Dalam
sebuah masyarakat yang dicirikan oleh kemajemukan agama, tidak ada hal
yang sedemikian penting dan mendesak seperti hubungan antarumat
beragama.
Berbicara
tentang hubungan antar agama, wacana pluralisme agama menjadi
perbincangan utama. Pluralisme agama sendiri dimaknai secara
berbeda-beda di kalangan cendekiawan Muslim Indonesia, baik secara
sosiologis, teologis maupun etis.
Secara
sosiologis, pluralisme agama adalah suatu kenyataan bahwa kita adalah
berbeda-beda, beragam dan plural dalam hal beragama. Ini adalah
kenyataan sosial, sesuatu yang niscaya dan tidak dapat dipungkiri lagi.
Dalam kenyataan sosial, kita telah memeluk agama yang berbeda-beda.
Pengakuan terhadap adanya pluralisme agama secara sosiologis ini
merupakan pluralisme yang paling sederhana, karena pengakuan ini tidak
berarti mengizinkan pengakuan terhadap kebenaran teologi atau bahkan
etika dari agama lain.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh M. Rasjidi bahwa agama adalah masalah yang tidak dapat ditawar-tawar, apalagi berganti.[1] Ia
mengibaratkan agama bukan sebagai (seperti) rumah atau pakaian yang
kalau perlu dapat diganti. Jika seseorang memeluk keyakinan, maka
keyakinan itu tidak dapat pisah darinya.[2]
Berdasarkan keyakinan inilah, menurut Rasjidi, umat beragama sulit
berbicara objektif dalam soal keagamaan, karena manusia dalam keadaan involved (terlibat). Sebagai seorang muslim misalnya, ia menyadari sepenuhnya bahwa ia involved (terlibat) dengan Islam.[3] Namun, Rasjidi mengakui bahwa dalam kenyataan sejarah masyarakat adalah multi-complex yang mengandung religious pluralism, bermacam-macam agama.
A. Tafsir Ayat-ayat Tentang Agama
1. QS. Ali Imran : 19
إِنَّ
الدِّينَ عِندَ اللهِ الإِسْلاَمُ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوْتُواْ
الْكِتَابَ إِلاَّ مِن بَعْدِ مَا جَاءهُمُ الْعِلْمُ بَغْياً بَيْنَهُمْ
وَمَن يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللهِ فَإِنَّ اللهِ سَرِيعُ الْحِسَابِ
“Sesungguhnya
agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih
orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang
pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara
mereka. Barang siapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka
sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya”.
Asbabun Nuzul
Tidak ada
Penjelasan
إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللهِ الإِسْلاَمُ
Sesungguhnya,
semua agama dan syari’at yang didatangkan para Nabi pada intinya adalah
Islam (menyerahkan diri), tunduk dan menurut. Meskipun dalam beberapa
kewajiban dan bentuk amal agak berbeda. Orang muslim hakiki adalah orang
yang bersih dari kotoran syirik, berlaku ikhlas dalam amalnya, dan
disertai keimanan, tanpa memandang dari agama mana dan dalam zaman apa
ia berada.
وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوْتُواْ الْكِتَابَ إِلاَّ مِن بَعْدِ مَا جَاءهُمُ الْعِلْمُ بَغْياً بَيْنَهُمْ
Orang-orang
ahli kitab tidak keluar dari Islam yang dibawa oleh para Nabi mereka
sebagaimana yang sudah kami rincikan, sehingga mereka terpecah menjadi
beberapa sekte yang saling bermusuhan dalam masalah agama, padahal agama
adalah satu. Tidak ada persengketaan atau pertengkaran, kecuali karena
kelakuan aniaya dan melewati batas yang dilakukan para pemimpin mereka.
Bila
saja tidak ada unsur aniaya dan fanatisme terhadap sebagian lainnya
dalam masalah-masalah sekte dan upaya mereka menyesatkan orang-orang
yang menentangnya dengan cara menafsirkan nash-nash agama berdasarkan
pendapat dan hawa nafsu, serta menakwilkan sebagian atau merubahnya,
maka tidak akan terjadi perselisihan antar mereka.
بَيْنَهُمْ وَمَن يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللهِ فَإِنَّ اللهِ سَرِيعُ الْحِسَابِ
Barang
siapa mengingkari ayat-ayat Allah yang menunjukkan kewajiban berpegang
teguh pada agama-Nya dan kesatuan serta diharamkannya perselisihan dan
perpecahan, juga diharamkan tidak tunduk pada ayat-ayat Allah, maka
Allah akan membuka dan menghukum. Sebab Allah Maha Cepat hisabnya. Yang
dimaksud ayat-ayat Allah di sini adalah ayat-ayat kebesaran-Nya yang
diilustrasikan dengan alam semesta, dalam diri mereka, dan di seluruh
penjuru bumi yang luas ini. Termasuk kategori tidak tunduk pada
ayat-ayat Allah, yaitu seperti memalingkan arti yang sebenarnya dan
menyesuaikan dengan sekte-sekte sesat, bahkan ateis dalam menafsirkan
ayat-ayat itu sehingga tidak sesuai lagi dengan ayat-ayat syariat yang
diturunkan Allah kepada para Rasul-Nya.
Munasabah
QS.
Ali Imran : 19, berhubungan dengan ayat sebelumnya yang menerangkan
bahwa Allah menjadikan agama Islam adalah agama yang diridhai-Nya.
Sedangkan dalam Islam sendiri mengajarkan tauhid, bahwasanya tiada Tuhan
melainkan Dia yang menegakkan keadilan. Dan ayat ini berhubungan dengan
ayat sesudahnya yang menerangkan tentang ajaran-ajaran yang terkandung
dalam Islam, karena dalam Islam siapa saja yang memeluknya akan
mendapatkan petunjuk dan jika mereka berpaling maka berkewajiban kamu
(Muhammad) yang menyampaikan ayat-ayat Allah.[4]
2. QS. Al-Baqarah : 133
أَمْ
كُنتُمْ شُهَدَاء إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ
مَا تَعْبُدُونَ مِن بَعْدِي قَالُواْ نَعْبُدُ إِلَـهَكَ وَإِلَـهَ
آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَـهاً وَاحِداً
وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ
Adakah
kamu hadir ketika Ya’kub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia
berkata kepada anak-anaknya: "Apa yang kamu sembah sepeninggalku?"
Mereka menjawab: "Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu,
Ibrahim, Ismail dan Ishak, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya
tunduk patuh kepada-Nya."
Asbabun Nuzul
Tidak ada
Penjelasan
أَمْ كُنتُمْ شُهَدَاء إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ
Apakah
kalian (Yahudi dan Nasrani) tidak percaya kepada Muhammad dan yang
mengingkari kenabiannya adalah orang-orang yang pernah menghadiri Ya’qub
ketika ia menjelang ajal. Kemudian Islam menyangka bahwa Ya’qub adalah
Yahudi atau Nasrani.
Ada
suatu riwayat yang menceritakan bahwa orang-orang Yahudi pernah
mengatakan kepada Nabi saw, “Tidakkah anda mengetahui bahwa Nabi Ya’qub
itu mewasiatkan anak-anaknya agama Yahudi?”.
Ringkasnya,
kalian menghadiri peristiwa tersebut. Janganlah kalian menuduh dengan
masalah-masalah yang bathil dengan menghubungkannya dengan istilah
Yahudi atau Nasrani. Allah hanya mengutus Ibrahim dengan membawa agama
yang hanif (Islam) yang diwasiatkan kepada anak-anaknya setelah ia
mengakhiri masa hidupnya.
إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِن بَعْدِي
Artinya,
apakah kalian menyaksikan ketika Nabi Ya’qub berkata kepada
anak-anaknya, “Apakah yang akan kalian sembah sesudahku?”. Maksud
pertanyaan Ya’qub ini hendak membaiat anak-anaknya agar mereka tetap
teguh pada pendiriannya di dalam Islam, ajaran tauhid dan segala
perbuatan hanya karena Allah, dan untuk mencari ridlo-Nya. Juga
menjauhkan diri dari kemusyrikan, seperti menyembah berhala dan
lain-lain selain Tuhan. Hal inilah yang dikehendaki Ya’qub kepada
putra-putranya, sebagaimana yang tersebut di dalam ayat berikut ini :
وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَن نَّعْبُدَ الأَصْنَامَ
“…dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala”. (QS. Ibrahim, 14:35)
قَالُواْ
نَعْبُدُ إِلَـهَكَ وَإِلَـهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ
وَإِسْحَاقَ إِلَـهاً وَاحِداً وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ
Artinya,
anak-anak Ya’qub menjawab, “Kami akan menyembah Tuhan yang telah kami
ketahui keberadaan-Nya melalui bukti-bukti yang rasional, dan
sekali-kali kami tidak akan berbuat musyrik terhadap-Nya. Kami selalu
menyembah-Nya dan kami akan taat, merendahkan diri dan berbakti
kepada-Nya dan menghadap kepada-Nya dalam keadaan bagaimanapun juga”.
Mereka hidup di suatu periode yang masih menyembah berhala, patung,
bintang, margasatwa dan lain-lain selain Allah.
Di
sini Nabi Ismail disejajar dengan ayahnya, yakni Ya’qub, padahal Ismail
adalah pamannya, bukan ayah mereka. Imam al-Bukhari dan Muslim
meriwayatkan sebuah hadits Nabi yang mengatakan :
عَمُّ الرَّجُلِ صِنْوَ أَبِيْهِ
Paman seseorang sama (hukumnya) dengan ayahnya (sendiri)
Ayat
ini memberikan petunjuk bahwa agama Allah itu tetap satu. Dan di dalam
ajaran Nabi manapun, intinya adalah tauhid atau meng-Esakan Allah, di
samping menyerahkan diri kepada-Nya dan taat terhadap petunjuk para
Nabi.[5]
Munasabah
QS.
Al-Baqarah 133 dengan ayat sebelumnya adalah jika ayat 133 menjelaskan
tentang wasiat Nabi Ya’qub kepada anak keturunannya untuk memeluk agama
Islam, sedangkan ayat sebelumnya menjelaskan wasiat Nabi Ibrahim kepada
anak-anaknya untuk menyembah Tuhan semesta alam. Sedangkan dengan ayat
sesudahnya yaitu sunatullah terhadap hamba-hamba-Nya, Ia akan membalas
kecuali berdasarkan amal perbuatan mereka sendiri dan tidak akan
ditanyakan kecuali amal-amal yang diusahakan oleh mereka sendiri, baik
itu pada zaman-zaman nabi yang dahulu ataupun pada zaman Nabi Muhammad
sendiri.[6]
3. QS. Al-Hajj : 17
إِنَّ
الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالصَّابِئِينَ وَالنَّصَارَى
وَالْمَجُوسَ وَالَّذِينَ أَشْرَكُوا إِنَّ اللهَ يَفْصِلُ بَيْنَهُمْ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّ اللهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
Sesungguhnya
orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shaabi-iin,
orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah
akan memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya
Allah menyaksikan segala sesuatu.
Asbabun Nuzul
Adapun
asbabun nuzul ayat 17 ini berhubungan dengan al-Hajj ayat 19 yang
diriwayatkan oleh banyak riwayat di antaranya berkenaan dengan ahli
kitab yang berebut kebenaran dengan kaum mukminin, dengan berkata “Kami
lebih utama dari pada kamu di sisi Allah, kitab kami diturunkan lebih
dahulu dan Nabi kami diutus sebelum nabimu”. Berkatalah kaum mukminin,
“Kami lebih berhak kepada Allah daripada kamu, kami percaya kepada
Muhammad dan kepada nabimu dan semua kitab yang diturunkan Allah”.[7]
Dalam
riwayat lain dikemukakan bahwa turunnya ayat ini turun berkenaan dengan
orang-orang yang dalam perang badar, antara lain Hamzah, Ali, Ubaidah
bin al-Harti (dari pihak Islam) berlawanan bersambung nyawa dengan Utbah
bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah dan al-Walid bin Utbah (dari pihak
kafir Quraisy).
Penjelasan
الذين هادو : orang-orang Yahudi
الصابئين : suatu kaum yang menyembah malaikat, shalat menghadap kiblat dan membaca kitab Zabur.
المجوس : sebagaimana dikatakan oleh Qatadah, mereka adalah kaum yang menyembah matahari, bulan dan api.
الذين أشركوا : mereka adalah para penyembah patung
يفصل : mengambil keputusan dengan memenangkan yang haq atas yang bathil
Munasabah
Adapun
munasabah ayat ini dengan ayat terdahulu, Allah menjelaskan bahwa Dia
memberi petunjuk kepada siapapun yang Dia kehendaki, selanjutnya di
dalam ayat ini Dia menjelaskan siapa orang yang Dia beri petunjuk dan
siapa yang tidak Dia beri petunjuk, dan akan diberi keputusan di antara
mereka pada hari Kiamat.
Adapun
munasabah dengan ayat sesudahnya bahwa Allah mengambil keputusan di
antara golongan-golongan ini, membalas setiap golongan sesuai dengan
perbuatannya, dan menempatkannya pada tempat yang patut baginya, karena
tidak sedikitpun di antara keadaan mereka yang tidak dia ketahui, tetapi
Dia mengetahui segala perkataan dan mengawasi segala perbuatan mereka.[9]
B. Kedudukan Non-Muslim dalam Al-Qur’an
Sesuai dengan firman Allah dalam QS. Al-Mumtahanah : 9
إِنَّمَايَنْهَاكُمُ
اللهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِىالدِّينِ وَأَخْرَجُوكُم مِّن
دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَىإِخْرَاجِكُمْ أَن تَوَلَّوْهُمْ وَمَن
يَتَوَلَّهُمْ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Sesungguhnya
Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang
memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu
(orang lain) untuk mengusirmu. Dan barang siapa menjadikan mereka
sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang lalim
Dari
ayat di atas menjelaskan bahwa Tuhan hanya melarang kamu berkawan setia
dengan orang-orang yang terang-terang memusuhimu, yang memerangi kamu,
yang mengusir kamu atau membantu orang-orang yang mengusirmu seperti
yang dilakukan musyrikin Makkah. Sebagian mereka berusaha mengusirmu dan
sebagian yang lain menolong orang yang mengusirmu.
Adapun
orang-orang yang menjadikan musuh-musuh itu sebagai teman setia,
menyampaikan kepada mereka rahasia-rahasia yang penting dan menolong
mereka, maka merekalah yang dhalim karena menyalahi perintah Allah.[10]
C. Kedudukan Ahli Kitab dalam al-Qur’an
Sesuai dengan firman Allah dalam QS. Al-Maidah : 51
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى
أَوْلِيَاء بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ
فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi
dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah
pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu
mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk
golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang lalim.
Penjelasan
ayat di atas adalah : kata Ibnu Jarir “Allah SWT mencegah para mukmin
menjadikan orang Yahudi dan orang Nasrani penolong-penolong dan
teman-teman setia bagi orang-orang yang beriman. Tuhan menerangkan bahwa
mereka yang menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani penolong dan
teman setianya, di pandang membuat pertentangan kepada Allah, Rasul, dan
para mukmin. Allah dan Rasul terlepas dari padanya.
Dari
penjelasan di atas kita mendapat suatu ketentuan bahwa apabila terjadi
kerjasama, bantu membantu dan bersahabat setia, antara dua orang yang
berlainan agama untuk kemaslahatan-kemaslahatan dunia, tidaklah masuk
yang demikian itu ke dalam larangan ayat ini. Apabila para muslim
bersahabat setia dengan sesuatu umat yang tidak Islam, terhadap sesuatu
umat yang tidak Islam pula, karena persesuaian maslahat, maka yang
demikian itu tidak dilarang. Adapun alasan akan melarang orang muslim
berhubungan dengan orang Yahudi dan Nasrani karena orang-orang Yahudi
pada waktu itu sangat tinggi solidaritasnya antara sesama mereka.[11]
KESIMPULAN
Keterangan-keterangan
di atas memberi gambaran bahwa agama adalah masalah yang tidak bisa
ditawar-tawar lagi, apalagi berganti. Serta kemajemukan agama tidak
menghalangi untuk hidup bersama, berdampingan secara damai dan aman.
Adanya saling pengertian dan pemahaman yang dalam akan keberadaan
masing-masing menjadi modal dasar yang sangat menentukan.
Pengalaman-pengalaman Nabi di atas mengandung dimensi moral dan etis. Di
antara dimensi moral dan etis agama-agama adalah saling menghormati dan
menghargai agama/pemeluk agama lain. Jika masing-masing pemeluk agama
memegang moralitas dan etikanya masing-masing, maka kerukunan,
perdamaian dan persaudaraan bisa terwujud.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Musthafa al-Maraghy, Tafsir al-Maraghy Juz 3, Semarang: CV. Toha Putra, 1985.
Majalah Al-Djami’ah, Nomor Khusus, Mei 1968 Tahun ke VIII.
Qomaaruddin Shaleh, dkk., Asbabun Nuzul, Bandung: CV. Diponegoro, 1986.
T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid (An-Nuur) Juz 5, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1995.
[1]
Argumen ini dikemukakan oleh Prof. Rasjidi dalam satu tulisannya yang
disampaikan dalam Pidato Sambutan Musyawarah Antar Agama, 30 November 1967 di Jakarta. Penulis mendapati tulisan ini dari dua sumber, yakni di dalam Majalah Al-Djami’ah, Nomor Khusus, Mei 1968- Tahun ke VIII dan buku karangan Umar Hasyim Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam sebagai Dasar Menuju Dialog dan Kerukunan Antar Agama.
[10] T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid (An-Nuur) Juz 5, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1995, hlm. 4045.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar