A. Bab 7 Tentang Metode Munawalah dan Pengiriman Surat Oleh Ulama Ke Berbagai Daerah.
“Anas berkata, Utsman menulis beberapa mushaf dan mengirimnya ke
berbagai daerah. Abdullah bin Umar, Yahya bin Said dan Malik membolehkan
hal itu. Sebagian ulama dari Hijaz berhujjah dalam masalah munawalah
dengan Nabi Muhammad ketika menulis sebuah surat kepada pemimpin pasukan
dan bersabda, “Janganlah kamu membacanya kecuali jika telah sampai pada
tempat ini … dan ini…. Ketika telah sampai pada tempat tersebut, maka
ia membacakan dan menyampaikannya sesuai dengan perintah Nabi.”
“Dari Abdulllah bin Abbas, bahwa Rasulullah SAW menyuruh seorang
laki-laki untuk mengantarkan suratnya kepada pembesar Bahrain, surat itu
dikirimkannya kepada raja Persia (Abruaiz bin Humruz bin Anusyirwan).
Setelah selesai membaca surat, maka raja itu merobek-robeknya. Saya kita
ibnu Musayyah mengatakan karena perbuatan Raja Persia itu Rasulullah
SAW berdo’a, “Semoga kerajaan mereka dihancurkan oleh Allah SWT.”
- Keterangan Hadits.
Setelah metode mendengar (sama’i) dan membaca (‘ard),
maka Imam Bukhari menyebutkan metode-metode lain yang diakui jumhur
ulama. Di antaranya adalah metode munawalah yaitu seorang guru
memberikan sebuah kitab kepada muridnya dan berkata, “Kitab ini
adalah hasil pendengarankum dari si fulan; atau kitab ini adalah hasil
karanganku. Maka riwayatkanlah hadits ini dari diriku.”
Setelah Syaikh Abdul Aziz Abdullah bin Baz meneliti hadits tersebut,
ternyata dia tidak menemukannya dari riwayat Abdullah bin Umar bin
Khattab secara gambling. Akan tetapi dia telah menemukannya dalam kitab
Al-Washiyah milik Abu Qosim bin Mundih dari jalur Bukhari dengan sanad
shahih kepada Abu Abdirrahman Al Hubli, bahwasanya dia memberikan sebuah
kitab kepada Abdullah yang berisikan hadits. Kemudian dia mengatakan,
“Perhatikanlah isi kitab ini, maka apa yang telah engkau ketahui di
antara hadits-hadits tersebut biarkanlah, dan yang belum engkau ketahui
hapuslah.” Setelah itu dia pun menyebut hadits ini.
Hadits ini termasuk kategori munawalah. Dalam hadits tersebut ada
kemungkinan bahwa Abdullah adalah Ibnu Umar bin Khattab, karena Al Hubli
pernah mendengar dirinya; dan ada juga kemungkinan bahwa Abdullah
adalah Ibnu Amru bin Ash, karena Al Hubli terkenal sering meriwayatkan
hadits darinya.
Dalam hal ini, Syaikh Abdul Aziz Abdullah bin Baz berpendapat bahwa
metode Mukatabah dapat dijadikan hujjah jika surat tersebut bersifat
resmi (distempel). Pembawanya adalah orang yang bisa memegang amanat dan
orang yang menerimanya mengetahui tulisan guru itu, atau ada syarat
lain yang dapat menutup kemungkinan terjadinya perubahan atau
penggantian. Wallahu A’lam.
“Dari Anas bin Malik RA, bahwa ia berkata, “Nabi menulis sepucuk
surat atau ingin menulisnya. Tiba-tiba seseorang berkata kepada beliau,
Mereka tidak suka membaca surat yang tidak dicap (stempel).” Lalu Nabi
membuat sebuah stempel dari perak yang bertuliskan Muhammad Rasulullah.
Seakan-akan aku melihat putihnya stempel itu ketika berada di tangan
Nabi. Maka aku (Syu’bah) bertanya kepada Qatadah, “Siapakah yang
mengatakan stempel itu bertuliskan tulisan Muhammad Rasulullah? “Qatadah
menjawab, Anas.”
Dari sini dapat kita ketahui bahwa syarat diperbolehkannya metode
mukatabah adalah berstempel atau bercap, dengan maksud agar terhindar
dari perubahan dan pemalsuan. Akan tetapi syarat ini kadang tidak
diperlukan, jika si pembawa surat adalah orang yang adil dan dapat
dipercaya.
- Pelajaran Yang Dapat Diambil
Imam Bukhari tidak menyebutkan metode penyampaian hadits dengan cara ijazah yang terlepas dari metode Munawalah ataupun Mukatabah. Beliau juga tidak menyebutkan metode Wijadah (penemuan kitab). Wasiat serta metode I’lam (pemberitahuan)
yang terlepas dari metode ijazah. Hal itu dapat disimpulkan, bahwa
beliau tidak membolehkan metode-metode tersebut.
Ibnu Mundih berpendapat, bahwa semua perkataan Imam Bukhari yang menggunakan qoola lii (berkata
kepada saya) merupakan bentuk ijazah dan tidak dapat diterima, karena
saya menemukan banyak hadits yang terdapat dalam kitab Al-Jami’ dengan menggunakan qoola lii ternyata dalam kitab lain beliau menggunakan kata (menceritakan kepadaku). Imam Bukhari tidak membolehkan metode Ijazah yang berarti tahdits (dengan menggunakan haddatsa), karena metode tersebut menurut beliau termasuk dalam kategori masmu’
(didengar). Akan tetapi alasan penggunaan metode ini adalah untuk
membedakan antara hadits yang memenuhi syarat dan hadits yang tidak
memenuhi syarat.
B. Bab 8 Tentang Duduk Paling Belakang Dalam Majlis Dan Menempati Tempat Yang Kosong
“Dari Abu Waqid Al Laitsi RA ia berkata, “Ketika Nabi sedang duduk
dalam masjid bersama para sahabat datanglah tiga orang: dua orang di
antaranya masuk ke dalam masjid dan satu orang lagi terus saja pergi.
Setelah keduanya sampai di hadapan Rasulullah, seorang di antaranya
melihat tempat lowong di tengah-tengah jama’ah, maka ia duduk di situ.
Yang seorang lagi duduk di belakang mereka, sedangkan orang yang ketiga
terus saja pergi. Ketika selesai memberikan khutbah, Rasulullah
bersabda, “Baiklah, akan saya jelaskan tentang ketiga orang itu; yang
seorang mencari tempat di sisi Allah, maka diberi oleh Allah. Orang yang
kedua merasa malu-malu, maka Allah pun malu kepadanya. Sedangkan orang
yang ketiga berpaling, maka Allah pun berpaling darinya.”
- Keterangan hadits.
(Tiga orang). Nafar adalah kelompok yang terdiri dari 3 sampai 10 orang. Sedangkan makna dari tsalatsu nafar adalah tiga orang yang merupakan satu kelompok.
(Dua orang di antaranya masuk) diletakkan setelah kalimat aqbala tsalaatsatu nafar
menunujukkan bahwa mereka bertiga pada awalnya baru datang dan kemudian
masuk ke dalam masjid seperti dalam hadits Anas. Maka, ketiga orang
tersebut masuk ke dalam masjid. Akan tetapi setelah mereka melihat
majlis Nabi, kedua orang dari mereka terus masuk terus masuk sedangkan
salah seorang dari mereka keluar.
Setelah mereka sampai dihadapan Rasulullah, maksudnya keduanya sampai dalam majlis Rasulullah.
(tempat lowong), yaitu sela di antara dua benda. Sedangkan halaqah adalah segala sesuatu yang berbentuk lingkaran. Dalam hadits ini mengandung anjuran untuk membentuk halaqah dalam majlis dzikir atau majlis ilmu, dan orang yang datang lebih dahulu berhak untuk duduk di depan.
Orang yang kedua merasa malu-malu. Maksudnya ia tidak mau
berdesakkan-desakkan seperti yang dilakukan oleh orang pertama, karena
ia malu kepada Rasulullah dan hadirin dalam majlis itu.[1] Sedangkan Anas telah menjelaskan penyebab rasa malu orang tersebut sebagaimana diriwayatkan oleh Hakim, “Dan orang kedua itu berlalu kemudian ia datang dan mengambil tempat duduk.” Maka hadits ini menunjukkan, bahwa ia malu untuk meninggalkan majlis seperti yang dilakukan oleh temannya yang ketiga.
Maka Allah pun malu kepadanya, maksudnya adalah Allah tidak akan
memberinya rahmat, tetapi juga tidak menyiksanya. Sedangkan Allah pun
berpaling darinya atau murka kepadanya maksudnya kepada orang yang
meninggalkan majlis bukan karena suatau halangan jika ia adalah seorang
muslim, atau mungkin ia adalah seoporang munafik sehingga Nabi
mengungkapkan kejelekannya, atau mugkin perkataan Nabi adalah sebagai
pemberitahuan atau do’a.
Adapun fungsi penisbatan itu adalah untuk menerangkan, sesuatu secara
jelas. Hadits tersebut juga membolehkan untuk memberitakan keadaan
orang-orang yang berbuat maksiat dengan maksud untuk mencela perbuatan
tersebut.
- Pelajaran Yang Dapat Diambil
Hadits di atas mengandung anjuran untuk beretika dalam majlis
tersebut, sebagaimana telah diterangkan dalam hadits lain. Dalam hal ini
seseorang diperbolehkan intik lewat di depan orang lain selama tidak
mengganggunya. Akan tetapi jika khawatir akan mengganggunya, maka
dianjurkan untuk duduk paling belakang seperti yang dilakukan oleh orang
kedua dalam hadits ini. Hadits ini juga mengandung pujian bagi orang
yang rela berdesakan untuk mencari kebaikan atau pahala.
Hadits ini juga menerangkan tentang keutamaan orang yang mengikuti
majlis ilmu dan berdzikir di dalam masjid. Selain itu hadits ini juga
memuji orang yang malu dan duduk di tempat paling akhir (belakang).
- C. Bab 9 Tentang Sabda Rasulullah
”Dari Abdurrahman bin Abu Bakrah, dari ayahnya bahwa ia berkata,
“Suatu ketika Rasulullah berpidato sambil duduk di atas untanya, dan
seseorang memegang tali kekangnya. Rasulullah bertanya, “Hari apakah
sekarang? “Kami diam saja, karena kami mengira beliua akan member nama
lain bagi hari itu. Kemudian beliau berkata, “Bukankah hari ini hari
nahr?”Kami menjawab, “Betul, ya Rosulullah.” Beliau bertanya lagi.
“Bulan apa sekarang? “Kami pun terdiam karena mengira beliau akan
memberikan nama lain bagi bulan itu. Beliau bertanya lagi, ‘Bukankah ini
bulan Dzulhijjah? “Kami menjawab, “Betul ya Rasulullah.” Kemudian
beliau bersabda, sesungguhnya darahmu, hartamu, dan kehormatanmu adalah
dipelihara (dilindungi), sebagaimana terpeliharanya kehormatan hari ini
(hari nahr), bulan ini (Dzulhijjah), dalam negeri ini (Makkah).
Hendaklah orang yang hadir ini menyampaikan kepada yang tidak hadir.
Semoga pelajaran ini sampai kepada yang lebih memahaminya.”
- Keterangan hadits
Dalam hadits ini disebutkan sedangkan pada bab haji dari Ibnu Abbas
disebutkan (Rasulullah berkhutbah di depan manusia pada hari nahr,
kemudian beliau bertanya,”Hari apakah ini? “Mereka menjawab, “Hari ini
adalah hari haram.”).
Kedua riwayat ini kelihatannya saling bertentangan, aka tetapi
sebenarnya keduanya dapat dipadukan. Kelompok yang bersama Ibnu Abbas,
mereka menjawab, sedangkan kelompok yang bersama Abu Bakrah, mereka
tidak menjawabnya dan berkata, “Allahu wa Rasuluhu A’lam.” Atau
hadits Ibnu Abbas itu hanya diriwayatkan dengan maknanya saja (secara
maknawi) karena hadits Abu Bakrah yang terdapat dalam bab haji dan
fitnah berupa jawaban mereka atas pertanyaan Rasulullah adalah sama
maknanya dengan perkataan mereka “ini hari haram”. Abu Bakrah
meriwayatkan hadits ini secara utuh sedangkan Ibnu Abbas hanya
meringkas. Hal ini disebabkan kedekatan Abu Bakrah dengan Rasulullah,
dan dialah yang memegang kekang untanya.
- Pelajaran Yang Dapat Diambil
Hadits ini mengandung beberapa pelajaran penting di antaranya:
- Anjuran untuk menyebarluaskan ilmu pengetahuan.
- Bagi orang yang belum memiliki keahlian yang sempurna boleh menyampaikan hadits.
- Pemahaman bukan syarat pelaksanaan.
- Terkadang orang yang datang belakangan lebih paham daripada para pendahulunya. Ibnu Munir menerangkan, bahwa pandangan orang datang belakangan lebih kuat daripada orang yang lebih tepat dibandingkan penafsiran orang lain.
- Duduk di atas binatang peliharaan yang sedang berdiri dibolehkan jika dalam keadaan darurat, sedangkan jika tidak dalam keadaan darurat maka tidak dibolehkan.
- Khutbah sebaiknya dilakukan pada tempat yang tinggi agar para pendengar dapat melihat khatib dan mendengar suaranya.
- D. Bab 10 Tentang Mengetahui Sebelum Berkata Dan Berbuat
Sebagaimana firman Allah (maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak
ada Tuhan (Yang Hak) disembah melainkan Allah). QS. Muhammad (47): 19.
Allah memulai ayat ini dengan kata “ilmu”.
“Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi. Mereka telah
mewariskan ilmu, dan barang siapa yang mengambil ilmu dari ulama maka
hendaknya ia mengambilnya dengan sempurna, dan barang siapa yang
menempuh jalan untuk menuntuk ilmu maka Allah akan memudahkan baginya
jalan ke Syurga. Allah berfirman, “Sesungguhnya orang yang takut kepada
Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (QS. Faathir: 28) dan
firman-Nya, “Dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang
berilmu.” (QS.Al’Ankabuut: 34). Firman-Nya pula, “Dan mereka berkata
“Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan peringatan itu niscaya
tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala.”
(QS.Al Mulk: 10) Allah juga berfirman dalam ayat lain, “Adakah sama
orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui ?
“(QS.Az-Zumar: 9) Nabi bersabda, “Barang siapa yang Allah menghendaki
kebaikan-Nya, niscaya Dia akan memberi pemahaman kepadanya.”
Sesungguhnya ilmu itu diperoleh dengan belajar.
Abu Dzar berkata, “Seandainya kalian meletakkan pedang di sini, ia
menunjuk ke arah tengkuknya, kemudian kalian berpikir sesungguhnya saya
akan menyampaikan kalimat yang telah aku dengar dari Rasulullah sebelum
kalian memperbolehkanku, sungguh aku akan mengerjakannya.” Firman
Allah, “Jadilah kamu sekalian Rabbaniyun”, maksudnya adalah para ulama
dan fuqaha.” Ada yang berpendapat bahwa Rabbani adalah orang yang
mendidik manusia dengan ilmu pada waktu kecil sebelum menginjak masa
dewasa.”
- Keterangan hadits.
Yang dimaksud dengan ungkapan “mengetahui sebelum berkata dan
berbuat” adalah bahwa ilmu merupakan syarat dalam perkataan dan
perbuatan. Kedua hal tersebut tidak akan dianggap kecuali dengan ilmu,
dan ilmu lebih utama dari perkataan ataupun perbuatan karena ilmu dapat
meluruskan niat. Oleh karena itu Imam Bukhari mengingatkan hal tersebut
sebelum orang-orang mendengar perkataan.
“Dan tiada memahaminya kecuali …)”, maksudnya memikirkan
contoh-contoh yang telah diberikan. “Sekiranya kami mendengarkan”,
maksudnya mendengar seperti pendengaran orang yang menyadari dan
memahami . “Atau memikirkan”, yaitu berpikir seperti layaknya orang yang
berakal.
Hal ini merupakan sifat orang-orang yang berilmu (ahlul ‘ilmi). Adapun maksud dari ayat tesebut adalah jika kita ini termasuk ahlul ilmi, maka kita akan mengetahui apa yang harus dikerjakan, dan jika kita telah mengerjakannya maka kita akan selamat.
Demikian disebutkan dalam banyak riwayat, sedangkan dalam riwayat Al
Mustamli disebutkan dengan lafadz (memahamkan-Nya). Setalah bab ini
Imam Bukhari menggunakan lafadz yang pertama dalam 2 bab lainnya.
Sedangkan lafadz kedua dikeluarkan oleh Ibnu Abi ‘Ashim dalam bab “ilmu” dari jalur Ibnu Umar yang merupakan hadits marfu’ (dinisbatkan kepada Nabi). Sanad riwayat ini termasuk sanad hasan (yang baik).
- Pelajaran Yang Dapat Diambil
Hadis di atas dapat kita ambil pelajaran penting, di antaranya:
- Apabila ingin berkata dan berbuat berbuat mengetahui terlebih dahulu dengan kata lain memikirkannya, agar mudah dipahami oleh orang.
- Kita harus mengetahui setiap permasalahan secara global.
- Selain itu kita juga mengetahui setiap permasahan secara mendetail (pendahuluanya sebelum menerangkan maksudnya.
- Kalau kita ingin disebut robbani, maka kita harus menguasai ilmu, mengerjakan dan mengamalkannya.
- E. Bab 11 tentang Nabi Memilih Waktu Yang Tepat Untuk Memberikan Nasihat Dan Mengajarkan Ilmu Agar Para Sahabat Tidak Meninggalkan Majlis.
“Dari Ibnu Mas’ud, bahwa Nabi SAW selalu memilih waktu yang tepat
bagi kami untuk memberikan nasihat, karena beliau takut kami akan merasa
bosan.”
- Keterangan hadits.
artinya (memperhatikan), sedangkan berarti nasihat atau peringatan.
Kalimat yang disebutkan dalam judul bab mengandung maksud kedua
hadits yang akan dijelaskan, sebab kata (bosan) dan (meninggalkan)
mempunyai kemiripan makna. Adapun korelasi antara hadits ini dengan
hadits sebelumnya adalah hadits-hadits tersebut menekankan untuk
menyampaikan ilmu (tabligh) seperti yang dilakukan oleh Abu Dzar.
(selalu memilih waktu yang tepat bagi kami). Menurut Al Khathtahbi,
kata Al khaa’il (isim fa’il dari khaala) berarti orang yang
memperhatikan atau menjaga harta. Oleh karena itu, maksud dari hadits
ini adalah bahwa Rasulullah selalu memperhatikan aspek waktu dalam
memberikan setiap waktu supaya kami tidak merasa bosan.
- Pelajaran Yang Dapat Diambil
- Anjuran untuk tidak melakukan perbuatan shalih secara terus-menerus karena dikhawatirkan akan menyebabkan rasa bosan. Meskipun ketekunan atau kontinuitas sangat diharapkan dalam melakukan pekerjaan, akan tetapi hal itu dapat dilakukan dengan beberapa cara; yaitu: dilaksanakan setiap hari dengan syarat tidak membebani, atau dilakukan dua hari sekali sehingga dapat melakukan perbuatan tersebut pada hari berikutnya dengan penuh semangat, atau bisa juga dilakukan seminggu sekali disesuaikan dengan kondisi masing-masing individu.
- Perbuatan Ibnu Mas’ud dan pemberian alasan itu adalah dalam rangka mengikuti Nabi dengan memperhatikan waktu dalam melakukan ataupun meninggalkannya. Kemungkinan kedua tersebut merupakan kemungkinan yang paling tepat.
- Dari hadits ini, sebagian ulama menyimpulkan bahwa menyamakan antara shalat sunnah rawatib dengan yang bukan dalam melaksanakannya secara kontinu dalam waktu tertentu, adalah makruh hukumnya.
- F. Kesimpulan
Penjelasan kitabul ‘ilmu bab 7 sampai bab 11 pada Shahih Al
Bukhari sangat luas sekali. Berkaitan dengan itu sungguh banyak sekali
keterangan-keterangan yang dipaparkan dalam kitab Fathul Baari.
Dari pembahasan di atas, secara sederhana kami paparkan beberapa kesimpulan, yaitu:
- Dalam bab 7 membicarakan tentang metode munawalah dan pengiriman surat oleh ulama ke berbagai daerah, yang diajarkan oleh Rasulullah. Hal ini kita dapati melalui sebuah hadits yang disampaikan oleh Anas.
Ada beberapa pelajaran yang dapat kita ambil, di antaranya Bukhari
memngatakan hanya metode munawalah. Dan kalau menggunakan metode mukatabah hendaklah surat itu harus berstempel. Kecuali pembawa surat orang yang terpecaya.
- Dalam bab 8 membicarakan tentang etika dalam sebuah majlis.
Pelajaran penting yang dapat diambil adalah bagaimana kita harus
beretika dalam sebuah majlis. Dan adanya sebuah pujian bagi orang yang
menghadiri majlis. Selain itu kalau ada majlis-majlis dakwah kita jangan
meninggalkan dengan sengaja. Karena Allah akan memurkai.
- Dalam bab 9 adanya sabda Nabi tentang menyampaikan ilmu.
Pelajaran penting yang dapat diambil;
- Anjuran untuk menyebarluaskan ilmu.
- Dan kewajiban menyampaikan ilmu walau belum mempunyai keahlian.
- Tempat khutbah harus tinggi, supaya dapat dilihat dan didengar.
- Dalam bab 10 membicarakan tentang mengetahui terlebih dahulu sebelum berkata dan berbuat.
Pelajaran yang dapat diambil adalah bagaimana kita harus memikirkan
setiap permasalahan yang ingin disampaikan, yakni secara global kemudian
mendetail.
- Dalam bab 11 membicarakan tentang strategi dalam memberikan nasihat dan mengajarkan ilmu.
Pelajaran yang dapat diambil adalah adanya sebuah program manajemen
waktu dalam mengajarkan ilmu atau bekerja. Hal agar tidak menjadikan
kita dan orang lain bosan.
[1]
Pendapat Qadhi ‘Iyadh., dalam Ibnu Hajar Al Asqalani, Terjemahan Fathul
Baari, “Syarah Shahih Al Bukhari, cet I, 2002, Jakarta: Pustaka Azzam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar