ABSTRAKSI
Para sufi dalam masa sejarahanya memberi kesan dan warna yang
berbeda terhadap kancah perjalanan ajaran Islam yang semua itu
berimplikasi pada pemahaman tentang Islam. Ada banyak kritikan-kritikan
dan tuduhan-tuduhan umum yang ditujukan kepada para sufi entah yang
bersifat masih bisa di toleransi bahkan terkadang sikap ekstrim, ada
juga kegaguman sementara dari sekian kelompok orang yang mengatas
namakan dirinya sebagai orang yang dekat dengan Tuhan atau paling tidak
punya keyakinan bahwa merekalah yang mempunyai petunjuk menuju jalan
kebenaran. Persepsi itu semua datangnya dari umat Islam itu sendiri.
Para sufi hanya memperdulikan usaha pengembangan batin dan tertarik
dengan dunia yang tak kasat mata serta melalaikan hukum Islam dan
mencaci dunia lahir. Ajaran Islam bersifat multidimensional dan mencakup
setiap aspek dari kehidupan baik batin maupun lahir, karena manifestasi
dari kesemuanya itu adalah merupakan bagian dari realitas yang satu.
PENDAHULUAN
Terdapat satu faktor penyatu fundamental di balik seluruh dunia yang
kasat dan yang tak kasat. Pembedaan terhadap dunia lahir dan batin, atau
kasar dan halus adalah untuk tujuan pembedaan intelektual atau praktis
sebagaimana membedakan macam-macam warna dalam satu horizon. Manusia
memiliki rasa dan kecendrungan yang berbeda-beda dan karenanya sebagian
mereka ada yang lebih memperhatikan aspek-aspek ritual ajaran Islam dan
sebagian lagi lebih memperhatikan nilai-nilai atau aspek filosofisnya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa perlu adanya keseimbangan karena setiap
manusia meliputi realitas batin dan lahir dan keduanya sama-sama
memerlukan perawatan dan pemeliharaan. Perhatian yang berlebihan hanya
terhadap satu aspek dapat memperlemah aspek yang lainnya dan akibat yang
ditimbulkannya adalah terjadinya disharmonisasi dalam seseorang dan
prinsip yang sama juga berlaku bagi masyarakat dan lingkungan alam
Ketika disharmoisasi itu lahir maka akan terjadi benturan-benturan
antara pemikir keagamaan ortodok dan para sufi yang hal itu di sebabkan
karena semata-mata pembedaan pengalaman eksistensial hidup mereka serta
pemahaman terhadapnya dan oleh karenanya juga tindakan-tindakan dan
kebiasaan tingkah laku mereka meskipun kedua kelompok sama-sama
mengklaim telah menjalankan ajaran Islam. Benturan-benturan ini bersifat
dan seringkali membentuk sebuah siklus yang menandakan adanya dualitas
dan polaritas antara Syari’ah dan haqiqah.
Manusia menaruh perhatian besar dan kecil terhadap Syari’ah,
ritual dan ortodoksi, sesuai dengan tingkatan-tingkatan potensi batin,
akal, kesungguhan hati, dan sensivitas masing-masing orang. Secara umum,
ketika manusia melindungi dirinya sendiri melalui sikap taat terhadap
Syari’ah dari ajaran Islam, maka perhatian dan minat mereka dapat di
arahkan lebih jauh lagi menuju kepada kesadaran dan penyucian batin.
Para Sufi menenpuh kesatuan jalan hidup, dan oleh karena itu mereka
itu memberikan kontrol lahir dan batin terhadap pemerintahan. Jadi
disebabkan oleh ketidaktahuan jika ada sebagian orang yang mengatakan
bahwa gerakan Sufi hanaylah sebuah gerakan esoteris belaka, dan
karenanya menyatakan Sufisme sebagai sebuah jalan hidup (way of life)
yang semata-mata berupa pengasingan diri dan hanya berhubungan dengan
ibadah. Hal ini bukan berarti tidak terdapat para Sufi yang memilih
kehidupan yang menyendiri karena disebabkan keadaan-keadaan tertentu
atau kecenderungan-kecendrungan pribadi. Akan tetapi, dalam
keadaan-keadaan normal, seseorang Sufi secara konstan tergerak untuk
berbagi pengetahuan dan cahaya yang telah di anugerahkan kepadanya
dengan orang lain yang layak untuk
Secara etimologi kata “tasawuf” terambil dari kata suff
(bulu domba), karena kau sufi suka memakai kain wol yang terbuat dari
bulu domba yang kasar sebagai tanda kesedarhanaan hati untuk menghindari
sikap sombong disamping menenangkan jiwa.[1]
Dan dalam pengertian terminology tasawuf ialah kesadaran murni (fitrah)
yang mengarahkan jiwa yang benar kepada amal kegiatan yang
sungguh-sungguh menjauhkan diri dari keduniaan dalam rangka mendekatkan
diri dengan Tuhan.[2]
Asal mula sufi adalah tradisi awal manusia yang berawal dari fajar
itulah jejak sufisme tumbuh dan berkembang, lahirnya sama dengan
diciptakannya manusia. Sejak manusia menyadari hubungannya dengan yang
Mahamutlak, maka ia mencari kebenaran. Sebelu di utusnya Nabi Muhammad
saw, para pendahulu kaum Sufi di sebut sebagai hunafa’ dan mereka sering di sebut-sebut dalam al-Qur’an.[3]
Artinya: Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah
Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama
yang lurus[1595], dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan
zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.[4]
Jauh sebelum lahirnya agama Islam, memang sudah ada ahli Mistik yang
mengahabiskan masa hidupnya dengan mendekatkan diri kepada Tuhan-nya:
antara lain terdapat pada India Kuno yang beragama Hindu maupun Budha.
Orang Mistik ini di namakan Gymnosophists oleh penulis Barat, atau
disebut ” alkhukamaul uraatu” yang artinya sebagai orang-orang yang
bijaksana yang berpakaian terbuka. Hal tersebut di maksudkan, karena
ahli mistik berpakaian dengan menutup separuh badannya.dak kehidupan itu
dibawa oleh Rasulullah.[5]
Sufisme di definisikan sebagai sebuah pengetahuan atau jalan yang
mampu membimbing manusia menjadi makhluk yang senantiasa berada dalam
keselarasan dan keseimbangan. Sufisme adalah jalan yang memungkinkan
manusia dapat meraih penglihatan dan pemahaman batin, sehingga merasakan
kebahagiaan dalam segala situasi yang ia hadapi. Interaksi seseorang
Sufi dalam segala lingkungan selalu dalam keharmonisan dan kesatuan
sejati dengan seluruh lingkugan alam, yaitu bahwa dalam seluruh keadaan,
perbuatanyya selalu muncul sebagai manifestasi dari cinta kasih dan
kebahagiaan hati[6]
Sufisme adalah inti Islam dan selalu dalam keadaanya terbaik jika ia
tidak dibatasi oleh batasan etnis apapun, ketika ia bukan Sufisme Arab,
india , Barbar, Andalusia ataupun Persia. Kita mendapati bahwa
kebanyakan para guru Sufi terkemuka tidak terbatasi dalam kelompok etnis
tertentu. Mereka melakukan hijrah di jalan Allah untuk belajar dan
mencapai keterasingan di tempat yang sama sekali berbeda dengan budaya
asli mereka.
Itulah jalan hidup Islam yang sejati yang selalu di tempuh para Sufi
melampaui batas etnis, suku atau prasangka kebahasaaan apapun mengikuti
sifat dasar fitrah yakni jalan nubuat, dan menempuh kehidupan yang
sesuai dengan hukum-hukum lahir Islam, serta membimbing masyarakat untuk
mencapai tujuan spritual demi meraih kesempurnaan diri dan kepuasaan
hati melalui pencerahan diri.
Sufi seringkali mempunyai pengaruh yang besar pada masyarakat tampa
menjadi seseorang yang memperoleh perlakuan secara istimewa, interaksi
luas para Sufi dengan masyarakat bergantung pada kepribadian mereka
sendiri dalam lingkungan ekonomi, sosial , politik dan keagamaan dimana
mereka tinggal.
Para Sufi seringkali disalahpahami dan terkadang di caci maki. Karena
itu kadang-kadang mereka harus bersembunyi untuk melindungi dan
meneruskan ajaran mereka secara hati-hati. Hal ini seringkali merupakan
akibat ketakutan terhadap penguasa atau raja yang tiran, atau bahkan
terhadap ortodoksi keagamaan dan kekuatan para sarjana agama yang merasa
bahwa otoritas dan kedudukan keagamaannya dalam masyarakat teramcam dan
terpinggirkan oleh popularitas para Sufi. Jalan Sufi berupa ketundukan
kepada realitas Ilahi yang Esa dan Agung acapkali menjadi sebuah ancaman
besar bagi orang-orang yang berorientasi duniawi, dan mereka yang
mendasarkan kekuasaannya pada kemampuan untuk menyalahgunakan dan
melaksanakan otoritas di dunia ini. Hal ini karena mereka bertentangan
satu sama lain. Pihak kedua mencari, mencintai dan menyembah kekuasaan,
sementara yang pertama mencari, mencintai dan menyembah Sang Sumber
Kekuatan. Guru sufi menganggap bahwa akar ketidakteraturan umat manusia
karena manusia telah melupakan Tuhan dan Sufisme dinilai menjadi jawaban
terhadap persoalan tersebut.[7]
Sufisme lahir ditengah kekacauan politik yang meluas menjadi radikal
sebagai reaksi penetapan syariah sebagai dasar konstitusi negara,
seperi Wahabisme ketika mendukung kekuasaan Ibnu Saud. Di kemudian hari
Wahabisme juga mengintegrasikan beberapa unsur Sufisme kedalam Islam
murni syariah. Pemurnian Islam juga lahir ditengah kekacauan politik dan
pertentangan ulama fiqh dan tauhid, terutama meluasnya Sufisme.[8]
Tujuan tasawuf adalah menjalani hidup pada tingkat spiritual dengan
cara membersihkan hati dan menggunakan semua indera dan pikiran di jalan
Allah dan manfaat tasawuf adalah bahwa manusia dapat mengembangkan
dimensi kemalaikatan dari keberadaannya dan memperoleh keyakinan yang
kuat dan meresap dihati tentang iman dan kebenaran yang selama ini
diterimanya secara lahiriah belaka.[9]
Al-Ghazali dalam ” Minhajul Abidin” menyatakan bahwa ada empat puluh
tingkatan, dua puluh di dunia dan dua puluh di akherat untuk bisa
membawa manusia setingkat demi setingkat menuju Tuhannya. Hamka
menyetujui pendapat ini bahwasanya hidup kerohanian itu membawa kesatuan
seluruh pri kemanusiaan.[10]
Sufisme atau tasawuf dalam agama Islam, bertujuan memperoleh
kehidupan yang hakiki melalui hubungan langsung dengan Tuhan. Sedangkan
dalam agama Islam, tujuan tasawuf hampir sama dengan agama lain, tapi
harus melalui tingkatan yang ada dalam hal ini di kenal dengan maqamat(terminal-terminal spiritual) atau Ahwal,
yaitu kondisi-kondisi yang di alami oleh seorang sufi dalam setiap
tingkatan. Seorang sufi mengalami keadaan yang berbeda-beda,m sesuai
dengan Maqam-nya dan dengan Maqam inilah seorang sufi akan dapat berhubungan langsun dengan Tuhan[11]
Sufi-sufi di bagi menjadi dua belas aliran, dua di tolak dan sepuluh
diterima, setiap aliran dari sepuluh aliran mempunyai sistem dan doktrin
yang menyangkut penyucian diri dari hawa nafsu da kontemplasi. Meskipun
berbeda satu sama lain dalam praktek peribadatan dalam disiplin
asketik, mereka dapa sepakat dalam dasar dalam cabang keagamaan dan
tauhid. Abu Yazid berkata” perbedaan di antar para ulama adalah mazhab
kecuali yang menyangkut keterlepasan dari tauhid.[12]
Perbedaan antara Fikh Humanis dan Strukturalis: Pola interaksi yang
di bangun oleh Islam sejak awal berupa dinamisasi yang mengedapankan
pola Uswah Hasanah yakni berdasarkan pada moralitas yang luhur dan
contoh teladan yang baik ,” pendekatan moralitas ini menuntut umat Islam
untuk selalu mnjadi Uswah/teladan yang baik bagi lingkungan sekitarnya.
Demi menyempurnakan etika dan moralitas, kebenaran ataupun
autentisitas Islam tidak pernah di gunakan untuk kepentingan melakukan
tindakan anarkis, seperti pemaksaan, intimidasi, kekerasan dan beberapa
tindakan negativ. Islam disebut sebagai agama yang kaffah karena
menganut 3 komponen akidah, syari’ah dan tasawuf, yang inti dari
semuanya adalah Islam sebagai agama yang memberi petunjuk jalan
keselamatan.
Ibn Qayyim al-Jauziyah menyatakan apa yang disebut tasawuf tak
lebih dari etika Islam. Etika yang di dalamnya menyatu dengan estetika
dan keadilan. Tasawuf menjawab persoalan esensial mengapa manusia harus
berakhlak? Karena apabila etika dapat melahirkan semangat keadilan dan
kemampuan merespon segala sesuatu dengan cepat. Tasawuf dapat
menumbuhkan makna dari nilai serta menjadikan tindakan di hidup manusia
lebih luas dan kaya.[13]
Hubungan humanisme dengan moralitas, secara substansial memiliki
kesamaan hubungan Tasawuf dengan prinsip-prinsip akhlak, karena hampir
seluruh prinsip yang ada dalam ajaran tasawuf menurut al Manufi adalah
tingkah laku yang berbasis akhlak namun moralitas dalam perspektif
humanisme berbeda dengan akhlak dalam pandangan tasawuf.
Perbedaan ini, disebabkan karena perbedaan paradigma, dimana tasawuf
beranggapan bahawa akhlak itu merupakan landasan bagi semua hukum
syar’I, dan tampa akhlak akan membuat hukum itu menjadi tidak bermakna.
Dengan demikian akhlak dalam term tasawuf berkaitan erat dengan ajaran
agama secara mutlak, sementara moralitas, dalam pandangan Humanisme,
merupakan nilai-nilai humanistik yang bersifat kodrati dan bukan
nilai-nilai agamawi diluar kodrat manusia.[14]
Tetapi prinsip yang mendasari hubungan Humanisme dengan moralitas,
agaknya berbeda jika dibandingkan dengan prinsip yang melandasi hubungan
Taswauf dengan akhlak.[15]
Pada dasarnya hukum formal , etika, atau akhlak mengambil peranan
penting dalam proses meraih kekuatan dan semuanya bersumber pada
pencarian kekuasaan. Akhlak , etika atau susila sebagaimana norma yang
lain memiliki rukun atau ukuran tersendiri.[16]
Akhlak terdiri dari dua golangan, pertama: golongan yang dasar
akhlaknya berlandaskan pada egoisme dan penyembahan ego. Memperkuat ego
dan memperebutkan kekelan serta membela diri, pokoknya akhlak ini
berupaya untuk memelihara kehidupan individulisme. Kedua adalah
sebaliknya tapi yang terjadi kadang ego yang lebih mendominasi Islam
mengajarkan agar mengadakan perluasan diri dan kepribadian, sehingga
kepribadian manusia bersatu dengan kepribadian seluruh alam. Inilah
yang menjadi tujuan sufi.[17].
Dalam satu sisi Sufi lebih menekankan etika dalam menjalankan
syiarnya tapi dalam sisi lain Sufi terikat dengan hukum formal karena ia
terikat dengan kekuasaan dalam pemerintahan. Etika berfungsi sebagai
penilai, penentu dan penetap terhadap suatu perbuatan yang dilakukan
oleh manusia. Oleh karena itu ia berperan sebagai konseptor terhadap
sejumlah perilaku yang dilaksanakan oleh manusia. Karena ia sebuah
konsepsi dan hasil produk pemikiran, maka dilihat dari sifatnya ia dapat
berubah-ubah sebagai dengan tuntutan zaman dan keadaan, humanistis dan antroposentris.[18].
Manusia bertanggung jawab terhadap tindakan-tindakannya sendiri, dan
pembuat nasib serta tujuanya sendiri, bukan karena is seorang agen bebas
dalam pengertian etik (tindakan bebas dari factor intenal dan eksternal
penentu selain daripada dirinya sendiri) atau yang lazin di sebut
sebagai Diterminisme ilmiah yakni tanggung jawab atau kewajiban moral
tidak ada artinya apabila tidak ada keinginan. Ibn Arabi sependapat
dengan menambahkan
a) bahwa apa yang dikatakan hukum-hukum ilmiah itu adalah hukum-hukum
Tuhan, dan (b) bahwa hukum-hukum Tuhan dalam manusia ditentukan oleh
natur manusia itu sendiri, dan di dalam ini kewajiban moral manusia.
Akan tetapi hal ini merupakan argumentasi yang keliru. Implikasi dari
teorinya adalah kewajiban formal bukan kewajiabn moral.
Ibn Arabi menambahkan bahwa alasan mengapa dikatakan tanggung jawab mukallaf
manusia bukan Tuhan walaupun yakin bahwa Tuhan adalah pelaku sebenarnya
dari semua tindakan-tindakan itu, karena tanggung jawab (taklif) itu secara logika berada pada ‘abd. Ini adalah tempatnya ‘abd untuk patuh dan Rabb
untuk menyuruh. Ia menyatakan bahwa ” Tuhan telah mewahyukan kepada
mereka bahwa Dia tidak melakukan apa yang mereka nyatakan Tuhan telah
melakukannya, semua perbuatan-perbuatan mereka itu berasal dari mereka”
.Penolakan Ibnu ‘Arabi terhadap kebebasan manusia yang sebenarnya dalam
tindakan, yang membawanya juga kepada penolakan terhadap kewajiban moral
dalam pengertian yang sebenarnya, adalah cukup sejalan dengan system
pantheistik umumnya. Setelah menurunkan kewajiabn moral itu menjadi
kewajiban formal semata, maka menjadi sangat kecillah artinya tentang
kepada siapa tanggung jawab dari tindakan-tindakan moral kita itu
seharusnya di jatuhkan. Bila kita katakan kita bertanggung jawab, kita
benar dan apabila kita katakan Tuhan yang bertanggung jawab kita benar
juga: tapi harus selalu kita ingat titik pandangannya.
Ibnu ;Arabi menggambarkan tidak hanya kebebasan individual dari
manusia, tetapi juga kehendak Tuhan. Tuhan tidak berkehendak dengan
pengertian bahwa Ia memilih, tapi dalam pengertian bahwa Ia menyatakan
(mendekritkan) tentang apa yang Ia ketahui akan terjadi. Bahwa hal atau
tindakan yang Tuhan nyatakan harus terjadi tergantung seluruhnya pada
hukum-hukum wajib dari hal atau tindakan itu sendiri [19].
Pandangan Orang-orang Sufi Mengenai Isu Stigma sesat Agama: Aliran
sesat disebut sofis yang percaya bahwa tak satupun yang dapat diketahui
dan bahkan pengetahuan itu sendiri tidak wujud, suatu kebodohan yang tak
pernah ada di ajaran Syekh sufi tapi secara umum di nisbahkan kepada
para sufi.[20]
Beberapa muslim ortodoks memandang para Sufi sebagai kelompok fatalis
dan karenanya mereka mengatakan bahwa jika ajaran-ajaran Sufi diikuti,
maka masyarakat tidak akan pernah mengalami kemajuan. Sejak masa awal
Islam telah terjadi banyak kesalah pahaman dalam memandang qada’ (ketetapan) dan qadar (takdir) serta perbedaan di antara keduanya. Menurut Al-qur’an dan Sunnah Nabi, adalah atas qada’
Tuhanlah hukum-hukum alam didasarkan, sebagian kita ketahui sebagian
lagi kita harus mencarinya, melalui hukum itulah, keseimbangan dan
kontrol terhadap seluruh relitas penciptaan.[21]
Zaman Ibnul Farid, Ibn ‘Arabi dan Rumi adalah zaman keemasan gerakan
tasawuf, secara teoritis ataupun artistik. Pengaruh dan praktek-praktek
tasawuf kian tersebar luas melalui tarekat keagamaan, dan para sultan
serta pangeran tak segan-segan pula mengulurkan perlindungan dan
kesetiaan pribadi mereka. Tak terelakkan lagi.[22].
Kebobrokan ini beragam dari negeri ke negeri, sesuai dengan
keadaan.tapi gambaran-gambaran umum-meski di akui terdapat
perbedaan-perbedaan dalam detilnya, hampir keseluruhannya sama.
Pengabaian terhadap hukum-hukum agama dan kaidah-kaidah moral cukup
parah.bahkan yang lebih membawa bencana yaitu penghinaan terhadap ilmu
pengetahuan. Magis menduduki kedudukan yang besar dalam khasanah amalan
mereka. Tasawuf terdahulu jauh dari berbagai mistik dan semangan “menghambat kemajuan“.
Tapi sebaliknya timbul aliran sesat dengan merajakan azimat sebagai
penagkal segala macam cobaan serta menjadikan ilmu-ilmu rahasia dan
perdukunan untuk menyuguhkan tipuan-tipuan yang mempesonakan adalah
salah satu contoh tindakan sufi yang keluar dari nalar pengetahuan.[23]
Walaupun Sufisme di tolak apalagi oleh kaum Sunni dan Muhamadiyah,
peletak Sunni dan Pendiri Muhammadiyah memberi perhatian serius atas
pokok-pokok ajaran Sufisme. Hasan Basri (wafat 728 M), guru pendiri
Mu’tazilah dan Asy’ary sangat mendorong hidup saleh (zuhud). Ibnu
Taimiyah mengakui sahnya beberapa ajaran Sufisme, termasuk kasyf-nya
Al-ghazali, pembela Sunni paling masyhur.[24].
Tetapi di samping itu banyak masalah yang terdapat sementara di
kalangan kaum Sufi di antarnya: Problem akidah tauhid, Problem kenabian,
Problem kewalian, Problem mu’jizat dan karomah, Problem ibadah
masyru’ah dan ibadah bid’ah. Dengan melihat lima problem tasawuf yang
menjadi sorotan Ibnu Taimiyah, dapat dipahami bahwa sebenarnya dia tidak
menolak tasawuf sebagai metode penghayatan agama , sedangkan yang dia
tolak secara keras adalah hal-hal yang berlebihan dan melampaui
batas-batas syariat. Karena dalam melihat masalah agama dan keagamaan
dia kan selalu mengembalikan pada ide dasarnya, yaitu kemurnian
sumbernya (al-Qur’an&Sunnah) serta kemurnian sumber pengamalannya,
yaitu praktik-praktik keagamaan generasi Salaf berikut keutuhan semua
dimensinya, yaitu ilmu dan amal, lahir dan batin serta aspek vertikal
dan horizontalnya.[25].
Maka kesimpulan ini sejalan dengan analiza Fazlur Rahman bahwa Ibnu
Taimiyah sesungguhnya mengakui validitas metode eksperimen sufi ,
walaupun dia tidak henti-hentinya menyerang ritus-ritus dan
praktik-praktik pemujaan serta pengkultusan para wali-wali. Salah satu
muridnya Ibni Qayyim al-Jauziyah (w 1352 M) mempunyai pandangan yang
sama meskipun dengan menggunakan bahasa yang lebih toleran. Yang dia
kritik adalah klaim sufi bahwa pengalaman mistis mereka memiliki
validitas yang tidak tergoyahkan dan bersifat eksklusif. Bagi Ibnu
Taimiyah, betapapun tingginya pengalaman mistis sufi, mereka harus di
uji dengan rujukan dari luar, yaitu Qur’an dan Sunnah. Maksudnya bahwa
sufisme mungkin saja menafsirkan dan memberi arti baru kepada syari’ah
dan wahyu, tetapi ia sama sekali tidak dapat mengabaikan keduanya. Sebab
secara ontologis (menurut ibnu Taimiyah), tasawuf merupakan derivasi
atau perpanjangan dari agama (Islam) itu sendiri yang harus selalu taat
asas dan Qur’an dan Sunnah meskipun secara metodologis termasuk sesuatu
yang bersifat ijtihadi.[26]
Problem tasauf pada dasarnya adalah cara mengenali Allah, baik dengan
jalan melakukan ibadah menurut syariat ataupun dengan jalan ilham dan
tanggap rasa. Oleh karena itu para ahli tasauf sejak semula (akhir abad
ke-2 hingga akhir abadd ke-3 H) disebut sebagai para ahli ibadah, para
ahli zuhud dikenal sebagai kaum fakir, karena dalam beribadah atau menempuh cara hidup zuhud
mereka melebihi batas yang diperintahkan oleh syariat. Dalam hal itu
pernah tasauf tidak lain hanyalah membuat orang menghayati sepenuhnya
moral agama.[27]
Pada perkembangan berikutnya, konsep sufisme kemudian menimbulkan
konflik tajam antara tradisi fiqh dengan tradisi sufisme. Para elit
birokrat dan ulama-ulama (fiqh) melarang ajaran sufi karena dianggap
sebagai bukan ajaran agama Islam. Pemikiran dan ajaran “Ittihad” dan “hulul”
menjadi sasaran kritik. Dianggap sebagai ajaran sesat oleh ulama-ulama
yang cenderung kepada tradisi fiqh. Bahkan konflik tersebut pada
ujungnya meminta korban nyawa Al Halajj.[28]
Tatkala dibawa untuk di salib, dan melihat tiang salib serta
paku-pakunya, ia menoleh kearah orang-orang seraya berdoa, yang di
akhiri dengan kata-kata: ‘ Dan hamba-hamba-Mu yang bersama-sama
membunuhku ini, demi agama-Mu dan memenangkan karunia-Mu, maka ampunilah
mereka, Ya Tuhan, dan rahmatilah mereka. Karena sesungguhnya, sekiranya
telah Kau anugerahkan kepada mereka apa yang telah Kau anugerahkan
kepadaku, Tentu mereka takkan melakukan yang telah mereka lakukan
padaku. Dan bila Kau sembunyikan dari diriku yang telah Kau sembunyikan
dari mereka, tentu aku takkan menderita begini. Maha Agung Engkau dalam
segala yang Kau lakukan, dan Maha Agung Engkau dalam segala yang Kau
kehendaki.[29]
Kita tahu bahwa Al Halajj dianggap telah menyimpang dari ajaran Islam
(fiqh) kemudian dihukum oleh penguasa Baghdad pada tahun 922 Hijriyah.
Hal itu karena pernyataan Al Halajj sendiri “Ana al-haq” (Aku
adalah Tuhan). Inilah yang semakin memancing emosional ulama dan
penguasa sehingga Al Halajj berikut konsep ajarannya harus dimusnahkan.
Pasca tragedi Al Halajj, maka para ulama fiqh menjaga jarak dengan
ulama sufi. Ulama fiqh menilai bahwa ulama sufi semakin liar, baik dalam
ajaran maupun dalam praktek ibadahnya. Terjadi pertentangan sengit di
antara kedua golongan yang satu condong pada dunia batin sedang satunya
lebih memilih kehidupan lahir, ulama-ulama yang terkenal mementingkan
hukum-hukum lahir lebih tertuju fikirannya pada otak, sedang fiqh
sendiri adalah faham. Segala sesuatu dihitung dengan perhitungan otak.
Perkataan-perkataan atau pendapat yang hanya berdasar kepada pengalaman
batin dan kehalusan perasaan, memang tidak senantiasa diterima otak,
itulah sebabnya maka ahli-ahli kebatinan itu di tuduh kerap tersesat,
terkencong dari pada garis syariat yang telah ditentukan Tuhan dalam
qur’an dan Hadis.
Sebaliknya Ulama-ulama yang mementingkan kebatinan itu berfikir lebih
bebas dan luas. Dia telah menyelami lubuk jiwa yang paling mendalam.
Baginya yang penting ialah tumpahan Ilham dari Alam Gaib. Kadang-kadang
bagi mereka hukum-hukum fiqh yang lahir itu yang kebanyakan hanya
terdapat dari fikiran manusia, tidaklah selalu dapat dipeganganya.[30]
Oleh karena antara keduanya berkonflik dan menjaga jarak, maka
muncullah ulama-ulama yang berusaha menjadi penengah dan mendamaikan dua
aliran keilmuan itu. Ada nama-nama besar yang menciptakan karya tulis
dengan tujuan mencari titik temu antara kedua aliran itu. Di antaranya
ialah al Sarrajj menulis kitab “Al Luma`”, al Kalabadzi dengan kitabnya “al-Ta`arruf li Madzab Ahl Al Tashawwuf“, dan Imam Qusyairy dengan kitabnya “al-Risalah fi ilm al-Tashawwuf“.Bersamaan
dengan itu, muncul konsep tentang perjalanan sufi dalam mencapai
tingkat ma`rifatullah. Konsep itu kemudian dikenal dengan istilah
“maqamat” dan “ahwal”.
Dalam pandangan Rumi “maqamat dan ahwal” di sebut sebagai ” psikologi sufi“. “psyche” (jiwa) dalm pengertian yang seluasnya, memiliki arti sama dengan istilah “spirit“(roh).
Yang bisa di definisikan sebagai “ilmu yang berbicara tentang
transformasi-transformasi yang dialami oleh ‘roh’ dalam perjalannya
menuju Tuhan.tapi ilmu tidak memiliki keterkaitan dengan “psikologi”
yang sekarang terkenal di Barat. Karena dalam pandangan Rumi, psikologi
modern sepenuhnya di dasarkan pada studi tentang ego itu sendiri.” Ego”
(nafsu) adalah unsur yang paling rendah dari dimensi dalam manusia,
watak kebinatangan dan Syaithaniyah manusia. Hanya roh itu sendiri, yang
berada di sisi Tuhan,yang dapat mengetahui roh. Roh melingkupi dan
meliputi ego. Rohlah yang-tidak dapat dilakukan oleh ego itu
sendiri-dapat menjadikan ego mengenal ego. Roh merupakan watak
kemanusiaan yang lebih tinggi, watak kemalaikatan. Hanya orang-orang
suci yang mampu mencapai kesadaran akan realitas yang terpusat pada roh
(di dalam Tuhan)
Rumi tampaknya tidak pernah secara ekspilist berbicara tentang maqam dan ahwal. Dia
hanya berbicara tentang pengalaman-pengalaman rohani yang dialami oleh
seseorang secara detail, seperti pencapaian sikap-sikap serta
kondisi-kondisi mental tertentu. Sebagian besar syairnya dalam Diwan
menyiratkan semua itu, yang dapat di pandang sebagai pengungkapan
keadaan-keadaan serta pengelaman-pengalaman spritual yang khas. Rumi
telah menyajikan seluk beluk psikologi sufi, sekalipun tidak secara
sistematis, sebagai yang dapat di jumpai dalam kitab klasik.[31]
PENUTUP
Etika pada dasarnya punya visi universal dan seharusnya bisa
diberlakukan bagi segenap manusia di setiap tempat dan waktu, namun ada
kesukaran-kesukaran untuk mewujudkannya (bahkan mustahil) karena ukuran
baik dan buruk menurut anggapan orang sangatlah relatif. Hal ini tentu
berbeda dengan ajaran Islam dan etika Islam yang kriterianya telah di
tentukan secara gamblang dalam Al-Qur’an dan Hadis. Sedangkan hukum
formal atau yang biasa di sebut sebagai aturan yang telah dibuat manusia
dalam rangka mengatur hubungan manusia agar lebih baik agaknya masih
kurang di terima oleh masyarakat. Karena masih ada sebagian masyarakat
yang beranggapan hukum di buat untuk dilanggar. Berbeda sekali dengan
etika yang lahir dari fitrah manusia sebagai mahluk individu atau
kelompok lebih menekankan kesadaran itu untuk berperilaku[32].perbuatan
manusia dan tujuan keduanya hampir sama, mengatur perbuatan manusia
untuk kebahagiaan mereka. Akan tetapi lingkungan etika lebih luas, etika
memerintahkan berbuat apa yang berguna dan melarang segala sesuatu yang
mudarat.[33]
DAFTAR PUSTAKA
Abubakar Aceh, 1984. Pengantar sejarah Sufi dan Tasawuf Bandung: Ramadhani
Abdullah Hadziq, 2005. Rekonsiliasi psikologi Sufistik dan Humanistik Semarang:Ra SAIL
Ahmad Fuad al-Ahwani, 1985. Filsafat Islam Jakarta:Pustaka Firdaus
A J Arberry, 1979. Pasang Surut Aliran Tasawuf. Bandung: Mizan
Alfifi, 1979. A Mistical Philosopy Of Muhyiddin Ibn ‘Arabi Jakarta:Gaya Media Pratama
Al Hujwiri, 1992. Kasyful Mahjub: Risalah Persia Tertua tentang Tasawuf Bandung:Penerbit Mizan
A.J Arberry, 1979. Pasang-surut Aliran Tasawuf Bandung:Mizan.
Antologi Kajian Islam. 2008. Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Press.
Anas Hidayat, 2000. Neo Sufisme dan pudarnya Fundamentalisme di pedasaan Yogyakarta:UII Press
Dialektika Teks Suci Agama. 2008. Strukturasi Makna Agama dalam Kehidupan Masyarakat Yogyakarta; Sekolah pascasarjaa UGM
Hamka, 1993. Tasauf-perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta: Pustaka Panjimas
James fodiman.dkk, 1999. Indahnya menjadi Sufi. Yogyakarta:Penerbit pustaka Sufi
Munir mulkan, 2000. Neo Sufisme dan pudarnya fundamentalisme di pedesaan Yogyakarta:UII Press
Masyharuddin, 2007. Pemberontakan tasawuf-Kritik Ibnu Taimiyah atas rancang bangun tasawuf Surabaya: Stain Press kudus
Mahjudin, 1994. Kuliah Akhlaq Tasawuf. Jakarta:Kalam Mulia
Noer iskandar al-Barsany, 2001. Tasawuf, Tarekat dan Para Sufi Jakarta:Raja grafindo Persada,
Syekh Khaled Bentounes, 2003. Tasawuf Jantung Islam: Nilai-Nilai Universal dalam Tasawuf Yogyakarta: Penerbit Pustaka Sufi
Syekh Fadhilla, 2003. Dasar-dasar Tasawuf. Yogyakarta: Pustaka sufi
Fathullah Gullen, 2001. Kunci-kunci Rahasia Sufi Jakarta:Raja Grafindo Persada
Said Aqil Siroj, 2006. Tasawuf Sebagai Kritik Sosial-Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi bukan Aspirasi(Bandung:Mizan Pustaka
Murtadha Muthharri, 1995. Falsafe Akhlak Bandung: Pustaka Hidayah
Solihin , Rosyid Anwar, 2005. Akhlak Tasawuf: Manusia, Etika, dan Makna Hidup Bandung:Nuansa
Syekh Fadhilla, 2003. Dasar-dasar Tasawuf Yogyakarta:Pustaka Sufi
William C Chittick, 1983. The Sufi Path Of Love: The Spritual Teachings Of Rumi State university of New York
[1] Dialektika teks Suci Agama-Strukturalis Makna Agama dalam Kehidupan Masyarakat, (Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana UGM), 37
[2] Noer iskandar al-Barsany, Tasawuf, Tarekat dan Para Sufi (Jakarta:Raja grafindo Persada,2001),8
[3] Syekh Khaled Bentounes, Tasawuf Jantung Islam: Nilai-Nilai Universal dalam Tasawuf (Yogyakarta: Penerbit Pustaka Sufi, 2003)
[4] (Al-Bayyinah:5)
[5] Mahjudin, Kuliah Akhlaq Tasawuf(Jakarta:Kalam Mulia,1994
[6] Syekh Fadhilla, Dasar-dasar Tasawuf (Yogyakarta: Pustaka sufi,2003)134
[7] Dialektika Teks Suci Agama- Strukturasi Makna Agama dalam Kehidupan Masyarakat (Yogyakarta; Sekolah pascasarjaa UGM, 2008), 36
[8] Anas Hidayat, Neo Sufisme dan pudarnya Fundamentalisme di pedasaan (Yogyakarta:UII Press,2000), 65
[9] Fathullah Gullen, Kunci-kunci Rahasia Sufi (Jakarta:Raja Grafindo Persada,2001), 4
[10] Abubakar Aceh, Pengantar sejarah Sufi dan Tasawuf (Bandung:Ramadhani,1984),36
[11] Antologi Kajian Islam. Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Press,2008.13
[12] James fodiman.dkk, Indahnya menjadi Sufi (Yogyakarta:Penerbit pustaka Sufi,1999), 39
[13] Said Aqil Siroj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial-Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi bukan Aspirasi(Bandung:Mizan Pustaka,2006), 37
[14] Abdullah Hadziq, Rekonsiliasi psikologi Sufistik dan Humanistik (Semarang:RaSAIL,2005)45
[15] Ibid
[16] Ibid
[17] Murtadha Muthharri, Falsafe Akhlak (Bandung: Pustaka Hidayah,1995), 63
[18] Solihin , Rosyid Anwar, Akhlak Tasawuf: Manusia, Etika, dan Makna Hidup (Bandung:Nuansa,2005), 25
[19] Alfifi, A Mistical Philosopy Of Muhyiddin Ibn ‘Arabi (Jakarta:Gaya Media Pratama,1979),212
[20] Al Hujwiri, Kasyful Mahjub: Risalah Persia Tertua tentang Tasawuf (Bandung:Penerbit Mizan,1992),166
[21] Syekh Fadhilla, Dasar-dasar Tasawuf (Yogyakarta:Pustaka Sufi,2003). 124
[22] Ibid
[23] A.J Arberry, Pasang-surut Aliran Tasawuf(Bandung:Mizan,1979),155
[24] Munir mulkan, Neo Sufisme dan pudarnya fundamentalisme di pedesaan (Yogyakarta:UII Press,2000) 66
[25] Ibid
[26] Masyharuddin , Pemberontakan tasawuf-Kritik Ibnu Taimiyah atas rancang bangun tasawuf (Surabaya: Stain Press kudus, 2007),145
[27] Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam (Jakarta:Pustaka Firdaus, 1985), 25
[28] Ibid
[29] A J Arberry, Pasang Surut Aliran Tasawuf (Bandung:Mizan, 1979) 76
[30] Hamka , Tasauf-perkembangan dan Pemurniannya (Jakarta:Pustaka Panjimas,1993) 107
[31] William C Chittick, The Sufi Path Of Love: The Spritual Teachings Of Rumi ( State university of New York,1983),17
[32] Ibid
[33] Ahmad Amin, Etika Ilmu Akhlak (Jakarta:bulan Bintang,1975), 9
Artikel yang sangat menarik. Ayo segera daftarkan dirimu, hanya di Carikiu. DominoQQ Online terbaik dan terpercaya di Indonesia. Hanya dengan minimal deposit sebesar Rp 25.000, sudah bisa memainkan game-game yang terdapat di dalam Carikiu.
BalasHapusBanyak games menarik yang bisa dimainkan setiap harinya, diantara lain;
-Poker Online
-Domino QQ
-Bandar Q
-Bandar Poker
-Capsa Susun
-Adu Q
-Sakong Online
-Bandar66
Kami juga memiliki promo menarik lainnya yang tentu saja hanya di Carikiu. Ayo buruan daftar dan menang Jackpot.