Hubungan antara Nusantara dengan Timur Tengah melibatkan sejarah yang begitu panjang, yang dapat dilacak sampai ke masa yang sangat tua (antiquity). Kontak yang paling awal antara kedua wilayah ini khususnya berkaitan dengan perdagangan, bahkan bermula sejak masa Phunisia dan Saba.[1] Memang, hubungan antara keduanya pada masa beberapa waktu sebelum kedatangan Islam dan masa awal Islam terutama merupakan hasil dari perdagangan Arab dan Persia dengan Dinasti Cina. Agaknya, kapal-kapal Arab dan Persia yang datang ke Cina melakukan pengembangan pula di Nusantara jauh sebelum Islam menjadi nyata di bagian manapun di Nusantara.
Tapi disini kita tidak akan
membahas hubungan dagang diantara kedua wilayah ini pada masa pra-Islam,
tetapi akan memusatkan perhatian pada berbagai macam kontak dan
hubungan – bukan hanya perdagangan – setelah kebangkitan Islam di Timur
Tengah.Pengenalan dan penyebaran Islam di pesisir pantai anak Benua India
terbukti merangsang tidak hanya hubungan dagang antara Timur Tengah
dengan Nusantara, tetapi juga berbagai bentuk hubungan dan pertukaran (exchanges) keagamaan, sosial, politik, dan kebudayaan.
II. Timur Tengah, Cina dan Nusantara
Riwayat-riwayat yang paling awal tentang hubungan antara Timur Tengah dengan Nusantara diberikan sumber-sumber Cina dan Arab. Bahwa terdapat banyak riwayat tentang Nusantara ditulis sejarawan Arab semacam al-Ya’qubi, Abu Zayd atau al-Maududi, tetapi mereka kebanyakannya berdasarkan pada cerita-cerita para pelayar Arab yang lebih tertarik pada hal-hal yang aneh daripada kondisi riil bagian-bagian Nusantara yang mereka singgahi. Untungnya, para pengembara lebih belakang – yang paling terkenal diantara mereka adalah Ibn Bathuthah – meninggalkan deskripsi yang dipandang jauh lebih akurat dan autentik, meski sejumlah nama tempat yang mereka sebut di Nusantara sulit diidentifikasi.
Mempertimbangkan tingginya intensitas hubungan antara muslim Timur Tengah dengan Timur Jauh, dan mengingat terdapatnya pemukiman-pemukiman muslim di Cina, wajar mengasumsikan bahwa muslim Timur Tengah cukup mengetahui tentang Nusantara. Cukup wajar pula menyatakan, muslim Timur Tengah ini menjadikan pelabuhan-pelabuhan tertentu di Nusantara sebagai tempat persinggahan. Dan ini disokong oleh riwayat-riwayat berikut.
Kehadiran muslim Timur Tengah – kebanyakan Arab dan Persia – di Nusantara pada masa-masa awal ini pertama kali disebutkan oleh agamawan dan pengembara terkenal Cina, I-Tsing, ketika ia pada 51/671, dengan menumpang kapal Arab dan Persia dari Kanton berlabuh di pelabuhan di Muara Sungai Bhoga (atau Sribhoga, atau Sribuza, sekarang Musi). Sribuza, sebagaimana diketahui, telah diidentifikasi banyak sarjana modern sebagai Palembang, ibukota kerajaan Budha Sriwijaya.[2]
Kerajaan Sribuza atau Sriwijaya (atau sering juga diidentikkan dengan Zabaj), atau yang disebut sumber-sumber Arab sebagai “al-Mamkalat al-Maharaja” (‘kerajaan Raja di Raja’), atau yang disebut Shih-li fa-shih atau san-fo chi dalam sumber-sumber Cina, mulai menanjak pada paruh kedua abad ke-7 yang kekuasaannya malang melintang hampir di seluruh Sumatra, semenanjung Malaya, dan Jawa sampai lima abad kemudian. Dalam kebanyakan periode ini, kerajaan Sriwijaya memainkan peran penting sebagai perantara dalam perdagangan Nusantara, dan ibukotanya Palembang, menjadi entrepot terpenting di kawasan ini. Mengingat pentingnya posisi Sriwijaya ini, penulis kronik Cina, Chou Ch’ufei, dalam Ling-Wai-Tai-Ta di tulis pada 1178, meriwayatkan :
Sriwijaya terletak di Nan-Hai (lautan selatan). Ia merupakan pusat perdagangan penting diantara berbagai negeri asing. Sebelah timur terdapat negeri-negeri Jawa, (sedangkan) di sebelah barat terdapat Ta-Shih (Arabia), Ku-Lin (Kun-Lun, pulau-pulau selatan umumnya), dan sebagainya. Tidak ada negeri manapun yang dapat sampai ke Cina tanpa melewati wilayahnya (Sriwijaya).[3]
Tak kurang pentingnya, menurut sumber-sumber Cina, Sriwijaya juga merupakan pusat terkemuka keilmuan Budha di Nusantara. Banyak penuntut ilmu dan penziarah Budha bermukim di Sriwijaya selama bertahun-tahun; mempelajari dan menerjemahkan teks-teks keagamaan, menjelang keberangkatan mereka ke pusat-pusat keilmuan dan keagamaan Budha di India. I-Tsing, yang menghabiskan beberapa tahun di Palembang dalam perjalanannya menuju ke dan kembali dari India, merekomendasikan Sriwijaya sebagai pusat keilmuan Budha yang baik bagi para penuntut ilmu agama ini sebelum mereka terus menuju India untuk melanjutkan pelajaran mereka. Sedangkan bukti-bukti historis bagi hubungan-hubungan politik dan diplomatik internasional Sriwijaya tidak hanya diberikan sumber-sumber Arab, yang walaupun fragmentaris tetapi memberikan sejumlah informasi tentang hal ini. Sumber-sumber Arab ini, yang telah dibahas secara panjang lebar oleh Fatimi, antara lain, adalah dua pucuk surat yang mengandung bukti kuat dikirim oleh Maharaja Sriwijaya kepada dua khalifah di Timur Tengah.
Surat pertama, atau tepatnya bagian pendahuluan surat, dikutip oleh al-Jahizh (Amr al-Bahr, 163-225/783/869) yang terkenal itu dalam karyanya Kitab al-Hayawan,[4] atas dasar otoritas tiga ‘isnad yang terpercaya. Al-Jahizh mendengar berita tentang surat Maharaja yang ditujukan kepada khalifah Mu’awiyah (41/661) dari Al-Haytsam bin Adi (114-207/732-882) yang mendengar tentangnya dari Abu Ya’qub al-Tsaqofi, yang pada gilirannya mendengar tentang surat itu dari Abd al-Malik bin Umayr (33-136/653-753) yang melihat surat itu pada diwan (sekretaris) Mu’awiyah itu, sehingga kita tak tahu isi sebenarnya surat tersebut. Tetapi pendahuluan surat itu mempunyai gaya tipikal surat-surat resmi penguasa Nusantara.[5] Setelah mengemukakan ‘isnad yang disebutkan tadi, Al-Jahizh meriwayatkan pembukaan surat tersebut :
(Dari Raja al-Hind – atau tepatnya kepulauan India) yang kadang binatangnya berisikan seribu gajah, (dan) yang istananya terbuat dari emas dan perak, yang dilayani seribu putri raja-raja, dan yang memiliki dua sungai besar (Batanghari dan Musi), yang mengairi pohon gaharu (al-Des), kepada Muawiyah……..[6]
Surat kedua, yang mempunyai nada yang sama, jauh lebih lengkap. Baik pembukaan dan isi surat itu diselamatkan oleh Ibn Abd al-Rabbih (246-329/860-940) dalam karyanya al-Iqd al-Farid. Surat yang dialamatkan kepada khalifah Umar bin Abdul al-Aziz (99-102/717-720).
Meski terdapat cukup banyak pedagang muslim Arab atau Persia di Nusantara dalam sejumlah kasus di atas diangkat penguasa-penguasa Nusantara sebagai duta ke Cina – harus diakui bahwa pengetahuan muslim Timur Tengah tentang Nusantara, tetapi mereka tampaknya lebih tertarik pada data geografis dan navigasi ketimbang pada informasi tentang kondisi sosial, keagamaan dan antropologis penduduk nusantara. Karena itu kebanyakan merupakan karya-karya geografis dan nautik. Riwayat-riwayat para pengembara yang memberikan informasi lainnya jarang ditemukan. Jika ada riwayat lain sampai ke tangan kita, maka sulit sekali untuk dikatakan orisinil; kebanyakannya dikumpulkan dari informasi-informasi terpencar-pencar yang berasal dari berbagai kurun waktu yang berbeda. Dalam banyak kasus, komplikasi-komplikasi ini kemudian dikopi oleh banyak penulis, yang sering memberikan tambahan-tambahan atau membuang informasi tertentu dari riwayat-riwayat lebih awal, yang sebenarnya menjadi tulisan mereka sendiri.
II. Timur Tengah, Cina dan Nusantara
Riwayat-riwayat yang paling awal tentang hubungan antara Timur Tengah dengan Nusantara diberikan sumber-sumber Cina dan Arab. Bahwa terdapat banyak riwayat tentang Nusantara ditulis sejarawan Arab semacam al-Ya’qubi, Abu Zayd atau al-Maududi, tetapi mereka kebanyakannya berdasarkan pada cerita-cerita para pelayar Arab yang lebih tertarik pada hal-hal yang aneh daripada kondisi riil bagian-bagian Nusantara yang mereka singgahi. Untungnya, para pengembara lebih belakang – yang paling terkenal diantara mereka adalah Ibn Bathuthah – meninggalkan deskripsi yang dipandang jauh lebih akurat dan autentik, meski sejumlah nama tempat yang mereka sebut di Nusantara sulit diidentifikasi.
Mempertimbangkan tingginya intensitas hubungan antara muslim Timur Tengah dengan Timur Jauh, dan mengingat terdapatnya pemukiman-pemukiman muslim di Cina, wajar mengasumsikan bahwa muslim Timur Tengah cukup mengetahui tentang Nusantara. Cukup wajar pula menyatakan, muslim Timur Tengah ini menjadikan pelabuhan-pelabuhan tertentu di Nusantara sebagai tempat persinggahan. Dan ini disokong oleh riwayat-riwayat berikut.
Kehadiran muslim Timur Tengah – kebanyakan Arab dan Persia – di Nusantara pada masa-masa awal ini pertama kali disebutkan oleh agamawan dan pengembara terkenal Cina, I-Tsing, ketika ia pada 51/671, dengan menumpang kapal Arab dan Persia dari Kanton berlabuh di pelabuhan di Muara Sungai Bhoga (atau Sribhoga, atau Sribuza, sekarang Musi). Sribuza, sebagaimana diketahui, telah diidentifikasi banyak sarjana modern sebagai Palembang, ibukota kerajaan Budha Sriwijaya.[2]
Kerajaan Sribuza atau Sriwijaya (atau sering juga diidentikkan dengan Zabaj), atau yang disebut sumber-sumber Arab sebagai “al-Mamkalat al-Maharaja” (‘kerajaan Raja di Raja’), atau yang disebut Shih-li fa-shih atau san-fo chi dalam sumber-sumber Cina, mulai menanjak pada paruh kedua abad ke-7 yang kekuasaannya malang melintang hampir di seluruh Sumatra, semenanjung Malaya, dan Jawa sampai lima abad kemudian. Dalam kebanyakan periode ini, kerajaan Sriwijaya memainkan peran penting sebagai perantara dalam perdagangan Nusantara, dan ibukotanya Palembang, menjadi entrepot terpenting di kawasan ini. Mengingat pentingnya posisi Sriwijaya ini, penulis kronik Cina, Chou Ch’ufei, dalam Ling-Wai-Tai-Ta di tulis pada 1178, meriwayatkan :
Sriwijaya terletak di Nan-Hai (lautan selatan). Ia merupakan pusat perdagangan penting diantara berbagai negeri asing. Sebelah timur terdapat negeri-negeri Jawa, (sedangkan) di sebelah barat terdapat Ta-Shih (Arabia), Ku-Lin (Kun-Lun, pulau-pulau selatan umumnya), dan sebagainya. Tidak ada negeri manapun yang dapat sampai ke Cina tanpa melewati wilayahnya (Sriwijaya).[3]
Tak kurang pentingnya, menurut sumber-sumber Cina, Sriwijaya juga merupakan pusat terkemuka keilmuan Budha di Nusantara. Banyak penuntut ilmu dan penziarah Budha bermukim di Sriwijaya selama bertahun-tahun; mempelajari dan menerjemahkan teks-teks keagamaan, menjelang keberangkatan mereka ke pusat-pusat keilmuan dan keagamaan Budha di India. I-Tsing, yang menghabiskan beberapa tahun di Palembang dalam perjalanannya menuju ke dan kembali dari India, merekomendasikan Sriwijaya sebagai pusat keilmuan Budha yang baik bagi para penuntut ilmu agama ini sebelum mereka terus menuju India untuk melanjutkan pelajaran mereka. Sedangkan bukti-bukti historis bagi hubungan-hubungan politik dan diplomatik internasional Sriwijaya tidak hanya diberikan sumber-sumber Arab, yang walaupun fragmentaris tetapi memberikan sejumlah informasi tentang hal ini. Sumber-sumber Arab ini, yang telah dibahas secara panjang lebar oleh Fatimi, antara lain, adalah dua pucuk surat yang mengandung bukti kuat dikirim oleh Maharaja Sriwijaya kepada dua khalifah di Timur Tengah.
Surat pertama, atau tepatnya bagian pendahuluan surat, dikutip oleh al-Jahizh (Amr al-Bahr, 163-225/783/869) yang terkenal itu dalam karyanya Kitab al-Hayawan,[4] atas dasar otoritas tiga ‘isnad yang terpercaya. Al-Jahizh mendengar berita tentang surat Maharaja yang ditujukan kepada khalifah Mu’awiyah (41/661) dari Al-Haytsam bin Adi (114-207/732-882) yang mendengar tentangnya dari Abu Ya’qub al-Tsaqofi, yang pada gilirannya mendengar tentang surat itu dari Abd al-Malik bin Umayr (33-136/653-753) yang melihat surat itu pada diwan (sekretaris) Mu’awiyah itu, sehingga kita tak tahu isi sebenarnya surat tersebut. Tetapi pendahuluan surat itu mempunyai gaya tipikal surat-surat resmi penguasa Nusantara.[5] Setelah mengemukakan ‘isnad yang disebutkan tadi, Al-Jahizh meriwayatkan pembukaan surat tersebut :
(Dari Raja al-Hind – atau tepatnya kepulauan India) yang kadang binatangnya berisikan seribu gajah, (dan) yang istananya terbuat dari emas dan perak, yang dilayani seribu putri raja-raja, dan yang memiliki dua sungai besar (Batanghari dan Musi), yang mengairi pohon gaharu (al-Des), kepada Muawiyah……..[6]
Surat kedua, yang mempunyai nada yang sama, jauh lebih lengkap. Baik pembukaan dan isi surat itu diselamatkan oleh Ibn Abd al-Rabbih (246-329/860-940) dalam karyanya al-Iqd al-Farid. Surat yang dialamatkan kepada khalifah Umar bin Abdul al-Aziz (99-102/717-720).
Meski terdapat cukup banyak pedagang muslim Arab atau Persia di Nusantara dalam sejumlah kasus di atas diangkat penguasa-penguasa Nusantara sebagai duta ke Cina – harus diakui bahwa pengetahuan muslim Timur Tengah tentang Nusantara, tetapi mereka tampaknya lebih tertarik pada data geografis dan navigasi ketimbang pada informasi tentang kondisi sosial, keagamaan dan antropologis penduduk nusantara. Karena itu kebanyakan merupakan karya-karya geografis dan nautik. Riwayat-riwayat para pengembara yang memberikan informasi lainnya jarang ditemukan. Jika ada riwayat lain sampai ke tangan kita, maka sulit sekali untuk dikatakan orisinil; kebanyakannya dikumpulkan dari informasi-informasi terpencar-pencar yang berasal dari berbagai kurun waktu yang berbeda. Dalam banyak kasus, komplikasi-komplikasi ini kemudian dikopi oleh banyak penulis, yang sering memberikan tambahan-tambahan atau membuang informasi tertentu dari riwayat-riwayat lebih awal, yang sebenarnya menjadi tulisan mereka sendiri.
III. “Benua Ruhum” dan Nusantara
Kebangkitan beberapa kerajaan
muslim di nusantara sejak abad ke-13, tak ragu lagi, menciptakan
momentum baru bagi hubungan-hubungan politik, agama antara timur tengah
dengan nusantara. Kita telah mengutip di depan beberapa riwayat historis
Melayu-Indonesia yang menyatakan tentang semakin meningkatnya kehadiran
para penyiar agama Islam, khususnya asal Arab yang menyebarkan Islam
kepada penduduk pribumi Nusantara. Perkembangan lebih belakangan ini
menunjukkan kontras dengan fenomena sebelumnya; jika dalam masa
sebelumnya muslim Arab dan Persia
memusatkan kegiatan-kegiatan mereka pada perdagangan, sebaliknya sejak
menjelang akhir abad ke-12 mereka mulai memberikan perhatian khusus pada
usaha-usaha penyebaran Islam di Nusantara.
Pergeseran-pergeseran dalam kegiatan-kegiatan ini tidak hanya disebabkan perubahan-perubahan politik agama di Timur Tengah sendiri, seperti di catat di akhir bagian di atas, tetapi juga oleh kemerosotan perdagangan di Nusantara sebagai akibat kemunduran kekuasaan Sriwijaya, khususnya sejak menjelang akhir abad ke-12.[7] Selain itu, kemunduran Sriwijaya disamping disebabkan faktor-faktor internal, juga berkaitan dengan kebangkitan kerajaan-kerajaan baru di Jawa, seperti kerajaan Kediri. Terlepas dari faktor-faktor penyebabnya, dampak kemunduran Sriwijaya terhadap perdagangan di Nusantara sangat besar. Dalam upaya meningkatkan kembali pendapatan negara yang terus merosot, para penguasa Sriwijaya menempuh kebijakan ekonomi dan perdagangan yang monopolistik, mengenakan bea yang besar terhadap kapal-kapal asing, dan memaksa para pedagang asing membayar denda yang berat jika mereka berusaha berdagang di pelabuhan-pelabuhan lain di Nusantara, sebagai konsekuensinya para pedagang asing, khususnya pedagang-pedagang muslim Arab dan Persia, kini menghadapi kesulitan dan gangguan berat dalam perdagangan mereka.[8
Sehingga tak heran kalau para pedagang Arab dan Persia ini mengalihkan kegiatan-kegiatan dagang mereka ke tempat-tempat lain di Nusantara. Selain itu, mereka mulai mengambil bagian lebih aktif dalam penyebaran Islam. Hasilnya, bentuk-bentuk hubungan baru yang lebih akrab antara Timur Tengah dan Nusantara juga mulai muncul; hubungan yang diperkuat dengan tali agama yang kini dengan cepat berkembang. Hubungan dagang tentu saja tidak ditinggalkan; sebaliknya hubungan dalam bidang ini diperkuat dengan pembentukan hubungan-hubungan religio-kultural, yang selanjutnya diikuti oleh hubungan dalam bidang-bidang lain, khususnya dalam bidang politik. Sedangkan para penguasa muslim di Sumatra dan Semenanjung Malaya tempat Islam pertama kali menancapkan akar kuatnya, sering mengasosiasikan diri mereka dengan kekuasaan-kekuasaan politik besar di Timur Tengah. Di Minangkabau, misalnya, menurut tambo (riwayat pseudo historis lokal), Alam Minangkabau tercipta dari “Nur Muhammad” bersamaan dengan dua alam lainnya, masing-masing “Benua Ruhum” (secara harfiah, Benua Roma, yakni Turki Utsmani) – pemegang hegemoni kekuasaan wilayah Barat; dan “Benua Cina”, pemegang hegemoni kekuasaan wilayah Timur.[9]
Konsepsi tentang penciptaan Alam Minangkabau jelas dipengaruhi teori emanasi dalam filsafat Islam dan tasawuf. Ini memperkuat argumen kita terdahulu, bahwa Islam yang pertama kali berkembang di Nusantara adalah Islam yang dibawa kaum sufi, tegasnya Islam yang sangat dipengaruhi konsepsi-konsepsi tasawuf. Tetapi, apa yang lebih penting disini adalah penguasa Alam Minangkabau yang, menurut Marsden, menyebut diri sendiri “Aour Allum Maharaja Diraja”, dipercayai merupakan adik laki-laki Sultan “Ruhum” (atau Rum), yang disebut sebagai “Maharaja Alief”. Jadi orang Minangkabau percaya bahwa penguasa pertama mereka adalah keturunan Khalifah Rum (Utsmani) yang ditugaskan untuk menjadi Syarif di wilayah tersebut.[10]
Mulai masa ini, supremasi politik dan kultural Rum (Turki Utsmani) disebarkan ke berbagai wilayah Dunia Muslim, termasuk Nusantara. Jangkauan supremasi kultural itu ke Nusantara, misalnya, tercermin dalam penyebaran sejumlah perbandingan kata bahasa Turki dalam bahasa-bahasa lokal tertentu di Nusantara.[11] Karena itu, lebih masuk akal mengasumsikan, adalah setelah paruh kedua abad ke-15 kaum Muslim Nusantara mulai mengidentifikasi “Raja Rum” dengan Sultan Utsmani, tidak ada pada abad ke-16 – seperti diusulkan Reid – ketika hubungan-hubungan politik dan diplomatik mulai terbina antara Dinasti Utsmani dengan negara-negara Muslim tertentu di Nusantara.[12]
Dinasti Utsmani mulai membuat kekuasaannya terasa secara politik dan militer di kawasan Lautan India pada awal abad ke-16. Dengan kemunduran relatif perdagangan Arab sepanjang abad yang sama, para pedagang Turki bersama para pedagang Persia, muncul memainkan peranan penting dalam perdagangan di Lautan India.
Perkembangan ini jelas mendorong kerajaan-kerajaan Muslim di Nusantara mengambil peran lebih aktif dalam perdagangan maritime. Ini kemudian tidak hanya menciptakan hubungan dagang lebih erat, tetapi juga hubungan politik dan keagamaan, dengan Dinasti Utsmani. Menjelang awal abad ke-16, perahu-perahu dari Malaka, misalnya, berpartisipasi aktif dalam perdagangan dengan pantai Coromandel dan Srilanka; sayangnya tak terdapat bukti bahwa mereka ini berlayar lebih jauh ke arah barat.[13] Bahkan, jauh sebelum berpartisipasi dalam perdagangan ini, pada masa kekuasaan Sultan Muzhaffar Syah (848-862/144-156), kemasyhuran Malaka sampai terdengar pula di Asia Barat. Menurut Pires, para penguasa Aden, Hormuz, Cambay, dan Bengal mengirim surat-surat dan hadiah-hadiah ke Malaka, dan sekaligus mendorong pedagang-pedagang mereka berdagang dan bermukim di sana.[14] Tetapi, kelihatannya hubungan-hubungan yang terdapat diantara mereka ini lebih bersifat dagang dan keagamaan ketimbang politik.
Setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis, Kesultanan Aceh tampil mengambil andil terpenting dalam partisipasi Nusantara pada perdagangan rempah-rempah di Lautan India.
Hubungan paling erat antara sebuah kerajaan Muslim Nusantara dengan Dinasti Utsmani dibina oleh kesultanan Aceh. Seperti disyaratkan terdahulu, persekutuan tidak resmi diantara kedua kerajaan ini telah terjalin setidaknya sejak tahun-tahun terakhir 1530-an. Hubungan mereka jelas sangat diwarnai solidaritas keagamaan dalam menghadapi kaum kafir Portugis yang sejak 1521 menguasai pelabuhan Pasai. Sultan Ali Mughayat Syah (berkuasa 916-936/1511-153), tanpa bantuan Utsmani, berhasil mengusir Portugis dari Pasai pada 932/1524. Tetapi, ketika Sultan Ala al-Din Ri’ayat Syah al-Qahhar naik tahta pada 943/1537, ia kelihatan menyadari kebutuhan Aceh akan sekutu yang kuat, tidak hanya untuk mengusir Portugis dari Malaka, tetapi juga untuk memperluas kekuasaannya sendiri di wilayah-wilayah lain, khususnya daerah pedalaman, di Sumatra.[15] Hubungan-hubungan politik dan diplomatik antara Aceh dan Dinasti Utsmani dalam periode pembahasan kita jelas fluktuasi; turun naik sesuai dengan perkembangan politik Aceh. Tak terdapat duta-duta tetap di ibukota masing-masing negara. Setelah bertahun-tahun mengalami kemunduran, hubungan Aceh dengan Dinasti Utsmani kembali dibangkitkan oleh Sultan Iskandar Muda (1016-1046/1607-1636) yang terkenal itu. Menurut sumber-sumber Aceh, sultan besar ini mengirimkan armada kecil yang terdiri dari tiga kapal, yang mencapai Istanbul setelah dua setengah tahun pelayaran – melalui Tanjung Pengharapan. Ketika dua misi ini kembali ke Aceh, mereka diberi bantuan sejumlah senjata, 12 pakar militer, dan sepucuk surat yang merupakan keputusan Dinasti Utsmani tentang persahabatan diantara kedua negara dan sekaligus menegaskan hubungan diplomatik yang pernah terjalin di masa sebelumnya. Kedua belas pakar militer, disebut “pahlawan” di Aceh”, dikatakan begitu ahli sehingga mampu membantu Sultan Iskandar Muda tidak hanya membangun benteng tangguh di Banda Aceh, tetapi juga istana kesultanan.[16] Sebuah hikayat Aceh juga meriwayatkan kedatangan suatu misi Turki di Aceh untuk mendapatkan balsem tradisional Aceh guna mengobati Sultan Muhammad III (1003-1012/1595-1605) yang sedang sakit di Istanbul. Ketika misi Utsmani ini sampai ke Aceh, Sultan Aceh sedang memimpin perang terhadap Deli. Ketika kembali ke Aceh, tak ayal lagi ia menerima misi Turki dengan penuh kehormatan. Tatkala misi ini kembali ke Turki, mereka segera melaporkan kebesaran Aceh, yang juga dibenarkan oleh Pasya Yaman. Hasilnya, Sultan Rum, konon, mengeluarkan pernyataan bahwa terdapat dua raja besar di muka bumi ini : di Barat penguasa Turki, dan di Timur adalah penguasa Aceh. Berita tentang kembalinya misi Turki dan pernyataan Sultan Rum tadi disampaikan melalui jamaah haji Aceh yang meneruskannya kepada Syaikh Syams al-Din al-Sumatrani.[17]
Pergeseran-pergeseran dalam kegiatan-kegiatan ini tidak hanya disebabkan perubahan-perubahan politik agama di Timur Tengah sendiri, seperti di catat di akhir bagian di atas, tetapi juga oleh kemerosotan perdagangan di Nusantara sebagai akibat kemunduran kekuasaan Sriwijaya, khususnya sejak menjelang akhir abad ke-12.[7] Selain itu, kemunduran Sriwijaya disamping disebabkan faktor-faktor internal, juga berkaitan dengan kebangkitan kerajaan-kerajaan baru di Jawa, seperti kerajaan Kediri. Terlepas dari faktor-faktor penyebabnya, dampak kemunduran Sriwijaya terhadap perdagangan di Nusantara sangat besar. Dalam upaya meningkatkan kembali pendapatan negara yang terus merosot, para penguasa Sriwijaya menempuh kebijakan ekonomi dan perdagangan yang monopolistik, mengenakan bea yang besar terhadap kapal-kapal asing, dan memaksa para pedagang asing membayar denda yang berat jika mereka berusaha berdagang di pelabuhan-pelabuhan lain di Nusantara, sebagai konsekuensinya para pedagang asing, khususnya pedagang-pedagang muslim Arab dan Persia, kini menghadapi kesulitan dan gangguan berat dalam perdagangan mereka.[8
Sehingga tak heran kalau para pedagang Arab dan Persia ini mengalihkan kegiatan-kegiatan dagang mereka ke tempat-tempat lain di Nusantara. Selain itu, mereka mulai mengambil bagian lebih aktif dalam penyebaran Islam. Hasilnya, bentuk-bentuk hubungan baru yang lebih akrab antara Timur Tengah dan Nusantara juga mulai muncul; hubungan yang diperkuat dengan tali agama yang kini dengan cepat berkembang. Hubungan dagang tentu saja tidak ditinggalkan; sebaliknya hubungan dalam bidang ini diperkuat dengan pembentukan hubungan-hubungan religio-kultural, yang selanjutnya diikuti oleh hubungan dalam bidang-bidang lain, khususnya dalam bidang politik. Sedangkan para penguasa muslim di Sumatra dan Semenanjung Malaya tempat Islam pertama kali menancapkan akar kuatnya, sering mengasosiasikan diri mereka dengan kekuasaan-kekuasaan politik besar di Timur Tengah. Di Minangkabau, misalnya, menurut tambo (riwayat pseudo historis lokal), Alam Minangkabau tercipta dari “Nur Muhammad” bersamaan dengan dua alam lainnya, masing-masing “Benua Ruhum” (secara harfiah, Benua Roma, yakni Turki Utsmani) – pemegang hegemoni kekuasaan wilayah Barat; dan “Benua Cina”, pemegang hegemoni kekuasaan wilayah Timur.[9]
Konsepsi tentang penciptaan Alam Minangkabau jelas dipengaruhi teori emanasi dalam filsafat Islam dan tasawuf. Ini memperkuat argumen kita terdahulu, bahwa Islam yang pertama kali berkembang di Nusantara adalah Islam yang dibawa kaum sufi, tegasnya Islam yang sangat dipengaruhi konsepsi-konsepsi tasawuf. Tetapi, apa yang lebih penting disini adalah penguasa Alam Minangkabau yang, menurut Marsden, menyebut diri sendiri “Aour Allum Maharaja Diraja”, dipercayai merupakan adik laki-laki Sultan “Ruhum” (atau Rum), yang disebut sebagai “Maharaja Alief”. Jadi orang Minangkabau percaya bahwa penguasa pertama mereka adalah keturunan Khalifah Rum (Utsmani) yang ditugaskan untuk menjadi Syarif di wilayah tersebut.[10]
Mulai masa ini, supremasi politik dan kultural Rum (Turki Utsmani) disebarkan ke berbagai wilayah Dunia Muslim, termasuk Nusantara. Jangkauan supremasi kultural itu ke Nusantara, misalnya, tercermin dalam penyebaran sejumlah perbandingan kata bahasa Turki dalam bahasa-bahasa lokal tertentu di Nusantara.[11] Karena itu, lebih masuk akal mengasumsikan, adalah setelah paruh kedua abad ke-15 kaum Muslim Nusantara mulai mengidentifikasi “Raja Rum” dengan Sultan Utsmani, tidak ada pada abad ke-16 – seperti diusulkan Reid – ketika hubungan-hubungan politik dan diplomatik mulai terbina antara Dinasti Utsmani dengan negara-negara Muslim tertentu di Nusantara.[12]
Dinasti Utsmani mulai membuat kekuasaannya terasa secara politik dan militer di kawasan Lautan India pada awal abad ke-16. Dengan kemunduran relatif perdagangan Arab sepanjang abad yang sama, para pedagang Turki bersama para pedagang Persia, muncul memainkan peranan penting dalam perdagangan di Lautan India.
Perkembangan ini jelas mendorong kerajaan-kerajaan Muslim di Nusantara mengambil peran lebih aktif dalam perdagangan maritime. Ini kemudian tidak hanya menciptakan hubungan dagang lebih erat, tetapi juga hubungan politik dan keagamaan, dengan Dinasti Utsmani. Menjelang awal abad ke-16, perahu-perahu dari Malaka, misalnya, berpartisipasi aktif dalam perdagangan dengan pantai Coromandel dan Srilanka; sayangnya tak terdapat bukti bahwa mereka ini berlayar lebih jauh ke arah barat.[13] Bahkan, jauh sebelum berpartisipasi dalam perdagangan ini, pada masa kekuasaan Sultan Muzhaffar Syah (848-862/144-156), kemasyhuran Malaka sampai terdengar pula di Asia Barat. Menurut Pires, para penguasa Aden, Hormuz, Cambay, dan Bengal mengirim surat-surat dan hadiah-hadiah ke Malaka, dan sekaligus mendorong pedagang-pedagang mereka berdagang dan bermukim di sana.[14] Tetapi, kelihatannya hubungan-hubungan yang terdapat diantara mereka ini lebih bersifat dagang dan keagamaan ketimbang politik.
Setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis, Kesultanan Aceh tampil mengambil andil terpenting dalam partisipasi Nusantara pada perdagangan rempah-rempah di Lautan India.
Hubungan paling erat antara sebuah kerajaan Muslim Nusantara dengan Dinasti Utsmani dibina oleh kesultanan Aceh. Seperti disyaratkan terdahulu, persekutuan tidak resmi diantara kedua kerajaan ini telah terjalin setidaknya sejak tahun-tahun terakhir 1530-an. Hubungan mereka jelas sangat diwarnai solidaritas keagamaan dalam menghadapi kaum kafir Portugis yang sejak 1521 menguasai pelabuhan Pasai. Sultan Ali Mughayat Syah (berkuasa 916-936/1511-153), tanpa bantuan Utsmani, berhasil mengusir Portugis dari Pasai pada 932/1524. Tetapi, ketika Sultan Ala al-Din Ri’ayat Syah al-Qahhar naik tahta pada 943/1537, ia kelihatan menyadari kebutuhan Aceh akan sekutu yang kuat, tidak hanya untuk mengusir Portugis dari Malaka, tetapi juga untuk memperluas kekuasaannya sendiri di wilayah-wilayah lain, khususnya daerah pedalaman, di Sumatra.[15] Hubungan-hubungan politik dan diplomatik antara Aceh dan Dinasti Utsmani dalam periode pembahasan kita jelas fluktuasi; turun naik sesuai dengan perkembangan politik Aceh. Tak terdapat duta-duta tetap di ibukota masing-masing negara. Setelah bertahun-tahun mengalami kemunduran, hubungan Aceh dengan Dinasti Utsmani kembali dibangkitkan oleh Sultan Iskandar Muda (1016-1046/1607-1636) yang terkenal itu. Menurut sumber-sumber Aceh, sultan besar ini mengirimkan armada kecil yang terdiri dari tiga kapal, yang mencapai Istanbul setelah dua setengah tahun pelayaran – melalui Tanjung Pengharapan. Ketika dua misi ini kembali ke Aceh, mereka diberi bantuan sejumlah senjata, 12 pakar militer, dan sepucuk surat yang merupakan keputusan Dinasti Utsmani tentang persahabatan diantara kedua negara dan sekaligus menegaskan hubungan diplomatik yang pernah terjalin di masa sebelumnya. Kedua belas pakar militer, disebut “pahlawan” di Aceh”, dikatakan begitu ahli sehingga mampu membantu Sultan Iskandar Muda tidak hanya membangun benteng tangguh di Banda Aceh, tetapi juga istana kesultanan.[16] Sebuah hikayat Aceh juga meriwayatkan kedatangan suatu misi Turki di Aceh untuk mendapatkan balsem tradisional Aceh guna mengobati Sultan Muhammad III (1003-1012/1595-1605) yang sedang sakit di Istanbul. Ketika misi Utsmani ini sampai ke Aceh, Sultan Aceh sedang memimpin perang terhadap Deli. Ketika kembali ke Aceh, tak ayal lagi ia menerima misi Turki dengan penuh kehormatan. Tatkala misi ini kembali ke Turki, mereka segera melaporkan kebesaran Aceh, yang juga dibenarkan oleh Pasya Yaman. Hasilnya, Sultan Rum, konon, mengeluarkan pernyataan bahwa terdapat dua raja besar di muka bumi ini : di Barat penguasa Turki, dan di Timur adalah penguasa Aceh. Berita tentang kembalinya misi Turki dan pernyataan Sultan Rum tadi disampaikan melalui jamaah haji Aceh yang meneruskannya kepada Syaikh Syams al-Din al-Sumatrani.[17]
IV. Makkah dan Madinah : Hubungan dengan Nusantara
Hubungan
antara kerajaan-kerajaan Nusantara dengan Timur Tengah tidak terbatas
pada Dinasti Utsmani. Aceh, misalnya, juga menjalin hubungan dengan
pusat keagamaan Islam, yakni Makkah dan Madinah. Meski hubungan ini
lebih bersifat keagamaan ketimbang politik, penting dicatat bahwa
hubungan penguasa Aceh dengan penguasa Haramayn mempunyai implikasi
politik yang penting bagi Aceh.
Aceh memang pengecualian istimewa, sejauh menyangkut hubungan dengan Timur Tengah. Tidak ada negara lain di Nusantara yang mempunyai hubungan-hubungan politik dan diplomatik yang begitu intens dengan Dinasti Utsmani. Tetapi penting dicatat, banyak negara muslim di Nusantara sejak abad ke-17 berada dalam hubungan yang konstan dengan Hijaz. Pada 1048/1638 penguasa Banten di Jawa Barat, Abd al-Qadir (berkuasa 1037-1063/1626-1651), mendapat gelar sultan dari Syarif Makkah sebagai hasil misi khusus yang dikirimkannya ke Tanah Suci. Sultan Banten ini juga menerima “bendera dan pakaian suci dan apa yang dipercayai sebagai bekas sejak kaki Nabi” dari penguasa Haramayn. Semua pemberian Syarif Makkah ini diarak dalam prosesi sekeliling kota Banten pada kesempatan peringatan Maulid Nabi.[18] Selanjutnya, pertukaran surat menyurat dan hadiah diantara istana Banten dengan penguasa Haramayn terus berlangsung sampai menjelang akhir abad ke-17.
V. Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa hubungan-hubungan antara Timur Tengah dan Nusantara sejak kebangkitan Islam sampai paruh kedua abad ke-17 menempuh beberapa fase dan juga mengambil beberapa bentuk. Dalam fase pertama, kasarnya sejak akhir abad ke-8 sampai abad ke-12, hubungan-hubungan yang ada pada umumnya berkenaan dengan perdagangan. Inisiatif dalam hubungan-hubungan semacam ini kebanyakan diprakarsai Muslim Timur Tengah, khususnya Arab dan Persia. Dalam fase berikutnya, sampai akhir abad ke-15, hubungan-hubungan antara kedua kawasan mulai mengambil aspek-aspek lebih luas. Muslim Arab dan Persia, apakah pedagang atau pengembara sufi, mulai mengintensifikasikan penyebaran Islam di berbagai wilayah Nusantara. Pada tahap ini hubungan-hubungan keagamaan dan kultural terjalin lebih erat.
Aceh memang pengecualian istimewa, sejauh menyangkut hubungan dengan Timur Tengah. Tidak ada negara lain di Nusantara yang mempunyai hubungan-hubungan politik dan diplomatik yang begitu intens dengan Dinasti Utsmani. Tetapi penting dicatat, banyak negara muslim di Nusantara sejak abad ke-17 berada dalam hubungan yang konstan dengan Hijaz. Pada 1048/1638 penguasa Banten di Jawa Barat, Abd al-Qadir (berkuasa 1037-1063/1626-1651), mendapat gelar sultan dari Syarif Makkah sebagai hasil misi khusus yang dikirimkannya ke Tanah Suci. Sultan Banten ini juga menerima “bendera dan pakaian suci dan apa yang dipercayai sebagai bekas sejak kaki Nabi” dari penguasa Haramayn. Semua pemberian Syarif Makkah ini diarak dalam prosesi sekeliling kota Banten pada kesempatan peringatan Maulid Nabi.[18] Selanjutnya, pertukaran surat menyurat dan hadiah diantara istana Banten dengan penguasa Haramayn terus berlangsung sampai menjelang akhir abad ke-17.
V. Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa hubungan-hubungan antara Timur Tengah dan Nusantara sejak kebangkitan Islam sampai paruh kedua abad ke-17 menempuh beberapa fase dan juga mengambil beberapa bentuk. Dalam fase pertama, kasarnya sejak akhir abad ke-8 sampai abad ke-12, hubungan-hubungan yang ada pada umumnya berkenaan dengan perdagangan. Inisiatif dalam hubungan-hubungan semacam ini kebanyakan diprakarsai Muslim Timur Tengah, khususnya Arab dan Persia. Dalam fase berikutnya, sampai akhir abad ke-15, hubungan-hubungan antara kedua kawasan mulai mengambil aspek-aspek lebih luas. Muslim Arab dan Persia, apakah pedagang atau pengembara sufi, mulai mengintensifikasikan penyebaran Islam di berbagai wilayah Nusantara. Pada tahap ini hubungan-hubungan keagamaan dan kultural terjalin lebih erat.
DAFTAR PUSTAKA
T. Braddell, The Ancient Trade and The Indian Archipelago, JIAEA: II New Series 1857.
I-Tsing, A Record of the Buddhist Religion as Practiced in India and the Malay Archipelago, terj. J. Takakusu, Oxford : Claredon Press, 1896
Al-Jahizh, Kitab al-Hayawan, peny. Abd al-Salam M. Harun, Kairo : 1344-1358/1925-1939.
Sir William Foster (peny.), The Voyage of Thomas Best to The East Indies 1612, London : Hakluyt, 1934.
Datuk Sangguna Dirajo, Mustika Adat Minangkabau, Djakarta : Kementerian P.P. & K, 1955.
W. Marsden, The History of Sumatra, London : Thomas Paine & Sons, 1783.
H.A.R Gibb dan H. Bowen, Islamic Society and West, 2 Jilid, Oxford University Press, 1957.
Tome Piras, The Sumatra Oriental of Time Pires, Sun & terj. Armanda Coresao, London : Hakkuyt, 1944.
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Jakarta : Kencana, 2004.
R.H. Djajadinigrat, Kasultanan Aceh, terj. T. Hamid, Banda Aceh: Departemen P&K. 1984.
[1] T. Braddell, Esq, “The Ancient Trade and The Indian Archipelago”, JIAEA, II New Series (1857), 237-277; G.R. Tibbetts, “Pre-Islamic Arabia and South-East Asia”, JMBRAS, 29, III (1956), 182-208; Hadi Hasan, A History of Persian Navigation, London : Methuen, 1928; G.E Hourani, Arab Seafaring in The Indian Ocean in Ancient and Early Medieval Times, Beirut : Khayyats, 1963.
[2] I-Tsing (634-713), A Record of the Buddhist Religion as Practiced in India and the Malay Archipelago, terj. J. Takakusu, Oxford
: Claredon Press, 1896, XXXIV. Riwayat lengkap I-Tsing tentang Sriboga
dengan anotasi dari Takakusu terdapat pada XI-XIVI. lihat pula, Hourani,
Arab Seafaring, 62; Hasan, Persian Navigation, 119-120.
[3] Dikutip dalam Nakahara, “Muslim Menchants”, 3.
[4] Al-Jahizh, Kitab al-Hayawan, peny. Abd al-Salam M. Harun, Kairo : 1344-1358/1925-1939, VII, 113.
[5] Surat dengan gaya berbunga-bunga yang sama juga ditemukan dalam sepucuk surat
yang dikirimkan Sultan Iskandar Muda kepada Raja James I dari Inggris
pada 1022/1613 : “Paduka Siree Sultan, Raja Dirajam terkenal karena
peperangan yang dilakukannya, dan raja satu-satunya di Sumatra;
dan seorang raja yang lebih termasyhur dari pendahulu-pendahulunya yang
ditakuti di kerajaannya dan dihormati di seluruh bangsa-bangsa yang
berbatasan. Dalam dirinya terdapat citra sebenarnya dari seorang raja,
yang dalam dirinya berkuasa cara pemerintahan yang sebenarnya; yang
istananya terbentuk dari besi yang paling murni dan dihiasi dengan
warna-warni yang paling indah; yang tahtanya tinggi dan paling lengkap,
seperti sungai bening, murni, dan jernih-seperti beningnya gelas; dari
dirinya mengalir uap murni kemakmuran dan keadilan; yang kehadirannya
seperti emas yang murni…….”. untuk teks selengkapnya, lihat, Sir William
Foster (peny.), The Voyage of Thomas Best to The East Indies 1612-12, London : Hakluyt, 1934, 211-212.
Untuk surat
lain kepada penguasa Inggris dan teks Melayu aslinya dalam aksara Arab,
lihat W.G. Shellabear, “An Account of Some Oldest Malay MSS Now
Extant”, JRAS, 31 (1898), 107-130. Lagi-lagi, gaya yang sama terdapat
dalam surat Iskandar Muda tertanggal 27 Juni 1621 yang dialamatkan
kepada Raja Prancis : “Surat dari Sri Agung Sultan, penakluk, dengan
pertolongan Tuhan, beberapa kerajaan; Raja Aceh, dan dengan rahmat
Tuhan, seluruh negeri yang terletak ke arah Timur dan Barat……. Untuk
disampaikan kepada Raja Prancis yang besar dan agung………”. Teks lengkap surat
ini diberikan dalam (Beaulieu), “The Expedition of Commodore Beaulieu
to The East Indies (1619-1622), Drawn by Himself”, terj. M. Thevenot,
dalam navigatum atque Intinerantium Bibliotheca or a Complete Collection
of Voyages and Travels, edisi revisi dari edisi pertama diterbitkan J.
Harris (1705) 2 jilid, London : 1744, 1, 736.
[6] Fatimi, “The Letters”, 121. Tentang sumber-sumber Arab, lihat, D.W. Walters, The Fall of Sriwijaya in Malay History, Ithaca, N.Y : Cornell University Press, 1967, 1-8.
[7] Coedes, The Indianized States, 178-180.
[8] M.A.P. Meilink-Roelofsz, Asian Trade and European Influence in the Indonesia Archipelago, Den Hag: Nijhoff, 1962, 16-8; Rita Rose di Meglio, “Arab Trade with Indonesia and the Malay Peninsula from the 8th Century, dalam D.S Richards (peny.), Islam and the Trade of Asia,
Philadelphia: Bruno Cassier & University of Pennsylvania Press,
1970, 114-115. Untuk sejarah lengkap Sriwijaya, lihat, Nilakanta Sastri, History of Sri Vijaya, Madras: 1949; QW. Wolters, Early Indonesian Commerce: A History of Sriwijaya, Ithaca, N.Y: Cornell University Press, 1967; The Falla of Sriwijaya, “Studying Sriwijaya”, JMBRAS, 52, II (1079), 1-32.
[9] Lihat Datuk Sangguna Dirajo, Mustika Adat Minangkabau, Djakarta : Kementerian P.P. & K, 1955, Taufik Abdullah, “Modernazition in the Minangkabau Word: West Sumatra in the Early Decades of the Twentieth Century, dalam C. Holt (peny.), Culture and Politics in Indonesia, Ithacha, N.Y.: Cornell University Press, 1972, khususnya h. 193-190.
[10] W. Marsden, The History of Sumatra, London : Thomas Paine & Sons, 1783, 272, 283.
[11] Lihat, H.A.R Gibb dan H. Bowen, Islamic Society and West, 2 Jilid, Oxford University Press, 1957, I:1, 216, 234. Bandingkan, M.A.J. Beg. Persian and Turkish Loan Words in Malay, Kuala Lumpur: University of Malaya, 1982, 15, 50-51.
[12] Lihat, A. Reid, “Sixteebsth Century Turkish Influence in Western Indonesia”, dalam Sartono Kartodirdjo (peny.), Profiles Malay Culture, Jakarta: Ministry of Education and Culture, 1976, 107
[13] Lihat, Tome Piras, The Suma Oriental of Time Pires, Sun & terj. Armanda Coresao, London : Hak;uyt, 1944, II, 272.
[14] Ibid., II, 272
[15] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Jakarta : Kencana, 2004, hlm. 41-42.
[16] Zainuddin, Tarich Atjeh, 274-8; Seljuq, “Relations”, 308-9
[17] Lihat T. Iskandar (peny.), Hikayat Atjeh, VKI, 26, Den Hag: Nijhof. 1959, 62-4, 215-42; R.H. Djajadinigrat, Kasultanan Aceh, terj. T. Hamid, Banda Aceh: Departemen P&K. 1984, 46-8; teks hikayat yang beranotasi terdapat pada halaman 117-31.
mantapizin share
BalasHapus