I. PENDAHULUAN
Setelah
kita membahas riba dan berbagai permasalahannya, kita akan menganalisis
bunga dengan berbagai implikasinya, baik dari segi ekonomi,
produktivitas usaha, dampak kejiwaan, hubungan antar anggota masyarakat,
demikian juga akibatnya terhadap akumulasi utang negara berkembang.
Ada
beberapa syarat utama untuk dapat memahami bunga dan kaitannya dengan
riba, yaitu menghindarkan diri dari kemalasan ilmiah yang cenderung
pragmatis dan mengatakan bahwa praktek pembungaan uang seperti yang
dilakukan lembaga-lembaga keuangan ciptaan Yahudi sudah sejalan dengan
ruh dan semangat Islam. Tunduk dan patuh kepada aturan Allah dan
Rasulullah dalam segala aspek termasuk dimensi ekonomi dan perbankan,
seperti dalam firman Allah SWT
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ
Dan
tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan
suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan
mereka. (al-Ahzab : 36)
II. PEMBAHASAN
A. Riba
Riba yang berasal dari bahasa Arab artinya tambahan (ziyadah, Arab/addition, Inggris), yang berarti : tambahan pembayaran atas uang pokok pinjaman.
اَلرِّبَـافيِ الشَّرْعِ هُوَ فَصْلٌ خَـالٍ عَنْ عِوَاضٍ شُرِطَ ِلاَحَدِالْـعَاقِدِيْنَ
Kelebihan/tambahan
pembayaran tanpa ada ganti/imbalan yang disyaratkan bagi salah seorang
dari dua orang yang membuat akad / transaksi.
Ada yang membedakan antara riba dan rente/bunga seperti bahwa riba adalah untuk pinjaman yang bersifat konsumtif, sedangkan rente/riba untuk pinjaman yang bersifat produktif.
Adapun dampak akibat praktek riba itu antara lain ialah :
1. Menyebabkan eksploitasi (pemerasan) oleh si kaya terhadap si miskin
2. Uang
modal besar yang dikuasai oleh the haves tidak disalurkan ke dalam
usaha-usaha yang produktif, misalnya pertanian, perkebunan, industri,
dan sebagainya yang dapat menciptakan lapangan kerja banyak, yang sangat
bermanfaat bagi masyarakat dan juga bagi pemilik modal sendiri, tetapi
modal besar itu justru disalurkan dalam perkreditan berbunga yang belum
produktif.
3. Bisa
menyebabkan kebangkrutan usaha dan pada gilirannya bisa mengakibatkan
keretakan rumah tangga, jika si peminjam itu tidak mampu mengembalikan
pinjaman dan bunganya.
Karena
melihat bahaya besar atau dampak negatif dari praktek riba itulah, maka
Nabi Muhammad membuat perjanjian dengan kelompok Yahudi, bahwa mereka
tidak dibenarkan menjalankan praktek riba dan Islam pun dengan tegas
nelarang riba. Di dalam al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang
membicarakan riba secara eksplisit. Pada periode Mekah sebelum hijrah,
Allah berfirman dalam surat ar-Rum ayat 39, yang menerangkan bahwa bagi
Allah orang itu sebenarnya tidak melipatgandakan hartanya dengan jalan
riba, melainkan dengan jalan zakat yang dikeluarkan karena Allah
semata-mata.
Di
dalam hadits-hadits Nabi, yang menegaskan bahwa riba itu termasuk tujuh
dosa besar, yakni syirik, sihir, membunuh anak yatim, melarikan diri
waktu pertempuran dan menuduh zina wanita yang baik-baik.
لَعَـنَ الله ُ آكِلَ الرِّبَـا وَهُوَ كِلَّهُ وَشَــاهِـدَيْهِ وَكَاتِبَـهُ (الحديث)
Allah
mengutuk orang yang mengambil riba (orang yang memberi pinjaman), orang
yang memberikan riba (orang yang utang), dua orang saksinya, dan orang
yang mencatatnya.
Ibnu al-Qayyim, sebagaimana dikutip oleh Abdurrahman Isa menerangkan bahwa riba ada dua macam, yaitu :
a. Riba
yang jelas, yang diharamkan karena adanya keadaan sendiri, yaitu riba
nasiah (riba yang terjadi karena adanya penundaan pembayaran hutang).
Riba nasiah ini hanya di perbolehkan dalam keadaan darurat.
b. Riba
yang samar, yang diharamkan karena sebab lain, yaitu riba yang terjadi
karena adanya tambahan pada jual beli benda/bahan yang sejenis.
اَلْحَــاجَةُ تَنْزِلُ مَنْزِلَـةَ الضَّرُوْرَةُ تُبِيْحُ الْمَحْطُوْرَاتِ.
Hajat
(keperluan yang mendesak/penting) itu menempati di tempat terpaksa,
sedangkan keadaan darurat itu menyebabkan boleh melakukan hal-hal yang
dilarang.
B. Bank non-Islam (Convensional Bank)
Bank non Islam atau convensional bank,
ialah sebuah lembaga keuangan yang berfungsi utamanya menghimpun dana
untuk disalurkan kepada yang memerlukan dana, baik perorangan atau badan
guna investasi dalam usaha-usaha yang produktif dan lain-lain dengan
sistem bunga, sedangkan bank Islam, ialah sebuah lembaga keuangan yang
menjalankan operasinya menurut hukum Islam. Sudah tentu bank Islam tidak
memakai sistem bunga, sebuah bunga dilarang oleh Islam.
Sebagai
pengganti sistem bunga Bank Islam menggunakan berbagai cara yang bersih
dari unsur ribam antara lain ialah sebagai berikut :
a. Wadiah (titipan uang, barang dan surat
berharga dan deposito). Lembaga fiqh Islam bisa diterapkan oleh Bank
Islam dalam operasinya menghimpun dana dari masyarakat dengan cara
menerima deposito berupa uang, barang, dan surat-suart berharga sebagai
amanah yang wajib dijaga keselamatannya oleh Bank Islam. Bank berhak
menggunakan dana yang didepositokan itu tanpa harus membayar imbalannya,
tetapi bank harus menjamin bisa mengembalikan dana itu pada waktu
pemiliknya (depositor) memerlukannya.
b. Mudharabah
(kerjasama antara pemilik modal dengan pelaksana atas dasar perjanjian
profit and loss sharing. Dengan mudharabah ini, bank Islam dapat
memberikan tambahan modal kepada pengusaha untuk perusahaannya dengan
perjanjian modal kepada pengusaha untuk perusahaannya dengan perjanjian
bagi hasil dan rugi yang perbandingannya sesuai dengan perjanjian,
misalnya fifty-fifty. Dalam mudharabah ini, bank tidak mencampuri
manajemen perusahaan.
c. Bank
Islam boleh pula mengelola zakaat di negara yang pemerintahannya tidak
mengelola zakat secara langsung. Dan bank juga dapat menggunakan
sebagian zakat yang terkumpul untuk proyek-proyek yang produktif yang
hasilnya untuk kepentingan agama dan umum.
C. Hukum Bermuamalah Dengan Bank Konvensional dan Hukum Mendirikan Bank Islam
Dalam
kehidupan modern seperti sekarang ini, umat Islam hampir tidak bisa
menghindar diri dari bermuamalah dengan bank konvensional yang memakai
sistem bunga itu dalam segala aspek kehidupannya, termasuk kehidupan
agamanya. Misalnya ibadah haji di Indonesia
umat Islam harus memakai jasa bank apalagi dalam kehidupan ekonomi
tidak bisa lepas dari jasa bank. Sebab tanpa jasa bank, perekonomian Indonesia
tidak selancar dan semaju seperti sekarang ini. Namun para ulama dan
cendekiawan muslim hingga dini masih tetap berbeda pendapat tentang
hukum bermuamalah dengan bank konvensional dan hukum bunga bank.
Menurut
penulis, alasan ulama dan cendekiawan muslim membolehkan bahkan
menganjurkan berdirinya bank Islam dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Umat
Islam telah berada dalam keadaan darurat, sebab dalam kehidupan modern
sekarang ini umat Islam hampir tidak bisa menghindarkan diri dari
bermuamalah dengan bank dengan sistem bunga dalam segala aspek
kehidupan, termasuk kehidupan agama / ibadahnya.
2. Untuk
menyelamatkan umat Islam dari praktek bunga yang mengandung unsur
pemerasan (eksploitasi) dari si kaya terhadap si miskin atau orang yang
kuat ekonominya terhadap yang lemah ekonominya.
3. Untuk
menyelamatkan ketergantungan umat Islam dengan bank non-Islam yang
menyebabkan umat Islam berada di bawah kekuasaan bank, sehingga umat
Islam tidak bisa menerapkan ajaran agamanya dalam kehidupan pribadi dan
masyarakat, terutama dalam kegiatan bisnis dan perekonomiannya.
4. Untuk mengaplikasikan ketentuan fiqh, اَلْحُرُوْجُ مِنَ الْخِلاَفِ مُسْتَحَتٌ (menghindari
perselisihan ulama itu sunat hukumnya). Sebab ternyata sehingga kini
ulama dan cendekiawan muslim masih beda pendapat tentang hukum
bermuamalah dengan bank konvensional, karena masalah bunga bank yang
masih tetap kontrovesial (haram/syubhat/halal).
D. Bank Islam di Indonesia
Telah
lama umat Islam di Indonesia mendambakan adanya bank dengan sistem
syari’at Islam (tanpa bunga) dan ikhtiar-ikhtiar untuk menuju kearah itu
telah lama dilakukan. Karena itu, patut di syukuri berdirinya Bank
Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 1991, setelah diprakarsai oleh
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan didorong oleh cendekiawan muslim
Indonesia (ICMI) kemudian direstui dan disponsori Presiden.
Setelah
BMI sebagai bank umum dengan sistem bagi hasil berdasarkan syari’at
Islam berdiri pada tahun 1991 dengan total modal Rp. 120 Milyar yang
terkumpul hanya dalam tempo 3 hari, kemudian disusul dengan lahirnya
Bank Perkreditan Rakyat (BPR) pada tahun 1992 di berbagai daerah di
Indonesia.
1. Tujuan BMI dan BPR dengan sistem bagi hasil berdasarkan syariat Islam antara lain adalah :
a. Untuk meningkatkan kualitas kehidupan sosial ekonomi masyarakat terbanyak bangsa Indonesia,
sehingga semakin berkurang kesenjangan sosial ekonomi dan dengan
demikian akan melestarikan pembangunan nasional antara lain melalui :
- Peningkatan kuantitas dan kualitas kegiatan usaha
- Peningkatan kesempatan kerja dan
- Peningkatan pendapatan masyarakat banyak
b. Untuk meningkatkan partisipasi msyarakat banyak dalam proses pembangunan terutama dalam bidang ekonomi keuangan karena:
- Masih cukup banyak yang enggan berhubungan dengan bank itu riba
- Masih banyak masyarakat yang menganggap bunga bank itu riba
- Dengan berhasilnya pembangunan di bidang agama makin banyak masyarakat yang mempersoalkan hukum bunga bank
2. Produk-Produk operasional BMI
Pada
umumnya produk-produk operasional bank konvensional juga dilakukan dan
dikembangkan oleh BMI, tetapi tidak dengan sistem bunga seperti yang
dilakukan oleh bank konvensional, melainkan dengan sistem bagi hasil
berdasarkan syariat Islam.
a) Produk-produk BMI yang ditawarkan kepada masyarakat antara lain dalam bentuk :
a. Giro titipan (wadi’ah)
- Giro wadiah untuk ibadah, masjid, baitul maal, bazis, dan sebagainya
- Giro wadi’ah untuk muamalah, terdapat saldo rata-rata diatas jumlah tertentu dalam waktu tertentu dengan hak laba.
b. Deposito bagi hasil / mudharabah
c. Simpanan mudharabah namun dibenarkan adanya mutasi tanpa perjanjian, sehingga perlu perhitungan saldo rata-rata.
1) Tabungan mudharabah ibadah haji
- Dapat dijadikan jaminan fasilitas kredit bank
2) Tabungan mudharabah muamalah
- Untuk beasiswa, nikah, rumah dan sebagainya
- Bagian laba diperhitungkan sesuai dengan saldo rata-rata dalam waktu tertentu
- Dapat dijadikan jaminan fasilitas kredit bank.
b) Produk penyaluran dana berupa :
- Kredit bagi hasil mudharabah
- Kredit pemilikan barang jatuh tempo
- Kredit pemilikan barang cicilan
- Kredit kebijakan
III. KESIMPULAN
Dapat
diambil kesimpulan, bahwasanya riba itu hukumnya haram dan tidak
diperbolehkan dan hukum bunga bank konvensional hukumnya sama dengan
riba dan bank Islam sistemnya bagi hasil yang diperbolehkan agama.
DAFTAR PUSTAKA
1. Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, PT. Toko Gunung Agung, Jakarta, 1987
2. M. Daud Ali, Kedudukan Hukum dalam Sistem Hukum Islam, Jakarta, 1984.
3. MUI, Kumpulan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1984.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar