Daulah
Bani Abbasiyah yang didirikan pada tahun 132 H / 750 M oleh Abdullah
al-Saffah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas merupakan
kelanjutan dari pemerintahan Daulah Umayyah yang telah hancur di
Damaskus. Gerakan bani Abbas pada waktu itu yang dipimpin oleh Ibrahim
Al Imam melakukan gerakan diam-diam atau rahasia yang berpusat di
Khurasan. Dengan pimpinan panglima perang yang bernama Abu Muslim Al
Khusrasany, Bani Abbas dapat menguasai daerah Khurasan dan Kufah.
Setelah Kufah dapat dikuasai sepenuhnya, diangkatlah Abul Abbas menjadi
Khalifah pertama pada tahun 132 H / 750 M. Dengan demikian berakhirlah
kekuasaan Daulah Bani Umayyah pada saat itu. Dinamakan kekhalifahan
Daulah Abbasiyah, karena para pendiri dan penguasa dinasti ini merupakan
keturunan Bani Abbas, paman Nabi Muhammad SAW.[1]
Selama
dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda
sesuai dengan perubahan politik, sosial dan budaya. memiliki lima periode yaitu :
1. Periode pertama 132 H – 232 H sebagai pengaruh Persia pertama.
2. Periode kedua 232 H – 334 H di sebut masa pengaruh Turki pertama.
3. Periode ketiga 334 – 447 H masa kekuasaan Dinasti Buwaih.
4. Periode keempat 447 H – 590 H masa kekuasaan dinasti Saljuk.
5. Periode kelima 590 H – 656 H masa khilafah bebas dari dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya di sekitar Baqdad.[2]
B. Khalifah-Khalifah Bani Abbas
1. Abul Abbas Assafah (132 – 136 H / 750 – 754 M)
Abul
Abbas Assafah memusatkan siasat pemerintahannya untuk mengukuhkan
kekuasaannya dengan jalan melakukan tindakan tangan besi terhadap lawan
politiknya, yaitu Bani Umayyah. Keluarga Bani Umayyah beserta
pendukungnya ditumpas. Abul Abbas Assafah menetapkan kota Anbar menjadi ibu kota pemerintahan dan diberi nama Hasyimiyah. Ia meninggal pada tahun 136 H / 754 M.
2. Abu Ja’far Al Manshur (136 – 158 H / 754 – 775 M)
Usaha
Abul Abbas Assafah dalam menegakkan kestabilan dan keamanan dalam
negeri dilanjutkan oleh Abu Ja’far Al Manshur dengan cara menumpas
pendukung Bani Umayyah serta para pembantunya, seperti Abdullah bin Ali
di Siria dan Shalih bin Ali di Mesir, keduanya adalah pamannya sendiri
yang ditunjuk sebagai gubernur oleh khalifah sebelumnya.
Setelah
keamanan dalam negeri terjamin dengan baik, Abu Ja’far Al Manshur mulai
memajukan ilmu pengetahuan dengan jalan menerjemahkan buku-buku dari
bahasa Yunani, Persia, Siria, dan India ke dalam Bahasa Arab, terutama
di bidang kedokteran, astronomi, dan ilmu pasti. Abu Ja’far mendirikan kota Baghdadkota
pemerintahan termasyhur di Timur dan sebagai pusat berkembangnya ilmu
pengetahuan. Di samping itu, beliau mendirikan jawatan kehakiman,
kepolisian, pajak, dan pos untuk memperlancar jalannya roda pemerintahan
di seluruh daerah. Beliau dapat menguasai Afrika Utara, namun tidak
dapat menundukkan kekuasaan Bani Umayyah di Spanyol karena terlalu jauh
dari pusat pemerintahan. sebagai ibu
Kekuasaan
Bani Umayyah pun dibangun kembali oleh Abdurrahman Ad Dakhil di Spanyol
pada tahun 138 H / 575 M. Pemerintahan baru itu dengan ibu kota
Cordova. Kedua kerajaan ini pun bersaing dalam memajukan ilmu
pengetahuan dan peradaban untuk mempercepat tercapainya zaman keemasan
bagi umat Islam di kedua kerajaan tersebut.
3. Al Mahdi (158 – 169 H / 775 – 785 M)
Setelah
ayahnya Al-Mansyur meninggal maka Al-Mahdi naik tahta. Baru saja
menjabat ia memerintahkan membuka pintu penjara dan melepaskan
orang-orang hukuman politik, yang tidak dilepaskan hanya orang-orang
penjahat, pembunuh dan perampok. Pada zaman ini pertumbuhan perekonomian
meningkat disektor pertanian melalui irigasi dan peningkatan hasil
pertambangan seperti perak, emas, tembaga, besi. Pada masa
pemerintahannya ia melakukan pembangunan-pembangunan penting seperti
memperluas Masjidil Haram, memberi bantuan tetap kepada fakir miskin,
memperbaikki jalan antara Madinah, Mekah, dan Yaman.
4. Musa Al Hadi (169 – 170 H / 785 – 786 M)
Masa
pemerintahan Al Hadi hanya berjalan tidak lama. Dia banyak menghadapi
pemberontakan dari kaum Syiah, Khawarij, dan golongan Zindiq (atheis),
tetapi semua dapat diatasi olehnya.
5. Harun Al Rasyid (170 – 193 H / 786 – 809 M)
Harun
Al Rasyid terkenal dalam sejarah sebagai seorang khalifah yang penuh
wibawa, dicintai rakyatnya, dan disegani oleh lawan dan kawan. Beliau
sangat mencintai ilmu dan kebudayaan, bijaksana, dan penuh inisiatif
untuk memajukan kerajaan yang sangat luas itu sehingga tercapailah suatu
kemajuan dan kejayaan yang sangat gemilang.
Kota Baghdad yang disebut kota
seribu satu malam mencerminkan kemakmuran dan kemajuan pemerintahan
Harun Al Rasyid, di mana-mana terdapat masjid-masjid besar, megah serta
penuh ukiran yang indah. Di seluruh pelosok kota terdapat gedung-gedung yang megah, jalan-jalan yang teratur rapi, gedung kesenian, teropong bintang, dan lain sebagainya.
Kemakmuran
rakyat tercapai dengan merata. Rakyat hidup dengan aman, makmur,
sejahtera. Ilmu pengetahuan dan peradaban tumbuh dengan baik. Di
sekeliling Khalifah berkumpul para ahli ilmu sastra, budaya, dan agama.
Kemajuan materiil yang tumbuh pesat diimbangi dengan kemajuan bidang
spiritual. [3]
6. Abdullah Al Amin (193 – 198 H = 809 – 813 M)
Al
Amin adalah putera mahkota yang diwasiatkan oleh Harun Al Rasyid
sebagai penggantinya. Dalam wasiat disebutkan bahwa setelah Al Amin
meninggal, ia digantikan oleh adiknya (lain ibu) Al Makmum. Karena ulah
seorang wazir (menteri) yang bernama Fadlal bin Rabi, kedua saudara itu
dapat dihasutnya untuk saling berperang. Terjadilah perang saudara yang
berakhir dengan kemenangan Al Makmum.
7. Abdullah Al Makmum (198 – 218 H = 813 – 833 M)
Khalifah
Al Makmum bersikap lebih dekat dengan golongan Alawiyah sehingga
berhasil mengurangi rongrongan dari Syiah . Dia juga terus melanjutkan
perhatian khusus terhadap berbagai bidang yang dapat mendorong kemajuan
Islam.
8. Al Mutashim (218 – 227 H / 833 – 842 M)
Al-Mutashim memberi peluang besar orang Turki untuk masuk dalam
pemerintahan. Siasatnya mnimbulkan kebencian dari pihak Arab dan Persia
sehingga membuat lemahnya pengaruh khalifah. Praktik orang-orang muslim
mengikuti perang sudah terhenti. Tentara dibina secara khusus menjadi
prajurit-prajurit professional. Dengan demikian, kekuatan militer
dinasti Bani Abbas menjadi sangan kuat.
9. Harun Al Watsiq (227-232 H / 842-847 M)
Di zaman ini perpecahan di kalangan kerajaan Islam bertambah parah
sebagai akibat politik yang dijalankan oleh Al Mutasim. Banyak provinsi
yang memberontak dan tidak lagi mengakui pemerintahan pusat, seperti
Hijaz, Siria, Mosul, dan Bagdad
sendiri. Kesempatan itu digunakan sebaik mungkin oleh bekas-bekas budak
dari Turki yang diangkat menjadi tentara. Mereka melakukan tindakan
sewenang-wenang terhadap penduduk.
C. Peta Daerah Perkembangan Islam Pada Masa Bani Abbasiyah
Pada masa Daulah Abbasiyah luas kekuasaan Islam semakin bertambah dan Baghdad sebagai pusat pemerintahannya. Perluasan kekuasaan dan pengaruh Islam bergerak ke wilayah Timur Asia Tengah dari perbatasan India
hingga ke Cina. Wilayah kekuasaan Islam amat luas yaitu meliputi
wilayah yang telah dikuasai oleh Bani Umayah antara lain Hijaz, Yaman
Utara dan Selatan, Oman, Kuwait, Irak, Iran, Yordania, Palestina,
Libanon, Mesir, Tunisia, Aljazair, Maroko, Spanyol, Afganistan, dan
Pakistan. Daerah-daerah tersebut memang belum sepenuhnya berada di
wilayah Bani Umayah, namun di masa kekuasaan Bani Abbas perluasan daerah
dan penyiaran Islam semakin berkembang, sehingga meliputi daerah Turki,
Armenia, dan sekitar Laut Kaspia. [4]
Dinasti
Bani Abbas pada periode pertama lebih menekankan pembinaan peradaban
dan kebudayaan islam dari pada perluasan wilayah. Inilah perbedaan pokok
antara Bani Ummayah dengan Bani Abbasiyah. Di samping itu ada pula
cirri-ciri yang menonjol pada dinasti Abbasiyah yang tidak terdapat di
zaman Bani Ummayah, yaitu :
1. Berpindahnya ibu kota
ke Baqhdad sehingga pemerintah Bani Abbas tidak terpengaruh dengan
Arab. Sedangkan Bani ummayah sangat berorientasi kepada Arab.
2. Dalam penyelenggara pemerintahan Bani Abbas ada jabatan Wazir, yang membawahi kepala-kepala departemen.
3. Ketentaraan professional baru terbentuk pada masa Bani Abbas, yang tidak ada di zaman Bani Ummayah. [5]
Bani Abbasiyah mampu mengembangkan dan memajukan peradaban Islam,
sehingga daulah ini mencapai puncak kejayaannya. Karena para penguasanya
banyak memberikan dorongan kepada ilmuan untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan dalam segala bidang kehidupan.
Kemajuan itu antara lain disebabkan sikap dan kebijaksanaan para
penguasanya dalam mengatasi berbagai persoalan, kebijaksanaan itu antara
lain ialah:
1. Para khalifah tetap keturunan Arab sedangkan para menteri, gubernur, panglima perang, dan pegawai diangkat dari bangsa Persia.
2. Kota Baghdad sebagai ibukota, dijadikan kota internasional untuk segala kegiatan seperti ekonomi, politik, social, dan budaya.
3. Ilmu pengetahuan dipandang sebagai suatu yang sangat mulia dan berharga. Para khalifah membuka kesempatan pengembangan ilmu pengetahuan seluas-luasnya.
4. Rakyat bebas berpikir serta memperoleh hak asasinya dalam segala bidang, seperti ibadah, filsafat, dan ilmu pengetahuan.
5. Para
menteri keturunan Persiadiberi hak penuh menjalankan pemerintahan,
sehingga mereka memegang peranan penting dalam memajukan kebudayaan
Islam.
6. Berkat usaha khalifah yang sungguh-sungguh dalam membangun ekonominya, mereka memiliki pembendaharaan yang cukup berlimpah.
7. Dalam
pengembangan ilmu pengetahuan para khalifah banyak mendukung
perkembangan tersebut sehingga banyak buku-buku yang dikarang dalam
berbagai ilmu pengetahuan.[6]
D. Bentuk-Bentuk Peradaban Islam Pada Masa Daulah Abbasiyah
1. Kota-Kota Pusat Peradaban
Di antara kota pusat peradaban pada masa dinasti Abbasiyah adalah Baghdad dan Samarra. Bagdad merupakan ibu kota negara kerajaan Abbasiyah yang didirikan Kholifah Abu Ja’far Al-Mansur (754-775 M) pada tahun 762 M. Sejak awal berdirinya, kota ini sudah menjadi pusat peradaban dan kebangkitan ilmu pengetahuan. Di kota inilah para ahli ilmu pengetahuan datang beramai-ramai untuk belajar. Sedangkan kotaSamarra terletak di sebelah timur sungai Tigris, yang berjarak + 60 km dari kota Baghdad. Di dalamnya terdapat 17 istana mungil yang menjadi contoh seni bangunan Islam di kota-kota lain.
2. Bidang Pemerintahan
Pada
masa Abbasiyah I (750-847 M), kekuasaan kholifah sebagai kepala negara
sangat terasa sekali dan benar seorang kholifah adalah penguasa
tertinggi dan mengatur segala urusan negara. Sedang masa Abbasiyah II
847-946 M) kekuasaan kholifah sedikit menurun, sebab Wazir (perdana
mentri) telah mulai memiliki andil dalam urusan negara. Dan pada masa
Abbasiyah III (946-1055 M) dan IV (1055-1258 M), kholifah menjadi boneka
saja, karena para gubernur di daerah-daerah telah menempatkan diri
mereka sebagai penguasa kecil yang berkuasa penuh. Dengan demikian
pemerintah pusat tidak ada apa-apanya lagi.
Dalam pembagian wilayah (propinsi), pemerintahan Bani Abbasiyah menamakannya dengan Imaraat, gubernurnya bergelar Amir / Hakim. Imaraat saat itu ada tiga macam, yaitu ; Imaraat Al-Istikhfa, Al-Amaarah Al-Khassah dan Imaarat Al-Istilau.
Kepada wilayah / imaraat ini diberi hak-hak otonomi terbatas, sedangkan
desa/ al-Qura dengan kepala desanya as-Syaikh al-Qoryah diberi otonomi
penuh. [7]
Selain
hal tersebut di atas, dinasti Abbasiyah juga telah membentuk angkatan
perang yang kuat di bawah panglima, sehingga kholifah tidak turun
langsung dalam menangani tentara. Kholifah juga membentuk Baitul Mal /
Departemen Keuangan untuk mengatur keuangan negara khususnya. Di samping
itu juga kholifah membentuk badan peradilan, guna membantu kholifah
dalam urusan hukum.
3. Bangunan Tempat Pendidikan dan Peribadatan
a. Madrasah, didirikan pertama kali oleh Nizamul Mulk. Terdapat di kota Bagdad, Balkan, Muro, Tabrisan, Naisabur, Hara, Isfahan, Mausil, Basrah, dan kota-kota lain.
b. Kuttab, yaitu tempat belajar bagi pelajar tingkat rendah dan menengah.
c. Masjid Munadharah, tempat pertemuan para pujangga, ahli fakir, dan para sarjana untuk menseminarkan masalah-masalah ilmiah.
d. Masjid, biasanya digunakan untuk belajar bagi pelajar tingkat tinggi dan takhassus.
e. Baitul Hikmah, merupakan perpustakaan pusat, dibangun oleh Khalifah Harun Al Rasyid.
f. Masjid Raya Cordova, dibangun pada tahun 786 M.
g. Masjid Ibnu Toulon, di Kairo dibangun pada tahun 786 M.
h. Istana Al Hamra, di Cordova.
i. Istana Al Cazar, dan lain-lain.
4. Bidang Ilmu Pengetahuan
Ilmu
pengetahuan pada masa Daulah Bani Abbasiyah terdiri dari ilmu naqli dan
ilmu ‘aqli. Ilmu naqli terdiri dari Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits Ilmu
Fiqih, Ilmu Kalam, Ilmu Tasawwuf dan Ilmu Bahasa. Adapaun ilmu ‘aqli
seperti : Ilmu Kedokteran, Ilmu Perbintangan, Ilmu Kimia, Ilmu Pasti,
Logika, Filsafat dan Geografi. Berikut ini ialah Tokoh-tokohnya:
- Ilmu Filsafat
· Al Kindi (194 – 260 H / 809 – 873 M)
· Al Farabi (wafat tahun 390 H / 916 M)
· Ibnu Bajah (wafat tahun 523 H)
· Ibnu Thufail (wafat tahun 581 H)
· Ibnu Shina (370 – 428 H / 980 – 1037 M).
· Al Ghazali (tahun 450 – 505 H / 1058 – 1101 M)[8]
· Ibnu Rusyd (520 – 595 H / 1126 – 1198 M)
- Bidang Kedokteran
· Jabir bin Hayyan (wafat 161 H / 778 M) dianggap sebagi bapak ilmu Kimia.
· Hunain bin Ishaq (194 – 264 H / 810 – 878 M) ahli mata yang terkenal.
· Thabib bin Qurra (221 – 228 H / 836 – 901 M)
· Ar Razi (251 – 313 H / 809 – 973 M)
- Bidang Matematika
· Umar Al Farukhan, Insinyur arsitek pembangunan kota Bagdad.
· Al Khwarizmi, pengarang kitab Al Gebra (Al Jabar) ahli matematika terkenal.
· Banu Nusa, menulis banyak buku dan ilmu ukur.
- Bidang Astronomi
· Al Fazari, seorang pencipta astrobole, yaitu alat pengukur tinggi dan jarak bintang-bintang.
· Al Battani, terkenal dalam ilmu perbintangan.
· Al Fargoni, membangun beberapa observatorium di Baghdad.
- Farmasi dan Kimia
· Ibnu Baithar, ahli obat-obatan, makanan atau gizi.
- Ilmu Tafsir
· Ilmu
tafsir bil ma’tsur, yaitu Al-Quran yang ditafsirkan dengan
hadits-hadits. Tokohnya ialah Ibnu Jarir al Thabari, Ibnu Athiyah al
Andalusi, Al Sudai, dan Muqotil Ibnu Sulaiman.
· Ilmu
tafsir bin ro’yi, tafsir Al-Qur’an dengan menggunakan akal pikiran.
Tokoh-tokohnya ialah Abu Bakar Asam, Abu Muslim Muhammad, Ibnu Jaru Al
Asadi, Abu Yunus Abdussalam.
- Ilmu Hadits
· Imam Al Bukhari (194 – 256 H), karyanya ialah Shahih Al Bukhari.
· Imam Muslim (wafat 261 H), karyanya ialah Shahih Muslim.
· Ibnu Majah, karyanya ialah Sunan Ibnu Majah.
· Abu Dawud, karyanya ialah Sunan Abu Dawud.
· An Nasai, hasil karyanya ialah Sunan An Nasai.
- Ilmu Kalam
· Jabariyah, tokohnya ialah Jahm bin Sofyan dan Ya’du bin Dirham.
· Qodoriyah, tokohnya Ghilan Al Dimasyqy, Ma’bad Al Juhaini.
· Mu’tazilah, tokohnya Washil bin Atha’.
· Ahlus Sunnah, tokohnya Abu Hasan Al Asy’ary, Al Ghozali.
- Ilmu Bahasa
· Sibawaih (wafat tahun 183 H)
· Al Kisai (wafat tahun 198 H)
· Abu Zakariya Al Farra (wafat tahun 208 H)
E. Kehancuran Daulah Abbasiyah
Kehancuran
Dinasti Abbasiyah ini tidak terjadi dengan cara spontanitas, melainkan
melalui proses yang panjang yang diawali oleh berbagai pemeberontakan
dari kelompok yang tidak senang terhadap kepemimpinan kholifah
Abbasiyah. Disamping itu juga, kelemahan kedudukan kekholifahan dinasti
Abbasiyah di Baghdad, disebabkan oleh luasnya wilayah kekuasaan yang
kurang terkendali, sehingga menimbulkan disintegrasi wilayah.
Ada dua faktor penyebab runtuhnya Daulah Bani Abbasiyah:
- Faktor Internal
· Kemerosotan ekonomi, mayoritas Kholifah Abbasiyah periode akhir lebih mementingkan urusan pribadinya dan cenderung hidup mewah.
· Luasnya wilayah kekuasaan Abbasiyah, sementara komunikasi pusat dengan daerah sulit dilakukan.
· Konflik keagamaan, antara muslim dan zindiq (atheis), Ahlussunnah dengan Syiah, serta antara Mu’tazilah dengan Salaf.
· Persaingan antar bangsa. Bangsa Arab bersaing dengan Persia, dan Turki yang pada akhirnya menimbulkan perpecahan.
· Pengaruh dari Mamluk, Bani Buwaih, serta Bani Seljuk.
· Dengan profesionalisasi angkatan bersenjata, ketergantungan khalifah kepada mereka sangat tinggi.
· Keuangan
negara sangat sulit karena biaya yang dikeluarkan untuk tentara bayaran
sangat besar. Pada saat kekuatan militer menurun, khalifah tidak
sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.
- Faktor Eksternal
· Perang Salib yang berlangsung beberapa gelombang dan menelan banyak korban.
· Penyerbuan tentara Mongol di bawah pimpinan Panglima Hulagu Khan yang menghacur leburkan kota Baghdad. [9]
Perang Salib ini terjadi pada tahun 1095 M, saat Paus Urbanus II berseru kepada umat Kristen di Eropa untuk melakukan perang suci, untuk memperoleh kembali keleluasaan berziarah di Baitul Maqdis yang dikuasai oleh Penguasa Seljuk, serta menghambat pengaruh dan invasi dari tentara Muslim atas wilayah Kristen. Walaupun
umat Islam berhasil mempertahankan daerah-daerahnya dari tentara Salib,
namun kerugian yang mereka derita banyak sekali, karena peperangan itu
terjadi di wilayahnya. Kerugian-kerugian ini mengakibatkan kekuatan
politik umat Islam menjadi lemah. Dalam kondisi demikian mereka bukan
menjadi bersatu, tetapi malah terpecah belah. Banyak daulah kecil yang
memerdekakan diri dari pemerintahan pusat Abbasiyah di Baghdad.
Pada tahun 565 H/1258 M, tentara Mongol yang berkekuatan sekitar 200.000 orang tiba di salah satu pintu Baghdad. Khalifah Al-Musta'shim, penguasa terakhir Bani Abbas di Baghdad (1243 - 1258), betul-betul tidak berdaya dan tidak mampu membendung "topan" tentara Hulagu Khan. Pada saat yang kritis tersebut, wazir khilafah Abbasiyah, Ibn Alqami
ingin mengambil kesempatan dengan menipu khalifah. la mengatakan kepada
khalifah, "Saya telah menemui mereka untuk perjanjian damai. Hulagu
Khan ingin mengawinkan anak perempuannya dengan Abu Bakr Ibn Mu'tashim,
putera khalifah. Dengan demikian, Hulagu Khan akan menjamin posisimu.
la tidak menginginkan sesuatu kecuali kepatuhan, sebagaimana
kakek-kakekmu terhadap sulthan-sulthan Seljuk". [10]
Khalifah
menerima usul itu, la keluar bersama beberapa orang pengikut dengan
membawa mutiara, permata dan hadiah-hadiah berharga lainnya untuk
diserahkan kepada Hulagu Khan.
Hadiah-hadiah itu dibagi-bagikan Hulagu kepada para panglimanya.
Keberangkatan khalifah disusul oleh para pembesar istana yang terdiri
dari ahli fikih dan orang-orang terpandang. Tetapi, sambutan Hulagu Khan
sungguh di luar dugaan khalifah. Apa yang dikatakan wazirnya temyata
tidak benar. Mereka semua, termasuk wazir sendiri, dibunuh dengan leher
dipancung secara bergiliran.
Dengan
pembunuhan yang kejam ini berakhirlah kekuasaan Abbasiyah di Baghdad.
Kota Baghdad sendiri dihancurkan rata dengan tanah, sebagaimana
kota-kota lain yang dilalui tentara Mongol tersebut. Walaupun sudah
dihancurkan, Hulagu Khan memantapkan kekuasaannya di Baghdad selama dua tahun, sebelum melanjutkan gerakan ke Syria dan Mesir.
Jatuhnya kota Baghdad pada tahun 1258 M ke tangan bangsa Mongol
bukan saja mengakhiri kekuasaan khilafah Bani Abbasiyah di sana, tetapi
juga merupakan awal dari masa kemunduran politik dan peradaban Islam,
karena Bagdad sebagai pusat kebudayaan dan peradaban Islam yang sangat
kaya dengan khazanah ilmu pengetahuan itu ikut pula lenyap
dibumihanguskan oleh pasukan Mongol yang dipimpin Hulaghu Khan tersebut.
[1] Forum Guru Bina PAI Madrasah Aliyah, Sejarah Kebudayaan Islam, (Sragen, CV. Akik Pusaka), hal 39
[2] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada), hal 50
[3] Soepardjo, Integrasi Budi Pekerti dalam Pendidikan Agama Islam, (Solo, Tiga Serangkai) hal 118
[4] Forum Guru Bina PAI Madrasah Aliyah, Sejarah Kebudayaan Islam, (Sragen, CV. Akik Pusaka), hal 43
[5] http://id.wikipedia.org/wiki/Bani_Abbasiyah (diakses tgl 9-11-2011)
[6] Forum Guru Bina PAI Madrasah Aliyah, Sejarah Kebudayaan Islam, (Sragen, CV. Akik Pusaka), hal 40
[7] Forum Guru Bina PAI Madrasah Aliyah, Sejarah Kebudayaan Islam, (Sragen, CV. Akik Pusaka), hal 39
[8] Termasuk ke dalam tokoh yang mengembangkan ilmu tasawuf.
[9] Sejarah Kebudayaan Islam untuk Madrasah Aliyah (Solo, Tiga Serangkai) hal 40
[10] http://id.wikipedia.org/wiki/Bani_Abbasiyah (diakses tgl 9-11-2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar