Ulumul Hadis
Ulumul Hadis adalah istilah ilmu hadis di
dalam tradisi ulama hadits. (Arabnya: ‘ulumul al-hadist). ‘ulum
al-hadist terdiri dari atas 2 kata, yaitu ‘ulum dan Al-hadist. Kata
‘ulum dalam bahasa arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm, jadi berarti
“ilmu-ilmu”; sedangkan al-hadist di kalangan Ulama Hadis berarti “segala
sesuatu yang disandarkan kepada nabi SAW dari perbuatan, perkataan,
taqir, atau sifat.” (Mahmud al-thahhan, Tatsir Mushthalah al-hadist
(Beirut: Dar Al-qur’an al-karim, 1979), h.14) dengan demikian, gabungan
kata ‘ulumul-hadist mengandung pengertian “ilmu-ilmu yang membahas atau
berkaitan Hadis nabi SAW”.
Ilmu Hadis Riwayah
Menurut Ibn al-Akfani, sebagaimana yang
dikutip oleh Al-Suyuthi, bahwa yang dimaksud Ilmu Hadis Riwayah adalah:
Ilmu Hadis yang khusus berhubungan dengan riwayah adalah ilmu yang
meliputi pemindahan (periwayatan) perkataan Nabi saw dan perbuatannya,
serta periwayatannya, pencatatannya, dan penguraian lafaz-lafaznya.
(Jalal al-din ‘Abd al-Rahman Ibn Abu Bakar al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi
Syarh Taqrib al-Nawawi. Ed. ‘Abdul Al-Wahhab’ Abd al-Lathif (Madinah:
Al-Maktabat al-‘Ilmiyyah.cet kedua. 1392 H/ 1972 M), h. 42; Lihat juga
M. Jammaluddin al-Qasimi, Qawa’id al-Tahdist min Funun wa Mushthalah
al-Hadist (Kairo: Al-Bab al-Halabi, 1961). H. 75)
Sedangkan pengertian menurut Muhammad
‘ajjaj a-khathib adalah: Yaitu ilmu yang membahas tentang pemindahan
(periwayatan) segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw, berupa
perkataan, perbuatan, taqrir (ketetapan atau pengakuan), sifat
jasmaniah, atau tingkah laku (akhlak) dengan cara yang teliti atau
terperinci. (Lihat M.’Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadits (Beirut: Dar
al-Fikr, 1989), h.7.
Definisi yang hampir sama senada juga
dikemukkan oleh Zhafar Ahmad ibn Lathif al-‘Utsmani al-Tahanawi di dalam
Qawa’id fi ‘ulum al-Hadist, Ilmu hadis yang khusus dengan riwayah
adalah ilmu yang dapat diketahui dengan perkataan, perbuatan dan keadaan
Rasulullah saw serta periwayatan, pencatatan, dan penguraian
lafaz-lafaznya. (Zhafar Ahmad ibn Lathif al-‘Utsmani al- Tahanawi, Qawa
‘id fi ‘ Ulum al-Hadist, Ed. ‘Abd al-Fattah Abu Ghuddah (Beirut:
Maktabat al-Nahdhah, 1404 H/ 1984).h.22.).
Dari ketiga definisi di atas dapat
dipahami bahwa Ilmu Hadis Riwayah pada dasarnya adalah membahas tentang
tata cara periwayatan, pemeliharaan, dan penulisan atau pembukuan Hadis
Nabi saw.
Objek kajian ilmu Hadis Riwayah adalah Hadis Nabi saw dari segi periwayatan dan pemeliharaannya. Hal tersebut mencakup:
- Cara periwayatan Hadis, baik dari segi cara penerimaan dan demikian juga dari cara penyampaiannya dari seorang perawi ke perawi lain;
- Cara pemeliharaan Hadis, yaitu dalam bentuk penghafalan, penulisan, dan pembukuannya.
Ilmu Hadis Riwayah ini sudah ada semenjak
Nabi saw masih hidup, yaitu bersamaan dengan dimulainya periwayatan
dengan hadis itu sendiri. Para Sahabat Nabi saw menaruh perhatian yang
tinggi terhadap Hadis Nabi saw. Mereka berusaha untuk memperoleh
Hadis-Hadis Nabi saw dengan cara mendatangi Majelis Rasul saw serta
mendengar dan menyimak pesan atau nasihat yang disampaikan beliau.
Sedemikian besar perhatian mereka, sehingga kadang-kadang mereka
berjanji satu sama lainnya untuk bergantian menghadiri majelis Nabi saw.
Tersebut, manakala di antara mereka ada yang sedang berhalangan. Hal
tersebut seperti yang dilakukan Umar r.a., yang menceritakan, “Aku
beserta tetanggaku dari kaum Ansar, yaitu Bani Umayyah ibn Zaid, secara
bergantian menghadiri majelis Rasul saw. Apabila giliranku yang hadir,
maka aku akan menceritakan kepadanya apa yang aku dapatkan dari Rasul
SAW pada hari itu; dan sebaliknya, apabila giliran dia yang hadir, maka
dia pun akan melakukan hal yang sama. (“Ajjaj al-Khathib, Ushul
al-Hadits, h. 67).
Demikianlah periwayatan dan pemeliharaan
Hadis Nabi saw berlangsung hingga usaha penghimpunan Hadis secara resmi
dilakukan pada masa pemerintahan Khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz
(memerintah 99 H/717 M- 124 H/ 742 M). Al-Zuhri dengan usahanya tersebut
dipandang sebagai pelopor Ilmu Hadis Riwayah; dan dalam sejarah
perkembangan Hadis, dia dicatat sebagai ulama pertama yang menghimpun
Hadis Nabi saw atas perintah Khalifah ‘Umar ibn ‘abd al-Aziz.
Usaha penghimpunan, penyeleksian,
penulisan, dan pembukuan Hadis secara besar-besaran terjadi pada abad ke
3 H yang dilakukan oleh para ulama, seperti Imam al-Bukhari, Imam
Muslim, Imam Abu Dawud, Imam al-Tarmidzi, dan lain-lain. Dengan
dibukukan Hadis-Hadis Nabi saw oleh para Ulama di atas, dan buku mereka
pada masa selanjutnya telah jadi rujukan para Ulama yang datang
kemudian, maka dengan sendirinya Ilmu Hadis Riwayah tidak banyak lagi
berkembang.
Berbeda lagi dengan Ilmu Hadis Dirayah,
pembicaraan dan perkembangannya tetap berjalan sejalan dengan
perkembangan dan lahirnya sebagai cabang Ilmu Hadis. Dengan demikian,
pada masa berikutnya apabila terdapat pembicaraan dan pengkajian tentang
Ilmu Hadis Dirayah, yang oleh para Ulama disebut juga dengan ‘Ilm
Mushthalah al-Hadist atau ‘Ilm Ushul al-Hadist.
Ilmu Hadis Dirayah
Ibn al-Akfani memberikan Ilmu Hadis
Dirayah sebagai berikut: dan Ilmu Hadis yang khusus tentang Dirayah
adalah ilmu yang bertujuan untuk mengetahui hakikat riwayat,
syarat-syarat, macam-macam, dan hukum-hukumnya, keadaan para perawi,
syarat-syarat mereka, jenis yang diriwayatkan, dan segala sesuatu yang
berhubungan dengannya (Lihat al-Suyuthi, Tadrb al-Rawi h. 40; Lihat juga
al-Qasimi, Qawa’id al-Tahdits, h.75.)
Uraian dan elaborasi dari definisi di
atas diberikan oleh Imam al-Suyuthi, sebagai beikut: Hakikat riwayat,
adalah kegiatan sunah (Hadis) dan penyandaran kepada orang yang
meriwayatkannya dengan kalimat tahdits, yaitu perkataan seorang perawi
“haddatsana fulan”, (telah menceritakan kepada kami si Fulan), atau
Ikhbar, seperti perkataannya “akhbarana fulan”, (telah mengabarkan
kepada kami si Fulan). (al-suyuthi. Tadrib al-Rawi, h. 40.)
Syarat-syarat riwayat, yaitu penerimaan
para perawi terhadap apa yang diriwayatkannya dengan menggunakan
cara-cara tertentu dalam penerimaan riwayat (cara-cara tahammul
al-Hadits), seperti sama’ (perawi mendengarkan langsung bacaan Hadis
dari seorang guru), qira’ah (murid membacakan catatan Hadis dari gurunya
di hadapan guru tersebut), ijazah (memberi izin kepada seseorang untuk
meriwayatkan suatu Hadis dari seorang ulama tanpa dibacakan sebelumnya),
kepada seorang untuk diriwayatkan), kitabah (menuliskan Hadis untuk
seseorang), munawalah, (menyerahkan suatu hadis yang tertulis kepada
seseorang untuk diriwayatkan), kitabah, (menuliskan hadis untuk
seseorang), i’lam (memberitahu seseorang bahwa Hadis-Hadis tertentu
adalah koleksinya), washiyyat (mewasiatkan kepada seseorang koleksi
hadis yang dikoleksinya), dan wajadah (mendapatkan koleksi tertentu
tentang Hadis dari seorang guru). (M.M Azami, Studies ih Hadith
Methologi and Literature.16: Mahmud al-thahhan. Taisir Mushthalah
al-Hadist, h. 157-164)
Muttashil, yaitu periwayatan yang bersambung mulai dari perawi pertama sampai perawi terakhir, atau munqathi’, yaitu periwayatan yang terputus, baik di awal, di tengah, ataupun di akhir, dan lainnya.
Muttashil, yaitu periwayatan yang bersambung mulai dari perawi pertama sampai perawi terakhir, atau munqathi’, yaitu periwayatan yang terputus, baik di awal, di tengah, ataupun di akhir, dan lainnya.
Hukum riwayat, adalah al-qabul, yaitu
diterimanya suatu riwayat karena telah memenuhi persyaratan tertentu,
dan al-radd, yaitu ditolak, karena adanya persyaratan tertentu yang
tidak terpenuhi.
Keadaan para perawi, maksudnya adalah,
keadaan mereka dari segi keadilan mereka (al’adalah) dan ketidakadilan
mereka (al-jarh). Syarat-syarat mereka, yaitu syarat-syarat yang harus
dipenuhi oleh seorang perawi ketika mereka menerima riwayat
(syarat-syarat pada tahammul) dan syarat ketika menyampaikan riwayat
(syarat pada al-adda’).
Jenis yang diriwayatkan (ashnaf
al-marwiyyat), adalah penulisan Hadis di dalam kitab al-musnad,
al-mu’jam, atau al-ajza’ dan lainnya dari jenis-jenis kitab yang
menghimpun Hadis Nabi saw. Definisi yang lebih ringkas namun
komprehensif tentang Ilmu Hadis Dirayah dikemukakan oleh M. ‘Ajjaj
al-Khathib, sebagai berikut : Ilmu Hadis Dirayah adalah kumpulan
kaidah-kaidah dan masalah-masalah untuk mengetahui keadaan rawi dan
marawi dari segi diterima atau ditolaknya. (M, ‘Ajjaj al-khathib, Ushul
al- Hadits, h. 8 )
Al-khatib lebih lanjut menguraikan
definisi di atas sebagai berikut: al-rawi atau perawi, adalah orang yang
meriwatkan atau menyampaikan Hadis dari satu orang kepada yang lainnya;
al-marwi adalah segala sesuatu yang diriwayatkan, yaitu segala sesuatu
yang disandarkan kepada Nabi saw atau kepada yang lainnya, seperti
sahabat atau yang lainnya Tabi’in; keadaan perawi dari segi diterima
atau ditolaknya adalah, mengetahui keadaan para perawi dari segi jarh
dan ta’dil ketika tahammul dan adda’ al-Hadist, dan segala sesuatu yang
berhubungan dengannya dalam kaitannya dengan periwayatan Hadis; keadaan
marwi adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan ittishal al-sanad
(persambungan sanad) atau terputusnya, adanya ‘illat atau tidak, yang
menentukan diterima atau ditolaknya suatu Hadis.
Objek kajian atau pokok bahasan Ilmu Hadis Dirayah ini, berdasarkan definisi di atas, adalah sanad dan matan Hadis.
Pembahasan tentang sanad meliputi: (i)
segi persambungan sanad (ittishal al-sanad), yaitu bahwa suatu rangkaian
sanad Hadis haruslah bersambung mulai dari Sahabat sampai pada
Periwayat terakhir yang menuliskan atau membukukan Hadis tersebut; oleh
karenanya, tidak dibenarkan suatu rangkaian sanad tersebut yang
terputus, tersembunyi, tidak diketahui identitasnya atau tersamar: (ii)
segi kepercayaan sanad (tsiqat al-sanad), yatu setiap perawi yang
terdapat di dalam sanad suatu Hadis harus memiliki sifat adil dan
dhabith (kuat dan cermat hafalan atau dokumentasi Hadisnya ); (iii) segi
keselamatan dan kejanggalan (syadz); (iv) keselamatan dan cacat
(‘illat); dan (v) tinggi dan rendahnya martabat suatu sanad.
Sedangkan pembahasan mengenai matan
adalah meliputi segi ke-shahih-an atau ke dhaifan-nya. Hal tersebut
dapat dilihat dari kesejalananya dengan makna dan tujuan yang terkandung
di dalam al-quran, atau selamatnya: (i) dari kejanggalan redaksi
(rakakat al-faz); (ii) dari cacat atau kejanggalan dari maknanya (fasad
al- ma’na), karena bertentangan dengan akal dan panca indera, atau
dengan kandungan dan makna Al-Qur’an, atau dengan fakta sejarah;
dan(iii) dari kata-kata asing (gharib), yaitu kata-kata yang tidak bisa
dipahami berdasarkan maknanya yang umum dikenal.
Tujuan dan urgensi Ilmu Hadis Dirayah
adalah untuk mengetahui dan menetapkan Hadis-Hadis yang maqbul (yang
dapat diterima sebagai dalil atau untuk diamalkan) dan yang mardud (yang
ditolak).
Ilmu Hadis Dirayah inilah yang pada masa
selanjutnya secara umum dikenal dengan Ulumul Hadis, mushthalah
al-Hadits, atau Ushul al-Hadits. Keseluruhan nama-nama di atas, meskipun
bervariasi, namun mempunyai arti dan tujuan yang sama, yaitu ilmu yang
membahas tentang kaidah-kaidah untuk mengetaui keadaan perawi (sanad)
dan marwi (matan) suatu Hadis, dari segi diterima dan ditolaknya.
(Ibid., h. 9.)
Para ulama Hadis membagi Ilmu Hadis
Dirayah atau Ulumul Hadis ini kepada beberapa macam, berdasarkan kepada
permasalahan yang dibahas padanya, seperti pembahasan tentang pembagian
Hadis Shahih, Hasan, Dan Dha’if, serta macam-macamnya, pembahasan
tentang tata cara penerimaannya (tahmmul) dan periwayatan (adda’) Hadis,
pembahasan al-jarih dan al-ta’dil serta tingkatan-tingkatannya,
pembahasan tentang perawi, latar belakang kehidupannya, dan
pengklasikasiannya antara yang tsiqat dan yang dha’if, dan pembahasan
lainnya. Masing-masing pembahasan di atas dipandang sebagai macam-macam
dari Ulumul Hadis, sehingga, karena banyaknya, Imam al-Suyuthi
menyatakan bahwa macam-macam Ulumul Hadis tersebut banyak sekali, bahkan
tidak terhingga jumlahnya. (Ibd, h. 11, lihat juga Tadrib al-rawi, h.
53 ). Ibn al-Shaleh menyebutkan ada 65 macam Ulumul Hadis, sesuai dengan
pembahasannya, seperti yang dikemukakan di atas. (Abu ‘Amr Ibn
al-Shaleh, ‘ulum al-hadits, ed. Nur al-Din ‘Atr (Madinah: Maktabat
al-Ilmiyyah, 1972), h 5-10).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar