan untuk disingkirkan. Padalah, pada sisi inilah tersimpan potensi dahsyat manusia. Karena ia merupakan puncak kesadaran tertinggi kehidupannya.
Lebih jauh, praktik pendidikan kemudian hanya memandang manusia sebagai instrumen material. Baik itu instrumen bagi kekokohan suatu negara atau bahkan ideologi tertentu. Dalam banyak kasus, paradigma pertumbuhan (atau dalam bahasa populer: pengembangan sumber daya manusia) yang merupakan representasi ideologi kapitalistik kerap menjadi acuan.
Dalam kerangka pendidikan yang “berbau” kapitalistik ini, peserta didik diarahkan untuk menjadi buruh atau tenaga kerja yang berkualitas. Bukan untuk menjadi manusia yang mandiri dengan cita-cita yang tinggi. Di sini, azas manfaat yang berjangka pendek mendominasi. Tujuan pendidikan model ini jelas: untuk menjadi penopang bagi kelestarian kapitalisme global.6)
Islam menawarkan paradigma ”langit.” Pendidikan dan belajar adalah bagian dari iman. Tujuannnya: menyempurnakan ubudiyah kepada Allah subhanahu wata’ala (ibadah). Azasnya juga jelas: kemaslahatan bagi umat dan kemanusiaan (khilafah atau ’imaratul ardh).7)
Dalam ungkapan yang sedikit menyindir, al-Attas, seorang pakar pendidikan Islam menyitir bahwa warga negara atau pekerja yang baik dalam sebuah negara sekuler, sebagai contoh, tidak sama dengan manusia yang baik/shalih (simplifikasi istilah untuk ibadah dan khilafatul ’ardh). Sebaliknya, manusia yang baik/shalih sudah pasti seorang pekerja dan warga negara yang baik.8)
Dengan kata lain, pelajar yang memiliki motivasi keagamaam dalam belajar dan bekerja akan memiliki etos kerja dan kreativitas sekaligus. Sebab, dia bekerja dengan semangat yang terpaut dengan keyakinan dasar agama. Pekerjaan yang dia geluti akan dia posisikan sebagai bagian dari pengabdiannya kepada Allah.
Di samping itu, dia juga kreatif. Dia tidak akan pernah terpaku pada satu kondisi tertentu. Sebab, dia melihat pekerjaan dan pengabdiannya dalam kerangka yang lebih luas. Untuk kemajuan Islam, umat Islam dan kemanusiaan. Ia akan terus mengabdi. Sejauh pelajaran dan pekerjaannya itu demi mewujudkan kemajuan tersebut.
PENDIDIKAN BERBASIS ADAB DAN AKHLAK
Benarkah kita telah menyelenggarakan pendidikan? Lantas, bagaimana menjelaskan tindakan premanisme, korup, asusila, dan tindakan amoral dan melanggar hukum lainnya yang justru dilakukan oleh “orang-orang terdidik” dan dari “institusi-institusi dan lembaga terhormat” di negeri kita? Dimana letak kesalahan pendidikan selama ini?
Dalam menyikapi realitas pendidikan sebagaimana disinggung, menarik untuk dikaji pula sebuah sikap ”setengah hati” bangsa kita. Di tengah konsensus bahwa sumber krisis berkepanjangan yang dialami bangsa Indonesia adalah krisis moral, tapi sejauh ini, tidak ditemukan gerakan yang menyeluruh dan mendasar yang telah kita lakukan untuk mengentaskannya. Apakah kita telah benar-benar serius untuk dapat meyelesaikan masalah yang kita hadapi?
Pada titik ini, konsepsi pendidikan Islam, yang meletakkan adab dan akhlak sebagai fondasinya, sangat tepat dikemukakan. Sebelum melangkah lebih jauh, segera harus digarisbawahi bahwa adab dan akhlak hendaknya tidak dipahami sebagai dasar-dasar moral tanpa bentuk-bentuk praktis dalam kehidupan keseharian. Sebagaimana adab dan akhlak juga tidak boleh dipahami sebatas tata krama dan etika praktis, sehingga tidak menyentuh nilai-nilai kecendikiawanan dan tradisi keintelektualan yang menjadi basis bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Apa yang dimaksud dengan adab dan akhlak di sini adalah kualitas-kualitas mental, spiritual, sikap dan perilaku dan yang mencakup itu semua.
Pendidikan Islam meletakkan pendidikan adab dan akhlak dalam posisi yang sangat sentral. Pengamatan sepintas penulis menunjukkan bahwa hampir tidak ditemukan satu pun tulisan ulama yang membahas thalab al-‘ilm (belajar dan pembelajaran) tanpa memberi penekanan khusus pada aspek ini.
Al-Husain ibn Ismail menceritakan dari ayahnya bahwa manusia yang menghadiri majlis Imam Ahmad bin Hambal sekitar 5000-an orang atau lebih. Dari jumlah tersebut, kurang dari 500 orang yang mencatat pelajaran. Sisanya datang untuk belajar adab dan budi pekerti Imam Ahmad! Patut dicatat bahwa majlis-majlis ilmu pada masa itu, sebagaimana dilaporkan Imam az-Dzahabi, umumnya dihadiri oleh ratusan ulama yang berkualifikasi dapat mengeluarkan fatwa sendiri. Persaksian ini menegaskan posisi pendidikan adab dan akhlak dalam tradisi keilmuan Islam.
Lebih jauh, dalam pendidikan Islam, pendidikan adab dan akhlak bahkan didahulukan daripada pendidikan pada segi-segi yang lain. “Pendahulu-pendahulu saya,” tutur Sufyan at-Tsauri (w. 161 H.), “tidak mengizinkan anak-anak mereka keluar menuntut ilmu sebelum anak-anak tersebut beradab dan terbiasa dengan ibadah dua puluh tahun.” Pernyataan senada diungkapkan juga oleh Muhammad ibn Sirin (w. 110 H.), Ubaidullah ibn Umar (w. 147 H.), al-Laits ibn Saad (w. 175 H.), Abdullah ibn al-Mubarak (w. 181 H.), Mikhlad ibn Husain (w. 191 H.), Ibrahim ibn Habib as-Syahid (w. 203 H.), dll. Itu sebabnya, dahulu dikenal istilah mu-addib. Istilah ini untuk merujuk kepada orang-orang yang secara khusus melatih hapalan Al-Qur’an, mengajarkan membaca, menulis, dan melatih adab, akhlak dan ibadah kepada anak-anak didiknya.
Penekanan pada aspek adab dan akhlak dalam dalam pendidikan Islam tersebut tampaknya karena, dalam perspektif Islam, belajar bukanlah demi dan untuk belajar itu sendiri. Tapi belajar dianggap sebagai bagian dari usaha mendapat hidayah. Ilmu bahkan dipersepsikan sebagai bagian dari hidayah itu sendiri.
Imam as-Syafi’i menceritakan pengalamannya dalam sebuah lantunan sya’ir:
شكوت إلى وكيع سوء حفظي # فأرشدني إلى ترك المعاصي
وأخـبرنـي بأن العـلم نـور # ونور الله لا يهدى للعاصي
Ungkapan ini adalah penjabaran dari hadits Rasulullah :
من يرد الله به خيرا يفقّهه في الدين
Artinya: “Barangsiapa yang Allah menghendaki kebaikan bagi dirinya, Allah akan memberikan kepadanya pemahaman terhadap agama.”
Di sinilah mungkin salah satu perbedaan antara pendidikan yang kita kembangkan dengan pendidikan Islam. Dalam pendidikan kita, aksiologi ilmu justru diletakkan di urutan terakhir. Tradisi intelektual dan kecendikiawanan yang seharusnya ditanamkan sejak dini, baru ditanamkan ketika peserta didik menginjak bangku kuliah. Tugas mengkaji, metodologi penelitian, kemampuan berpikir kritis dan logis, objektif dalam menilai, jujur, sportif, dsj, nanti diberikan pada usia dewasa. Padahal, bila kita benar-benar menginginkan agar nilai-nilai tersebut dapat tertanam dalam sikap dan prilaku peserta didik, seharusnyalah sudah ditekankan lebih awal.
REKONSTRUKSI EPISTIMOLOGIS
Secara dikhotomis, ilmu-ilmu yang diajarkan kepada peserta didik dibagi umumnya kepada ilmu-ilmu umum-sekuler dan agama. Klasifikasi ini, kendati terkesan sekadar penyederhanaan, tapi sebenarnya memiliki dasar argumentasi yang cukup kuat.
Sulit dipungkiri bahwa ilmu-ilmu yang berkembang di Barat yang kemudian dikembangkan pula di sekolah-sekolah umum negara-negara dunia ketiga, yang umumnya berpenduduk muslim, bias dengan worlview dan framework Barat yang notabene sekuler. Bukankah teori Maslow tentang hierarki kebutuhan tidak menempatkan kebutuhan kepada Allah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia? Bukankah prime-theory evolusi Darwin merupakan upaya sengaja untuk mengenyampingkan kenyataan bahwa manusia terdiri dari akal, tubuh dan jiwa? Mengapa psikologi cuma melihat dimensi yang terlihat (visible) dari manusia dan melupakan peran hawa nafsu atau syetan, sebagaimana termaktub dalam kitab-kitab suci? Pernahkah guru sains kita memberi penyadaran kepada anak didiknya bahwa konsistensi fenomena alam sebagai sunnatullah (aturan dan hukum Allah). Dan bukannya “hukum alam”, istilah yang bila disalahpahami bisa menggiring kepada pengingkaran terhadap peran Tuhan di alam semesta? Mengapa antropologi tidak pernah menyinggung eksistensi para nabi dan rasul, kendati dia adalah fakta yang diakui oleh tiga agama besar dunia? Sederet lagi pertanyaan lain yang menggelitik yang simpul-simpulnya dapat pembaca lihat pada lampiran 1 pada bagian lain dari makalah ini.
Problem epistimologis inilah yang melahirkan wacana islamisasi ilmu pengetahuan. Dalam kerangka epistimologi alternatif ini, ilmu pengetahuan tidak dibatasi pada hasil rasio dan pengalaman empiris semata. Tapi peran wahyu diikutkan bahkan menempati puncak hierarki ilmu.
Timbulnya perilaku menyimpang, sebagai misal, tidak melulu dilihat dari sudut materi dengan kacamata positivistik. Seperti teori tentang adanya sub-kultur yang menyimpang dari mainstream sosial, atau teori tentang adanya reference group lain yang menjadi acuan, atau akibat dari ketidakmampuan beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi.
Analisa-analisa teoritis yang dikutip di atas sangat materialistik dan menempatkan manusia sebagai makhluk tak berdaya. Seakan manusia tidak memiliki kekuatan untuk berkehendak dan bertindak sesuai dengan kehendak hidupnya itu. Di samping itu, menafikan peran syetan dan hawa nafsu.
Kenyataan inilah yang kiranya menjadikan dewasa ini banyak orang agama yang kurang bersemangat belajar umum. Seperti halnya tidak sedikit orang umum yang ogah-ogahan belajar agama. Sebab, telah terjadi semacam keterbelahan epistimologis. Wahyu agama yang “diimani” seakan tak berharga ketika berbicara dalam konteks ilmu pengetahuan. Ini di satu sisi.
Pada sisi yang lain, hal ini juga menjelaskan mengapa cendikiawan muslim dahulu memiliki wawasan keilmuan yang integralistik. Dikhotomi-dilematis: dunia-akhirat, subjektif-objektif, iman-ilmu, qalb-rasio, substansi-simbol, dsb, tidak mereka hadapi.
Dalam tataran yang lebih praktis, problem epistimologis ini juga memiliki pengaruh langsung dalam pembelajaran. Filsafat konstruktivisme yang dianut luas dalam pembelajaran modern, misalnya, berangkat dari asumsi relativitas mutlak pengetahuan manusia yang disandarkan pada nilai pragmatisme pengetahuan dan kebenaran. Sebab, yang penting di sini adalah bagaimana suatu konsep dapat berlaku atau dapat digunakan.
Sebagai dampaknya, tidak ada otoritas mutlak yang pasti benar. Walaupun itu berasal dari wahyu yang benar atau didasarkan pada fitrah yang suci. Sikap skeptik berlaku mutlak dalam seluruh proses pembelajaran model konstruktivisme.
Dalam Islam, pragmatisme ilmu semata tidak dapat diterima. Menurut Islam, norma-norma agama, berupa syariat, tetap harus dikedepankan. Kesimpulannya, filsafat pendidikan ini, terutama pada segi-segi yang telah dikemukakan, menabrak beberapa konsep baku dalam Islam.
Kondisi riil di lapangan lebih memprihatinkan lagi. Alih-alih mengintegrasikan nilai dan ajaran Islam terhadap ilmu-ilmu umum, yang terjadi justru marginalisasi pelajaran agama. Bukan rahasia lagi bila pelajaran-pelajaran agama kerap dipandang hanya sebagai pelengkap belaka. Pelajaran agama tidak diposisikan untuk menjiwai pelajaran-pelajaran lain.
Dalam kerangka rekonstruksi epistimologi ini, tenaga-tenaga pendidik bertanggung jawab untuk meningkatkan kualitas pemahaman mereka terhadap ajaran Islam. Sebab bila tidak, mereka turut memiliki saham dalam melahirkan generasi-generasi bangsa masa depan yang menderita dis-orientasi dalam kehidupannya. Karena dengan hanya berbekalkan ilmu-ilmu Barat sebagaimana digambarkan, pemahaman tentang realitas dan kebenaran tidak akan pernah sempurna dan tuntas. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat religius dengan jumlah penduduk mayoritas muslim terbesar di dunia. Bila aspek ini tidak segera dibenahi, maka di masa yang akan datang, tidak mustahil nilai religiusitas yang menjadi ciri kebangsaan itu hanya tinggal kenangan.
Dari pemaparan di atas, beberapa metode yang merupakan implementasi nilai-nilai pendidikan Islam yang dapat direkomendasikan adalah, antara lain:
a. Tumbuhkan afiliasi serta keterikatan emosi peserta didik dengan agama dan umatnya lewat pendidikan sejarah Islam dan biografi tokoh-tokoh dan pahlawan muslim
b. Tumbuhkan semangat dan militansi juang peserta didik dengan membekali mereka dengan pemahaman terhadap kondisi dan tantangan yang dihadapi umat
c. Luruskan pemahaman peserta didik tentang konsep ibadah yang mencakup seluruh aktivitas kehidupan sepanjang sejalan dengan nilai-nilai ajaran Islam
d. Biasakan peserta didik dengan akhlak dan adab-adab islami, baik itu dengan pengajaran langsung maupun lewat teladan dari guru
e. Tanamkan nilai-nilai luhur, kecendekiawanan dan etos kerja yang islami sejak dini kepada peserta didik
f. Kembangkan model-model pembelajaran yang holistik dan menyeluruh dengan memanfaatkan dasar-dasar ilmu pengetahuan dalam Islam
Wallaahul muwaffiq wal haadii ilaa sawaa-is sabiil.
(Tulisan ini beserta lampiran dapat didownload di menu "Download Terbaru")
Footnote :
1) Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Islami: ”Selamatkan Generasi Muda Dengan Pendidikan Islami,” Forum Ukhuwah Pemuda dan Mahasiswa Islam (FUAS) – BONE, Islamic Center Kab. Bone, 3 Rajab 1429 H./6 Juli 2008 M.
2) Alumni al-Jami’ah al-Islamiyah, Madinah al-Munawwarah, Kerajaan Saudi Arabia dan dosen tetap Ma’had ‘Aly al-Wahdah, Makassar.
3) Harus segera dicatat bahwa pembahasan tentang sistem pendidikan Islam hendaknya tidak diletakkan secara a priori dalam semangat primordialisme atau sektarianisme. Sistem pendidikan Islam seyogyanya justru dipandang sebagai usaha untuk lebih mendorong terciptanya dunia pendidikan yang lebih manusiawi dan memberdayakan.
Sebagaimana juga patut ditekankan bahwa sistem pendidikan Islam hendaknya tidak dibatasi pengertiannya dalam sistem pendidikan yang selama ini berjalan di pesantren atau madrasah. Sebab, kedua institusi tersebut tidak lebih dari sebuah eksperimen yang berupaya menerapkan sistem pendidian Islam. Tidak tertutup kemungkinan eksperiman itu dikembangkan lagi atau bahkan direvisi.
4) Kajian komprehensif tentang pendidikan Islam dapat ditelusuri dalam Abdurrahman an-Nahlawi, Ushul at-Tarbiyah al-Islamiyah (Damaskus: Dar al-Fikr, 1999 M.), Hasan ibn Ali Hasan al-Hijazi, al-Fikr at-Tarbawi ‘inda Ibn al-Qayim. Diterjemahkan oleh Muzaidi Hasbullah dengan Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001 M.), dan Muhammad Quthb, at-Tarbiyah al-Islamiyah. Diterjemahkan oleh Salman Harun dengan judul Sistem Pendidikan Islam (Bandung: PT. Alma’arif, 1993).
Namun, secara garis besar, konsep pendidikan Islam dapat dibedakan dengan konsep pendidikan yang lain dengan mengacu pada azas-azas fikriyah, ‘aqadiyah, tasyri’iyah dan akhlaqiyah. Dan sebagai satu pendekatan, praktik pendidikan Islam periode Nabi dan Khulafa Rasyidun dapat dijadikan sebagai model. Menurut kajian al-‘Umari, azas-azas pendidikan periode awal Islam adalah: otonomi pendidikan, pendidikan untuk semua, pendidikan gratis, adab dan akhlak sebagai fondasi ilmu, at-ta’lim al-mustamir/long-life education, at-ta’lim az-dzati (swadaya pribadi), dan tarakum al-ma’rifah (perspektif integralitas dimana ilmu-ilmu yang berbeda dipandang saling berhubung dan secara total). Bandingkan: Abdurrahman an-Nahlawi, ibid., h. 27-104; Akram Dhiya’ al-‘Umari, ‘Ashr al-Khilafah ar-Rasyidah: Muhawalah li Naqd ar-Riwayah at-Tarikhiyah Wifq Manahij al-Muhadditsin (Riyadh: Maktabah al-‘Ubaykan, 1419 H./1998 M.), h. 268-273.
5) HR. Bukhari ta’liqan, juga Abu Dawud dan Tirmidzi. Imam al-Hakim menshahihkannya. Lihat: Muhammad bin Ahmad az-Dzahabi, Juz. II (Beirut: Mu-assasah ar-Risalah, 1402 H./1982 M.), h. 428-429.
6) Secara tidak langsung, logika kapitalisme ini juga mendorong lahirnya kapitalisasi atau komodifikasi pendidikan. Lihat: Darmaningtyas, Pendidikan Rusak-rusakan (Yogyakarta: LKIS, 2005 M.), h. 247-262.
7) Lihat: QS. az-Dzariyat/51: 56, artinya: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” Lihat: Abdurrahman an-Nahlawi, ibid., h. 107-108; dan QS. al-An’am/6: 165, artinya: “Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi.”
8) Syed Muhammad Naquib al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, monograf, 1973 M., h. 51-52; sebagaimana dalam Wan Mohd Nor Wan Daud, Konsep al-Attas tentang Ta’dib: Gagasan Pendidikan Yang Tepat dan Komprehensif dalam Islam, ISLAMIA, thn. I, no. 6, Juli-September 2005 M., h. 76-77.
2) Alumni al-Jami’ah al-Islamiyah, Madinah al-Munawwarah, Kerajaan Saudi Arabia dan dosen tetap Ma’had ‘Aly al-Wahdah, Makassar.
3) Harus segera dicatat bahwa pembahasan tentang sistem pendidikan Islam hendaknya tidak diletakkan secara a priori dalam semangat primordialisme atau sektarianisme. Sistem pendidikan Islam seyogyanya justru dipandang sebagai usaha untuk lebih mendorong terciptanya dunia pendidikan yang lebih manusiawi dan memberdayakan.
Sebagaimana juga patut ditekankan bahwa sistem pendidikan Islam hendaknya tidak dibatasi pengertiannya dalam sistem pendidikan yang selama ini berjalan di pesantren atau madrasah. Sebab, kedua institusi tersebut tidak lebih dari sebuah eksperimen yang berupaya menerapkan sistem pendidian Islam. Tidak tertutup kemungkinan eksperiman itu dikembangkan lagi atau bahkan direvisi.
4) Kajian komprehensif tentang pendidikan Islam dapat ditelusuri dalam Abdurrahman an-Nahlawi, Ushul at-Tarbiyah al-Islamiyah (Damaskus: Dar al-Fikr, 1999 M.), Hasan ibn Ali Hasan al-Hijazi, al-Fikr at-Tarbawi ‘inda Ibn al-Qayim. Diterjemahkan oleh Muzaidi Hasbullah dengan Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001 M.), dan Muhammad Quthb, at-Tarbiyah al-Islamiyah. Diterjemahkan oleh Salman Harun dengan judul Sistem Pendidikan Islam (Bandung: PT. Alma’arif, 1993).
Namun, secara garis besar, konsep pendidikan Islam dapat dibedakan dengan konsep pendidikan yang lain dengan mengacu pada azas-azas fikriyah, ‘aqadiyah, tasyri’iyah dan akhlaqiyah. Dan sebagai satu pendekatan, praktik pendidikan Islam periode Nabi dan Khulafa Rasyidun dapat dijadikan sebagai model. Menurut kajian al-‘Umari, azas-azas pendidikan periode awal Islam adalah: otonomi pendidikan, pendidikan untuk semua, pendidikan gratis, adab dan akhlak sebagai fondasi ilmu, at-ta’lim al-mustamir/long-life education, at-ta’lim az-dzati (swadaya pribadi), dan tarakum al-ma’rifah (perspektif integralitas dimana ilmu-ilmu yang berbeda dipandang saling berhubung dan secara total). Bandingkan: Abdurrahman an-Nahlawi, ibid., h. 27-104; Akram Dhiya’ al-‘Umari, ‘Ashr al-Khilafah ar-Rasyidah: Muhawalah li Naqd ar-Riwayah at-Tarikhiyah Wifq Manahij al-Muhadditsin (Riyadh: Maktabah al-‘Ubaykan, 1419 H./1998 M.), h. 268-273.
5) HR. Bukhari ta’liqan, juga Abu Dawud dan Tirmidzi. Imam al-Hakim menshahihkannya. Lihat: Muhammad bin Ahmad az-Dzahabi, Juz. II (Beirut: Mu-assasah ar-Risalah, 1402 H./1982 M.), h. 428-429.
6) Secara tidak langsung, logika kapitalisme ini juga mendorong lahirnya kapitalisasi atau komodifikasi pendidikan. Lihat: Darmaningtyas, Pendidikan Rusak-rusakan (Yogyakarta: LKIS, 2005 M.), h. 247-262.
7) Lihat: QS. az-Dzariyat/51: 56, artinya: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” Lihat: Abdurrahman an-Nahlawi, ibid., h. 107-108; dan QS. al-An’am/6: 165, artinya: “Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi.”
8) Syed Muhammad Naquib al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, monograf, 1973 M., h. 51-52; sebagaimana dalam Wan Mohd Nor Wan Daud, Konsep al-Attas tentang Ta’dib: Gagasan Pendidikan Yang Tepat dan Komprehensif dalam Islam, ISLAMIA, thn. I, no. 6, Juli-September 2005 M., h. 76-77.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar