Syari’ ah
Syari’at bisa disebut syir’ah artinya secara bahasa adalah sumber air
mengalir yang didatangi manusia atau binatang untuk minum. Perkataan
“sya ra’a fiil maa’I” artinya dating ke sumber air mengalir atau dating
pada syari’ah. Kemudian kata tersebut digunakan untuk pengertian
hukum-hukum Allah yang diturunkan untuk manusia.
Kata “ syara’a” berarti memakai syari’at. Juga kata “syara’a” atau
“istara’a” berarti membentuk syari’at atau hukum. Dalam hal ini Allah
berfirman :
“Untuk setiap umat di antara kamu (umat Nabi Muhammad dan umat-umat
sebelumnya) Kami jadikan peratuan (syari’at) dan jalan yang terang.”[QS.
Al-Maidah(5)
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syari’at (peraturan)
tentang urusan itu (agama), maka ikutilah syari’at itu dan janganlah
kamu ikut hawa nafsu orang yang tidak mengetahui.”[QS.Al-Maidah (5)
“Allah telah mensyari’atkan (mengatur) bagi kamu tentang agama
sebagaimana apa yang telah diwariskan kepada Nuh.” [QS. Asy-Syuuraa (42)
Sedangkang arti syari’at, hukum-hukum (peraturan) yang diturunkan
Allah SWT, melalui rasul-rasul-Nya, untuk manusia agar mereka keluar
dari kegelapan ke alam yang terang, dan mendapatkan petunjuk ke jalan
yang lurus. Jika ditambah kata “Islam” di belakangnya, sehingga menjadi
frase Syari’at Islam (asy-syari’atul islaamiyatu). Istilah bentukan ini
berarti, hukum atau peraturan yang diturunkan Allah SWT. Untuk umat
manusia melalui Nabi Muhammad SAW, baik berupa Al Qur’an maupun Sunah
Nabi yang berwujud perkataan, perbuatan, dan ketetapan, atau pengesahan.
Terkadang syari’ah Islam juga dimaksudkan untuk pengertian Fiqh
Islam. Jadi , maknanya umum, tetapi maksudnya untuk suatu pengertian
khusus. Ithlaaqul ‘aam mi wa yuraadubihil khaashsh (disebut umum padahal
dimaksudkan khusus)
B. Pembagian Syari’at Islam
Hukum yang diturunkan melalui Nabi Muhammad SAW. Untuk segenap manusia dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
Ilmu Tauhid, yaitu hukum atau peraturan yang berhubungan dengan
dasar- dasar keyakinan agama Islam, yang tidak boleh diragukan dan harus
benar-benar menjadi keimanan kita. Misalnya, peraturan yang berhubungan
dengan Dzat dan Sifat Allah SWT. Yang harus iman kepada-Nya, iman
kepada rasul-Nya, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan iman
kepada hari akhir termasuk didalamnya kenikmatan dan siksa, serta iman
kepada qadar baik dan buruk. Ilmu tauhid ini dinamakan juga ilmi Aqidah
atau ilmu Kalam
Ilmu Akhlak, yaitu peraturan-peraturan yang berhubungan dengan pendidikan dan penyempurnaan jiwa.misalnya, segala peraturan yang mengarah pada perlindungan keutamaan dan mencegah kejelekan-kejelekan, seperti kita hurus berbuat benar, harus memenuhi janji, harus amanah, dan dilarang berdusta dan berkhianat.
Ilmu Akhlak, yaitu peraturan-peraturan yang berhubungan dengan pendidikan dan penyempurnaan jiwa.misalnya, segala peraturan yang mengarah pada perlindungan keutamaan dan mencegah kejelekan-kejelekan, seperti kita hurus berbuat benar, harus memenuhi janji, harus amanah, dan dilarang berdusta dan berkhianat.
Ilmu Fiqh, yaitu peraturan-peraturan yang mengatur hubungan manusia
dengan Tuhannya dan hubungan manusia dengan sesamanya. Ilmu Fiqh
mengandung dua bagian: pertama, ibadah, yaitu yang menjelaskan tentang
hukum-hukum hubungan manusia dengan Tuhannya. Dan ibadah tidak sah(tidak
diterima) kecuali disertai dengan niat. Contoh ibadah misalnya sholat,
zakat, puasa, dan haji. Kedua. Muamalat, yaitu bagian yang menjelaskan
tentang hukum-hukum hubungan antara manusia dengan sesamanya. Ilmu Fiqh
dapat juga disebut Qanun (undang-undang).
“TARIQAH”
Penggunaan kata “ Tariqah “ dalam Al-Qur’an
Di dalam Al-Quranul Karim, perkataan Tariqah digunakan sebanyak 9
kali di dalam 5 surah. Pengertian tariqah di dalam Al-Quran mempunyai
beberapa pengertian. Antaranya ialah:
1. Surah An-Nisa’ : 168
‘Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan melakukan
kezaliman, Allah sekali-kali tidak akan mengampuni (dosa)
mereka dan tidak (pula) akan menunjukkan jalan kepada
mereka.’
‘Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan melakukan
kezaliman, Allah sekali-kali tidak akan mengampuni (dosa)
mereka dan tidak (pula) akan menunjukkan jalan kepada
mereka.’
2. Surah An-Nisa’ : 169
Melainkan jalan ke Neraka Jahannam; mereka kekal di
dalamnya selama-lamanya. Dan yang demikian itu adalah
mudah bagi Allah.’
Melainkan jalan ke Neraka Jahannam; mereka kekal di
dalamnya selama-lamanya. Dan yang demikian itu adalah
mudah bagi Allah.’
3. Surah Thoha : 63
‘Mereka berkata : Sesungguhnya dua orang ini adalah benar-
benar ahli sihir yang hendak mengusir kamu dari negeri kamu
dengan sihirnya dan hendak melenyapkan kedudukan kamu
yang utama.’
‘Mereka berkata : Sesungguhnya dua orang ini adalah benar-
benar ahli sihir yang hendak mengusir kamu dari negeri kamu
dengan sihirnya dan hendak melenyapkan kedudukan kamu
yang utama.’
4. Surah Thoha : 77
‘Dan sesungguhnya telah Kami wahyukan kepada Musa:
Pergilah kamu dengan hambaKu (Bani Israil) di malam hari,
maka buatlah untuk mereka jalan yang kering di laut itu,
kamu tidak usah khuatir akan tersusul dan tidak usah takut
(akan tenggelam).’
‘Dan sesungguhnya telah Kami wahyukan kepada Musa:
Pergilah kamu dengan hambaKu (Bani Israil) di malam hari,
maka buatlah untuk mereka jalan yang kering di laut itu,
kamu tidak usah khuatir akan tersusul dan tidak usah takut
(akan tenggelam).’
5. Surah Thoha : 104
Kami lebih mengetahui apa yang mereka katakan ketika
berkata orang yang paling lurus jalannya di antara mereka:
Kamu tidak berdiam (di dunia) melainkan hanyalah sehari
sahaja.’
Kami lebih mengetahui apa yang mereka katakan ketika
berkata orang yang paling lurus jalannya di antara mereka:
Kamu tidak berdiam (di dunia) melainkan hanyalah sehari
sahaja.’
6. Surah Al-Ahqaf : 30
‘Mereka berkata : Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah
mendengarkan kitab (Al-Quran) yang telah diturunkan
sesudah Musa yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya
lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang
lurus.’
‘Mereka berkata : Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah
mendengarkan kitab (Al-Quran) yang telah diturunkan
sesudah Musa yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya
lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang
lurus.’
7. Surah Al-Mukminin : 17
‘Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas kamu
tujuh buah jalan (tujuh buah langit) dan Kami tidaklah
lengah terhadap ciptaan (Kami).’
‘Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas kamu
tujuh buah jalan (tujuh buah langit) dan Kami tidaklah
lengah terhadap ciptaan (Kami).’
8. Surah Al-Jinn : 11
‘Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang
soleh dan di antara kami ada (pula) yang tidak demikian
halnya. Adalah kami menempuh jalan yang berbeza-beza.’
‘Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang
soleh dan di antara kami ada (pula) yang tidak demikian
halnya. Adalah kami menempuh jalan yang berbeza-beza.’
9. Surah Al-Jinn : 16
‘Dan bahawasanya jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas
jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi
minum kepada mereka air yang segar (rezeki yang banyak).’
Jika diperhatikan 3 bentuk kekata tharaqa digunakan di
dalam Al-Quran.
‘Dan bahawasanya jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas
jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi
minum kepada mereka air yang segar (rezeki yang banyak).’
Jika diperhatikan 3 bentuk kekata tharaqa digunakan di
dalam Al-Quran.
Bentuk tersebut adalah :
Thariq – Jalan yang ditetapkan atau jalan yang dilalui oleh manusia
Thariqah – Keutamaan atau kebenaran
Tharaiq – Berbentuk jamak dari perkataan thariq dan thariqah.
SEJARAH PERKEMBANGAN TARIQAH
Thariq – Jalan yang ditetapkan atau jalan yang dilalui oleh manusia
Thariqah – Keutamaan atau kebenaran
Tharaiq – Berbentuk jamak dari perkataan thariq dan thariqah.
SEJARAH PERKEMBANGAN TARIQAH
Banyak orang yang salah faham tentang tariqah, sehingga mereka tidak
mau mengikutinya. Namun, mereka yang sudah mengikuti tariqahpun umumnya
belum memahami bagaimana sebenarnya pengertian tariqah, awal mula dan
sejarahnya,macam-macam serta manfaat mengikuti tarekat.
Asal-usul Tariqah Sufi
Asal-usul Tariqah (al-tariqah) Sufi dapat dirunut pada abad ke-3 dan 4 H (abad ke-9 dan 10 M). pada masa itu tasawuf telah berkembang pesat di negeri-negeri seperti Arab, Persia, Afghanistan dan Asia Tengah. Beberapa Sufi terkemuka memiliki banyak sekali murid dan pengikut.
Asal-usul Tariqah (al-tariqah) Sufi dapat dirunut pada abad ke-3 dan 4 H (abad ke-9 dan 10 M). pada masa itu tasawuf telah berkembang pesat di negeri-negeri seperti Arab, Persia, Afghanistan dan Asia Tengah. Beberapa Sufi terkemuka memiliki banyak sekali murid dan pengikut.
Pada masa itu ilmu Tasawuf sering pula disamakan dengan ilmu Tariqah
dan teori tentang maqam (peringkat kerohanian) dan hal (jamaknya ahwa,
keadaan rohani). Di antara maqam penting yang ingin dicapai oleh seorang
penempuh jalan tasawuf ialah mahabba atau isyq (cinta), fana (hapusnya
diri/nafs yang rendah), baqa (rasa hidup kekal dalam Yang Satu), ma’rifa
(makrifat) dan ittihad (perasan mistikal), serta kasyf ( tersingkapnya
penglihatan hati).
Kehidupan para Sufis abad ke 3-4 H merupakan kritik terhadap
kemewahan hidup para penguasa dan kecenderungan orientasi hidup
masyarakat muslim pada materialisme. Keadaan politik yang penuh
ketegangan juga memberikan peran bagi pertumbuhan sufisme dan tariqah di
abad ke 12-13 M juga tidak lepas dari dinamika sosio-politik dunia
Islam.
A. Arti Tariqah/ Tarekat
Kata al-tariqah berarti jalan, sinonim dengan kata suluk. Maksudnya
ialah jalan kerohanian. Tariqah/ tarekat kemudian ditakrfkan sebagai’
Jalan kerohanian yang muncul disebabkan pelaksanaan syariat agama,
karena kata syar (dari kata syariat berasal) berarti jalan utama, sedang
cabangnya ialah tariq (darimana kata tariqa berasal).’ Pengertian di
atas menunjukkan bahwa jalan yang ditempuh dalam ilmu tasawuf, melalui
bimbingan dan latihan kerohanian dengan tertib tertentu, merupakan
cabang daripada jalan yang lebih besar, yaitu Syariat. Termasuk di
dalamnya ialah kepatuhan dalam melaksanakan syariat dan hukum Islam yang
lain.
Para sufi dalam melihat tingkat laku kerabat dan sahabat dekat mereka
tercermin perasaan dan perbuatan mereka sendiri. Apabila mereka melihat
kekeliruan dalam perbuatan tetangga mereka, maka mereka segera
bercermin ke dalam perbuatan mereka sendiri. Kebiasaan di atas mendorong
munculnya salah satu aspek penting gerakan tasawuf, yaitu persaudaraan
sufi yang didasarkan atas cinta dan saling bercermin pada diri sendiri.
Persaudaraan sufi inilah yang kemudian disebut Tarekat Sufi.
Munculnya tarekat membuat tasawuf berbeda dari gerakan zuhud yang
merupakan cikal bakal tasawuf. Apabila gerakan zuhud mengutamakan
‘penyelamatan diri’ melalui cara menjauhkan diri dari kehidupan serba
duniawi dan memperbanyak ibadah serta amal saleh, maka tasawuf sebagai
organisasi persaudaraan (tariqah) menekankan pada ‘keselamatan bersama’.
Di antaranya dalam bentuk pemupukan kepentingan bersama dan keselamatan
bersama yang disebut ithaar. Sufi yang konon pertama kali mempraktekkan
ithaar ialah Hasan al-Nuri, sufi abad ke-9 M dari Baghdad. Tarekatnya
merupakan salah satu tarekat sufi awal dalam sejarah.
B. Kanqah dan Zawiyah
Biasanya sebuah persaudaraan sufi lahir karena adanya seorang guru
Sufi yang memiliki banyak murid atau pengikut. Pada abad ke-11 M
persaudaraan sufi banyak tumbuh di negeri-negeri Islam. Mula-mula ia
merupakan gerakan lapisan elit masyarakat Muslim, tetapi lama kelamaan
menarik perhatian masyarakat lapisan bawah. Pada abasd ke-12 M banyak
orang Islam memasuki tarekat-tarekat sufi. Pada waktu itu kegiatan
mereka berpusat di kanqah, yaitu sebuah pusat latihan Sufi yang banyak
terdapat di Persia dan wilayah sebelah timur Persia. Kanqah bukan hanya
pusat para Sufi berkumpul, tetapi juga di situlah mereka melakukan
latihan dan kegiatan spiritual, serta pendidikan dan pengajaran formal,
termasuk dalam hal kepemimpinan.
Salah satu fungsi penting lain dari kanqah ialah sebagai pusat
kebudayaan dan agama. Sebagai pusat kebudayaan dan agama, lembaga kanqah
mendapat subsidi dari pemerintah, bangsawan kaya, saudagar dan
organisasi/perusahaan dagang. Tempat lain berkumpulnya para Sufi ialah
zawiyah, arti harafiahnya sudut. Zawiyah ialah sebuah tempat yang lebih
kecil dari kanqah dan berfungsi sebagai tempat seorang Sufi menyepi. Di
Jawa disebut pesujudan, di Turki disebut tekke (dari kata takiyah,
menyepi).
Tempat lain lagi berkumpulnya Sufi ialah ribat. Ribat punya kaitan
dengan tempat tinggal perajurit dan komandan perang, katakanlah sebagai
tangsi atau barak militer. Pada masa berkecamuknya peperangan yang
menyebabkan orang mengungsi, dan juga berakibat banyaknya tentara tidak
aktif lagi dalam dinas militer, membuat ribat ditinggalkan tentara dan
dirubah menjadi tempat tinggal para Sufi dan pengungsi yang mengikuti
perjalanan mereka.
Dinamika Kehidupan Masyarakat Memahami sufisme Islam
Dunia Timuar yang telah lama menjadi perhatian banyak kalangan memang
menarik untuk di telaah dan dilakukan kajian terhadapnya. Di samping
menjadi kawasan yang asing dan baru bagi banyak kalangang pengkaji yang
kemudian dikenal dengan orientalis, dunia Timur memang memunculkan
banyak dinamika dalam masyarakatnya yang kemudian menciptakan semacam
blok-blok atau kelompok-kelompok yang berbeda antara satu dengan yang
lainnya. Hal ini dapat di mengerti karena kawasan ini merupakan tempat
lahir dan tumbuhnya beragam agama dan aliran yang hingga saat ini ada
dalam masyarakat di seluruh dunia. Agama Islam, Kristen, Hindu dan Budha
dengan segala dinamika yang terjadi di dalamnya tumbuh dan berkembang
di wilayah ini.
PENGERTIAN SUFISME
Untuk mengetahui sesuatu yang ingin diketahui, tidak lengkap rasanya
jika tidak mengetahui terlebih dahulu pengertian yang dipahami oleh
beberapa kalangan mengenai sesuatu tersebut. Dalam konteks ini pula
penulis akan memaparkan terlebih dahulu pengertian yang biasa dipahami
oleh orang-orang mengenai sufisme atau aspek mistisisme yang ada dalam
Islam menurut pandangan mereka.
Pengertian pertama memahami sufisme sebagai suatu cara yang
dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana mensucikan diri manusia,
menjernih tingkah lakunya, dan membangun aspek lahir dan batinnya agar
kemudian berujung pada pencapaian kebahagian yang abadi[]. Sementara
pengertian kedua memaknai sufisme sebagai salah satu dimensi dari
beragam dimensi keagamaan dalam Islam yang dimaksud untuk menyelami
relung terdalam dalam aspek religiusitas keislaman. Sedangkan pengertian
ketiga lebih melihat eksistensi sufisme pada tujuannya, yaitu untuk
memperoleh hubungan langsung (direct relation) dan secara sadar dengan
Tuhan sehingga dengan demikian intisarinya adalah kesadaran akan adanya
komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan dengan cara
mengasingkan diri dan berkontemplasi.[] Pengertian keempat memaknai
sufisme sebagai paham mistik dalam Islam sebagaimana Taoisme yang ada di
Tiongkok dan Yoga di India dan yang terakhir, sufisme dipahami sebagai
aliran kerohanian mistik yang ada dalam Islam.[]
Sementara itu, seperti halnya pengertian sufisme yang mengalami
perbedaan, pemahaman mengenai asal mula penamaan tasawuf yang merupakan
nama lain dari sufisme juga terjadi perbedaan di kalangan para ahli.
Menurut Nasution, penamaan tasawuf untuk menyebut aspek mistisisme dalam
Islam berasal dari kata shūfi yang digunakan pertama kali oleh seorang
asketik (zāhid) bernama Abū Hāsyim al-Khūfi di Irak. Di lain pihak ada
yang menyebutkan bahwa penamaan tasawuf tersebut berkaitan dengan
pakaian yang digunakan oleh para pelakunya (zāhid) yang menunjukkan pada
kesederhanaan, yaitu berupa wol kasar yang dalam bahasa Arab disebut
dengan shūf.[] Sedangkan di sisi lain ada yang mengatakan bahwa penamaan
aspek mistisisme dalam Islam dengan sufisme karena merujuk pada suatu
kelompok masyarakat miskin yang ada di Madinah di masa Nabi Muhammad.
Orang-orang miskin ini tinggal di emperan Masjid Nabawi yang kemudian
oleh para sahabat dikenal sebagai ahlu as-suffah. Selain itu, sebagian
pihak menganggap bahwa penamaan tasawuf berasal dari kata shaf pertama
dalam shalat berjamaah yang memiliki keistimewaan tersendiri dalam
ajaran Islam sebagaimana juga dengan tasawuf (sufisme) yang bertujuan
untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
Namun demikian, jika pendapat-pendapat di atas melihat bahwa penamaan
tasawuf bersumber dari dalam Islam sendiri, maka ada juga pihak lain
yang menganggap bahwa penamaan tersebut berasal dari luar Islam.
Kalangan ini beranggapan bahwa penamaan aspek mistisisme dalam Isla
dengan sufisme atau tasawuf merupakan aktualisasi dari terjadinya
persentuhan antara Islam dengan budaya Yunani. Sebagaimana diketahui
bahwa setelah Islam tersebar luas hingga mencapai kawasan-kawasan luar
Arab, terjadi persentuhan dan persinggungan dengan budaya-budaya atau
tradisi-tradisi yang ada dalam masyarakat wilayah tersebut. Salah satu
persentuhan tersebut adalah dengan budaya Yunani yang memang diyakini
memiliki sisi filosofis yang agung dan tinggi. Dengan demikian, menurut
keyakinan para pengusung pemikiran ini, sufisme atau tasawuf berasal
dari kata sophos (hikmat) yang kemudian ditransliterasikan ke dalam
bahasa Arab menjadi s bukan shad.[]
Sejarah Sufisme
Untuk melacak asal mula sufisme secara pasti terdapat hambatan dan
kesulitan yang menghadang para ahli untuk melakukannya. Hambatan yang
mengemuka terutama berkaitan dengan ketiadaan tulisan atau informasi
masa lalu yang secara pasti dan jelas mengungkapkannya. Namun demikian,
beberapa pihak mencoba memaparkan sejumlah teori yang diharapkan dapat
menjawab sejumlah pertanyaan mengenai asal mula adanya sufisme dalam
Islam yang terus menggelayut dalam benak banyak ahli. Jika dirunut
secara berurutan, setidaknya terdapat lima pendapat yang diketengahkan
berkaitan dengan sejarah sufisme dalam Islam.
Pertama, sejarah sufisme dalam Islam berawal dari keterpengaruhan
Islam terhadap Kristen yang telah ditaklukkan di wilayah-wilayah
sebelumnya menjadi basis agama yang juga disebut Nasrani tersebut,
seperti Syiria, Mesir dan Palestina. Menurut pengusung pendapat ini,
Margareth Smith, agama Kristen memiliki ajaran yang menganjurkan para
pemeluknya untuk menjauhi kehidupan dunia dengan cara mengasingkan diri
dalam biara-biara. Ajaran inilah yang kemudian diadopsi oleh oleh apa
yang kemudian dikenal dengan sufisme yang kala itu masih miskin dengan
ajaran-ajaran dan dijadikan salah satu media yang digunakan seorang
penganut sufisme dalam menjalankan aktivitasnya.[]
Kedua, asal mula sufisme karena pengaruh dari filsafat mistik
Pytagoras yang berpendapat bahwa roh manusia adalah kekal dan berada di
dunia sebagai roh orang asing. Roh terpenjara dalam badan jasmani dan
untuk memperoleh kesenangan hidup, maka manusia harus mensucikan roh
dengan meninggalkan hidup materi melalui sarana zuhd dan dilanjutkan
dengan kontemplasi. Ketiga, adanya sufisme karena filsafat emanasi
Plotimus yang mengatakan bahwa wujud yang ada ini memancar dari zat
Tuhan Yang Maha Esa dan roh berasal dari dan akan kembali kepada-Nya. Di
saat materi memasuki roh, maka ia menjadi kotor dan sebelum kembali
kepada pemiliknya maka harus dibersihkan dengan cara meninggalkan dunia
dan mendekati Tuhan serta bersatu dengan-Nya. Keempat, kemunculan
sufisme karena ajaran Buddha dengan ajaran nirwananya atau surga dalam
literatur agama samawi. Menurut salah satu ajaran inti Buddha ini, jika
seseorang ingin mencapai nirwana maka ia harus meninggalkan dunia dan
memasuki hidup kontemplasi. Kelima, kemunculan sufisme dalam Islam
karena dipengaruhi oleh Hindu berupa ajaran Upanishad dan Vedanta yang
mendorong manusia untuk meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan untuk
mencapai persatuan dengan Atman dengan Brahman.[]
Inilah kelima teori yang dikemukakan oleh sejumlah ahli untuk
menjawab kegelisahan mengenai asal mula timbulnya sufisme. Namun
demikian jika diperhatikan, kelima teori yang dipaparkan di atas
mengatakan bahwa kemunculan sufisme dalam Islam karena pengaruh dari
luar Islam, seperti Kristen; filsafat mistik Pytagoras; filsafat emanasi
Plotimus; ajaran Nirwana Buddha; dan ajaran Upanishad dan Vedanta
Hindu. Apakah memang demikian?. Apakah dalam Islam tidak memiliki ajaran
yang mengajak pemeluknya untuk melakukan hal-hal seperti yang ada dalam
ajaran sufisme?. Pertanyaan ini penting dilakukan kajian karena sebagai
agama yang mengatur seluruh sendi kehidupan manusia dari
persoalan-persoalan yang kecil hingga masalah-masalah yang besar serta
dunia dan akhirat, sangat tidak mungkin tidak memiliki secuil saja
ajaran atau anjuran sebagaimana yang ada dalam ajaran yang diusung oleh
sufisme.
Jika dicermati secara mendetail dan seksama, sebenarnya ajaran-ajaran
Islam memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan eksistensi sufisme.
Melalui beberapa ayat dalam al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi Muhammad
SAW sebagai dua tuntunan utama setiap muslim dalam menjalani
kehidupannya akan tampak bahwa Islam memiliki ajaran tidak jauh berbeda
dengan apa yang menjadi ajaran dari sufisme. Dari al-Qur’an akan
dicontohkan tiga ayat yang dapat dipahami dan dimaknai sebagai ajaran
inti dari sufisme, yaitu:
1. Q.s. al-Baqarah, 186 :
وإذا سألك عبادى عني فإني قريب أجيب دعوة الداع إذا دعان فليستجيبوالي وليؤمنوابي لعلهم يرشدون
Dari ayat ini menyiratkan suatu pemahaman bahwa manusia sebagai salah
satu makhluknya adalah sangat dekat dengan Tuhan sebagai penciptanya.
2. Q.s. al-Baqarah, 115 :
ولله المشرق والمغرب فأينما تولوا فثم وجـه الله إن الله واسع عليـم
Ayat ini juga mengisyaratkan bahwa Tuhan sebagai penguasa alam semesta ini berada dan dapat dijumpai di mana saja.
3. Q.s. Qāf, 16 :
ولقد خلقنا الإنسان ونعلم ما توسوس به نفسـه ونحن أقرب إليه من حبل الوريـد
Ayat ini mengungkapkan bahwa Tuhan itu sebenarnya ada dalam diri manusia dan bukan berada di luarnya.
Ayat ini mengungkapkan bahwa Tuhan itu sebenarnya ada dalam diri manusia dan bukan berada di luarnya.
4. Q.s. al-Anfāl, 17 :
فلم تقتـلوهم ولكن الله قتلهـم ومـا رميت إذ رميت ولكن الله رمى
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa manusia dan Tuhan dapat mengalami penyatuan dalam satu tubuh.
Sedangkan ajaran Islam yang bersumber dari hadits Nabi Muhammad SAW
yang berkaitan dengan sufisme, yaitu : “Orang yang mengetahui dirinya,
maka ialah orang yang mengetahui Tuhannya” dan sebuah hadits Qudsi :
كنت كنذا مخفيـا فأحببت أن أعرف فخـلقت الخـلق فبي عرفـواني
Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin
dikenal, maka Aku ciptakan makhluk dan melalui Aku mereka mengenal Aku”.
ISLAM, IMAN DAN IHSAN
MENGENAL ISLAM
Islam, ialah berserah diri kpd Allah dgn tauhid dan tunduk kpd-Nya
dgn penuh kepatuhan akan segala perintah-Nya serta menyelamatkan diri
dari peruntukan syirik dan orang-orang yg beruntuk syirik.
Dan agama Islam, dalam pengertian tersebut, mempunyai tiga tingkatan,
yaitu : Islam, Iman dan Ihsan, masing-masing tingkatan mempunyai
rukun-rukunnya.
I. Tingkatan Islam
Adapun tingkatan Islam, rukun ada lima :
Syahadat (pengakuan dgn hati dan lisan) bahwa “Laa Ilaaha Ilallaah”
(Tiada sesembahan yg haq selain Allah) dan Muhammad ialah Rasulullah.
Mendirikan shalat.
Mengeluarkan zakat.
Shiyam pada bulan Ramadhan.
Haji ke Baitullah Al-Haram.
Mendirikan shalat.
Mengeluarkan zakat.
Shiyam pada bulan Ramadhan.
Haji ke Baitullah Al-Haram.
II. Tingkatan Iman.
Iman itu lebih dari tujuh puluh cabang. Cabang yg paling tinggi ialah
syahadat “Laa Ilaaha Ilallaah”, sedang cabang yg paling rendah ialah
menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan sifat malu ialah salah satu dari
cabang Iman.
Rukun Iman ada enam, yaitu :
Iman kpd Allah.
Iman kpd para Malaikat-Nya.
Iman kpd Kitab-kitab-Nya.
Iman kpd para Rasul-Nya.
Iman kpd hari Akhirat, dan
Iman kpd Qadar, yg baik dan yg buruk. (Qadar : takdir, ketentuan Ilahi. Yaitu : Iman bahwa segala sesuatu yg terjadi di dalam semesta ini ialah diketahui, dikehendaki dan dijadikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala).
Iman kpd para Malaikat-Nya.
Iman kpd Kitab-kitab-Nya.
Iman kpd para Rasul-Nya.
Iman kpd hari Akhirat, dan
Iman kpd Qadar, yg baik dan yg buruk. (Qadar : takdir, ketentuan Ilahi. Yaitu : Iman bahwa segala sesuatu yg terjadi di dalam semesta ini ialah diketahui, dikehendaki dan dijadikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala).
Iman Bertambah dan Berkurang
Ahlussunnah menetapkan kaidah bahwa jika istilah Islam dan Iman
disebutkan secara bersamaan, maka masing-masing memiliki pegertian
sendiri-sendiri, namun jika disebutkan salah satunya saja, maka mencakup
yang lainnya. Iman dikatakan dapat bertambah dan berkurang, namun
tidaklah dikatakan bahwa Islam bertambah dan berkurang, padahal hakikat
keduanya adalah sama. Hal ini disebabkan karena adanya tujuan untuk
membedakan antara Ahlussunnah dengan Murjiáh. Murjiáh mengakui bahwa
Islam (amalan lahir) bisa bertambah dan berkurang, namun mereka tidak
mengakui bisa bertambah dan berkurangnya iman (amalan batin). Sementara
Ahlussunnah meyakini bahwa keduanya bisa bertambah dan berkurang.
III. Tingkatan Ihsan.
Ihsan, rukun hanya satu, yaitu :
Artinya Beribadah kepada Allah SWT dalam keadaan seakan-akan kamu
melihat-Nya. Jika kamu tdk melihat-Nya, maka sesungguh Dia melihatmu”.
Pengertian Ihsan tersebut ialah penggalan dari hadits Jibril, yg
dituturkan oleh Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘Anhu, sebagaimana
akan disebutkan
Dalilnya, firman Allah Ta’ala.
“Sesungguh Allah bersama orang-orang yg bertakwa dan orang-orang yg beruntuk ihsan”. [An-Nahl : 128]
Dan firman Allah Ta’ala.
“Dan bertakwallah kpd (Allah) Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayg.
Yang melihatmu ketika kamu berdiri (untuk shalat) dan (melihat)
perubahan gerak badanmu di antara orang-orang yg sujud. Sesunnguh
Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. [Asy-Syu’araa :
217-220]
Serta firman-Nya.
“Dalam keadaan apapun kamu berada, dan (ayat) apapun dari Al-Qur’an
yg kamu baca, serta pekerjaan apa saja yg kamu kerjakan, tdk lain kami
ialah menjadi saksi atasmu diwaktu kamu melakukannya”. [Yunus : 61]
Adapun dalil dari Sunnah, ialah hadits Jibril yg masyhur, yg
diriwayatkan dari ‘Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu. “Arti :
Ketika kami sedang duduk di sisi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
tiba-tiba muncul ke arah kami seorang laki-laki, sangat putih
pakaiannya, hitam pekat rambutnya, tidak tampak pada tubuh tanda-tanda
sehabis dari bepergian jauh dan tiada seorang pun di antara kami yg
mengenalnya. Lalu orang itu duduk di hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, dgn menyandarkan kelutut pada kedua lutut beliau serta
meletakkan kedua telapak tangan di atas kedua paha beliau, dan berkata :
‘Ya Muhammad, beritahulah aku tentang Islam’, maka beliau menjawab
:’Yaitu : bersyahadat bahwa tiada sesembahan yg haq selain Allah serta
Muhammad ialah Rasulullah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat,
melakukan shiyam pada bulan Ramadhan dan melaksanakan haji ke Baitullah
jika kamu mampu untuk mengadakan perjalanan ke sana’. Lelaki itu pun
berkata : ‘Benarlah engkau’. Kata Umar :’Kami merasa heran kepadanya, ia
berta kpd beliau, tetapi juga membenarkan beliau. Lalu ia berkata :
‘Beritahulah aku tenatng Iman’. Beliau menjawab :’Yaitu : Beriman kpd
Allah, para Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya dan hari
Akhirat, serta beriman kpd Qadar yg baik dan yg buruk’. Ia pun berkata :
‘Benarlah engkau’. Kemudian ia berkata : ‘Beritahullah aku tentang
Ihsan’. Beliau menjawab : Yaitu : Beribadah kepada Allah SWT dalam
keadaan seakan-akan kamu melihat-Nya. Jika kamu tdk melihat-Nya, maka
sesungguh Dia melihatmu’. Ia berkata lagi. Beritahulah aku tentang hari
Kiamat. Beliau menjawab : ‘Orang yg dia tentang hal tersebut tidak lebih
tahu dari pada orang yang bertanya’. Akhir ia berkata :’Beritahulah aku
sebagian dari tanda-tanda Kiamat itu’. Beliau menjawab : Yaitu :
‘Apabila ada hamba sahaya wanita melahirkan tuan dan apabila kamu
melihat orang-orang tak beralas kaki, tak berpakaian sempurna melarat
lagi, pengembala domba saling membangga-banggakan diri dalam membangun
bangunan yg tinggi’. Kata Umar : Lalu pergilah orang laki-laki itu,
semantara kami berdiam diri saja dalam waktu yg lama, sehingga Nabi
bertanya : Hai Umar, tahukah kamu siapakah orang yg bertanya itu ? Aku
menjawab : Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui. Beliau pun bersabda :
‘Dia ialah Jibril, telah datang kepada kalian untuk mengajarkan urusan
agama kalian”.
SIMPULAN
Islam sebagai agama bisa dilihat dari berbagai dimensi, sebagai
keyakinan, sebagai ajaran dan sebagai aturan. Apa yang diyakini oleh
seorang muslim, boleh jadi sesuai dengan ajaran dan aturan Islam, boleh
jadi tidak, karena proses seseorang mencapai suatu keyakinan
berbeda-beda, dan kemampuannya untuk mengakses sumber ajaran juga
berbeda-beda.
Diantara penganut satu agama bisa terjadi pertentangan hebat yang
disebabkan oleh adanya perbedaan keyakinan. Sebagai ajaran, agama Islam
merupakan ajaran kebenaran yang sempurna, yang dating dari Tuhan Yang
Maha Benar. Akan tetapi manusia yang pada dasarnya tidak sempurna tidak
akan sanggup menagkap kebenaran yang sempurna secara sempurna.kebenaran
bisa didekati dengan akal (masuk akal), bisa juga dengan perasaan (rasa
kebenaran). Kerinduan manusia terhadap kebenaran ilahiyah bagaikan api
yang selalu menuju keatas. Seberapa tinggi api menggapai ketinggian dan
seberapa lama api itu bertahan menyala bergantung pada bahan baker yang
tersedia pada setiap orang. Ada orang yang tak pernah berhenti mencari
kebenaran, ada juga yang tak tahan lama, ada orang yang kemampuannya
menggapai kebenaran sangat dalam (atau tinggi), tetapi ada yang hanya
bisa mencapai permukaan saja.
Agama Islam sebagai aturan atau sebagai hukum dimaksud untuk mengatur
tata kehidupan manusia. Sebagai aturan, agama berisi perintah dan
larangan, ada perintah keras (wajib) dan larangan keras (haram), ada
juga perintah anjuran (sunnat) dan larangan anjuran (Makruh). Sumber
hukum dalam Islam adalah Al-Qur’an, tetapi hanya mengatur secara umum,
karena Al-Qur’an di peruntukkan bagi semua manusia sepanjang zaman dan
di seluruh pelosok dunia.
Detail hukum kemudian dirumuskan denga Ijtihad. Karena sifatnya yang
regional dan “Menzaman” maka fatwa hukum bisa berbeda-beda, ada yang
menganggap bahwa hasil ijtihadnya itu sebagai hukum Tuhan, dan ada yang
menganggap bahwa dalam hal detail tidak ada hukum Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar