STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Selasa, 20 September 2011

FILSAFAT ANTROPOLOGI (Bag.2)

Filsafat Manusia secara umum bertujuan menyelidiki, menginterpretasi dan memahami gejala-gejala atau ekspresi-ekspresi manusia sebagaimana pula halnya dengan ilmu-ilmu tentang manusia (human studies). Adapun secara spesifik bermaksud memahami hakikat atau esensi manusia. Jadi, mempelajari filsafat manusia sejatinya adalah upaya untuk mencari dan menemukan jawaban tentang siapakah sesungguhnya manusia itu?
Obyek kajiannya tidak terbatas pada gejala empiris yang bersifat observasional dan atau eksperimental, tetapi menerobos lebih jauh hingga kepada gejala apapun tentang manusia selama bisa atau memungkinkan untuk dipikirkan secara rasional.
Metodenya: (1) Sintesis, yakni mensintesakan pengetahuan dan pengalaman kedalam satu visi yang menyeluruh tentang manusia; (2) Refleksi, yakni mempertanyakan esensi sesuatu hal yang tengah direnungkan sekaligus menjadikannya landasan bagi proses untuk memahami diri sendiri (self understanding).
Cirinya: (1) Ekstensif, yakni mencakup segala aspek dan ekspresi manusia, lepas dari kontekstualitas ruang dan waktu. Jadi merupakan gambaran menyeluruh (universal) tidak fragmentaris tentang realitas manusia; (2) Intensif, yakni bersifat mendasar dengan mencari inti, esensi atau akar yang melandasi suatu kenyataan; dan (3) Kritis, atau tidak puas pada pengetahuan yang sempit, dangkal dan simplistis tentang manusia. Orientasi telaahnya tidak berhenti pada “kenyataan sebagaimana adanya” (das Sein) tetapi juga berpretensi untuk mempertimbangkan “kenyataan yang seharusnya atau yang ideal) (das Sollen).

Manfaatnya, secara: (1) Praktis, mengetahui tentang apa atau siapa manusia dalam keutuhannya, serta mengetahui tentang apa dan siapa diri kita ini dalam pemahaman tentang manusia tersebut; dan (2) secara Teoritis, untuk meninjau secara kritis beragam asumsi-asumsi yang berada di balik teori-teori dalam ilmu-ilmu tentang manusia.
Diharapkan dengan mempelajari filsafat manusia, seseorang akan menyadari dan memahami tentang kompleksitas manusia yang takkan pernah ada habisnya untuk senantiasa dipertanyakan tentang makna dan hakikatnya. Sejauh “misteri” dan “ambiguitas” manusia ini disadari dan dipahami, seseorang akan menghindari sikap sempit dan tinggi hati.
http://peziarah.wordpress.com/2007/02/02/pengantar-filsafat-manusia/
Filsafat manusia perlu dipelajari karena manusia adalah makhluk yang mempunyai kemampuan hak istimewa dari sampai batas tertentu memiliki tugas menyelidiki hal-hal secara mendalam. Manusia dapat mengatur dirinya untuk dapat membedakan apa yang baik dan buruk baginya yang harus diperoleh dari hakikat diri manusia.
Kesulitan Bagi Suatu Filsafat Manusia
Filsafat berpretensi mengatakan apa yang paling penting bagi manusia. Para filsuf mangatakan dan menimbulkan berbagai pendapat. Bagi Platon dan Platin misalnya, manusia adalah suatu makhluk ilahi. Bagi Epicura dan Lekritius sebaliknya manusia yang berumur pendek lahir karena kebetulan dan tidak berisi apa-apa. Descartes mengambarkan manusia sebagai terbetuk dari campuran antara dua macam bahan yang terpisah, badan dan jiwa.
Apakah manusia itu, dan darimana datangnya manusia, tempat apakah yang didudukinya dalam alam semesta yang luas, darimana manusia datang dan untuk apakah ia ditakdirkan.
Manusia mampu mengetahui dirinya dengan kemampuan berpikir yang ada pada dirinya. Manusia menghasilkan pertanyaan tentang segala sesuatu. Filsafat lahir karena berbagai pertanyaan yang diajukan oleh manusia. Ketika Manusia mulai menanyakan keberadaan dirinya, filsafat manusia lahir dan mempertanyakan, “siapakah Kamu Manusia?” Manusia bisa memikirkan dirinya, tapi apakah tujuan pertanyaan yang diajukannya. Keberadaan dirinya diantara yang lain yang membuat menusia perlu mendefinisikan keberadaan dirinya.
Apabila pernyataan bahwa manusia dapat mengatur dirinya untuk dapat membedakan apa yang baik dan buruk baginya yang harus diperoleh dari hakikat diri manusia. Hakikat diri manusia tidak akan muncul ketika tidak terdapat pembanding diluar dirinya. Sesuatu yang baik dan buruk pada manusia menunjukkan dirinya ada dinilai diantara keberadaan yang lain.
http://phadli23.multiply.com/journal/item/10/filsuf
Pikiran itu adalah kesadaran, tidak mengambil tempat dalam ruang. Materi adalah perluasan, mengambil tempat dalam ruang dan tidak
mempunyai kesadaran. Kedua substansi tersebut tidak mempunyai hubungan satu sama lain. Pikiran sama sekali tidak tergantung pada materi, sebaliknya proses materi juga tidak tergantung pada pikiran à dualisme.
Manusia adalah makhluk ganda yang mempunyai pikiran dan badan perluasan. Apa yang kita pikirkan dengan akal kita tidak terjadi di dalam badan – itu terjadi di dalam pikiran, yang sama sekali tidak tergantung
pada realitas perluasan. Namun Descartes tidak dapat menyangkal bahwa ada interaksi konstan antara pikiran dan badan. Interaksi konstan berlangsung antara “roh” dan “materi”. Pikiran dapat selalu dipengaruhi oleh perasaan dan nafsu yang berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan badaniah.
Namun pikiran dapat bekerja tanpa tergantung pada badan (jika aku
merasakan sakit yang amat-sangat pada perutku, jumlah sudut dalam sebuah segitiga tetap 180 derajat. Maka manusia mempunyai kemampuan untuk bangkit mengatasi kebutuhan-kebutuhan badaniah dan bertindak secara rasional. Dalam hal ini pikiran lebih unggul daripada
badan.
Individu tidak ditempatkan di hadapan Ketiadaan, melainkan di hadapan Tuhan. Yang harus dipersoalkan terutama subyektivitas dari kebenaran, yaitu bagaimana kebenaran dapat menjelma dalam kehidupan individu. Kebenaran obyektif – termasuk agama – harus mendarah daging dalam si individu. Yang penting ialah bahwa aku memahami diriku sendiri, bahwa kulihat dengan jelas apa yang Tuhan kehendaki sungguh-sungguh agar aku perbuat. Yang terutama kubutuhkan ialah mendapatkan suatu kebenaran yang adalah benar untuk aku, suatu ide yang bisa mengilhami kehidupan dan kematianku.
http://groups.yahoo.com/group/METAMORPHE/message/1910
Menurut tinjauan kefilsafatan manusia adalah makhluk yang bertanya, dalam hal ini manusia sebagai makhluk yang mempertanyakan dirinya sendiri dan keberadaannya. Dalam hal ini manusia mulai tahu keberadaannya dan menyadari bahwa dirinya adalah penanya.
Apabila ditinjau dari segi dayanya, maka jelaslah manusia memiliki dua macam daya. Disatu pihak manusia memiliki daya untuk mengenal dunia rohani, yang nous, suatu daya intuitip, yang kerena kerjasama dengan akal menjadikan manusia dapat memikirkan serta membicarakan hal-hal yang rohani. Di lain pihak manusia memiliki daya pengamatan (aisthesis), yang karena pengamatan yang langsung yang disertai dengan daya penggambaran atau penggagasan menjadikan manusia memiliki pengetahuan yang berdasarkan pengamatan.
Manusia terdiri dari jiwa dan tubuh, yang keduanya dapat berdiri sendiri-sendiri. Jiwa berada dalam tubuh seperti terkurung dalam penjara dan hanya kematian yang dapat melepaskan belenggu tersebut.
Tujuan kefilsafatan manusia diatas menitik beratkan pada dayanya, manusia sebagai idea, yaitu sebagai manusia yang tak bertubuh. Telah ada kekal sejak logos, jiwa dibedakan antara jiwa sebagai kekuatan hidup (psuke) dan jiwa sebagai kekuatan akali (nous, dianoia, psuke logike). Jiwa sebagai kekuatan hidup berada dalam darah dan tidak dapat binasa. Jiwa yang besifat akali ayau nous lebih tinggi tingkatannya karena merupakan jiwa yang bersifat ilahi. Sebelum manusia dilahirkan jiwa ini sudah ada jiwa ini tidak dapat binasa. Ia memasuki tubuh dari luar. Di dalam tubuh jiwa itu dipenjara. Karena itu hidup di dunia ini adalah kejahatan. Kematian merupakan wujud suatu kebebasan, dimana manusia orang dibangkitkan kepada hidup yang sejati dan kepada kebebasan.
Menurut Fichte manusia secara prinsipil adalah makhluk yang bersifat moral yang di dalamnya mengandung suatu usaha. Di sinilah manusia perlu menerima dunia di luar dirinya. Sikap seperti ini dapat menjadikan manusia menyadari dirinya sendiri dan usaha untuk membatasi dirinya sendiri dari masyarakat luas.
Hakikat pemikiran para filsuf tentang manusia pada umumnya mengacu kepada hakikat manusia itu sendiri. Menurut Kierkegaard, pertama-tama yang penting bagi manusia adalah keadaannya sendiri atau eksistensinya sendiri. Akan tetapi eksistensi manusia bukanlah suatu “ada” melainkan suatu “menjadi”, yang mengandung di dalamnya suatu perpindahan, yaitu perpindahan dari “kemungkinan” ke “kenyataan”. Eksistensi manusia adalah suatu eksistensi yang dipilih dalam kebebasan.
Materialisme telah diawali sejak filsafat Yunani yakni sejak munculnya filsuf alam Yunani, kemudian kaum Stoa dan Epikurisme. Paham ini mulai memuncak pada abad ke-19 di Eropa. Materialisme ekstrim memandang bahwa manusia terdiri dari materi belaka.
Seorang tokoh filsafat alam (Anaximandros) memberikan pandangan tentang manusia. Anaximandros mengatakan tidak mungkin manusia pertama timbul dari air dalam rupa anak bayi. Anaximandros beranggapan bahwa manusia-manusia pertama tubuh di dalam badan seekor ikan, kemudian bilamana manusia-manusia pertama mampu memelihara hidupnya sendiri, mereka dilemparkan di atas daratan. Ia mendasari anggapannya atas observasi (walaupun tidak tepat) pada seekor ikan hiu (gaelus levis) di laut Yunani.
Pandangan Lemettrie (1709-1751) sebagai pelopor materialisme menyebutkan bahwa manusia tidak lain adalah binatang, binatang tak berjiwa, material belaka, jadi manusia pun material belaka. Kesimpulannya : bahan bergerak sendiri, adapun yang disebut orang sebagai pikiran itupun merupakan sifat material, terutama kerja atau tindakan otak. Dalam gerak-geriknya manusia itu sungguh-sungguh seperti mesin. Materialisme ini dalam antropologia disebut materialisme ekstrim, karena aliran ini mengingkari kerohanian dalam bentuk apapun juga, malahan mengingkari adanya pendorong hidup.
Kebalikan dari meterialisme adalah idealisme. Dalam pandangan ini semuanya membedakan manusia dari binatang ; bukanlah manusia itu material belaka. Meskipun diakui juga, bahwa manusia ada samanya juga dengan binatang jadi manusia pun mempunyai kebinatangan tetapi dalam pada itu adalah bedanya yang mengkhususkan dia, yang sama sekali melainkan dia dari binatang. Kelainan ini bukanlah perbedaan tingkatan saja, melainkan mengenai jenisnya istimewa: kemanusiaannya.
Dalam idealisme terdapat beberapa corak, yaitu : idealisme etis, idealisme estetik ; dan idealisme hegel.
Adapun paham rasionalisme dan irrasionalisme bukanlah paham yang saling bertentangan seperti paham materalisme dan idealisme. Pelopor rasionalisme adalah Rene Descartes yang menyatakan bahwa manusia terdiri dari jasmaninya dengan keluasannya (extensio) serta budidan kesadarannya. Sedangkan yang dimaksud dengan pandangan manusia yang irrasionalistis ialah pandangan-pandangan :
a. Yang mengingkari adanya rasio;
b. Yang kurang menggunakan rasio walaupun tidak mengingkarinya
c. Terutama pandangan yang mencoba mendekati manusia dari lain pihak serta, kalau dapat dari keseluruhan pribadinya.
Teranglah bahwa penggolongan filsafat manusia dalam rasionalisme-irrasionalisme bukanlah penggolongannya yang lain sekali dari penggolongan : idealisme-materialisme : ini hanya pandangan dari sudut lain. Dengan demikian semua aliran materialisme harus dimasukkan kedalam aliran irrasionalisme.
Al-Quran Al-Karim dalam kaitannya dengan perkembangan ilmu dan filsafat manusia, dapat disimpulkan mengandung tiga hal pokok:
Pertama, tujuan.
1. Akidah atau kepercayaan, yang mencakup kepercayaan kepada (a) Tuhan dengan segala sifat-sifat-Nya; (b) Wahyu, dan segala kaitannya dengan, antara lain, Kitab-kitab Suci, Malaikat, dan para Nabi; serta (c) Hari Kemudian bersama dengan balasan dan ganjaran Tuhan.
2. Budi pekerti, yang bertujuan mewujudkan keserasian hidup bermasyarakat, dalam bentuk antara lain gotong-royong, amanat, kebenaran, kasih sayang, tanggung jawab, dan lain-lain.
3. Hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, sesamanya, dirinya, dan alam sekitarnya.
Kedua, cara.
Ketiga hal tersebut diusahakan pencapaiannya oleh Al-Quran melalui empat cara:
1. Menganjurkan manusia untuk memperhatikan alam raya, langit, bumi, bintang-bintang, udara, darat, lautan dan sebagainya, agar manusia –melalui perhatiannya tersebut– mendapat manfaat berganda: (a) menyadari kebesaran dan keagungan Tuhan; dan (b) memanfaatkan segala sesuatu untuk membangun dan memakmurkan bumi di mana ia hidup.
2. Menceritakan peristiwa-peristiwa sejarah untuk memetik pelajaran dari pengalaman masa lalu.
3. Membangkitkan rasa yang terpendam dalam jiwa, yang dapat mendorong manusia untuk mempertanyakan dari mana ia datang, bagaimana unsur-unsur dirinya, apa arti hidupnya dan ke mana akhir hayatnya (yang jawaban-jawabannya diberikan oleh Al-Quran).
4. Janji dan ancaman baik di dunia (yakni kepuasan batin dan kebahagiaan hidup bahkan kekuasaan bagi yang taat, dan sebaliknya bagi yang durhaka) maupun di akhirat dengan surga atau neraka.
Ketiga, pembuktian.
Untuk membuktikan apa yang disampaikan oleh Al-Quran seperti yang disebut di atas, maka di celah-celah redaksi mengenai butir-butir tersebut, ditemukan mukjizat Al-Quran seperti yang pada garis besarnya dapat terlihat dalam tiga hal pokok:
1. Susunan redaksinya yang mencapai puncak tertinggi dari sastra bahasa Arab.
2. Ilmu pengetahuan dari berbagai disiplin yang diisyaratkannya.
3. Ramalan-ramalan yang diungkapkan, yang sebagian telah terbukti kebenarannya.
Melihat kandungan Al-Quran seperti yang dikemukakan secara selayang pandang tersebut, tidak diragukan lagi bahwa Al-Quran berbicara tentang ilmu pengetahuan. Kitab Suci itu juga berbicara tentang filsafat dalam segala bidang pembahasan, dengan memberikan jawaban-jawaban yang konkret menyangkut hal-hal yang dibicarakan itu, sesuai dengan fungsinya: memberi petunjuk bagi umat manusia (QS 2:2) dan memberi jalan keluar bagi persoalan-persoalan yang mereka perselisihkan (QS 2:213).
Al-Quran di Tengah Perkembangan Ilmu
Sebelum berbicara tentang masalah tersebut, terlebih dahulu perlu diperjelas pengertian ilmu yang dimaksud dalam tulisan ini.
Al-Quran menggunakan kata ‘ilm dalam berbagai bentuk dan artinya sebanyak 854 kali. Antara lain sebagai “proses pencapaian pengetahuan dan objek pengetahuan” (QS 2:31-32). Pembicaraan tentang ilmu mengantarkan kita kepada pembicaraan tentang sumber-sumber ilmu di samping klasifikasi dan ragam disiplinnya.
Sementara ini, ahli keislaman berpendapat bahwa ilmu menurut Al-Quran mencakup segala macam pengetahuan yang berguna bagi manusia dalam kehidupannya, baik masa kini maupun masa depan; fisika atau metafisika.
Berbeda dengan klasifikasi ilmu yang digunakan oleh para filosof –Muslim atau non-Muslim– pada masa-masa silam, atau klasifikasi yang belakangan ini dikenal seperti, antara lain, ilmu-ilmu sosial, maka pemikir Islam abad XX, khususnya setelah Seminar Internasional Pendidikan Islam di Makkah pada tahun 1977, mengklasifikasikan ilmu menjadi dua katagori:
1. Ilmu abadi (perennial knowledge) yang berdasarkan wahyu Ilahi yang tertera dalam Al-Quran dan Hadis serta segala yang dapat diambil dari keduanya.
2. Ilmu yang dicari (acquired knowledge) termasuk sains kealaman dan terapannya yang dapat berkembang secara kualitatif dan penggandaan, variasi terbatas dan pengalihan antarbudaya selama tidak bertentangan dengan Syari’ah sebagai sumber nilai.
Dewasa ini diakui oleh ahli-ahli sejarah dan ahli-ahli filsafat sains bahwa sejumlah gejala yang dipilih untuk dikaji oleh komunitas ilmuwan sebenarnya ditentukan oleh pandangan terhadap realitas atau kebenaran yang telah diterima oleh komunitas tersebut. Dalam hal ini, satu-satunya yang menjadi tumpuan perhatian sains mutakhir adalah alam materi.
Di sinilah terletak salah satu perbedaan antara ajaran Al-Quran dengan sains tersebut. Al-Quran menyatakan bahwa objek ilmu meliputi batas-batas alam materi (physical world), karena itu dapat dipahami mengapa Al-Quran di samping menganjurkan untuk mengadakan observasi dan eksperimen (QS 29:20), juga menganjurkan untuk menggunakan akal dan intuisi (antara lain, QS 16:78).
Hal ini terbukti karena, menurut Al-Quran, ada realitas lain yang tidak dapat dijangkau oleh pancaindera, sehingga terhadapnya tidak dapat dilakukan observasi atau eksperimen seperti yang ditegaskan oleh firman-Nya: Maka Aku bersumpah dengan apa-apa yang dapat kamu lihat dan apa-apa yang tidak dapat kamu lihat (QS 69:38-39). Dan, Sesungguhnya ia (iblis) dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari satu tempat yang tidak dapat kamu melihat mereka (QS 7:27).
Dalam definisi ini kita lihat bahwa konsep tentang “tempat yang tepat” berhubungan dengan dua wilayah penerapan. Di satu pihak, ia mengacu kepada wilayah ontologis yang mencakup manusia dan benda-benda empiris, dan di pihak lain kepada wilayah teologis yang mencakup aspek-aspek keagamaan dan etis.
Beberapa tahun lalu di Italia diadakan suatu permusyawaratan ilmiah tentang “cultural relations for the future” (hubungan kebudayaan di kemudian hari) dan ditemukan dalam laporannya tentang “reconstituting the human community” yang kesimpulannya, antara lain, sebagai berikut: “Untuk menetralkan pengaruh teknologi yang menghilangkan kepribadian, kita harus menggali nilai-nilai keagamaan dan spiritual.”
Apa yang diungkapkan ini sebelumnya telah diungkapkan oleh filosof Muhammad Iqbal, yang ketika itu menyadari dampak negatif perkembangan ilmu dan teknologi. Beliau menulis: “Kemanusiaan saat ini membutuhkan tiga hal, yaitu penafsiran spiritual atas alam raya, emansipasi spiritual atas individu, dan satu himpunan asas yang dianut secara universal yang akan menjelaskan evolusi masyarakat manusia atas dasar spiritual.”
Seperti yang dikemukakan di atas bahwa salah satu pembuktian tentang kebenaran Al-Quran adalah ilmu pengetahuan dari berbagai disiplin yang diisyaratkan. Memang terbukti, bahwa sekian banyak ayat-ayat Al-Quran yang berbicara tentang hakikat-hakikat ilmiah yang tidak dikenal pada masa turunnya, namun terbukti kebenarannya di tengah-tengah perkembangan ilmu, seperti:
Dari sini ungkapan “agama dimulai dari sikap percaya dan iman”, oleh Al-Quran, tidak diterima secara penuh. Bukan saja karena ia selalu menganjurkan untuk berpikir, bukan pula hanya disebabkan karena ada dari ajaran-ajaran agama yang tidak dapat diyakini kecuali dengan pembuktian logika atau bukan pula disebabkan oleh keyakinan seseorang yang berdasarkan “taqlid” tidak luput dari kekurangan, tapi juga karena Al-Quran memberi kesempatan kepada siapa saja secara sendirian atau bersama-sama dan kapan saja, untuk membuktikan kekeliruan Al-Quran dengan menandinginya walaupun hanya semisal satu surah sekalipun (QS 2:23).
Bertrand Russel menjelaskan bahwa filsafat merupakan jenis pengetahuan yang memberikan kesatuan dan sistem ilmu pengetahuan melalui pengujian kritis terhadap dasar-dasar keputusan, prasangka-prasangka dan kepercayaan. Hal ini disebabkan karena pemikiran filsafat bersifat mengakar (radikal) yang mencoba memberikan jawaban menyeluruh dari A-Z, mencari yang sedalam-dalamnya sehingga melintasi dimensi fisik dan teknik.
Objek penelitiannya ialah segala yang ada dan yang mungkin ada, baik “ada yang umum” (ontologi ‘ilm al-kainat) maupun “ada yang khusus atau mutlak” (Tuhan). Atau, dengan kata lain, objek penelitian filsafat mencakup pembahasan-pembahasan logika, estetika, etika, politik dan metafisika.
Eksistensialisme mulai berbicara lagi: “Sebenarnya tak ada arah yang harus dituju, pergilah ke mana engkau sukai. Engkau mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan segala sesuatu. Mari kita berpegang erat-eras pada kebebasan kita. Sosialisme telah merebut segala-galanya dan menyerahkan kepada negara. Agama juga mengembalikan segala sesuatu kepada Tuhan, sedangkan Tuhan di luar esensi manusia. Jadi agama juga menghalangi kebebasan manusia. Agama menipu para pengecut sehingga ia –demi mengalihkan manusia dari eksistensinya– menciptakan surga yang kekal di langit, dan –untuk memberikan rasa takut– neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” Demikian antara lain pandangan Sartre, salah satu tokoh aliran ini.
Alexis Carrel, seorang ahli bedah dan fisika, kelahiran Prancis yang mendapat hadiah Nobel. Beliau menulis dalam buku kenamaannya, Man the Unknown, antara lain: “Pengetahuan manusia tentang makhluk hidup dan manusia khususnya belum lagi mencapai kemajuan seperti yang telah dicapai dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan lainnya. Manusia adalah makhluk yang kompleks, sehingga tidaklah mudah untuk mendapatkan satu gambaran untuknya, tidak ada satu cara untuk memahami makhluk ini dalam keadaan secara utuh, maupun dalam bagian-bagiannya, tidak juga dalam memahami hubungannya dengan alam sekitarnya.”
Selanjutnya, ia mengatakan: “Kebanyakan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para ahli yang mempelajari manusia hingga kini masih tetap tanpa jawaban, karena terdapat daerah-daerah yang tidak terbatas dalam diri (batin) kita yang tidak diketahui”.
Keterbatasan pengetahuan, menurutnya, disebabkan karena keterlambatan pembahasan tentang manusia, sifat akal manusia dan kompleksnya hakikat manusia. Kedua faktor terakhir adalah faktor permanen, sehingga tidaklah berlebihan menurutnya “jika kita mengambil kesimpulan bahwa setiap orang dari kita terdiri dari iring-iringan bayangan yang berjalan di tengah-tengah hakikat yang tidak diketahui.”
Dari segi pandangan seorang beragama, kiranya dapat dikatakan bahwa untuk mengetahui hal tersebut dibutuhkan pengetahuan dari pencipta Yang Maha Mengetahui melalui wahyu-wahyu-Nya, karena memang manusia adalah satu-satunya makhluk yang diciptakan atas peta gambaran Tuhan dan yang dihembuskan kepadanya Ruh ciptaanNya.
Al-Quran menjelaskan bahwa manusia diciptakan dari tanah, kemudian setelah sempurna kejadiannya, Tuhan menghembuskan kepadanya Ruh ciptaan-Nya (QS 38:71-72). Dengan “tanah” manusia dipengaruhi oleh kekuatan alam seperti makhluk-makhluk lain, sehingga ia butuh makan, minum, hubungan seks, dan sebagainya, dan dengan “Ruh” ia diantar ke arah tujuan non-materi yang tak berbobot dan tak bersubstansi dan yang tak dapat diukur di laboratorium atau bahkan dikenal oleh alam material.
Dimensi spiritual inilah yang mengantar mereka untuk cenderung kepada keindahan, pengorbanan, kesetiaan, pemujaan, dan sebagainya. Ia mengantarkan mereka kepada suatu realitas yang Maha Sempurna, tanpa cacat, tanpa batas dan tanpa Akhir: wa anna ila rabbika Al-Muntaha — dan sesungguhnya kepada Tuhan-Mu-lah berakhirnya segala sesuatu (QS 53:42). Hai manusia, sesungguhnya engkau telah bekerja dengan penuh kesungguhan menuju Tuhanmu dan pasti akan kamu menemui-Nya” (QS 84:6).
Dengan berpegang kepada pandangan ini, manusia akan berada dalam satu alam yang hidup, bermakna, serta tak terbatas, yang dimensinya melebar keluar melampaui dimensi “tanah”, dimensi material itu.
Filsafat materialisme dengan aneka ragam panoramanya berbicara tentang manusia. Dan demikian pula Al-Quran. Keduanya telah menjelaskan pandangannya. Keduanya telah mengajak manusia untuk menemukan dirinya, tapi yang pertama berusaha untuk menyeretnya ke debu tanah dari Ruh Tuhan, sedangkan Al-Quran mengajaknya untuk meningkat dari debu tanah menuju Tuhan Yang Mahaesa.
http://www.facebook.com/note.php?note_id=99229334794
http://fuf-library.uinjkt.ac.id/artikel_detail.php?no=7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar