STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Minggu, 22 Mei 2011

PARTAI-PARTAI POLITIK ISLAM DAN MASA DEPAN UMAT ISLAM DI INDONESIA (Keterlibatan Umat Islam Dalam Penguatan Masyarakat Madani)

BAB I
PENDAHULUAN

Dalam kegiatan apapun, organisasi sangat memegang peranan penting untuk mencapai tujuan yang diinginkannya. Organisasi adalah suatu bentuk dan sistem kerjasama antara sekelompok orang untuk mencapai tujuan dan cita-cita yang diharapkannya. Oraganisasi adalah alat, sarana dan waday yang dengan itu kelompok yang bekerjasama itu berupaya hendak mencapai tujuan tertentu.
Sebelum kemerdekaan Indonesia diprokamasikan banyak terbentuk organisasi islam yang bertujuan untuk menegakkan agam islam di Indonesia. Organisasi-organisasi islam yang terbentuk di antaranya adalah SDI (1911), Muhammadiyah (1912), NU (1926), Persis (1936), Perti (1928), Al-Washliyah (1930) dan lain-lain. Organisasi-organisasi tersebut bergabung dalam satu wadah yaitu partai politik islam, seperti PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia) yang merupakan partai politik islam pertama kali di Indonesia yang berdiri pada tahun 1912, PII (Partai Islam Indonesia) yang berdiri pada tahun 1938 setelah PSII melakukan politik hijrah atau nocoperation dengan pemerintah Hindia-Belanda.
Partai politik islam tersebut betujuan untuk menegakkan agama islam, juga untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Pada tahun 1945 kemerdekaan Indonesia diprolamasikan. Umat islam atau oramas islam sangat berperan dalam kemerdekaan Indonesia.
Setelah Indonesia merdeka, muncullah partai islam baru yaitu Masyumi sebagai respon umat islam terhadap imbauan pemerintah melalui pengumuman 3 Oktober 1945, yang mengajak rakyat untuk mendirikan partai. Pendukung-pendukung masyumi antara lain PSII, Muhammadiyah, NU, Persis, Al-Irsyad, PUSA dan lain-lain. Tapi PSII pada tahun 1947 dan NU pada tahun 1952 keluar dari Masyumi dan membentuk partai tersendiri. Masa pasca kemerdekaan yaitu 1945-1965 dinamakan masa orde lama, yang dalam pada itu ada dua paham kekuasaan yaitu kekuasaan perlementer (1950-1959) yang dikuasai oleh perlemen-perlemen yang mana presiden tidak mempunyai kekuasaan penuh, dan setelah dikeluarkan dekrit Presiden 05 Januari 1959 muncullah kekuasaan demokrasi terpimpin sampai pada tahun 1965 yang mana kekuasaan dikuasai penuh oleh presiden.
Setelah masa orde lama berakhr maka muncullah masa orde baru. Politik islam pada masa ini mengalami perubahan besar – besasaran. Ini disebabkan oleh birokratisasi politik dan diforendisiasi sosial. Perubahan ini tidak mustahi disebabkan pula oleh lembaga cita – cita politik islam. Biroktisasi ysng menonjol pada awal masa ini adalah penyederhanan partai politik, termasuk paartai yang berasaskan salam.kebijaksanaan ini dikenal dengan fusi partai tahun 1972, yang melahirkan PPP dan partai PDI, yang kemudian disusul dengan lenyapnya partai islam sebelum PPP mengganti asalnya dengan pancasila dalam muktamarnya tahun 1984. masa ini kekuasaannya bersifat otoritir.
Sertelah tumbuhnya orde baru dengan turunnya Soeharto pada tanggal 21 mei 1998, maka muncul masa reformasi, dimasa ini tampaknya ideologisasi yang dilakukan kuasaan terhadap rakyat telah luruh. Di masa ini, pacasila tidak lagi menjadi satu – satunya ildeologi yang di desakkan pada basis ke sadaran rakyat dengan cara – cara yang otoriter dan refresif.di bidang masa sebelumnya, mengubah partai politik lebih makro dan mendasar sebagai berikut : pertama, umat sekarang telah mengalami konvergensi yang cukup cair. Kedua, sikap politik umat islam sudah terfrakmentasi sedemikian rupa sehingga tidak mustahil basis-basin kantong suara umat secara klasik yang terbetakan pada pemilu 1955, telah berubah drastis. Partai-partai islam yang terbentuk pada masa ini antara lain, PBB (Partai Bulan Bintang) pada tanggal 17 Juli 1998, PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) pada tanggal 23 Juli 1998, PK (Partai Keadilan) pada tanggal 9 Agustus 1998, PKU (Partai Kebangkitan Umat), PAN (Partai Amanat Nasional), PKS (Partai Keadilan Sejahtera) dan lain-lain.
Semua partai islam tampaknya bersepakat untuk memperjuangkan demokrasi dengan cara menegakkan hukum, mewujudkan pemerintahan yang transparan, bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme serta memberdayakan partisipasi rakyat dalam politik, akan tetapi dalam kenyataannya hingga dipenghujung tahun 2005 semua wacana itu hanya merupakan slogan kosong belaka. Kenyataannya, hingga kini korupsi, kolusi, dan nepotisme semakin merajalela bahkan aktor yang terlibat juga dari unsur partai politik (islam) itu sendiri. Penegakan masih memprihatinkan, sementara para elit politik yang perilakunya bobrok dan memualkan tidak pernah memperjuangkan kepentangan rakyat (bawah).



BAB II
PEMBAHASAN


A. Gerakan Modern Islam : Asal Usul dan Perkembangan.
Pembaharuan dalam islam atau gerakan modern islam merupakan jawaban yang diajukan terhadap krisis yang dihadapi umat islam pada masanya. Kemunduran progresif kerajaan Usmani yang merupakan pemangku khilafah islam, setelah abad ketuju belas, telah melahirkan kebangkita islam dikalangan warga arab dipinggiran imperium itu. Yang terpenting diantaranya adalah gerakan wahabi, sebuah gerakan reformis puritanis (salafiyah). Gerakan ini merupakan sarana yang menyiapkan jembatan ke arah pembaharuan islam abad ke-20 yang lebih bersifat intelektual.
Katalisator terkenal gerakan pembaharuan ini adalah Jamaluddin Al-Afghani (wafat 1897). Ia mengajarkan solidaritas dan islamisme dan pertahanan terhadap imperialisme eropa, dengan kembali kepada islam dalam suasana secara ilmiah di modernisasi.
Manakala Al-Afghani berbicara tentang kesatuan dan persatuan islam, ia tidak memasukkan hanya kooperasi antara pemimpin-pemimpin agama atau politik. Yang diinginkan adalah kesetiakawanan dan solidaritas umat, adanya rasa tanggung jawab pada seluruh umat islam agar mempunyai hasrat dan keinginan untuk hidup dan bekerjasama dalam satu komonitas untuk mencapai dan memenuhi kesejahtaraan bersama. Dengan demikian solidaritas adalah kekuatan yang menghimpun masyarakat secara bersama karena tanpa solidaritas maka kekuatan umat akan rapuh. Hal ini tentunya bergantung kepada adanya prinsip itu dalam kehidupan bermasyarakat. Solidaritas yang tidak mengenal prinsip dan rasa keadilan di dalamnya, maka ia akan berubah menjadi fanatisme. Kesetiakawanan atau solidaritas adalah benar-benar merupakan suatu konsep menurut Al-Afghani merangkup segala susunan masyarakat yang diinginkan, yang membuatnya menjadi kuat dan mampu mengelola dan mengupayakan teraciptanya kesejahteraan bagi anggota-anggotanya.
Gerakan yang lahir di Timur Tengah itu telah memberikan pengaruh besar kepada gerakan kebangkitan islam di Indonesia, bermula dari pembaharuan pemikiran dan pendidikan islam di Minangkabau yang disusul oleh pembaharuan pendidikan yang dilakukan oleh masyarakat Arab di Indonesia. Kebangkitan islam semakin berkembang membentuk organisasi-organisasi sosial keagamaan, seperti Sarekat Dagang Islam (SDI) di Bogor (1909) dan Solo (1911), Muhammadiyah di Yogyakarta (1912), Persatuan Islam (Persis) di Bandung (1920-an), Nahdlatul Ulama’ (NU) di Surabaya (1926), dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) di Bandung, Bukit Tinggi (1930); dan partai-partai politik seperti Sarekat Islam (SI) yang merupakan kelanjutan dari SDI, Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) di Padang Panjang (1932) yang merupakan kelanjutan dan perluasan dari Organisasi pendidikan Thawalib, dan Partai Islam Indonesia (PII) pada tahun 1938.
Organisasi-organisasi sosial keagamaan islam dan organisasi-organisasi yang didirikan kaum terpelajar baru diatas, menandakan tumbuhnya benih-benih nasionalisme dalam pengertian modern. Namun, kebanyakan anggota masing-masing saling berhadapan sebagai dua belah pihak yang walaupun dalam banyak hal dapat bekerjasama-sering kali bertentanga.

B. Ormas-Ormas Islam di Indonesia
Dalam setiap kegiatan apapun, organisasi sangat memegang peranan penting untuk mencapai tujuan yang diinginkannya. Organisasi adalah suatu bentuk dan sistem kerjasama antara sekelompok orang untuk mencapai tujuan dan cita-cita yang diharapkannya. Kerapian jalinan dan sistem yang baik akan mengantarkan kelompok yang mendukung organisasi tersebut pada tujuan dan cita-cita yang diharapkannya. Kerapian jalinan dan sistem kerjasama yang baik akan mengantarkan kelompok yang mendukung organisasi tersebut pada tujuan yang dikehendakinya. Organsisi adalah alat, sarana dan wadah yang dengan itu kelompok yang berkerjasama itu berupa hendak mencapai tujuan tertentu.
Ormas-ormas islam di Indonesia antara lain :
1) Muhammadiyah
Perkumpulan Muhammadiyah didirikan oleh K. H. Ahmad Dahlan pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H. atau 18 Nopember 1912 M. berpusat di Yogyakarta.
Tujuan Muhammadiyah berdiri adalah :
a. Untuk memajukan dan menggembirakan kehidupan (cara hidup) sepanjang kemauan ajaran islam kepara lid-lid (anggota-anggota)-nya.
b. Untuk menegakkan dan menjunjung tinggi agama islam, sehingga dapat mewujudkan masyarakat islam yang sebenar-benarnya.
2) Nahdlatul Ulama’ (NU)
Nahdlatul Ulama’ didirikan pada tanggal 16 Rajab 1344 H. (31 Januari 1926 M) di Surabaya. Pembangunnya adalah alim ulama dari tiap-tiap daerah Jawa Timur, di antaranya : K. H. Hasyim Asy’ari Tebuereng; K. H. Bisyri Jombang; K. H. Ridwan Semarang; dan lain-lain.
Tujuan NU didirikan adalah :
a. Untuk memberlakukan ajaran islam berdasarkan paham ahlussunnah wal jama’ah di dalam masyarakat di wilayah negara republik Indonesia, ajaran islam tentu juga mencakup syariat islam.
b. Memegan teguh salah satu madzhab yang empat, yaitu Syafi’I, Maliki, Hanafi, dan Hambali. Dan mengerjakan apa-apa yang menjadikan kemaslahatan untuk agama islam.
3) Syarikat Dagang Islam (SDI)
Organisasi ini didirikan pada tahun 1911 sebagai suatu perhimpunan yang bermaksud mempertinggi ekonomi rakyat dengan nama Syarikat Dagang Islam (S.D.I) di pimpin oleh Haji Samanhudi, saudagar di Solo.
Pada tahun 1912 corak dan haluan SDI diubah menjadi partai politik dengan nama Syarikat Islam (SI). Pimpinannya disrahkan kepada Umar Sa’id Cokroaminoto.
4) Persatuan Islam (Persis)
Persatuan Islam didirikan di Bandung pada tanggal 1 Dzulhijjah 1354 (Maret 1936). Dipimpin oleh A. Hasan sebagai kepala dan M. Natsir sebagai penasehat dan guru. Tujuannya ialah untuk mengeluarkan muballigh-muballigh yang sanggup menyiarkan, mengajar, membela dan mempertahankan agama islam.
5) Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI)
Perkumpulan ini didirikan pada tanggal 5 Mei 1928 M. bertempat di candung, bukit tinggi (Sumatera Tengah) dengan nama Persatuan Tarbiyah Islamiyah. Pendirinya ialah Alim Ulama yang masyhur di Minangkabau antara lain : Syekh Sulaiman Ar-Rasuli, Candung Bukit Tinggi; Syekh M. Jamil Jaho, Padang Panjang; Syekh Abbas Ladang Lawas, Bukit Tinggi; dan lain-lain.
Tujuan berdirinya ialah untuk memajukan pendidikan dan pengajaran islam dengan membangun surau-surau dan sekolah-sekolah agama (madrasah-madrasah tarbiyah islamiyah).
6) Al-Washliyah
Didirikan pada tanggal 30 Nopember 1930 (9 Rajab 1349 H) di Medan (Sumatera Timur) oleh pelajar-pelajar dan guru-guru maktab islamiyah Tapanuli, sebagai pengurus yang pertama ialah Isma’il Banda ketua I, A. Rahman Syihab ketua II, M. Arsyad Th. Lubis penulis I dan lain-lain, penasehat ialah Syekh H. M. Yunus.
Organisasi ini berasas islam. Dalam hukum fiqih bermadzhab Syafi’I dan dalam i’tiqad ahlus sunnah wal jama’ah. Tujuannya adalah melaksanakan tuntunan agama islam untuk kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
7) Persatuan Umat Islam (PUI)
Persatuan umat islam ini adalah kelanjutan dari dua perkumpulan islam yang telah lama berdiri, yaitu :
a. Perserikatan Umat Islam (didirikan pada tahun 1917) di bawah pimpinan K. H. Halim Majalengka.
b. Al-Ittihadiyatul Islamiyah (AII) di bawah pimpinan K. H. A. Sanusi Sukabumi.
Kedua perkumpulan itu digabungkan menjadi satu dengan nama Persatuan Umat Islam (PUI), yaitu pada tanggal 5 April 1952 M. (9 Rajab 1371 H.).
PUI adalah perkumpulan islam yang bersifat sosial, seperti pemeliharaan masjid-masjid, surau-surau, pesantren-pesantren dan pengajian-pengajian (tabligh), pendidikan dan pengajaran, perawatan yatim piyatu dan sebagainya.
Tujuannya adalah untuk menuju terlaksananya syari’at islam menurut madzhab ahlus sunnah wal jama’ah.
8) Dan lain-lain.
Kelahiran ormas-ormas islam serta perkembangannya sampai pertengahan abad ke-20 barangkali akan mudah dipahami bila ditempatkan dalam periodesasi sejarah umat islam Indonesia, terutama sejak abad ke-19 sampai sekarang. Dalam kaitan ini, periodesasi perkembangan umat islam yang pernah dibuat oleh Kuntowijoyo agaknya cukup relevan. Sejarawan itu membagi perkembangan umat islam Indonesia menjadi tiga tahap periode, yakni periode mitos, periode ideologi dan periode ide atau ilmu. Periode ini dibuat beredasarkan sosiologi pengetahuan dengan melihat bentuk-bentuk kesadaran umat islam pada masa itu.
Pada periode mitos (sebelum 1900), banyak diwarnai oleh radikalisme, seperti perang Diponogoro (1825-1830), pemberontakan Bantun (1888) dan lain-lain.
Periode ideologi (1900-1965), berupaya untuk membentuk formulasi normatif dalam wawasan keagamaan. Isu penting pada periode ini adalah terbentuknya Baldatun Thayyibatul Wa Rabbun Ghafurun atau negara sejahtera yang diridhali Tuhan. Orientasi pada negara mulai berkurang pada periode ilmu, karena yang diperjuangkan bukan lagi negara idela, tapi sistem yang rasional. Perjuangan diperluas kedalam berbagai bidang kehidupan sosial, bukan hanya politik seperti yang berlangsung pada periode ideologi.
Dilihat dari periodesasi itu dapat dikatakan bahwa ormas-ormas islam lahir pada periode ideologi. Periode ini merupakan kelanjutan dari zaman sebelumnya yang diwarnai oleh radikalisme. Ini berarti bahwa kelahiran ormas-ormas islam mungkin saja dipengaruhi oleh faktor internasional, terutama perkembangan islam di Timur Tengah dari abad lalu hingga awa abad ke-20, tapi dinamika internal umat merupakan faktro yang dominan.
Lebih dari itu, karena kelahiran ormas islam merupakan kelanjutan perjuanan islam sebelumnya, maka mereka membawa wawasan baru (pembaharuan) dalam kehidupan umat di bidang keagamaan dan kemasyarakatan (ormas islam yang lahir sebelum Indonesia merdeka). Wawasan pembaharuan ini juga menjadi concern utama ormas islam yang lahir setelah merdeka seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang lahir tahun 1947.

C. Partai-Partai Politik islam di Indonesia
Partai politik islam talah lama mewarnai pentas sejarah tanah air. Sejarah partai islam dimulai dari pendirian Sarekat Islam (SI) pada tanggal 11 November 1912 di Solo. Jika dilacak dari rentang waktunya, maka perjalanan partai (politik) islam bisa dibagi dalam beberapa periode, yaitu : pra-kemerdekaan, pasca-kemerdekaan (orde lama), orde baru, dan pasca-orde baru (reformasi).
1. Partai politik islam pada masa pra-kemerdekaan.
a. PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia)
Partai ini didirikan pada tahun 1911 sebagai suatu penghimpunan yang bermaksud mempertinggi ekonomi rakyat dengan nama Syarikat Dagang Islam (SDI), dipimpin oleh Haji Samanhudi, saudagar dari Solo.
Pada tahun 1912 corak dan haluan SDI diubah menjadi partai politik dengan nama Syarikat Islam (SI), pimpinannya diserahkan kepada Haji Umar Sa’id Cokroaminoto.
Dengan demikian maka SI adalah partai politik yang pertama berdiri di Indonesia, yang tetap hidup sampai pada masa orde lama dan orde baru. Sehingga segala lapisan rakyat berlomba-lomba memasukinya, dari tingkat rendah, menengah sampai tingkatan tinggi. SI sebenarnya menjadi pusat penggembleng rakyat yang pertama lahir di Indonesia. Dalam SI bercampur aduk anggota-anggotanya bermacam-macam ideologi, ada ideologi islam, sosial, komunis, ada yang berfaham borjuis, sama rasa, sama kata dan sebagainya.
Gerakan politik islam pada masa ini menunjukkan signifikansinya dalam politik nasional Indonesia. Hal tersebut diprosentasikan oleh tokoh-tokoh politik islam dan peranan mereka dalam gerakan-gerakan politik islam vis a vis gerakan politik sekuler, khususnya dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, malalui wadah organisasi politik Syarikat Islam (PSII), suatu gerakan nasionalisme terbesar pada awal abad ke-20.
b. PII (Partai Islam Indonesia)
PII ini didirikan di Surakarta yang diprakarsai Muhammadiyah dan tokoh-tokoh islam lainya. PII lahir pada satu dasa warsa setelah orang-orang Muhammadiyah dan orang-orang islam lainnya terkena peraturan disiplin partai dari SI sebagai hasil kongres SI di Pekalongan pada 1927, yang isinya melarang anggota-anggotanya merangkap organisasi dan harus memilih salah satu diantara keduanya. Ini membuat orang-orang Muhammadiyah tetap berada dalam Muhammadiyah da keluar dari SI termasuk K. H. Mas Mansur.
Pada tahun 1930 pemimpin-pemimpin islam yang terkena disiplin partai SI menyarankan SI mencabut kebijakan disiplin partai, tapi saran tersebut oleh SI ditolak, dan delapan tahun kemudian, tapatnya pada 1938 berdiri Partai Islam Indonesia (PII). Pendirinya antara lain sebagai berikut : K. H. Mas Mansur, Dr. Sukiman Wirjosandjojo, H. Agus Salim, dan lain-lain.
2. Partai politik islam pada masa pasca kemerdekaan (orde lama)
Perlu diketahui bahwa pada masa ini ada dua periode paham kekuasaan, yaitu kekuasaan parlementer dan demokrasi terpimpin. Kekuasaan parlementer (1950-1959) pemerintahannya teridiri dari beberapa kabinet, yang menjadi kabinet selama masa kekuasaan parlementer ada 7 orang kabinet, kabinet-kabinet tersebut ada yang berasal dari Masyumi. Kekuasaan parlementer berakhir dengan dikeluarkannya dekrik presiden 05 Juli 1959. Maka paham kekuasaan berubah menjadi demokrasi terpimpin (1959-1965).
Partai-partai politik islam pada masa orde lama antara lain sebagai berikut :
a. Masyumi (Majlis Syura Muslimin Indonesia)
Partai ini lahir di Yogyakarta pada 7-8 November 1945 sebagai respon umat islam terhadap imbauan pemerintah melalui pengumuman pada tanggal 3 Oktober 1945, yang mengajak rakyah untuk mendirikan partai. Imbauan yang ditanda tangani wakil presiden Mohammad Hatta tersebut diulangi lagi pada 3 November 1945. Berdirinya partai Masyumi itu diputuskan dalam kongres Muslimin Indonesia di madrasah Muallimin Muhammadiyah di Yogyakarta. Kongres tersebut mengikrarkan :
Pertama : Masyumi adalah satu-satunya partai politik islam Indonesia.
Kedua : Bahwa Masyumi-lah yang akan memperjuangkan nasib umat islam Indonesia.
Pendukung-pendukung Masyumi antara lain : PSII, Muhammadiyah, NU, Perikatan Umat Islam dan Persatuan Umat Islam yang pada 1951 keduanya menfusikan diri menjadi Persatuan Umat Islam (PUI) Indonesia, Persatuan Umat Islam (Persis) di Bandung pada 1948, Persatuan Ulama’ Seluruh Aceh (PUSA) pada 1949, Al-Irsyad pada 1950, Al-Jami’ah Al-Washliyah, dan lain-lainnya. Tapi pada tahun 1947 PSII keluar dari Masyumi dan pada 1952 NU juga keluar dari Masyumi. Kedua-duanya membentuk partai tersendiri. Pada tahun 1960 Masyumi dibubarkan (setelah dekrit presiden 05 Juli 1959).
b. NU
Golongan islam tradisional diwadahi oleh organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama (NU). Sedangkan kendaraan politik yang mereka pergunakan pada awal kemerdekaan adalah Masyumi hingga NU menyatakan keluar dan membentuk partai sendiri pada tahun 1952. Selanjutnya, pada pemilu 1955 dan 1971 NU tampil sebagai partai politik yang mewadahi golongan islam tradisional. Namun, sebagaimana golongan islam lainnya, sejak tahun 1973 NU memperoleh perlakuan yang tidak manusiawi dari pemerintah dan dipaksa berfusi ke PPP. Kondisi perpolitikan yang tidak kondusif ini baru berakhir ketika rezim otoriter orde baru tumbang dan beralih ke era reformasi, dimana setiap kelompok dan juga individu memiliki kebebasan dalam berpolitik. Dan kondisi seperti inilah yang telah mendorong NU untuk membentuk partai baru (PKB) yang bisa mewadahi dan menampung aspirasi kelompok islam tradisional.
c. PSII
d. Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah)
3. Partai politik islam pada masa orde baru (1965-1998)
Islam pada masa orde baru mengalami perubahan institusional. Perubahan institusional tersebut menyebabkan hancurnya institusi-institusi lama dan munculnya institusi-institusi baru. Perubahan institusi lama ialah terutama fusi partai-partai islam yang melahirkan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada tahun 1973. kemudian lenyapnya partai islam setelah PPP mengganti asasnya, islam dengan pancasila dalam muktamarnya tahun 1984.
Sedang pemunculan institusi baru ditandai antara lain dengan terbentuknya Majlis Ulama Indonesia (MUI) tahun 1975, lahirnya Ikatan Cendikiawan Muslim (ICMI) tahun 1990 dan Bank Mu’amalat Indonesia (BMI) tahun 1991.
Politik islam pada masa orde baru mengalami perubahan secara besar-besaran. Ini disebabkan oleh proses birokratisasi politik dan diferensiasi sosial. Perubahan ini tidak mustahil disebabkan pula oleh lemahnya cita-cita politik islam.
Birokratisasi yang paling menonjol pada awal orde baru ialah penyederhanaan partai politik termasuk partai yang berasaskan islam, kebijaksanaan ini dikenal sebagai fusi partai tahun 1973 yang melahirkan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang kemudian disusul dengan lenyapnya partai islam sebelum PPP mengganti asasnya dengan pancasila.
Selam masa orde baru dapat dikatakan PPP merupakan semacam “agen tunggal” penyalur aspirasi umat islam, terutama sejak deklari 5 Juli 1973 yang menandai fusi politik keseluruhan empat parta islam yang ada pada waktu itu kedalam PPP, yakni Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia (Permusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Partai Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti).
4. Partai politik islam pada masa pasca orde baru (Reformasi)
Sejak pemerintahan orde baru (Soeharto) tumbang pada tanggal 21 Mei 1998, tampaknya ideologisasi yang dilakukan kekuasaan terhadap rakyat telah luruh. Di masa ini, pancasila tidak lagi menjadi satu-satunya ideologi yang didasarkan pada basis kesadaran rakyat dengan cara-cara yang otoriter dan reprosif. Setelah Soeharto ambruk dan genderang “Reformasi” ditabuh, maka era pluralisme pun mendapat ruang lebah temasuk pluralisme ideologi.
Dengan berpijak pada kultur patornalisme maka kejatuhan Soeharto dijadikan momentum untuk menciptakan sistem baru yang sangat berbeda dengan sistem yang dikembangkan pemerintahan orde baru. Masyarakat yang menghendaki perubahan asasi dalam panggung kehidupan yang lebih baik (demokratis), harus melihat secara jernih bahwa posisi pemerintahan orde reformasi tidak punya alternatif lain kecuali harus memperhatikan kepentingan rakyat. Inilah sebuah momentum yang harus ditindak lanjuti dalam format konsep atau aksi yang perspektifnya memenuhi makna kehidupan yang demokratis, bukan menjadikannya sebagai obsesi kepentingan pribadi atau kelompoknya.
Perbedaan wacan kebangsaan pada masa ini (Reformasi) dibandingkan masa sebelumnya, mengubah peta politik lebih makro dan mendasar sebaga beriktut. Pertama, umat sekarang telah mengalami konvergensi yang cukup cair. Kedua, sikap politik umat islam sudah terfragmentasi sedemikian rupa hingga tidak mustahil basis-basis kantong suara umat secara klasik yang telah terpetakan pada pemilu 1955 telah berubah drastis.
Di era Reformasi, yang ditandai dengan ledakan partisipasi dan bertiupnya kebebasan, kekuatan islam yang sebelumnya “tersembunyi” lantas menampakkan diri ke permukaan. Fenomina politik islam, islam politi dan partai islam tumbuh subur. Faksi-faksi islam leteral, dogmatis, fundamentalis, militan dan radikal yang tidak mungkin ditoleransi di masa orde baru, kini tanpa rasa takut muncul kepermukaan. Partai-partai islam yang terbentuk pada masa ini misalnya; PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), PK (Partai Keadilan), PKU (Partai Kebangkitan Umat), PBB (Partai Bulan Bintang), PAN (Partai Amanat Nasional) dan lain-lain.
Semua partai islam di masa ini tampaknya bersepakat untuk memperjuangkan demokrasi dengan cara menegakkan hukum, mewujudkan pemerintahan yang transparan, bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme, serta memberdayakan partisispasi rakyat dalam politik. Akan tatapi dalam kenyataanya hingga di penghujung tahun 2004, semua wacana itu hanya merupakan slogan kosong belaka. Kenyataannya, hingga kini korupsi, kolusi dan nepotisme semakin merajalela, bahkan aktor yang terlibat juga dari unsur partai politik (islam) itu sendiri. Penegakan hukum masih memprihatinkan, sementara para elit politik yang perilakunya bobrok dan memualkan tidak pernah memperjuangkan kepentingan rakyat (bawah).

D. Islam Tradisional Versus Islam Modernis
Penggolongan kekuatan politik pernah terjadi pada tahun 1950-an, yaitu kelompok yang mendukung demokrasi terpimpin, yang oleh Soekarno kemudian disebut “golongan Nasionalis-Agama-Komonis” (NASAKOM), dan kelompok yang menolak Demokrasi Terpimpin (Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia). Atas dasar itulah, Feith kemudian membagi lima aliran dalam pemikiran politik indonesia, yakni Nasionalisme Radikal, Tradisionalisme Jawa, Islam, Sosialisme Demokrasi, dan Komonisme.
Mengenai aliran dan gerakan politik islam di Indonesia, Feith mengelompokkan dua golongan islam yang saling berseberangan : pertama, Kelompok reformis (mencakup aliran modernis dan fundamentalis) yang aktif berpolitik dan berpusat di Masyumi. Dan kedua, kelompok konservatif yang berpusat di NU.
Ada dua arus pemikiran dikalangan umat islam indonesia yang mengaitkan hubungan antara agama dan negara. Pertama, golongan “Islam Literalis” atau sering juga disebut kelompok “Islam Struktural”. Kelompok ini meyoritas berada pada komonitas kelompok modernis dengan modal perjuangannya pada umumnya melalui jalur top-down (melalui kelembagaan formal yang kemudian merambah kepada rakyat). Kedua, golongan “Islam Substansial” yang mendominasi komonitas kelompok tradisional. Model perjuagan menempuh jalur buttom-up (melalui masyarakat yang kemudian berimplikasi pada moralitas aktor politik).

E. Islam dan Penguatan Masyarakat Madani
Berakhirnya kekuasaan Soeharto pada Mei 1998 segera diikuti dengan perubahan-perubahan politik yang penting bagi terciptanya masyarakat madani. Dimulai dengan pemberian kebebasan kepada masyarakat untuk mendirikan partai-partai dimana yang dulu dikuasai 3 parpol, sekaran sudah terdaftar 100 partai, setelah melalui seleksi tim 11 (sebelas) hanya 48 partai yang dinyatakan berhak mengikuti pemilu. Era politik asa tunggal pancasila juga telah tamat, partai-partai pun dibenarkan menggunakan asas lain, termasuk asas agama.
Akan tetapi, kemunculan banyak partai tersebut lebih didorong oleh euforia politik setelah tertindas dan terkekang selam lebih 30 tahun. Hampir seluruh partai tidak menawarkan konsepsi yang jelas, misalnya tentang bagaimana The real and authentic democracy bisa diwujudkan di Indonesia pasca-Soeharto. Juga tidak terdapat penawaran-penawaran program yang jelas tentang bagaiman rekonstruksi dan pemulihan ekonomi Indonesia yang terpuruk bisa dilakukan. Partai-partai yang ada, akibatnya terlibat dalam polemek dan kontroversi yang sering muncul karena “Egoisme” dan Provinsialisme politik para elit. Disini terlihat, bahwa kita “belum siap” dengan budaya demokrasi, sikap tidak mau dan merasa benar sendiri, tidak atau kurang toleran dan menghormati visi dan persepsi politik pihak lain. Terlihat jelas kenyataan ini bukan hanya tidak sesuai dengan prinsip-prinsip civility (keadaban) yang merupakan karakter utama masyarakat madani tetapi juga bertentangan dengan paradigma authentic democracy yang esensinya merupakan art of compromise.l
Pada masa pemilu 1999 ada beberapa partai yang dapat diidentifikasikan dengan partai islam atau partai kaum muslimin yang mempunyai pendukung yang sangat signifikan. Partar-partai tersebut mencakup seperti “ PAN, PKB, PPP, PBB, PK. Pengedentifikasian tersebut cukup problematis karena banyak argumen dalam mengkatagorikan partai-partai itu ke dalam partai islam, tapi perlu kita kaji ulang dan itupun sangat logis karena kebangkitan partai-partai ini terutama bukan didorong motivasi memperjuangkan paham-paham agama tapi lebih didorong motif-motif politik dan kekuasaan baik pada level individu maupun kelompok.



BAB III
PENUTUP


A. Kesimpulan
Dari urain di atas, kami dapat menyimpulkan baahwa perjalanan partai politik islam di Indonesia bisa di baagi dalam beberaapa periode yaitu :
1. pra – kemerdaekaan ( 1900 – 1945 )
2. pasca kemerdekaan ( orde lama ) ( 1945 – 1965 )
3. orde baru ( 1965 – 1998 )
4. pasca orde baru ( reformasi ) ( 1998 – sekarang )
Selama rentang empat periode itu, partai politik islam mengalami pasang surut, dinamika, dan berbagai kejadian. sehingga sampailah pada masa reformasi yaitu ketika soeharto tumbang dari kekuasaannya pada tggal 21 mei 1998. pada era awal reformasi, myasarakaaat indponesia mengalami eforia politik, seelah selama 32 tahun berada dalm cengkraman rezim orde baru yang represif dan otorter. sejak soeharto tumbang, tampakya ideologisasi yang dilakukan kekuasan terhadap rakyat telah luruh. di masa ini banyak partai politik ( islam ) yang bermunculan kepermukaan.
Semua paartai islam tampaknya bersepakat untuk meprjuankan demokrasi dengan caraa menegakkan hukum, mewujutka emerintahan yang transparan, bersi daari korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta memberdayakan parti sipasi rakyat dalam politik, akan tetapi dalam kenyataannya hingga dipenghujung tahun 2004, semua wacana itu hanya mrupakan sloga kosong belaka.

B. Saran
Demikian makala kami yaang berjudul “ Partai – partai politik islam dan masa depan umat islam di Indonesia ( keterlibaatan umat islam dalam penguatan masyarakat madani )“. semoga jadi manfaat bagi yang membaca dan mendengarkan. kami menyadaaaari bahwa dalam makala ini banyak kukurangan-kekurangan dalam pemaparan. maka dari itu kami sangat berharap kepada pembaca tidak hanya cukup membaca makala ini. agar membaca buku-buku yang berkaitan dengan makalah ini, agar menambah pengetahuan pembaca.
Akhirnya kami tutup maklah ini dengan pembacaan “Alhamdulillahirobbil Alamin.”

DAFTAR PUSTAKA

- Dr. Badri Yatim, M.A. Sejarah Peradaban Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999
- Prof. Dr. Faisal Ismail, Islam Transformasi Sosial Dan Kontinuitas Sejarah, PT. Tiara Wacana, Yogyakarta, 2001
- Prof. H. Ahmad Yunus, Sejarah Pendirikan Islam Di Indonesia, Hidakarya Agung, Jakarta, 1984
- Syaitullah, Gerakan Politik Muhammadiyah Dalam Masyumi, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1997
- Fathurin Zen, NU Politik, Lkis, Yogyakarta, 2004
- M. Dawan Rahardjo, Islam Indonesia Menatap Masa Depat, CV. Guna Aksara, Jakarta, 1989
- M. Arief Hakim, Jejak-Jejak Islam Politik, Bagais, Jakarta, 2004
- Dedy S. Taruna, Pranata Islam Di Indonesia, Logos Wacana Ilmu, 2002
- Sudirman Tebba, Islam Orde Baru Perubahan Politik Dan Keagamaan, PT. Tiara Wacana, Yogyakarta, 1993
- Sahar L. Hassan, Kuat Sukardiyono, Dadi M. H. Basri, Memilih Partai Islam, Gema Insani, Jakarta, 1998

Tidak ada komentar:

Posting Komentar