Dalam kehidupan umat manusia ini senantiasa penuh dengan berbagai
permasalahan yang timbul dari ekspresi berbagai pemikiran di antara
mereka dan itu merupakan realitas eksistensi diri yang pasti diakui
keberadaannya, dan hal itu pula diakui sebagai dinamika dalam
kehidupannya. Ekspresi pemikiran itu dapat menimbulkan berbagai
perbedaan pendapat, yang berarti menunjukkan tidak adanya hasil
pemikiran manusia atas kebenaran yang bersifat mutlak, tetapi bersifat
nisbi atau relatif belaka. Relativitas hasil pemikiran manusia meliputi
berbagai aspek, antara lain akan tampak dalam pembahasan berikut ini :
- Studi Agama Islam
Dalam mempelajari agama Islam terdapat dimensi normatif dan historis.
Keduanya menyatu dalam satu keutuhan yang tidak dapat dipisahkan, tetapi
dapat dibedakan. Dalam surat ‘Abasa ayat 1-11 misalnya, tampak dimensi
historis Nabi Muhammad saw ketika berhadapan dengan orang buta yang
bernama ‘Abdullah ibn Ummi Maktum. Peristiwa historis ini hanyalah
bentuk hubungan antar manusia,1
dan peristiwa itu bentuknya dapat berbeda. Sehingga peristiwa khusus
Nabi Muhammad saw dengan ‘Abdullah ibn Ummi Maktum dapat pula berganti
bentuk sesuai dengan situasi historis dan perkembangan ilmu pengetahuan.
Namun, dimensi normatif dan etika dalam al-Qur’an tetap sama sejak dari
dahulu sampai kapan pun, yakni kewajiban memperlakukan orang lain, baik
kepada orang Islam maupun non-Islam dalam berbagai stratifikasi sosial
yang ada secara santun, demokratis, egaliter dan adil. Aspek
universal-intelektual dari norma ajaran Islam terletak pada dimensi
normatif-etik yang mengikat semua pihak. Sedang aspek
partikular-kulturalnya adalah terletak pada peristiwa khusus pada
perilaku Nabi Muhammad saw dan Nabi-nabi lainnya.2
Dalam kajian pemikiran Islam, seperti teologi Islam, menghadapi ayat-ayat al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang disebut qath’i al-dalalah dan dhanni al-dalalah.
Ayat-ayat yang qath’i memberikan pengertian yang mutlak atau absolut,
dan yang dhanni memberikan pengertian yang relatif. Sebab, memiliki
beberapa arti dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud.
Ayat-ayat yang dhanni inilah yang mengundang rasio untuk memberikan
tafsir dan ta’wilnya, yang dapat dipastikan membuka peluang adanya
perbedaan pendapat. Dua macam itu, dalam al-Qur’an menggunakan term
muhkamat dan mutasyabihat.3
Menurut penyelidikan para ahli, jumlah ayat al-Qur’an yang bersifat
absolut dan merupakan ajaran dasar itu tidak lebih dari 500 ayat atau
sekitar 7,5 % dari seluruh ayat al-Qur’an. Dan di antara 500 ayat itu
hanya 228 ayat atau 3,5 % yang berhubungan dengan hidup kemasyarakatan,
maka sebagian besar ayat-ayat al-Qur’an bersifat dhanni, yaitu ayat-ayat
yang masih memerlukan penafsiran.4
Diperbolehkannya untuk memberikan penafsiran dan ta’wilan itu justru
menunjukkan bahwa agama Islam tidak menghambat perubahan sosial dan
dinamika masyarakat. Sebaliknya, yang menghambat adalah sikap mental
umat yang tertutup, tidak siap untuk berdiskusi (musyawarah) dan tidak
siap untuk mengadakan reorientasi pemikiran. Hal-hal yang bersifat
historis dianggapnya sebagai hal yang langgeng, padahal sebagai hal yang
tidak tetap dan dapat menerima perubahan alias tidak langgeng, sesuai
dengan dinamika masyarakat, sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.
- Komunitas Masyarakat
Dalam komunitas masyarakat yang demikian plural baik politik, ekonomi,
sosial, budaya, pendidikan, etnis, dan agama, dapat dimengerti
kompleksitasnya pemikiran mereka, masing-masing kelompok maupun individu
dapat mengklaim kelompok atau individunya yang benar. Jika hal ini
dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki interes, dan terlebih lagi jika
dilakukan oleh masyarakat aktif (dalam istilah Etzioni) dengan ciri :
kesadaran pribadi, pengetahuan para aktor, dan komitmen pada satu tujuan
atau lebih yang harus dicapai serta fasilitas kekuasaan untuk mengubah
tatanan sosial,5
sulit kiranya untuk dapat hidup berdampingan dan rukun, tanpa adanya
kedamaian, perlindungan dan keadilan, akan muncul keresahan sosial
sampai bentrok fisik dan penindasan. Jika hal ini terjadi dalam konteks
kebangsaan, maka akan mempercepat proses disintegrasi. Sebab setiap
aktivitas atau aksi yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu melahirkan
kontra aksi.
Kejadian semacam tersebut tidak dikehendaki oleh komunitas masyarakat
(termasuk dalam konteks kebangsaan). Oleh karena itu, diperlukan solusi
untuk menghindarinya demi keutuhan bersama, yaitu : membuka diri untuk
menerima informasi, menciptakan satu visi yang sama, kesiapan untuk
dialog, menghindarkan pemikiran yang memberikan kesan adanya suatu kontradictio in terminia,
mampu berpikir sekomprehensif mungkin dengan segala implikasinya,
mengakui adanya persamaan di antara perbedaan yang dapat dimanfaatkan
untuk kepentingan bersama, hasil pemikirannya harus tidak dipandang
sebagai ekspresi sempurna, tetapi sebagai ekspresi yang siap dianalisis
kembali. Sebab, tidak ada hasil pemikiran yang bersifat absolut.
- Pemikiran Induksi
Induksi ini merupakan penarikan kesimpulan yang bersifat umum dari
berbagai kasus yang bersifat individual. Pengetahuan yang dikumpulkan
manusia bukanlah koleksi dari berbagai fakta, melainkan esensi dari
fakta-fakta tersebut. Dan pernyataan pengetahuan tentang fakta yang
dipaparkan, tidak bermaksud membuat reproduksi dari obyek tertentu,
melainkan menekankan pada struktur dasar yang menyangga realitas fakta
tersebut.6
Pemikiran induktif ini, meskipun premis yang digunakannya benar dan
penalaran induktifnya benar, namun mungkin saja kesimpulannya salah.
Pemikiran induktif ini tidak memberikan kepastian, tetapi sekedar
tingkat peluang bahwa untuk premis-premis tertentu dapat ditarik. Jika
selama bulan Oktober dalam beberapa tahun yang lalu hujan selalu turun,
maka dapat dipastikan bahwa selama bulan Oktober tahun ini hujan juga
akan turun.7 Di sini tidak ada kemutlakan kebenarannya, tetapi hanyalah berada pada tingkat probabilitas saja.
Kecuali itu, juga terdapat kelemahan atas dasar apa dapat menghubungkan
berbagai faktor empiris dalam suatu hubungan kausalitas?8 Seperti rambut keriting dengan kerendahan inteligensia.
- Pemikiran Deduksi
Kebalikan dari pemikiran induktif adalah deduktif, yaitu cara berpikir
di mana dari pernyataan yang bersifat umum ditarik kesimpulan yang
bersifat khusus. Kesimpulan yang diambil dalam berpikir deduktif
merupakan hal yang pasti jika mempercayai premis-premis yang digunakan
sebagai landasan penalarannya, maka kesimpulan penalarannya itu dapat
mempercayai kebenarannya sebagaimana mempercayai premis-premis
terdahulu.9
Bentuk pemikiran deduktif yang berpangkal dari rasionalisme sering
menghasilkan kesimpulan yang benar jika ditinjau alur penalarannya,
tetapi ternyata dapat sangat bertentangan dengan realitas yang
sebenarnya. Seperti Aristoteles menyimpulkan bahwa gigi wanita lebih
sedikit jika dibandingkan dengan gigi laki-laki. Padahal gumam Bertrand
Russell, buat apa orang semacam dia yang telah nikah dua kali seharusnya
lebih tahu tentang itu.10
Di sini memperlihatkan bahwa pemikiran deduktif yang dapat dipastikan
kebenarannya pun juga masih terdapat kenisbian. Seperti dalam sistem
ilmu pasti, sejak abad ke-19 mengalami perubahan, berawal dari ditemukan
dan dikembangkan ilmu ukur yang menyimpang dari sistem Euklides,
benarkah jumlah ketiga sudut segitiga 180o atau kurang atau
justru lebih? Ternyata hasil penyelidikan Gilorami Saccheri (1667-1733)
tentang sistem Euklides, dan gagasan Karl Fiedrich Gauass (1777-1855)
berhasil dibangun dengan dua bentuk ilmu ukur lain dari Euklides.
Masing-masing oleh Nikolai Iwanowitsj Labotsjewski (1793-1865), dan
Bernard Riemann (1826-1866). Bentuk pertama menyatakan kurang dari 180o, sedang bentuk kedua menyatakan lebih dari 180o.
Demikian juga dalam logika Aristoteles mengalami perkembangan hingga
permulaan abad ke-20, George Boole (1815-1864), August de Morgan
(1806-1870), Gottlob Frege (1846-1925) dan Bertrand Russell (1872-1970)
dan Alfred Nort Whitehead (1861-1947) dalam karya besarnya Principia
Mathematica, telah dikembangkan sistem-sistem logika apriori secara
murni, dan terbukalah logika trinilai sampai nilai yang menyimpang dari
logika dwinilai tradisional.11
- Kesimpulan
Dari uraian di atas yang merupakan data-data atau verifikasi dari hipotesis tersebut, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
- Hasil pemikiran manusia tidak ada yang dapat menemukan kebenaran secara mutlak, termasuk dalam memahami agama yang bersumber dari wahyu Allah yang ayat-ayatnya secara mayoritas berbentuk dhanni al-dalalah. Lebih dari itu, dalam persoalan komunitas masyarakat yang pluralistik semakin tampak jelas kenisbiannya.
- Dalam pemikiran induktif yang berdasarkan fakta-fakta empirik dan pemikiran deduktif yang didasarkan rasionalisme juga tidak lepas dari kenisbian. Sehingga jika dikatakan hasil pemikirannya dapat mencapai kebenaran, maka harus dikatakan sebagai kebenaran sementara yang terikat dengan ruang dan waktu, tidak dapat disebut sebagai kebenaran yang mutlak.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin, Falsafah Kalam di Era Post Modernisme, cet. II, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
Al-Qur’an al-Karim.
Etzioni, Amitai, The Active Society, New York: The Free Press, 1968.
Nasution, Harun, Islam Rasional, Bandung: Mizan, 1995.
Russell, Bertrand, The Impact of Science Upon Society, New York: Simon and Schuster, 1953.
Suriasumantri, Yuyun S., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, cet. II, Jakarta: Sinar Harapan, 1985.
Verhaak, C., dan R. Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan Telaah Atas Cara Kerja Ilmu-Ilmu, cet. III, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995.
--------------------------
1 QS. Al-Furqan: 20.
2 M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Post Modernisme, cet. II, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997, hlm. 20-21.
3 QS. Ali Imran : 7.
4 Harun Nasution, Islam Rasional, Bandung: Mizan, 1995, hlm. 173-174.
5 Amitai Etzioni, The Active Society, New York: The Free Press, 1968, hlm. 4.
6 Yuyun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, cet. II, Jakarta: Sinar Harapan, 1985, hlm. 48.
7 Ibid., hlm. 221.
8 Ibid., hlm. 112.
9 Ibid., hlm. 221.
10 Bertrand Russell, The Impact of Science Upon Society, New York: Simon and Schuster, 1953, hlm. 7. Lihat, ibid., hlm. 112.
11 C. Verhaak dan R. Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan Telaah Atas Cara Kerja Ilmu-Ilmu, cet. III, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995, hlm. 87-88.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar