A. Pendahuluan
Dalam
pergerakannya, tasawuf merupakan salah satu ilmu pengetahuan yang
sejajar dengan ilmu pengetahuan lain. Tasawuf lebih banyak berbicara
persoalan bagaimana manusia mampu menembus dan menangkap ilmu
pengetahuan langsung dari sumbernya yakni dari Tuhan, dan tasawuf juga
lebih banyak berbicara tentang kesalehan, etika (akhlak) dan bagaimana
manusia bisa berhubungan secara intens atau bisa berhubungan secara
langsung dengan sang khaliq (Tuhan).
Pada
abad ketiga dan keempat tasawuf sebagai bentuk atau pola keberagamaan
umat Islam, mengalami kejayaan dan kemajuan yang sangat signifikan.
Dalam hal ini bisa kita lihat yang semula pemikiran tasawuf di dominasi
pola pikir tekstual, dalam hal ini yang melekat di kalangan kaum / faham
sunni (tasawuf sunni) pola
pikir tersebut mulai terkikis, dan pola pikir tasawuf mulai condong pada
pola pikir yang berbau filsafat, dalam hal ini melahirkan faham tasawuf
falsafi. Unsur-unsur filsafat dalam tasawuf ini bisa kita cermati dari
lahirnya konsep seperti al-fana dan al-baqa dan konsep tersebut melahirkan beberapa istilah seperti : ma’rifat, hulul, cinta, wahdat al-wujud dan ittihad,
yang masing-masing teori atau konsep ini sesuai dengan pemahaman dan
pengalaman dari masing-masing tokoh, akan tetapi memiliki esensi yang
sama.
Sebagaimana
Abu Yazid al-Bisthami, sebagai salah satu tokoh yang sangat populer di
kalangan sufi yang condong pada pemikiran falsafi di mana beliau yang
pertama kali melahirkan konsep al-fana dan al-baqa serta konsep ittihad. Ia juga pionir aliran eksotik (‘mabuk’) dalam sufisme. Ia juga dikenal karena keberaniannya dalam mengekspresikan peleburan mistik menyeluruh kepada ketuhanan.[1]
B. Pembahasan
1. Sekilas Biografi Abu Yazed al-Busthami
Abu
Yazid al-Busthami, nama lengkapnya adalah Abu Yazid bin Isa bin
Syurusan al-Busthami. Dia melahirkan sekitar tahun 200 H / 814 M di
Bustam, salah satu di daerah Qumais, bagian Timur Laut Persia.[2] Ia salah seorang tokoh sufi yang terkenal dalam abad ketiga hijrah.[3] Di Bustham ini pula ia meninggal pada tahun 261 H / 875 M, dan makamnya masih ada hingga saat ini.[4] Makamnya yang terletak di tengah-tengah kota,
menarik banyak pengunjung dari berbagai tempat. Ia dikuburkan
berdampingan dengan kuburan Hujwiri, Nasir Khusraw dan Yaqut. Pada tahun
1313 M didirikan di atasnya sebuah kubah yang indah oleh seorang sultan
Mongol, Muhammad Khudabanda atas nasehat gurunya Syekh Syafruddin,
salah seorang keturunan dari Bustham.[5]
Pada waktu kecil ia bernama Thaifur, kakeknya Surusyan adalah seorang penganut agama Zoroaster,
kemudian masuk Islam. Sebagaimana halnya anak dan remaja muslim, ia
pada masa mudanya mendalami al-Qur'an dan hadits. Ia juga menekuni fiqih
Hanafi, kemudian dia memperoleh pelajaran tentang ilmu tauhid dan ilmu
hakikat begitu juga tentang fana dari Abu Ali Sindi.[6]
Abu
Yazid al-Busthami adalah seorang zahid yang terkenal. Baginya zahid itu
adalah seseorang yang mampu mendo’akan dirinya untuk selalu berdekatan
dengan Allah. Hal ini ditempuh melalui tiga fase atau tahapan, yaitu
zuhud terhadap dunia, zuhud terhadap akhirat, dan zahid terhadap selain
Allah. Dalam tahapan terakhir ini dia berada dalam kondisi mental yang
membuat dirinya tidak mengingat apa-apa selain Allah.[7]
Abu
Yazid juga seorang sufi yang membawa faham yang berbeda dengan ajaran
tasawuf yang dibawa oleh para tokoh-tokoh sufi sebelumnya. Ajaran yang
dibawanya banyak di tentang oleh para ulama fiqih dan tauhid, yang
menyebabkan dia keluar masuk penjara.
Di beroleh banyak pengikut, yang percaya dengan ajaran-ajaran yang diajarkannya. Pengikut-pengikutnya menamakan dirinya thaifur.[8]
Sayang
sekali bahwa al-Busthami, yang berusia panjang dan kaya dengan
pengalaman-pengalaman kesufian, tidak meninggalkan karya tulis. Ajaran
pandangannya hanya dapat diketahui melalui catatan-catatan yang dibuat
oleh para muridnya, atau oleh tokoh-tokoh sufi lainnya yang pernah
berjumpa dengannya. Jika tidak ada pengarang seperti al-Attar, orang
tidak akan mengenalnya sama sekali. Beberapa catatan mengenai hidupnya
hanya berupa anekdot-anekdot sufi belaka.[9]
Beberapa pendiriannya, misalnya mengenal pengertian sakar,
mabuk dalam mencintai Allah, berbeda dengan paham Junaid al-Baghdadi.
Kata-kata yang diucapkannya acapkali mempunyai arti dan makna yang
begitu dalam, sehingga jika ditangkap secara lahir seakan-akan membawa
kepada syirik, karena mempersatukan antara Allah dan manusia.
Dalam sejarah perkembangan tasawuf, Abu Yazid dipandang sebagai pembawa faham fana dan baqa serta sekaligus pencetus paham ittihad. Ketiganya merupakan tiga aspek dari satu pengalaman yang terjadi setelah terapainya makrifah.
2. Pokok Pemikiran Abu Yazid al-Busthami
a. Al-Fana dan al-Baqa
Dari segi bahasa al-fana berarti hilangnya wujud sesuatu, dan al-fana jauh lebih berbeda dengan al-fasad (rusak), fana artinya tidak kelihatannya sesuatu, sedang al-fasad
adalah berubahnya sesuatu kepada sesuatu yang lain. Konsep ini
sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu Sina di mana ketika membedakan
antara benda-benda yang bersifat samawiyah dan bersifat alam, di mana ia
mengambil konklusi bahwa keberadaan benda alam itu berdasarkan
permulaannya, bukan perubahan bentuk yang satu kepada bentuk yang lain,
dan hilangnya benda alam itu dengan cara fana bukan dengan fasad.[10]
Adapun
makna fana dalam pandangan kaum sufi adalah hilangnya kesadaran pribadi
dengan dirinya dan dari makhluk lainnya sebenarnya dirinya tetap sadar
dengan dirinya sendiri dan dengan alam sekitarnya.[11] Dalam konteks lain fana
mengandung pengertian gugurnya sifat-sifat tercela, makna lainnya
bergantung sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan.[12]
Menurut
Abu Yazid, manusia yang pada hakikatnya seesensi dengan Allah, dapat
bersatu dengan-Nya apabila ia mampu meleburkan eksistensi sebagai suatu
pribadi sehingga ia tidak menyadari pribadinya (fana an-nafs). Fana an-nafs adalah
hilangnya kesadaran kemanusiaannya dan menyatu ke dalam iradah Allah,
bukan jasad tubuhnya yang menyatu dengan dzat Allah.[13]
Dengan fana,
Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi kehadirat Tuhan bahwa ia telah
berada dekat dengan Tuhan, hal ini dapat dilihat dari kalimat-kalimat
bersayap yang belum dikenal sebelumnya (syathahat)[14] yang dia ungkapkan, seperti : “Tidak ada Tuhan selain Aku. Maha Suci Aku, Maha Suci Aku, Maha Besar Aku”.
Al-Bisthami
pernah mengatakan bahwa ketika ia naik haji untuk pertama kali, yang ia
lihat adalah bangunan Ka’bah dan dirinya, kemudian ia naik haji lagi,
maka selain melihat bangunan Ka’bah dan dirinya, ia merasakan Tuhan
Ka’bah. Pada haji ketiga, ia tidak merasakan apa-apa lagi kecuali Tuhan
Ka’bah.
Tentang
kefanaan Abu Yazid al-Bisthami ini pernah dikisahkan oleh sahabatnya.
Zunnun al-Mishri mengutus untuk menemui Abu Yazid, ketika utusan itu
sampai, diketuklah pintu rumah Abu Yazid, terjadilah percakapan antara
tamu dengan Abu Yazid :
Abu Yazid : “Siapa di luar?”
Utusan : “ Kami hendak berjumpa dengan Abu Yazid”
Abu Yazid : “Abu Yazid siapa? Dimana dia? Sayapun mencari Abu Yazid”.[15]
Rombongan
utusan itupun pulang dan kemudian memberitahukan kepada Zunnun.
Mendengar keterangan itu Zunnun berkata : “Sahabatku Abu Yazid telah
pergi kepada Allah dan dia sedang fana”.[16]
Kejadian
yang menimpa Abu Yazid ini disebabkan keinginannya untuk selalu dekat
dengan Tuhan. Bahkan ia selalu berusaha untuk mencari jalan agar selalu
berada di hadirat Tuhan. Ia pernah berkata : “Aku bermimpi melihat
Tuhan”, Akupun bertanya : “Tuhanku, apa jalannya untuk sampai
kepada-Mu?”. Ia menjawab : “Tinggalkan dirimu dan datanglah”.
Menurut Abu Yazid ada empat situasi gradual dalam proses fana, yakni :[17]
- Tingkatan fana yang paling rendah yaitu fana yang dicapai atau dihasilkan melalui mujahadah.
- Tingkatan fana terhadap kenikmatan surga dan kepedihan siksa neraka
- Fana terhadap pemberian Allah
- Fana terhadap fana itu sendiri (fana al-fana)
Apabila seseorang telah mencapai fana
pada tahap akhir, seseorang akan secara totalitas lupa terhadap segala
sesuatu yang sedang terjadi padanya. Hatinya sudah tidak lagi terisi
oleh kesan apapun yang ditangkap oleh panca indera.[18]
Konsekuensi dari terjadinya fana itu, maka terjadi pulalah baqa. Secara harfiah baqa berarti kekal. Sedangkan dalam kaca mata sufi baqa mengandung makna, kekalnya sifat-sifat terpuji, dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia. Sedangkan menurut Abu Yazid baqa
adalah hilangnya sifat-sifat kemanusiaan yang dirasakan hanyalah
sifat-sifat Tuhan yang kekal dalam dirinya dengan kata lain merasa
hidupnya selaras dengan sifat-sifat Tuhan,[19] sistem kerja fana-baqa ini selalu beriringan, sebagaimana yang dikemukakan oleh para ahli tasawuf :[20]
اِذَا اَشْرَقَ نُوْرُ الْبَقَاءِ فَيَفْنَ مَنْ لَمْ يَكُنْ وَيَبْقَ مَنْ لَمْ يَزَلْ
“Apabila nampaklah Nur kebaqaan, maka fanalah yang tiada, dan baqalah yang kekal”
Kata
al-Bisthami, “Ia telah membuat aku gila pada diriku sehingga aku mati,
kemudian Ia membuat aku gila pada-Nya, dan akupun hidup”, aku berkata :
bila pada diriku adalah kehancuran (fana) sedang gila pada-Mu adalah kelanjutan hidup (baqa)”.
Al-Bisthami juga berkata : “Aku tahu pada Tuhan melalui diriku, sampai
aku hancur, kemudian aku tahu pada-Nya melalui diri-Nya, maka aku
hidup”.[21]
Untuk mencapai station al-baqa
ini seseorang perlu melakukan perjuangan dan usaha-usaha yang keras dan
kontinyu, seperti dzikir, beribadah, dan menghiasi diri dengan akhlak
terpuji.
Jika dilihat dari sisi lain, yang disebut fana dan baqa itu dapat pula disebut sebagai ittihad.
b. Ittihad
Apabila
seorang sufi telah berada dalam keadaan fana dalam pengertian tersebut
di atas, maka pada saat itu ia telah dapat menyatu dengan Tuhan,
sehingga wujudiyahnya kekal atau al-baqa. Di dalam perpaduan
dirinya ia menemukan hakikat jati dirinya sebagai manusia yang berasal
dari Tuhan, itulah yang dimaksud dengan ittihad.[22]
Faham ini timbul sebagai konsekuensi lanjut dari faham fana dan baqa. Ungkapan Bayazid berikut ini akan memperjelas pengertian ittihad. Bayazid berkata :[23]
رفعنى
الله عزة فأ قامنى بين يديه وقال لى يا أبا يزيد : ان خلقى يحبون ان يروك
فقلت زينى بوحد انيتك والبسنى انا نيتك وارفعنى الى احاديتك حتى اذا ارانى
خلقك. قالوا رايناك فتكون انت ذاك ولا اكون اناهناك.
Dan pada kesempatan
lain beliau berkata : “Pada suatu ketika aku dinaikkan ke hadirat Tuhan
dan ia berkata : ‘Hai Zayid, makhluk-Ku ingin melihat engkau’. Aku
menjawab : ‘Kekasihku, aku ingin melihat mereka, tetapi jika itulah
kehendak-Mu, maka aku tak berdaya menentang kehendak-Mu, hiasilah aku
dengan keesaan-Mu, sehingga jika makhluk-Mu melihat aku, mereka akan
berkata : “Telah kami lihat Engkau”. Tetapi yang mereka lihat sebenarnya
adalah engkau, karena itu aku tak ada di sana”.
Situasi
ittihad itu diperjelas lagi dalam ungkapannya : “Tuhan berkata : semua
mereka kecuali Engkau, adalah makhlukku. Akupun berkata : Aku adalah
engkau, Engkau adalah Aku”.
Ungkapan
kata Abu Yazid ini telah mendapat tanggapan, bahkan kecaman dari para
ulama di zamannya. Bagi para ulama yang toleran menilainya sebagai suatu
penyelewengan, tetapi bagi ulama yang ekstrim menilainya sebagai suatu
kekufuran. Namun ada pula yang menilainya merupakan kasus tertentu bagi
seorang sufi dan kata-kata yang dilontarkan adalah kata-kata yang
terlontar di kala kondisi kejiwaannya tidak stabil. Dalam kondisi
seperti ini, seorang sufi tidak sepenuhnya bisa mengandalkan diri
pribadinya, dan dia pada saat itu tidak mampu lagi mengendalikan
dirinya.[24]
3. Analisis
Abu Yazid, seperti kita ketahui adalah sufi pertama yang memunculkan faham fana dan baqa dalam tasawuf. Dia selalu ingin selalu dekat (ber-taqarrub)
dengan Tuhan. Karena keinginan yang mendalam untuk selalu dekat dengan
Tuhan, mengakibatkan seakan-akan Abu Yazid merasa bersatu dengan Tuhan.
Dengan fana, Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi kehadirat Tuhan, bahwa ia telah dekat dengan sang khaliq, ini dapat dicermati dari syathahat
yang diucapkannya, dan dalam hal ini ucapan tersebut tidak dapat
dipegangi dan dikenakan hukum. Karena orang yang berkata pada waktu itu
sedang mabuk. Mabuk oleh fananya, oleh tiada sadar diri lagi, sebab
tenggelam dalam tafakkur. Ungkapan Abu Yazid tentang fana dan ittihad
menurut al-Taftazani : “memang terlalu berlebih-lebihan”, antara lain
seperti yang diucapkan Abu Yazid : “Aku ini Allah, tidak ada Tuhan
kecuali aku, maka sembahlah Aku”. Yazid juga pernah mengatakan : Tuhan
berfirman : “Semua mereka, kecuali Engkai adalah Aku, dan Aku adalah
Engkau”.[25]
Secara
harfiah ungkapan-ungkapan Bayazid itu adalah pengakuan dirinya sebagai
Tuhan dan atau sama dengan Tuhan. Akan tetapi sebenarnya bukan demikian
maksudnya. Dengan ucapannya Aku adalah Engkau bukan ia maksudkan akunya
Bayazid pribadi. Dialog yang terjadi pada waktu itu pada hakekatnya
adalah monolog. Kata-kata itu adalah sabda Tuhan yang disalurkan melalui
lidah Bayazid yang sedang dalam keadaan fana an-nafs. Pada saat
bersatunya Bayazid dengan Tuhan ia berbicara atas nama Tuhan karena yang
ada pada ketika itu hanya satu wujud, yaitu Tuhan, sehingga
ucapan-ucapannya itu pada hakikatnya adalah kata-kata Tuhan. Dalam hal
ini Bayazid menjelaskan :[26]
لانه هو الذى يتكلم بلسانى اما انا فقد فنلبت
“Sebenarnya Dia berbicara melalui lidah saya, sedangkan saya sendiri dalam keadaan fana”.
Oleh karena itu sebenarnya
Bayazid tidak mengaku dirinya sebagai Tuhan seperti apa yang dilakukan
oleh Fir’aun. Proses ittihad ini menurut Bayazid adalah naiknya jiwa
manusia kehadirat Ilahi, bukan melalui reinkarnasi. Sirnanya segala
sesuatu dari kesadaran dan pandangannya, yang disadari dan dilihat hanya
hakikat yang satu, yakni Allah. Bahkan dia tidak melihat dan tidak
menyadari dirinya sendiri karena dirinya terlebur dalam Dia yang
terlihat.
Sudah
banyak usaha dilakukan untuk menjelaskan kepribadian dan ucapannya yang
penuh teka-teki yang terbaik kata Schimmel, adalah sebuah telaah pendek
namun mendalam yang dilakukan oleh Helmut Ritter, R.C. Zaehner telah
menekankan kemungkinan adanya pengaruh India pada Abu Yazid. Tampaknya
R.A. Nicholson juga cenderung berpendapat bahwa Abu Yazid, khususnya
faham fana dipengaruhi oleh ajaran India yang diterima dari Abu
Ali al-Sindi Annemarie Schimmel meragukan pendapat yang mengatakan bahwa
Abu Yazid menerima ajaran dari Abu Ali al-Sindi.[27]
Memang di kalangan para sufi sendiri terjadi perbedaan pendapat seperti
yang pernah penulis singgung namun demikian menurut Ust. Drs. Moh.
Saifullah al-Aziz, di dalam bukunya Risalah Memahami Tasawuf,
kita tidak bisa begitu saja khususnya di kalangan mujtahid untuk terus
berkiprah berusaha menggali tasawuf dari sumber aslinya untuk mencari
kemurnian tasawuf itu hingga saat ini, seperti Muhammad Iqbal, Prof. Dr.
H. Abdul Karim Amrullah (HAMKA) dan sebagainya. Dan hasil pengkajian
mereka itulah, maka ajaran tasawuf seperti fana dan ittihad dan sejenisnya bisa dikaji ulang untuk dikembalikan pada bentuk aslinya pada masa Nabi dan para sahabat.[28]
Perlu juga diketahui bahwa paham ini jauh berbeda dengan faham hulul-nya
al-Hallaj. Di mana dalam faham hulul ini Tuhan lah yang mencari dan
mengambil tempat tubuh manusia tertentu untuk ditempatinya, dengan kata
lain Tuhan sendiri yang melebur dalam diri manusia, setelah manusia
telah mampu menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana, sedangkan kalau ittihad, manusia yang berusaha sendiri untuk menarik diri Tuhan melalui metode al-fana.
C. Kesimpulan
Abu Yazid al-Bisthami adalah tokoh sufi pertama yang memperkenalkan konsep al-fana dan al-baqa serta konsep ittihad. Fana
adalah sirnanya segala sesuatu selain Allah dari pandangan seorang
sufi. Di mana ia tidak lagi menyaksikan kecuali hakekat yang satu yaitu
Allah. Dan baqa adalah merupakan konsekuensi dari adanya fana, ketika seseorang bersatu dengan Tuhan (ittihad), dalam hal ini baqa
mengandung pengertian kekal dalam kebaikan. Sehingga apa yang
diupayakannya bisa tercapai yaitu bisa bersatu dengan Tuhan, yang dalam
bahasa Abu Yazid disebut dengan istilah ittihad.
DAFTAR PUSTAKA
Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.
Drs. Asmaran As, MA., Pengantar Studi Tasawuf, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994.
Drs. Moh. Saifullah al-Azis S, Risalah Memahami Tasawuf, Terbit Terang, Surabaya, 1998.
Fariduddin al-Athtai, Kisah-Kisah Sufi Agung, terj. Yudi, Pustaka Zahra, Jakarta, 2005.
IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1993.
Imam al-Qusyairy an-Naisabury, Risalatul Qusyairiyah, Risalah Gusti, Surabaya, 1997.
Mustafa Zahri, Kunci Memahami Tasawuf, Bina Ilmu, Surabaya, 1985.
Prof. Dr. Abu Bakar Aceh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, Ramadhani, Solo, 1993.
Prof. Dr. H. Ahmadi Isa, MA., Tokoh-Tokoh Sufi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001.
Prof. Dr. Hamka, Tasawuf dan Perkembangannya, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1983.
Prof. Dr. Riva’y Siregar, tasawuf dan Sufisme Klasik ke Neosufism, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999.
Yusran Asmuni, Pertumbuhan dan Perkembangan Berfikir dalam Islam, al-Ikhlas, Surabaya, 2001.
[1] Fariduddin al-Athtai, Kisah-Kisah Sufi Agung, terj. Yudi, Pustaka Zahra, Jakarta, 2005, hlm. 187.
[2] Prof. Dr. H. Ahmadi Isa, MA., Tokoh-Tokoh Sufi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hlm. 139.
[3] Prof. Dr. Abu Bakar Aceh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, Ramadhani, Solo, 1993, hlm. 258.
[4] IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1993, hlm. 47.
[5] Drs. Asmaran As, MA., Pengantar Studi Tasawuf, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994, hlm. 288.
[6] Prof. Dr. H. Ahmadi Isa, MA., loc.cit.,
[7] Imam al-Qusyairy an-Naisabury, Risalatul Qusyairiyah, Risalah Gusti, Surabaya, 1997, hlm. 493-494.
[8] Prof. Dr. H. Ahmadi Isa, MA., op.cit., hlm. 40.
[9] Prof. Dr. Abu Bakar Aceh, loc.cit.,
[10] Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 231.
[11] Prof. Dr. Riva’y Siregar, tasawuf dan Sufisme Klasik ke Neosufism, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999, hlm. 197.
[12] Imam al-Qusyairy an-Naisabury, op.cit., hlm. 39.
[13] Prof. Dr. Riva’y Siregar, op.cit., hlm. 146.
[14] Syathahat
ialah kata-kata yang penuh khayal, yang tidak dapat dipegangi dan
dikenakan hukum. Karena orang yang berkata pada waktu itu sedang “mabuk”
(bukan mabuk alkohol). Mabuk oleh fananya, oleh tiada sadar pada diri
lagi sebab tenggelam dalam lautan tafakkur. Sebab itu, beliaulah yang
mula-mula sekali menciptakan suatu istilah dalam tasawuf yang bernama “as-Sakar” artinya mabuk, “al-Isyq”, artinya rindu dendam (lihat Hamka, Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya)
[15] Drs. Moh. Saifullah al-Azis S, Risalah Memahami Tasawuf, Terbit Terang, Surabaya, 1998, hlm. 210.
[16] Ibid., hlm. 211.
[17] Prof. Dr. Riva’y Siregar, op.cit., hlm. 148.
[18] IAIN Syarif Hidayatullah, op.cit., hlm. 48.
[19] Yusran Asmuni, Pertumbuhan dan Perkembangan Berfikir dalam Islam, al-Ikhlas, Surabaya, 2001, hlm. 158.
[20] Mustafa Zahri, Kunci Memahami Tasawuf, Bina Ilmu, Surabaya, 1985, cet.1, hlm. 234.
[21] IAIN Syarif Hidayatullah, loc.cit.,
[22] Prof. Dr. Riva’y Siregar, op.cit., hlm. 152.
[23] Prof. Dr. Hamka, Tasawuf dan Perkembangannya, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1983, hlm. 94.
[24] Ibid.
[25] Prof. Dr. H. Ahmadi Isa, MA., op.cit., hlm. 144.
[26] Prof. Dr. Riva’y Siregar, op.cit., hlm. 154.
[27] Drs. Asmaran As, MA., op.cit., hlm. 290.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar