Salah seorang tokoh Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah dan pengikut al-Asy’ari
adalah al-Juwaini. Tetapi tidak selamanya ia sependapat dengan
“gurunya”, al-Asy’ari, seperti permasalahan perbuatan manusia dan
anthropomorphisme.1
Dalam pemikiran teologi ia berpegang pada prinsip bahwa cara terbaik
untuk menemukan kebenaran adalah berpedoman pada akal dan naql serta
memadukan keduanya,2 dan mendahulukan akal pada selain masalah aqidah.3
Al-Juwaini dipandang telah berjasa dalam memperjelas dan memperkokoh
dasar-dasar pemikiran Asy’ariyah, sehingga mampu bertahan dari
serangan-serangan lawan dan dapat mengalahkan serangan itu. Seperti juga
al-Asy’ari, ia membela dan mempertahankan fiqh al-Syafi’i, sehingga
wajarlah jika disebutkan bahwa atas jasa-jasa al-Juwaini, aliran
Asy’ariyah makin bertambah kokoh baik dalam teologi maupun dalam
pandangan fiqh.4
- BIOGRAFI AL-JUWAINI
Nama lengkapnya adalah Abd al-Malik ibn Abdullah ibn Yusuf ibn Muhammad ibn Hayyuyah al-Juwaini.5 Ia lahir di Basitiskan, salah satu wilayah Khurasan, Persia6 tanggal 18 Muharram 419 H,7 dan wafat di daerah kelahirannya pada malam Rabu 25 Rabi’ al-Akhir 478 H.8
Tentang sebutan al-Juwaini diambil dari nama kota Jumain atau Kuwain
yang terletak antara Bastam dan Naisabur, dan merupakan kebiasaan para
sejarawan nama tokoh-tokoh tertentu dengan tempat kelahirannya, tempat
menetap atau tempat wafatnya.9
Selain itu, ia juga bergelar al-Ma’ali,
karena ilmunya mengenai masalah-masalah ke-Tuhanan (teologi) dipandang
cukup mendalam dan kesungguhannya ke arah kejayaan agamanya. Kepandaian
berargumentasi dalam mengungguli mitra dialognya dalam usaha menegakkan
kebenaran dan membasmi kebatilan.10
Ia juga bergelar Imam Haramain,11 karena ia pernah menetap dan mengajar di Makkah dan Madinah, mendebat lawan-lawan serta memperkokoh sendi-sendi agama.12
Ia juga disebut Diya’uddin,
karena ia mempunyai kelebihan dalam “menerangi” hati dan pikiran para
pembela aqidah Islamiyah, dan karena itu tokoh-tokoh Ahl al-Sunnah dapat
menangkis serangan dari para pengikut “golongan sesat” yang telah
terjerumus dalam kesesatan.13
Adapun karya-karyanya tercatat berjumlah 27 kitab yang meliputi
berbagai bidang, antara lain : fiqh, usul fiqh, pertentangan pendapat,
tata cara tukar pikiran, aqidah, dan sebagainya. Dalam bidang aqidah,
seperti kitab : Al-Irsyad ilaa Qawa’id al-Adillah fi Usul al-I’tiqad, Risalah fi Usul al-Din, al-Aqidah al-Nizamiyah, dan Lam’u al-Adillah fi Qawa’id Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah.14
- MASALAH PERBUATAN MANUSIA
Dalam hal ini, al-Juwaini berbeda pendapat dengan al-Asy’ari, yang
berpendapat bahwa perbuatan manusia tidak diwujudkan oleh manusia
sendiri dengan istilah kasb,15 dan dalam mewujudkan perbuatan yang diciptakan itu, daya yang ada pada manusia itu tidak mempunyai efek.16
Al-Juwaini seperti al-Baqilani, bahkan lebih jauh lagi, yaitu daya yang
ada pada manusia mempunyai efek. Tetapi, efeknya serupa dengan apa yang
terdapat antara sebab akibat. Wujud perbuatan manusia tergantung pada
daya yang ada pada manusia, wujud daya ini bergantung pula pada sebab
lain, dan wujud sebab ini bergantung pula pada sebab lain lagi, dan
demikian seterusnya sampai pada sebab dari segala sebab, yaitu Tuhan.17
Tampaknya dalam hal ini al-Juwaini memiliki pandangan yang mirip dengan
pandangan Mu’tazilah yang mendasarkan pada persoalan sebab-akibat atau
yang lebih dikenal dengan Sunat Allah. Tidak mengherankan kalau Ahmad
Amin menilai al-Juwaini dalam uraiannya tentang perbuatan manusia
sebagai : “Kembali dengan jalan berliku-liku kepada ajaran Mu’tazilah”.18
- MASALAH ANTHROPOMORPHISME
Dalam masalah ini al-Juwaini berbeda dengan pandangan al-Asy’ari. Dalam ayat-ayat mutasyabbihat, seperti yad, ain, wajh, dan sebagainya, al-Asy’ari mengakui memang Tuhan mempunyai itu semua. Tetapi, tidak dapat ditentukan bagaimana (bila kaifa),19 yaitu dengan tanpa mempunyai bentuk batasan (la yukayyaf wa la yuhad).20
Al-Juwaini, dalam hal ini menggunakan ta’wil, yad diartikan kekuasaan Tuhan, ain diartikan penglihatan Tuhan, wajh diartikan dengan wujud Tuhan.21 Dan ayat 25 surat Taha “ar-Rahmanu ‘Ala al-‘Arsy Istawa” diartikan dengan : Tuhan berkuasa dan Maha Tinggi.22
Demikian itulah perbedaan antara al-Juwaini dengan al-Asy’ari dalam masalah anthropomorphisme.
- KESIMPULAN
Dari uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
- Al-Juwaini sebagai tokoh dan pendukung Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, pendukung al-Asy’ari, namun dalam beberapa hal ia berbeda pendapat dengan al-Asy’ari.
- Dalam masalah perbuatan manusia, al-Juwaini mempunyai pendapat yang mirip dengan pendapat Mu’tazilah, terutama yang berkaitan dengan masalah hubungan antara sebab-akibat.
- Dalam masalah anthropomorphisme al-Juwaini menggunakan ta’wil. Hal ini berbeda dengan al-Asy’ari yang tidak menggunakan ta’wil.
- Dalam usaha untuk dapat menghasilkan keyakinan (kebenaran), al-Juwaini menempatkan fungsi akal pada urutan kedua setelah nas (wahyu). Sedang dalam masalah yang tidak berkaitan dengan aqidah ia mendahulukan argumentasi akliyah daripada nas.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Asy’ari, Abu Hasan Ali ibn Isma’il, Kitab al-Luma’, Richard J. McCaarthy, S.J., ed., Beirut: Imprimerie Catholique, 1952.
Al-Asy’ari, Abu Hasan Ali ibn Isma’il, Al-Ibanah ‘An Usul al-Diyanah, Al-Azhar: Idarah al-Tiba’ah al-Muniriyah, t.th.
Al-Juwaini, Imam al-Haramain, Kitab al-Irsyad Ila Qawa’id al-Adillah fi Usul al-I’tiqad, Ulasan Dr. Mahmud Yusuf Musa, Mesir: Maktabah al-Khaniji, 1950.
Al-Juwaini, ‘Abd al-Malik, Imam al-Haramain, Lam’u al-Adillah fi Qawa’id Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, Ulasan Dr. Fauqiyah Husain Mahmud, t.k.: Dar al-Misriyah li al-Ta’lif, 1960.
Al-Sabaki, Taj al-Din Abu Nasr ‘Abd al-Wahab ibn ‘Ali ‘Abd al-Kafi, Tabaqat al-Syafi’iyyah al-Kubra, III, Tahqiq Muhammad ‘Abd al-Fatah al-Tanahi, Issa al-Babi, 1965.
Al-Syahrastani, Muhammad ‘Abd al-Karim ibn Abi Bakr Muhammad, Al-Milal wa al-Nihal, Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
Amin, Ahmad, Zuhr al-Islam, IV, Kairo: Maktabah al-Nahdah al-Misriyah, 1964.
Musa, Jalal Muhammad Hamid, Nasy’ah al-Asy’ariyah wa Tatawwuriha, Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1975.
Nasution, Harun, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI-Press, 1986, cet. V.
---------------------
1 Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI-Press, 1986, cet. V, hlm. 72.
2 Jalal Muhammad Hamid Musa, Nasy’ah al-Asy’ariyah wa Tatawwuriha, Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1975, hlm. 375.
3 Ibid., hlm. 376.
4 Ibid., hlm. 410-411.
5 Taj al-Din Abu Nasr ‘Abd al-Wahab ibn ‘Ali ‘Abd al-Kafi al-Sabaki, Tabaqat al-Syafi’iyyah al-Kubra, III, Tahqiq Muhammad ‘Abd al-Fatah al-Tanahi, Issa al-Babi, 1965, hlm. 249.
6 ‘Abd al-Malik al-Juwaini, Imam al-Haramain, Lam’u al-Adillah fi Qawa’id Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, Ulasan Dr. Fauqiyah Husain Mahmud, t.k.: Dar al-Misriyah li al-Ta’lif, 1960, hlm. 9.
7 Taj al-Din Abu Nasr, ‘Abd al-Wahab ibn Ali ibn ‘Abd al-Kafi al-Sabaki, op.cit., hlm. 251.
8 ‘Abd al-Malik al-Juwaini, op.cit., hlm. 11.
9 Ibid., hlm. 7.
10 Ibid., hlm. 5.
11 Harun Nasution, loc.cit.
12 ‘Abd al-Malik al-Juwaini, op.cit., hlm. 8.
13 Ibid.
14 Ibid., hlm. 46-47.
15 Abu Hasan Ali ibn Isma’il al-Asy’ari, Kitab al-Luma’, Richard J. McCaarthy, S.J., ed., Beirut: Imprimerie Catholique, 1952, hlm. 71-72.
16 Muhammad ‘Abd al-Karim ibn Abi Bakr Muhammad al-Syahrastani, Al-Milal wa al-Nihal, Beirut: Dar al-Fikr, t.th., hlm. 97.
17 Ibid., hlm. 99.
18 Ahmad Amin, Zuhr al-Islam, IV, Kairo: Maktabah al-Nahdah al-Misriyah, 1964, hlm. 79.
19 Abu Hasan Ali ibn Isma’il al-Asy’ari, Al-Ibanah ‘An Usul al-Diyanah, Al-Azhar: Idarah al-Tiba’ah al-Muniriyah, t.th., hlm. 9.
20 Ibid., hlm. 22.
21 Imam al-Haramain al-Juwaini, Kitab al-Irsyad Ila Qawa’id al-Adillah fi Usul al-I’tiqad, Ulasan Dr. Mahmud Yusuf Musa, Mesir: Maktabah al-Khaniji, 1950, hlm. 156-157.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar