BAB I
PENDAHULUAN
A. Arti Penting Kedua Tokoh Untuk Dibahas Sebagai Materi Makalah.
Eksistensi tuhan dianggap sebagai syarat penting untuk mempercayai dan meyakini akan keesaan tuhan, seperti para filosof-filosof islam yang mencoba memberikan diskripsi ataupun pandangan terhadap eksistensi tuhan.
Eksistensi yang sebenarnya yang ada, tidak akan tidak ada untuk selamanya, bahkan ia selalu ada. Ia adalah pencipta yang maha kuasa, dan maha bijaksana. Para filosof islam mencoba mengkaitkan dengan keesaan akal dan keesaan tuhan. Seperti yang di angkat oleh Al-Kindi dan Ibnu Sina. Yang nantinya menjadi awal tersendiri bagi kemajemukan dan pemahaman para penganut agam di Indonesia khususnya islam di Indonesia. Hasil-hasil pemikiran tentang kemajuan tuhan yang di komparasikan dengan realita-realita yang ada, ”Esa adalah akal yang mengetahui dirinya”. Penting sekali kami menganut dua tokoh pemikir islam yang nantinya berguna untuk kita renungi bersama tentang pemikiran Al-Kindi dan Ibnu Sina untuk Indonesia sebagai benteng untuk memperkokoh keimanan akan eksistensi tuhan yang sebenarnya.
B. Biografi Kedua Tokoh Filsuf
a. Biografi Al-Kindi
Nama Al-Kindi adalah Nisbat pada suku yang menjadi asal cikal, yaitu Banu Kindah. Banu Kindah adalah suku keturunan Kindah yang sejak dulu menempati daerah selatan Jazirah Arab yang tergolong memiliki apresiasi kebudayaan yang sukup tinggi.
Nama lengkap Abu Yusuf – Ya’Kub Ibnu Ishak Al-Sabbah, Ibnu Imron, Ibnu Al-Asha’ath, Ibnu Kays, Al-kindi. Beliau bisa disebut Ya’Kub, lahir pada tahun 185 H (801 M) di Kufah. orang tuanya bernama Ishaq As-shahbbah, Ishaq As-shahbbah adalah Gubernur di Kuffah pada masa Pemerintahan Al-Mahdi dan Harun Al-Rasyid dari Bani Abbas. Ia seorang penganut M’tazilah dan kemudian belajar filsafat. Zaman dialah terjadi penerjemahan buku-buku Yunani kedalam Bahasa Arab dan diduga ia juga aktif menerjemahkan buku-buku tersebut, namun demikian, ia lebih banyak membuat kesimpulan dari terjemahan-terjemahan tersebut.
b. Biografi Ibnu Sina (Avicenna)
Nama lengkap (Avicenna) Ibnu Sina adalah Abu Ali Al-Hosain bin Abdullah Ibnu Sina, di Eropa dia lebih dikenal dengan nama Avicenna. Beliau lahir disebuah Desa, Desa Assyam, di daerah Bukhara pada tahun 340 H. yang bertepatan dengan tahun 980 M. Kelahiran beliau di tengah masa yang sedang kacau. Di mana kekuasaan Abbasyah mulai mundur dan negeri-negeri yang mula-mula berada dibawah kekuasaannya kini mulai melepaskan diri dan untuk berdiri sendiri. Avicenna adalah seorang filosof yang cerdas, jenius, pada umur 10 th sudah dapat menghafal Al-Qur’an. Dan dia pun juga sudah menguasai logika, matematika dan ilmu kedokteran.
BAB II
AJARAN KEDUA TOKOH
A. Ajaran Al-Kindi
Al-Kindi adalah filosof islam yang mempercayai kepada kemampuan akal unuk memperoleh pengetahuan yang benar, Al-Kindi berupaya mempertemukan ajaran-ajaran islam pada filsafat Yunani apalagi dalam masalah keesaan tuhan. Ia bependapat bahwa Allah Esa tak terbilang, sama sekali tidak menyamai lakhluknya, kekal tak akan fana. Ia adalah esa yang sebenarnya karena ia esa dengan sendirinya karena tidak mengambil keesaan-nya dari selain diri-nya. Dan esa karena bilangan yang tidak bisa menerima beberapa dan bagaimana, dan bersama-sama entitas-entitas (yang lain) tidak masuk kedalam klasifikasi Genus atau Spesies, ia adalah penggerak pertama yang tidak bergerak, sebab pertama yang tak bersebab dan eksistensi yang sebenarnya yang ada. Tidak akan tidak ada untuk selamanya, bahkan ia selalu ada. ia adalah pencipta yang maha kuasa dan maha bijak. Jadi Al-Kindi menetapakan bahwa Al-Ba’ri (tuhan) punya sifat-sifat zat, Af’al dan negasi, seperti yang si sebutkan di dalam asar dan apa yang di pegangi oleh Mu’tazilah tetapi ia mengembalikan semua itu kepada zat untuk menggemakan ide monoteisme. Karena sifat-sifat itu bukan sesuatu yang bisa dibedakan dan dipisahkan dari zat. Tuhan adalah wujud yang hak, ia ada dari semula dan ada pula untuk selama-lama-nya, tuhan adalah wujud yang sempurna, yang tidak didahului oleh wujud lain. Wujud-nya tidak berakhir dan tidak ada wujud selain dari pada-nya dan mustahil dia tidak ada.
Pembuktian ada-nya tuhan
1. Barunya alam
2. Keragaman dalam wujud
3. Kerapian alam
Tuhan dalam filsafat Al-Kindi tidaklah mempunyai hakikat dalam arti a’niyah maupun ma’hiyah, tuhan bukanlah benda, dan tidak temasuk benda yang ada dalam alam. Ia tidak tersusun dari materi dan bentuk, tuhan juga tidak mempunyai haikat dalam bentuk ma’hiyah. Karena tuhan tidak merupakan Genus atau Spesies. Tuhan tidak ada yang serupa dengan-nya, Ia adalah unik, ia adalah yang benar pertama.
a. Epistemologi
Al-Kindi menyebutkan adanya tiga macam pengethuan manusia. Yaitu: (a). Pengetahuan Inderawi, (b). Pengetahuan yang diperoleh dengan jalan menggunakan akal yang disebut pengetahuan rasional dan (c). Pengetahuan yang di peroleh langsung dari tuhan yang di sebut pengetahuan Isyarat atau aluminatif.
1. Pengetahuan Inderawi
Pengetahuan Inderawi terjadi secara langsung ketika orang mengamati terhadap objek-objek material, kemudian dalam proses tenpa tenggang waktu dan tanpa berupaya berpindah ke imajinasi (musyawwirah), di teruskan ke tempat penampungannya yang di sebit hafizhah (pecollection). Pengetahuan yang di peroleh dengam jalan ini tidak tetap: Karena objek yang di amati pun tidak tetap. Selalu dalam keadaan menjadi, berubah setiap saat, bergerak, berlebih-berkurang kualitasnya dan berubah pula kualitasnya.
2. Pengetahuan Rasional
Pengetahuan tentang sesuatu yang di peroleh dari jalan mengunakan akal bersifat universal, tidak parsial, dan bersifat immaterial, objeck pengetahuan rasional bukan individu, tetapi Genus dan spesies, orang mengamati manusia sebagai yang berbadan tegak dengan dua kali, pendek, jengkung, semua ini akan menghasilkan pengetahuan inderawi. Tetapi orang yang mengamati manusia, menyelidiki hakekatnya sehingga sampai pada kesimpulanbahwa manusia adalah makhluk berfikir (rsional animal). Telah memperoleh pengetahuan rasional yang abstrak universal, mencakup semua individu manusia, manusia yang telah di tajrid (di pisahkan) dari yang inderawi tidak mempunyai gambar yang tertulis dalam perasaan.
Al-Kindi memperingatkan agar orang tidak metode yang di tempuh untuk memperoleh pengetahuan, karena setiap ilmu mempunyai metodenya sendiri yang sesuai dengan watakmya. Watak ilmulah yang menentukan metodenya sendiri. Adalah satu kesalahan jika menggunakan metode ilmu alam untuk matematiaka atau metafisika.
3. Pengetahuan Isyaraqi
Al-Kindi mengatakan bahwa pengetahuan inderawi saja tidak akan sampai pada pengetahuan rasional terbatas pada pengetahuan tenatng Genus dan Spesies. Banyak filosof yang membatasi jalan memperoleh pengetahuan pada dua macam jalan ini. Al-Kindi sebagaimana halnya banyak filosof Isyaraqi. Mengingatkan adanya jalan lain untuk memperoleh pengetahuan lewat jalan Isyaqi (Iluminasi). Yaitu pengetahuan yang langsung di peroleh dari pancaran nur Ilahi. Puncak dari jalan ini ialah yang di peroleh para Nabi untuk membawakan tentang ajaran-ajaran yang berasal dari wahyu kepada umatnya. Para Nabi memperoleh pengetahuan yang berasal dari wahyu tuhan tanpa upaya, tanpa pengetahuan mereka terjadi atas kehendak tuhan semata-mata, tuhan mensucikan mereka dan di terangkan-nya pula jiwa mereka untuk memperoleh kebenaran memperoleh jalan wahyu. Pengetahuan dari jalan wahyu ini merupakan kekuasaan bagi para Nabi yang membedakan dengan manusia-manusia lainnya. Karena pengetahuan itu memang ada pada saat manusia biasa tidak mampu mengusahakannya. Karena hal itu memang di luar kemampuan manusia. Bagi manusia tidak ada jalan lain kecuali menerima dengan penuh ketaatan dan ketundukan terhadap kehendaknya. Membenarkan semua yang di bawa Nabi.
4. Metafisika
Sebagaimana telah di sebutkan di muka, Al-Kindi mengatakan bahwa filsafat yang tertinggi martabat-nya adalah filsafat pertama yang membicarakan tentang Causa Prima. Filsafat metafisika Al-Kindi di tulis dalam beberapa makalahnya. Khususnya dalam dua makalah yaitu tentang filsafat, pertama dan tentang ke esaan tuhan dan berakhirnya alam. Dalam dua makalah ini Al-Kindi membahas dengan panjang lebar tentang hakikat tuhan dan sifat-sifat tuhan.
Tentang hakikat tuhan, Al-Kindi mengatakan bahwa tuhan adalah wujud yang haq (sebenarnya) yang tidak pernah tiada sebelum-nya dan tidak akan pernah tiada selama-lama-nya, tuhan adalah wujud sempurna yang tidak pernah di dahului wujud lain. dan wujudnya tidak akan pernah berakhir serta tidak ada wujud lain melainkan perantaranya.
Untuk membuktikan tentang wujud tuhan, Al-Kindi berpijak pada adanya gerak, keanekaan, dan keteraturan alam sebagaimana argumentasi yang sering di kemukakan oleh filosof Yunani.
Sehubunga dengan dalil gerak, Al-Kindi mengajukan pertanyaan sekaligus memberikan jawaban-nya dalam ungkapan berikut:
”ungkinkah sesuatu menjadi sebab adanya adanya sendiri, ataukah hal itu tidak mungkin? Jawaban-nya: Yang demikian itu tidak mungkin, dengan demikian, alam ini adalah baru, ada permulaan dalam waktu, demikian pula alam ini ada akhirnya, oleh karena-nya alam ini harus ada yang menciptakannya. Dari segi filsafat, argument Al-Kindi itu sejalan dengan argument Aristoteles tentang Causa Prima dan penggerak pertama. Penggerak yang tidak bergerak. Dari segi agama, argument Al-Kindi itu sejalan dengan argument ilmu Kalam. Alam berubah-ubah, semua yang berubah-ubah adalah baru. Maka alam adalah ciptaan yang mengharuskan ada penciptaan-nya. Yang menciptakan dari tiada.
Tentang dalil kealam wujud, Al-Kindi mengatakan bahwa tidak mungkin keanekaan alam wujud ini tanpa ada kesatuan. Demikian pula sebaiknya tidak mungkin ada kesatuan tanpa keanekaan alam inderawi atau yang dapat di pandang sebagai inderawi, karena dalam wujud semuanya mempunyai kesamaan keanekaan dan kesatuan. Maka sudah pastilah hal ini terjadi karena ada sebab. Bukan karena kebetulan, dan sebab ini bukan alam wujuad yang mempunyai persamaan dan kebenaran dan keseragaman Itu sendiri. Jika tidak demikian akan terjadi hubungan sebab-akibat yang tidak berkesudahan, dan hal ini tidak mungkin terjadi, oleh karenya, sebab itu adalah di luar wujud itu sendiri. Eksistensinya lebih tinggi, lebih mulia. Dan lebih dulu adanya. Sebab ini tidak lain adalah tuhan. Mengenai dalil keteraturan alam wujud sebagai bukti adanya tuhan. Al-Kindi mengatakan bahwa keteraturan alam inderawi tidak mungkin terjadi kecuali dengan adanya dzat yang tidak terlihat, dan dzat yang tidak terlihat itu tidak mungkin di ketahui adanya kecuali dengan adanya keteraturan dan bekas-bekas yang menunjukkan adanya yang terdapat dalam alam ini. Argument demikian ini di sebut argument teologik yang pernah juga di gunakan Aristoteles, tetapi juga bisa diperoleh dari adanya ayat-ayat Al-Qu’an.
Tentang sifat-sifat tuhan, Al-Kindi berpendirian seperti golongan meu’tazilah, yang menonjolkan ke esaan sebagai satu-satu-nya sifat tuhan.
B. Etika
Filsafat adalah upaya meneladani perbuatan-perbuatan tuhan sejauh dapat dijangkau oleh kemampuan manusia, yang dimaksud dengan definisi adalah agar manusia memiliki keutamaan yang sempurna. Filsafat di berikan definisi juga sebadai latihan untuk mati. Yang dimaksud ialah mematikan hawa nafsu, mematikan hawa adalah jalan untuk memperoleh keutamaan, kenikmata,. Hidup lahiriyah adalah keburukan. Bekerja untuk memperoleh kenikmatan lahiriyah berarti meninggalkan penggunaan akal.
Pertanyaan yang dapat di ajukan ialah bagaimana cara untuk memnjadi manusia yang memiliki keutamaan yang sempurna itu, bagaimana cara untuk mematikan hawa nafsu agar dapat mencapai keutamaan itu. Jawabanya ialah: ketahuilah keutamaan ada bertingkah lakulah sesuai tuntutan keutamaan itu. Al-Kindi berpendapat bahwa keutamaan manusiawi tidak lain adalah budi pekerti manusiawi yang terpuji, keutamaan ini kemudian di bagi menjadi tiga bagian. Pertama merupakan asas dalam jiwa. tetapi bukan asas yang negatif, yaitu pengetahuan dan perbuatan (ilmu dan amal). Bagian ini di bagi menjadi tiga pula. Yaitu kebijaksanaan (hikmah), keberanian (saja’ah), dan kesucian (iffah). Kebijaksanaan adalah keutamaan daya pikir, yang kebijaksaan teoritis ialah mengetahui segala sesuatu yang bersifat universal secara hakiki dan kebijaksanaan praksis ialah menggunakan kenyataan-kenyataan yang wajib dipergunakan keberanian merupakan sifat yang tertanam dalam jiwa yang memandang ringan kepada kematian untuk mencapai dan menolak sesuatu yang memang harus di tolak, kesucian adalah memperolah sesuatu yang memang harus di perolah guna mendidik dan memelihara badan serta manahan diri dari yang tidak di perlukan untuk itu.
C. Ajaran Avicenna
Ibnu Sina tentang wujud, sebagaimana para filosof muslim terdahulu, dari tuhanlah kemaujudan yang mesti mengalir intelegensi pertama, sendirian karena dari yang tunggal. Yang mutlak, sesuatu dapat terwujud tetapi sifat intelegensi pertama itu tidak dapat selamanya mutlak satu. Karena ia bukan ada dengan sendirinya, ia hanya mungkin dan hanya kemungkinan-nya itu di wujudkan oleh tuhan.
Ibnu Sina tidak banyak keluar dari gairis ini, karena baginya Allah adalah sesuatu yang harus ada dengan sendirinya (Al-Wajib Bizatin), tidak ada sesuatu apapun juga yang menyekutui-nya dalam substansinya, karena ia tidak memiliki tandingan maupun lawan. Genus Differensia maupun batasan, ia mengetahui segala sesuatu dari segi adanya sesutu itu di dalam rangkaian umum sistem alam. Sebab ia mengetahui hal-hal universal dan partikular. Mengerahui segala sesuatu karena segala sesuatu yang ada di alam ini bertumpu pada-nya.
Hanya tuhan saja yang memiliki wujud tunggal secara mutlak, sedang segala sesuatu yang lain memiliki kuadrat mendua karena ketunggalan-nya. Maka apakah tuhan itu dan kenyataan bahwa ia ada, bukanlah dua unsur dalam satu wujud tetapi satu unsur atomik dalam wujud yang tunggal. Tentang apakah tuhan itu, hakikat dia adalah identik dengan eksistensi-nya. Hal ini bukan merupakan merupkan kejadian bagi wujud lainnya. Karena tidak ada kejadian lain yang eksistensi-nya identik dengan esensi-nya. Adanya tuhan adalah suatu keniscayaan, sedang adana sesuatu yang lain hanya mungkin dan diturunkan oleh adanya tuhan dan dugaan bahwa tuhan itu tidak ada mengandung kontradiksi, karena dengan demikian yang lainpun juga tidak akan ada.
Argumentasi kosmologi yang di dasarkan pada doktrin Aristoteles tentang sebab ertama, akan sisa-sisa dalam pembuktian tuhan, meskipun demikian Ibnu Sina tidak memiliki untuk membangun argument ontologis.
Essensi dan wujud dapat mempunyai dua kombinasi.
1. Essensi yang tak dapat mempunyai dua kombinasi disebut oleh Ibnu Sina mumtani: Yaitu sesuatu yang mustahil berwujud (impossible being).
2. Essensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak mempunyai wujud, yang serupa itu disebut mumkin, yaitu sesuatu yang mungkin berwujud tetapi mungkin pula tidak berwujud, contohnya adalah alam ini yang pada mulanya tidak ada kemudian ada dan akhirnya hancur menjadi tidak ada.
Essensi yang tak boleh tidak mesti mempunyai wujud, disini essensi tidak bisa di pisahkan dari wujud. Essensi dan wujud adalah sama dan satu, disini essensi tidak dimulai oleh tidak berwujud dan kemudian berwujud. Sebagaimana halnya dengan essensi dalam kategori kedua, tetapi essensi mesti dan wajib mempunyai wujud selama-lamanya. Yang serupa ini di sebut mesti berwujud, yaitu tuhan, wajib Al-Wujud inilah yang mewujudkan Al-Wujud.
Ajaran Avicenna yang juga perlu dikupas lebih mendalam yaitu pendapat beliau mengenai jiwa manusia dan mengenai nabi dan kenabian
Jiwa Manusia
Jiwa itu diwujudkan ketika muncul tubuh yang siap dan sanggup menerimanya. Jiwa itulah yang menjadi sebab hidup, penggerak dan pengendali tubuh. Sebagai bukti adanya jiwa pada manusia Ibnu Sina berpendapat; “wahai anda yang berpikir, perhatikanlah bahwa anda yang sekarang berada dalam diri adalah dia yang telah ada sepanjang usia anda sehingga anda dapat mengingat banyak hal dari hal ihwal anda.
Nabi dan Kenabian
Ibnu Sina juga menjelaskan secara khusus mengenai kenabian dalam Risalah fi Isbat an-Nubuwwah bahwa terdapat perbedaan keutamaan pada seganap wujud. Ibnu Sina juga menegaskan bahwa pada nabi, yang akal teoritisnya beraktual sempurna secara langsung, lebih utama dari mereka (para filsuf) yang akal teoritisnya berkembang secara tidak langsung yaitu dengan jalan perantaraan seperti latihan dan belajar keras.
BAB III
KELEBIHAN MASING-MASING TOKOH
A. Kelebihan Dan Kekurangan (Al-Kindi)
1. Kelebihan
Karangan-karangan Al-Kindi mengenai filsafat menunjukkan ketelitian dan kecermatannya dalam memberikan batasan-batasan makna istilah-istilah yang dipergunakan dalam terminologi filsafat. Selain kemampuan-nya dalam menerjemahkan filsafat Yunani, Al-Kindi juga berani membantah filosof-filosof barat yang tidak sejalan dengan ajaran islam yang di peluknya, apalagi dalam masalah-masalah ketuhanan yang sering menimbulkan kontradiktif. Filsafat Al-Kindi mempunyai hal yang sangat penting selain filsafat bagus juga menjadi pijakan awal filosof sesudahnya.
2. Kekurangan
Karya-karya Al-Kindi kebanyakan hanya berupa makalah-makalah pendek yang di nilai kurang mendalam di bandingkan dengan tulisan Ibnu Sina. Al-Farabi, sehingga karya-karya Al-Kindi sangat sulit di pahami karena banyak keterputusan dari makalah yang satu dengan yang lain.
B. Kelebihan dan Kekurangan (Avicenna).
1. Kelebihan
Ibnu Sina meskipun di sebutkan oleh kegiatan politik namun, karena kecerdasan-nya menyebabkan ia mampu menulis beberapa buku. Karena ia pandai mengatur waktu dalam aktifitas, politik, mengajar dan mengarang. Ajaran-ajaran Avicenna sangat mengenak pada para-para pelajar di karenakan hasil pemikirannya mempunyai nilai plus apalagi dalam masalah ketuhanan semuanya tidak keluar dari real-real ajaran islam walaupun di komparasikan dengan logika. Yang akhirnya mempunyai komparasi yang sinergis dari filsafat logika dan ajaran islam.
2. Kelemahan
Dari filsafat Avicenna yang note beni membicarakan masalah ketuhanan ternyata banyak di pengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Aristoteles, khususnya Maqa’lah Al-Lam dari buku metafisika-nya. Beliau mengambil banyak pendapat Aristoteles dan menulang –ulang sebagian dari pernyataan-nya. Seperti yang Esa adalah akal yang mengetahui diri-nya padahal dalam hal ini Aristoteles lebih mendahului mereka.
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari beberapa uraian diatas, kami dapat menyimpulkan tetang eksistensi tuhan yang di deskripsikan oleh kedua tokoh filsafat islam diatas, bahwa Allah Esa tak terbilang sama sekali tidak menyamai makhluknya, kekal dan tak akan fana’, ia adalah esa dengan sendirinya karena tidak mengambil ke esaan-nya dari selain diri-nya. Dan esa karena bilangan yang tidak bisa menerima selain beberapa dan bagaimana, dan bersama-sama entitas lain, tidak masuk ke dalam klasifikasi Genur atau Spesies. Dengan adanya ke esaan tuhan, semoga menjadi pandangan yang lebih spesifik tentang eksistensi Allah dan lebih memantapkan keyakinan kita bersama amien.
B. RELEFANSINYA BAGI BANGSA INDONESIA
Dalam keanekaragaman serta kemajemukan yang ada di Indonesia menjadi kendala tersendiri tentang keyakianan adanya tuhan yang menjadikan banyak perbedaan dalam menafsirkan-nya. Namun, dengan hadirnya filosof-filosof islam yang memberikan sumbangsih tersendiri bagi bangsa Indonesia, khususnya bagi masyarakat pemeluk agama islam. Pemikiran-pemikiran Al-Kindi dan Ibnu Sina mempunyai relefansi tersendiri bagi bangsa Indonesia, selain lebih menunjang kepada fokus masalah ketuhanan yang bisa menjadi pegangan dan sanggahan-sanggahan langsung yang mencoba memantapkan pemahaman islam terhadap eksistensi tuhan yang diyakini oleh umat islam di Indonesia. Islam yang sangat mempercayai ke tunggalan tuhan adalah senada dengan ajaran-ajaran para filosof di atas yang mencoba mengkomparasikan dengan akal dan bukti-bukti yang menunjukkan realita yang nyata. Yakni dengan adanya alam dan lain sebagai-nya, semoga pemikiran-pemikiran filosof di atas memberikan sesuatu yang lebih bermakna dan berguna bagi bangsa Indonesia pada umumnya dan bagi umat islam pada khusus-nya yang ada di Indonesi amien.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Juhaya, S Praja. Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Bandung, Penerbit Yayasan Piara. 1997
Jujun, S Suria Sumantri, Ilmu dan Perspektif, Jakarta, Yaasan Obor Indonesia, 1997.
Dr. P Hardono, Hadi, Epistemologi Filsafat Pengetahuan, Bandung, Kanesius. 1994.
Drs. H.A. Mustofa, Filsafat Islam, Bandung, Penerbit Pustaka Setia, 1997.
Dr. Ibrahim Madkur, Aliran dan Teori Filsafat Islam. Sinar Grafika Offset,
Al-Farabi, Al-Samrah, Leiden: 1895.
PENDAHULUAN
A. Arti Penting Kedua Tokoh Untuk Dibahas Sebagai Materi Makalah.
Eksistensi tuhan dianggap sebagai syarat penting untuk mempercayai dan meyakini akan keesaan tuhan, seperti para filosof-filosof islam yang mencoba memberikan diskripsi ataupun pandangan terhadap eksistensi tuhan.
Eksistensi yang sebenarnya yang ada, tidak akan tidak ada untuk selamanya, bahkan ia selalu ada. Ia adalah pencipta yang maha kuasa, dan maha bijaksana. Para filosof islam mencoba mengkaitkan dengan keesaan akal dan keesaan tuhan. Seperti yang di angkat oleh Al-Kindi dan Ibnu Sina. Yang nantinya menjadi awal tersendiri bagi kemajemukan dan pemahaman para penganut agam di Indonesia khususnya islam di Indonesia. Hasil-hasil pemikiran tentang kemajuan tuhan yang di komparasikan dengan realita-realita yang ada, ”Esa adalah akal yang mengetahui dirinya”. Penting sekali kami menganut dua tokoh pemikir islam yang nantinya berguna untuk kita renungi bersama tentang pemikiran Al-Kindi dan Ibnu Sina untuk Indonesia sebagai benteng untuk memperkokoh keimanan akan eksistensi tuhan yang sebenarnya.
B. Biografi Kedua Tokoh Filsuf
a. Biografi Al-Kindi
Nama Al-Kindi adalah Nisbat pada suku yang menjadi asal cikal, yaitu Banu Kindah. Banu Kindah adalah suku keturunan Kindah yang sejak dulu menempati daerah selatan Jazirah Arab yang tergolong memiliki apresiasi kebudayaan yang sukup tinggi.
Nama lengkap Abu Yusuf – Ya’Kub Ibnu Ishak Al-Sabbah, Ibnu Imron, Ibnu Al-Asha’ath, Ibnu Kays, Al-kindi. Beliau bisa disebut Ya’Kub, lahir pada tahun 185 H (801 M) di Kufah. orang tuanya bernama Ishaq As-shahbbah, Ishaq As-shahbbah adalah Gubernur di Kuffah pada masa Pemerintahan Al-Mahdi dan Harun Al-Rasyid dari Bani Abbas. Ia seorang penganut M’tazilah dan kemudian belajar filsafat. Zaman dialah terjadi penerjemahan buku-buku Yunani kedalam Bahasa Arab dan diduga ia juga aktif menerjemahkan buku-buku tersebut, namun demikian, ia lebih banyak membuat kesimpulan dari terjemahan-terjemahan tersebut.
b. Biografi Ibnu Sina (Avicenna)
Nama lengkap (Avicenna) Ibnu Sina adalah Abu Ali Al-Hosain bin Abdullah Ibnu Sina, di Eropa dia lebih dikenal dengan nama Avicenna. Beliau lahir disebuah Desa, Desa Assyam, di daerah Bukhara pada tahun 340 H. yang bertepatan dengan tahun 980 M. Kelahiran beliau di tengah masa yang sedang kacau. Di mana kekuasaan Abbasyah mulai mundur dan negeri-negeri yang mula-mula berada dibawah kekuasaannya kini mulai melepaskan diri dan untuk berdiri sendiri. Avicenna adalah seorang filosof yang cerdas, jenius, pada umur 10 th sudah dapat menghafal Al-Qur’an. Dan dia pun juga sudah menguasai logika, matematika dan ilmu kedokteran.
BAB II
AJARAN KEDUA TOKOH
A. Ajaran Al-Kindi
Al-Kindi adalah filosof islam yang mempercayai kepada kemampuan akal unuk memperoleh pengetahuan yang benar, Al-Kindi berupaya mempertemukan ajaran-ajaran islam pada filsafat Yunani apalagi dalam masalah keesaan tuhan. Ia bependapat bahwa Allah Esa tak terbilang, sama sekali tidak menyamai lakhluknya, kekal tak akan fana. Ia adalah esa yang sebenarnya karena ia esa dengan sendirinya karena tidak mengambil keesaan-nya dari selain diri-nya. Dan esa karena bilangan yang tidak bisa menerima beberapa dan bagaimana, dan bersama-sama entitas-entitas (yang lain) tidak masuk kedalam klasifikasi Genus atau Spesies, ia adalah penggerak pertama yang tidak bergerak, sebab pertama yang tak bersebab dan eksistensi yang sebenarnya yang ada. Tidak akan tidak ada untuk selamanya, bahkan ia selalu ada. ia adalah pencipta yang maha kuasa dan maha bijak. Jadi Al-Kindi menetapakan bahwa Al-Ba’ri (tuhan) punya sifat-sifat zat, Af’al dan negasi, seperti yang si sebutkan di dalam asar dan apa yang di pegangi oleh Mu’tazilah tetapi ia mengembalikan semua itu kepada zat untuk menggemakan ide monoteisme. Karena sifat-sifat itu bukan sesuatu yang bisa dibedakan dan dipisahkan dari zat. Tuhan adalah wujud yang hak, ia ada dari semula dan ada pula untuk selama-lama-nya, tuhan adalah wujud yang sempurna, yang tidak didahului oleh wujud lain. Wujud-nya tidak berakhir dan tidak ada wujud selain dari pada-nya dan mustahil dia tidak ada.
Pembuktian ada-nya tuhan
1. Barunya alam
2. Keragaman dalam wujud
3. Kerapian alam
Tuhan dalam filsafat Al-Kindi tidaklah mempunyai hakikat dalam arti a’niyah maupun ma’hiyah, tuhan bukanlah benda, dan tidak temasuk benda yang ada dalam alam. Ia tidak tersusun dari materi dan bentuk, tuhan juga tidak mempunyai haikat dalam bentuk ma’hiyah. Karena tuhan tidak merupakan Genus atau Spesies. Tuhan tidak ada yang serupa dengan-nya, Ia adalah unik, ia adalah yang benar pertama.
a. Epistemologi
Al-Kindi menyebutkan adanya tiga macam pengethuan manusia. Yaitu: (a). Pengetahuan Inderawi, (b). Pengetahuan yang diperoleh dengan jalan menggunakan akal yang disebut pengetahuan rasional dan (c). Pengetahuan yang di peroleh langsung dari tuhan yang di sebut pengetahuan Isyarat atau aluminatif.
1. Pengetahuan Inderawi
Pengetahuan Inderawi terjadi secara langsung ketika orang mengamati terhadap objek-objek material, kemudian dalam proses tenpa tenggang waktu dan tanpa berupaya berpindah ke imajinasi (musyawwirah), di teruskan ke tempat penampungannya yang di sebit hafizhah (pecollection). Pengetahuan yang di peroleh dengam jalan ini tidak tetap: Karena objek yang di amati pun tidak tetap. Selalu dalam keadaan menjadi, berubah setiap saat, bergerak, berlebih-berkurang kualitasnya dan berubah pula kualitasnya.
2. Pengetahuan Rasional
Pengetahuan tentang sesuatu yang di peroleh dari jalan mengunakan akal bersifat universal, tidak parsial, dan bersifat immaterial, objeck pengetahuan rasional bukan individu, tetapi Genus dan spesies, orang mengamati manusia sebagai yang berbadan tegak dengan dua kali, pendek, jengkung, semua ini akan menghasilkan pengetahuan inderawi. Tetapi orang yang mengamati manusia, menyelidiki hakekatnya sehingga sampai pada kesimpulanbahwa manusia adalah makhluk berfikir (rsional animal). Telah memperoleh pengetahuan rasional yang abstrak universal, mencakup semua individu manusia, manusia yang telah di tajrid (di pisahkan) dari yang inderawi tidak mempunyai gambar yang tertulis dalam perasaan.
Al-Kindi memperingatkan agar orang tidak metode yang di tempuh untuk memperoleh pengetahuan, karena setiap ilmu mempunyai metodenya sendiri yang sesuai dengan watakmya. Watak ilmulah yang menentukan metodenya sendiri. Adalah satu kesalahan jika menggunakan metode ilmu alam untuk matematiaka atau metafisika.
3. Pengetahuan Isyaraqi
Al-Kindi mengatakan bahwa pengetahuan inderawi saja tidak akan sampai pada pengetahuan rasional terbatas pada pengetahuan tenatng Genus dan Spesies. Banyak filosof yang membatasi jalan memperoleh pengetahuan pada dua macam jalan ini. Al-Kindi sebagaimana halnya banyak filosof Isyaraqi. Mengingatkan adanya jalan lain untuk memperoleh pengetahuan lewat jalan Isyaqi (Iluminasi). Yaitu pengetahuan yang langsung di peroleh dari pancaran nur Ilahi. Puncak dari jalan ini ialah yang di peroleh para Nabi untuk membawakan tentang ajaran-ajaran yang berasal dari wahyu kepada umatnya. Para Nabi memperoleh pengetahuan yang berasal dari wahyu tuhan tanpa upaya, tanpa pengetahuan mereka terjadi atas kehendak tuhan semata-mata, tuhan mensucikan mereka dan di terangkan-nya pula jiwa mereka untuk memperoleh kebenaran memperoleh jalan wahyu. Pengetahuan dari jalan wahyu ini merupakan kekuasaan bagi para Nabi yang membedakan dengan manusia-manusia lainnya. Karena pengetahuan itu memang ada pada saat manusia biasa tidak mampu mengusahakannya. Karena hal itu memang di luar kemampuan manusia. Bagi manusia tidak ada jalan lain kecuali menerima dengan penuh ketaatan dan ketundukan terhadap kehendaknya. Membenarkan semua yang di bawa Nabi.
4. Metafisika
Sebagaimana telah di sebutkan di muka, Al-Kindi mengatakan bahwa filsafat yang tertinggi martabat-nya adalah filsafat pertama yang membicarakan tentang Causa Prima. Filsafat metafisika Al-Kindi di tulis dalam beberapa makalahnya. Khususnya dalam dua makalah yaitu tentang filsafat, pertama dan tentang ke esaan tuhan dan berakhirnya alam. Dalam dua makalah ini Al-Kindi membahas dengan panjang lebar tentang hakikat tuhan dan sifat-sifat tuhan.
Tentang hakikat tuhan, Al-Kindi mengatakan bahwa tuhan adalah wujud yang haq (sebenarnya) yang tidak pernah tiada sebelum-nya dan tidak akan pernah tiada selama-lama-nya, tuhan adalah wujud sempurna yang tidak pernah di dahului wujud lain. dan wujudnya tidak akan pernah berakhir serta tidak ada wujud lain melainkan perantaranya.
Untuk membuktikan tentang wujud tuhan, Al-Kindi berpijak pada adanya gerak, keanekaan, dan keteraturan alam sebagaimana argumentasi yang sering di kemukakan oleh filosof Yunani.
Sehubunga dengan dalil gerak, Al-Kindi mengajukan pertanyaan sekaligus memberikan jawaban-nya dalam ungkapan berikut:
”ungkinkah sesuatu menjadi sebab adanya adanya sendiri, ataukah hal itu tidak mungkin? Jawaban-nya: Yang demikian itu tidak mungkin, dengan demikian, alam ini adalah baru, ada permulaan dalam waktu, demikian pula alam ini ada akhirnya, oleh karena-nya alam ini harus ada yang menciptakannya. Dari segi filsafat, argument Al-Kindi itu sejalan dengan argument Aristoteles tentang Causa Prima dan penggerak pertama. Penggerak yang tidak bergerak. Dari segi agama, argument Al-Kindi itu sejalan dengan argument ilmu Kalam. Alam berubah-ubah, semua yang berubah-ubah adalah baru. Maka alam adalah ciptaan yang mengharuskan ada penciptaan-nya. Yang menciptakan dari tiada.
Tentang dalil kealam wujud, Al-Kindi mengatakan bahwa tidak mungkin keanekaan alam wujud ini tanpa ada kesatuan. Demikian pula sebaiknya tidak mungkin ada kesatuan tanpa keanekaan alam inderawi atau yang dapat di pandang sebagai inderawi, karena dalam wujud semuanya mempunyai kesamaan keanekaan dan kesatuan. Maka sudah pastilah hal ini terjadi karena ada sebab. Bukan karena kebetulan, dan sebab ini bukan alam wujuad yang mempunyai persamaan dan kebenaran dan keseragaman Itu sendiri. Jika tidak demikian akan terjadi hubungan sebab-akibat yang tidak berkesudahan, dan hal ini tidak mungkin terjadi, oleh karenya, sebab itu adalah di luar wujud itu sendiri. Eksistensinya lebih tinggi, lebih mulia. Dan lebih dulu adanya. Sebab ini tidak lain adalah tuhan. Mengenai dalil keteraturan alam wujud sebagai bukti adanya tuhan. Al-Kindi mengatakan bahwa keteraturan alam inderawi tidak mungkin terjadi kecuali dengan adanya dzat yang tidak terlihat, dan dzat yang tidak terlihat itu tidak mungkin di ketahui adanya kecuali dengan adanya keteraturan dan bekas-bekas yang menunjukkan adanya yang terdapat dalam alam ini. Argument demikian ini di sebut argument teologik yang pernah juga di gunakan Aristoteles, tetapi juga bisa diperoleh dari adanya ayat-ayat Al-Qu’an.
Tentang sifat-sifat tuhan, Al-Kindi berpendirian seperti golongan meu’tazilah, yang menonjolkan ke esaan sebagai satu-satu-nya sifat tuhan.
B. Etika
Filsafat adalah upaya meneladani perbuatan-perbuatan tuhan sejauh dapat dijangkau oleh kemampuan manusia, yang dimaksud dengan definisi adalah agar manusia memiliki keutamaan yang sempurna. Filsafat di berikan definisi juga sebadai latihan untuk mati. Yang dimaksud ialah mematikan hawa nafsu, mematikan hawa adalah jalan untuk memperoleh keutamaan, kenikmata,. Hidup lahiriyah adalah keburukan. Bekerja untuk memperoleh kenikmatan lahiriyah berarti meninggalkan penggunaan akal.
Pertanyaan yang dapat di ajukan ialah bagaimana cara untuk memnjadi manusia yang memiliki keutamaan yang sempurna itu, bagaimana cara untuk mematikan hawa nafsu agar dapat mencapai keutamaan itu. Jawabanya ialah: ketahuilah keutamaan ada bertingkah lakulah sesuai tuntutan keutamaan itu. Al-Kindi berpendapat bahwa keutamaan manusiawi tidak lain adalah budi pekerti manusiawi yang terpuji, keutamaan ini kemudian di bagi menjadi tiga bagian. Pertama merupakan asas dalam jiwa. tetapi bukan asas yang negatif, yaitu pengetahuan dan perbuatan (ilmu dan amal). Bagian ini di bagi menjadi tiga pula. Yaitu kebijaksanaan (hikmah), keberanian (saja’ah), dan kesucian (iffah). Kebijaksanaan adalah keutamaan daya pikir, yang kebijaksaan teoritis ialah mengetahui segala sesuatu yang bersifat universal secara hakiki dan kebijaksanaan praksis ialah menggunakan kenyataan-kenyataan yang wajib dipergunakan keberanian merupakan sifat yang tertanam dalam jiwa yang memandang ringan kepada kematian untuk mencapai dan menolak sesuatu yang memang harus di tolak, kesucian adalah memperolah sesuatu yang memang harus di perolah guna mendidik dan memelihara badan serta manahan diri dari yang tidak di perlukan untuk itu.
C. Ajaran Avicenna
Ibnu Sina tentang wujud, sebagaimana para filosof muslim terdahulu, dari tuhanlah kemaujudan yang mesti mengalir intelegensi pertama, sendirian karena dari yang tunggal. Yang mutlak, sesuatu dapat terwujud tetapi sifat intelegensi pertama itu tidak dapat selamanya mutlak satu. Karena ia bukan ada dengan sendirinya, ia hanya mungkin dan hanya kemungkinan-nya itu di wujudkan oleh tuhan.
Ibnu Sina tidak banyak keluar dari gairis ini, karena baginya Allah adalah sesuatu yang harus ada dengan sendirinya (Al-Wajib Bizatin), tidak ada sesuatu apapun juga yang menyekutui-nya dalam substansinya, karena ia tidak memiliki tandingan maupun lawan. Genus Differensia maupun batasan, ia mengetahui segala sesuatu dari segi adanya sesutu itu di dalam rangkaian umum sistem alam. Sebab ia mengetahui hal-hal universal dan partikular. Mengerahui segala sesuatu karena segala sesuatu yang ada di alam ini bertumpu pada-nya.
Hanya tuhan saja yang memiliki wujud tunggal secara mutlak, sedang segala sesuatu yang lain memiliki kuadrat mendua karena ketunggalan-nya. Maka apakah tuhan itu dan kenyataan bahwa ia ada, bukanlah dua unsur dalam satu wujud tetapi satu unsur atomik dalam wujud yang tunggal. Tentang apakah tuhan itu, hakikat dia adalah identik dengan eksistensi-nya. Hal ini bukan merupakan merupkan kejadian bagi wujud lainnya. Karena tidak ada kejadian lain yang eksistensi-nya identik dengan esensi-nya. Adanya tuhan adalah suatu keniscayaan, sedang adana sesuatu yang lain hanya mungkin dan diturunkan oleh adanya tuhan dan dugaan bahwa tuhan itu tidak ada mengandung kontradiksi, karena dengan demikian yang lainpun juga tidak akan ada.
Argumentasi kosmologi yang di dasarkan pada doktrin Aristoteles tentang sebab ertama, akan sisa-sisa dalam pembuktian tuhan, meskipun demikian Ibnu Sina tidak memiliki untuk membangun argument ontologis.
Essensi dan wujud dapat mempunyai dua kombinasi.
1. Essensi yang tak dapat mempunyai dua kombinasi disebut oleh Ibnu Sina mumtani: Yaitu sesuatu yang mustahil berwujud (impossible being).
2. Essensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak mempunyai wujud, yang serupa itu disebut mumkin, yaitu sesuatu yang mungkin berwujud tetapi mungkin pula tidak berwujud, contohnya adalah alam ini yang pada mulanya tidak ada kemudian ada dan akhirnya hancur menjadi tidak ada.
Essensi yang tak boleh tidak mesti mempunyai wujud, disini essensi tidak bisa di pisahkan dari wujud. Essensi dan wujud adalah sama dan satu, disini essensi tidak dimulai oleh tidak berwujud dan kemudian berwujud. Sebagaimana halnya dengan essensi dalam kategori kedua, tetapi essensi mesti dan wajib mempunyai wujud selama-lamanya. Yang serupa ini di sebut mesti berwujud, yaitu tuhan, wajib Al-Wujud inilah yang mewujudkan Al-Wujud.
Ajaran Avicenna yang juga perlu dikupas lebih mendalam yaitu pendapat beliau mengenai jiwa manusia dan mengenai nabi dan kenabian
Jiwa Manusia
Jiwa itu diwujudkan ketika muncul tubuh yang siap dan sanggup menerimanya. Jiwa itulah yang menjadi sebab hidup, penggerak dan pengendali tubuh. Sebagai bukti adanya jiwa pada manusia Ibnu Sina berpendapat; “wahai anda yang berpikir, perhatikanlah bahwa anda yang sekarang berada dalam diri adalah dia yang telah ada sepanjang usia anda sehingga anda dapat mengingat banyak hal dari hal ihwal anda.
Nabi dan Kenabian
Ibnu Sina juga menjelaskan secara khusus mengenai kenabian dalam Risalah fi Isbat an-Nubuwwah bahwa terdapat perbedaan keutamaan pada seganap wujud. Ibnu Sina juga menegaskan bahwa pada nabi, yang akal teoritisnya beraktual sempurna secara langsung, lebih utama dari mereka (para filsuf) yang akal teoritisnya berkembang secara tidak langsung yaitu dengan jalan perantaraan seperti latihan dan belajar keras.
BAB III
KELEBIHAN MASING-MASING TOKOH
A. Kelebihan Dan Kekurangan (Al-Kindi)
1. Kelebihan
Karangan-karangan Al-Kindi mengenai filsafat menunjukkan ketelitian dan kecermatannya dalam memberikan batasan-batasan makna istilah-istilah yang dipergunakan dalam terminologi filsafat. Selain kemampuan-nya dalam menerjemahkan filsafat Yunani, Al-Kindi juga berani membantah filosof-filosof barat yang tidak sejalan dengan ajaran islam yang di peluknya, apalagi dalam masalah-masalah ketuhanan yang sering menimbulkan kontradiktif. Filsafat Al-Kindi mempunyai hal yang sangat penting selain filsafat bagus juga menjadi pijakan awal filosof sesudahnya.
2. Kekurangan
Karya-karya Al-Kindi kebanyakan hanya berupa makalah-makalah pendek yang di nilai kurang mendalam di bandingkan dengan tulisan Ibnu Sina. Al-Farabi, sehingga karya-karya Al-Kindi sangat sulit di pahami karena banyak keterputusan dari makalah yang satu dengan yang lain.
B. Kelebihan dan Kekurangan (Avicenna).
1. Kelebihan
Ibnu Sina meskipun di sebutkan oleh kegiatan politik namun, karena kecerdasan-nya menyebabkan ia mampu menulis beberapa buku. Karena ia pandai mengatur waktu dalam aktifitas, politik, mengajar dan mengarang. Ajaran-ajaran Avicenna sangat mengenak pada para-para pelajar di karenakan hasil pemikirannya mempunyai nilai plus apalagi dalam masalah ketuhanan semuanya tidak keluar dari real-real ajaran islam walaupun di komparasikan dengan logika. Yang akhirnya mempunyai komparasi yang sinergis dari filsafat logika dan ajaran islam.
2. Kelemahan
Dari filsafat Avicenna yang note beni membicarakan masalah ketuhanan ternyata banyak di pengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Aristoteles, khususnya Maqa’lah Al-Lam dari buku metafisika-nya. Beliau mengambil banyak pendapat Aristoteles dan menulang –ulang sebagian dari pernyataan-nya. Seperti yang Esa adalah akal yang mengetahui diri-nya padahal dalam hal ini Aristoteles lebih mendahului mereka.
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari beberapa uraian diatas, kami dapat menyimpulkan tetang eksistensi tuhan yang di deskripsikan oleh kedua tokoh filsafat islam diatas, bahwa Allah Esa tak terbilang sama sekali tidak menyamai makhluknya, kekal dan tak akan fana’, ia adalah esa dengan sendirinya karena tidak mengambil ke esaan-nya dari selain diri-nya. Dan esa karena bilangan yang tidak bisa menerima selain beberapa dan bagaimana, dan bersama-sama entitas lain, tidak masuk ke dalam klasifikasi Genur atau Spesies. Dengan adanya ke esaan tuhan, semoga menjadi pandangan yang lebih spesifik tentang eksistensi Allah dan lebih memantapkan keyakinan kita bersama amien.
B. RELEFANSINYA BAGI BANGSA INDONESIA
Dalam keanekaragaman serta kemajemukan yang ada di Indonesia menjadi kendala tersendiri tentang keyakianan adanya tuhan yang menjadikan banyak perbedaan dalam menafsirkan-nya. Namun, dengan hadirnya filosof-filosof islam yang memberikan sumbangsih tersendiri bagi bangsa Indonesia, khususnya bagi masyarakat pemeluk agama islam. Pemikiran-pemikiran Al-Kindi dan Ibnu Sina mempunyai relefansi tersendiri bagi bangsa Indonesia, selain lebih menunjang kepada fokus masalah ketuhanan yang bisa menjadi pegangan dan sanggahan-sanggahan langsung yang mencoba memantapkan pemahaman islam terhadap eksistensi tuhan yang diyakini oleh umat islam di Indonesia. Islam yang sangat mempercayai ke tunggalan tuhan adalah senada dengan ajaran-ajaran para filosof di atas yang mencoba mengkomparasikan dengan akal dan bukti-bukti yang menunjukkan realita yang nyata. Yakni dengan adanya alam dan lain sebagai-nya, semoga pemikiran-pemikiran filosof di atas memberikan sesuatu yang lebih bermakna dan berguna bagi bangsa Indonesia pada umumnya dan bagi umat islam pada khusus-nya yang ada di Indonesi amien.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Juhaya, S Praja. Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Bandung, Penerbit Yayasan Piara. 1997
Jujun, S Suria Sumantri, Ilmu dan Perspektif, Jakarta, Yaasan Obor Indonesia, 1997.
Dr. P Hardono, Hadi, Epistemologi Filsafat Pengetahuan, Bandung, Kanesius. 1994.
Drs. H.A. Mustofa, Filsafat Islam, Bandung, Penerbit Pustaka Setia, 1997.
Dr. Ibrahim Madkur, Aliran dan Teori Filsafat Islam. Sinar Grafika Offset,
Al-Farabi, Al-Samrah, Leiden: 1895.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar