Semula istilah filsafat itu sama dengan ilmu pengetahuan. Dalam kebudayaan Yunani dahulu, masa kaum sofos hidup, memandang bahwa segala macam pengetauhuan serta bagaimana corak dari ilmu pengetahuan tersebut termasuk ke dalam filsafat. Tetapi lambat laun, karena pengalaman manusia semakin lama semakin bertambah dan gejala-gejala yang diketahuinya semakin lama semakin mengalami dimakika pasang surut kehidupan. Maka manusia melakukan taksonomi (pemilahan) terhadap berbagai pengalam-pengalaman hidupnya menjadi berbagai deviriasi experience, membagai pengalam-pengalamannya menjadi berbagai lapangan hidupnya dengan berbagai disiplin ilmu pengetahuannya sendiri-sendiri sesuai dengan lapangan kehidupan tersebut. Mulai adanya taksonomi ilmu pengetahuan terhadap lapangan kehidupan manusia tersebut itulah, maka istilah filsafat semakin dipersempit.
Filsafat dipandang sebagai mother of knowledge, ibu dari pengetahuan. Hal ini mengandung arti bahwa ilmu pengetahuan tersebut tidak ada dengan sendirinya, tetapi harus ada yang mengandung, melahirkan, dan mengurus perkembangan dari ilmu pengetahuan tersebut. Hal ini dilakukan oleh filsafat. Dalam konsepsi ini muncul paradigma yang menyebutkan bahwa ilmu pengetahuan apapun yang sejak dari dahulunya diselaraskan dengan pengalaman-pengalaman dan lapangan-lapangan hidup dan penghidupan manusia memerlukan suatu landasan filosofis, filsafat.
Dalam masa sekarang, filsafat dipandang sebagai sesuatu yang penting yang harus diketahui oleh para akademia. Sehingga tidak aneh kalau orang mempelajari disiplin ilmu pengetahuan apapun akan mempelajari filsafat. Sebagai contoh: ketika orang mempelajari ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan pendidikan, maka ia akan mempelajari filsafat yang bertalian dengan disiplin ilmu itu.
Dalam riwayat filsafat di atas digambarkan bagaimana filsafat itu dipandang sebagai induk segala ilmu. Akan tetapi seiring perkembangan pengalaman dan pengetahuan serta kehidupan manusia yang terus berkembang. Filsfat mulai ditinggalkan oleh anak-anak kandungnya, yang berdiri sendiri sebagai sebuah disiplin ilmu pengetahuan.
Seiring perkembnagan jaman pula, ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri itu mulai mengalami perkembangan dan dinamiki yang makin terus maju, seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan tersebut, mulai menghadapi berbagai persoalan-persoalan yang tidak bisa diselesaikan dan dijawab oleh ilmu pengetahuan tersebut. Sehingga ilmu pengetahuan tersebut memerlukan bantuan untuk memecahkan persoalan itu. Ilmu pengetahuan itu memerlukan kehadiran filsafat untuk menjawab persoalan-persoalan yang belum/tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa.
A. Definisi Filsafat
Tiap mempelajari suatu ilmu, yang paling sulit dirasakan oleh ilmuan adalah menetapkan suatu definisi. Persoalannya bukan terletak pada soal bagaimana untuk mengemukakan definisi tersebut, melainkan soal mau atau tidaknya seseorang menerima definisi kita itu, akan pahamkah mereka itu terhadap definisi yang kita kemukakan atau tidak?. Demikian juga terhadap definisi filsafat. Buktinya, para filsuf-pun sampai dengan masa sekarang selalau berbeda-beda dalam mendefinisikan filafat.
Cultur yang biasa dilakukan sampai sekarang bertalian dengan definisi ini adalah dengan melakukan sandaran kepada pendekatan kebahasaan dan pendekatan istilah yang diberikan oleh para hali dibidangnya (etimologi dan terminologi).
Kata filsafat diambil dari bahasa Arab: falsafah atau falsafah. Orang Arab sendiri mengambilnya dari bahasa Yunani: Philosofia, Menurut pandangan I.R. Pujawijatna, dalam bukunya yang berjudul Pembimbing ke Arah Alam Filsafat menerangkan bahwa kata Philosofia dalam bahasa Yunani itu merupakan kata majemuk yang terjadi dari dua uku kata Filo yang artinya kebijaksanaan dan Sopfia yang artinya cinta. Cinta di sini harus diartikan seluas-luasnya, yaitu ingin dan karena ingin itu selalu berusaha mencapai yang diinginkannya. Lebih lanjut I.R. Pujawijatna menjelaskan bahwa kata kebijaksanaan dipandang juga sebagai suatu kata yang sifatnya abstrak, kurang jelas dan/atau asing, sebab kata kebijaksanaan tersebut mengandung pula arti pandai, mengerti dengan mendalam. Menurut I.R. Pujawijatna filsafat menurut namanya boleh dimaknakan: ingin mengerti dengan mendalam atau cinta kepada kebijaksanaan.
Pendapat di atas boleh dimasukan definisi filsafat secara etimologi. Yaitu sudut pandang secara kebahasaan mengenai definisi filsafat. Sepanjang penelitian penulis terhadap sudut pandang kebahasaan filsafat ini, memang benar bahwa kata filafat yang ada dalam bahasa Indonesia kita itu berasal pada bahasa Arab. Kalau kita bandingkan dengan ilmu kebahasan (liguistik) terhadap kata filsafat, baik pada bahasa Inggris, Belanda, dan bahasa lainnya, ada relasi dan relevansinya kepada bahasa Arab. Hal ini sesuai dengan keterangan Kees Bertens, seorang sarjana berkebangsaan Belanda, yang menerangkan bahwa setelah dunia Islam maju dan berkembang pesat ke seantero dunia ini, banyak sarjana-sarjana dan ilmuan muslim mengkodifikasi (membukukan) berbagai bidang dan disiplin ilmu, termasuk filsafat, kedalam bahasa Arab. Dan Eropa bisa mengenal itu semua pada masa terjadinya perang salib.
Masa perang salib dipandang sebagai masa bukan saja konflik akan tetapi masa transpormasi ilmu, pengetahuan dan kebudayaan. Sehingga banyak karyatulis dan hasil penelitian sarjana dan ilmuan muslim yang dipelajari oleh Eropa pada waktu itu. Masa ini pula dipandang sebagai masa awal kelahiran kaum orientalis. Yaitu komunitas mereka (orang Barat/Eropa) yang mempelajari Islam. Banyak sekali karya sarjana dan ilmuan muslimtersebut yang dipelajari, diterjemahkan, bahkan yang paling tidak adil adalah penghapusan dan penggantian nama serta identitas mereka (sarjana dan ilmuan muslim) dengan identitas lain. Misalnya saja: Ibnu Rusy menjadi Aveoes, Ibnu Sina menjadi Avecena, Musa Maimun menjadi Moses Maimunides, dan lain-lainnya identitas yang mereka samarka. Tujuan mereka itu tiada lain adalah untuk memanipulasi seolah-olah kemajuan mereka itu murni mereka tampa campuran dan pengaruh dari luar.
Secara termonologi, filsafat mempunyai arti yang bermacam-macam, sebanyak orang yang memberikan pengertian atau batasannya. Ada beberapa definisi filsafat yang akan dikemukakan di bawah ini.
Menurut Plato (427-347 SM.) murid Socrates, guru dari Aristoteles, mendefinisikan filsafat sebagai pengetahuan tentang segala yang ada, ilmu yang berminat untuk mencapai kebenaran yang asli.
Aristoteles (381-322 SM.) mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu: methafisika, logika, etika, ekonomi, politik dan estetika. Aristoteles ini adalah guru dari Alexsander dari Macedonia (Yunani), orang Barat mengenalnya sebagai Alexsander The Groot (Alexsander yang agung). Namanya diabadikan dalam Al-Qur’an sebagai Dzul Qornain (Yang mempunyai dua tanduk/kekuasaan).
Marcus Tullius Cicero (106-43 SM.), seorang politikus dan ahli pidato Romawi, merumuskan filsafat sebagai pengetahuan tentang sesuatu yang maha agung dan usaha-usaha untuk mencapainya.
Al-Farabi (wafat 950 M.) seorang filsuf muslim mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam wujud dan bertujuan menyelidiki hakekat yang sebenarnya.
Immanuel Kant (1724-1804 M.) yang sering dijuluki raksasa pemikir Barat, mengatakan bahwa filsafat merupakan ilmu pokok dari segala pengetahuan yang meliputi empat persoalan, yaitu:
1. Apa yang dapat diketahui?. Persoalan ini dijawab oleh metafisika;
2. Apa yang boleh kita kerjakan?. Persoalan ini dijawab oleh etika;
3. Sampai dimanakah pengharapan kita?. Persoalan ini dijawab oleh agama; dan
4. Apakah manusia itu?. Persoalan ini dijawab oleh antropologi.
Fuad Hasan, guru besar psikologi di Universitas Indonesia, mantan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan RI, menyatakan bahwa filsafat ialah suatu ikhtiar untuk berpikir radikal, radikal dalam arti mulai dari radixnya suatu gejala, dari akarnya suatu hal yang hendak dipermasalahkan. Dengan jalan penjajagan yang radikal itu filsafat berusaha untuk sampai kepada kesimpulan-kesimpulan yang universal.
Menurut N. Drijarkara S.J. (1913-1967 M.) filsafat adalah pikiran manusia yang radikal, artinya, yang dengan mengesampingkan pendirian-pendirian dan pendapat “yang diterima saja” mencoba memperlihatkan pandangan yang merupakan akar dari lain-lain pandangan dan sikap yang praktis.
Lebih lanjut beliau mencontohkan, jika filsafat misalnya berbicara tentang masyarakat, sosiologi, hukum, kesusilaan dan sebagainya, maka di situ pandangan tidak diarahkan ke sebab-sebab yang terdekat, melainkan ke “mengapa” yang terakhir, sepanjang kemungkinan yang ada pada budi manusia berdasarkan keutamaannya.
Menurut Endang Saifudin Anshari filsafat adalah hasil usaha manusia dengan kekuatan akal budinya untuk memahami (menyelami dan mendalami) secara radikal, integral dan universal hakikat sarwa yang ada (hakikay Tuhan, hakikat alam, dan hakikat manusia), serta sikap manusia termaksud sebagai konsekuensi daripada faham (pemahaman)-nya tersebut.
B. Kegunaan Filsafat
Dalam dunia ini semuanya mempunyai guna, fungsi serta mangfaat yang dapat dimbil dan diberikan. Demikian juga dengan filsafat ia mempunyai kegunaan dalam kehidupan manusia. Sebagaimana dikemukakan oleh Karl Jasper (Lahir 1883 M.) filsafat membuat daftar yang berharga dan tidak berharga dalam hidup, dia memberi arti dan tujuan kepada hidup manusia, filsafat itu memberi kepada manusia pandangan dunia.
Dalam pandangannya itu, filsafat memberikan pilihan kepada manusia untuk memilih diantara pilihan-pilihan yang tersedia untuk digunakan sedemikian rupa sesuai dengan kepentingannya.
Pilihan-pilihan tersebut disediakan untuk mencari alternatif yang paling dekat terhadap nilai “benar” sebagai jawaban terhadap persoalan hidup dan penghidupan manusia yang diajukan dan dijawab oleh filsafat. Jadi filsafat adalah untuk menjadi kebenaran.
C. Cabang-Cabang Filsafat
Dalam pandangan Endang Swaifudin Anshari, yang merupakan bagian dari filsafat sekarang ini tinggal hal-hal yang meliputi:
1. Metafisika, filsafat tentang hakikat yang ada di balik fisika, tentang hahekat yang ada yang bersifat transenden, di luar atau di atas kemampuan pengalaman manusia;
2. Logika, filsafat tentang pikiran yang benar dan/atau yang salah;
3. Etika, filsafat tentang tingkah lakuyang baik dan/atau yang buruk;
4. Estetika, filsafat tentang karya (kreasi) yang indah dan/atau yang jelek;
5. Epistemologi, filsafat ilmu pengetahuan; dan
6. Filsafat-fuilsafat Khusus, seperti filsafat alam, filsafat manusia, filsafat agama, filsafat ilmu, filsafat hukum, filsafat pendidikan, dan lai-lain sebagainya.
D. Objek Filsafat
Filsafat mempunyai dua objek. Para ilmuan dibidang filsafat mengkategorikannya kepada objek filsafat formal dan objek filsafat material. Objek filsafat formal adalah segala sesutu yang ada dan mungkin ada, yang adanya itu ada dalam konsep. Objek filsafat formal bisa memiliki dua wujud, abstrak dan kongkrit yang bisa akal manusia memahaminya. Dalam objek filsafat formal tidak dibatasi tentang apa saja secara terperinci atau dikemukakan dan disebutkan satu persatunya. Sepanjang akal manusia itu bisa memahaminya maka itu semua merupakan obyek filsafat formal.
Sedangkan obyek filsafat material, menurut Mochtar Kusumaatmaja ialah sarwa yang ada, yang pada garis besarnya dapat dibagi tiga, yaitu:
1. Masalah Tuhan;
2. Masalah Alam; dan
3. Masalah manusia.
E. Hakikat Masalah
Problematika tentang alam sudah banyak yang telah dipecahkan oleh ilmu-ilmu pengetahuan tentang alam, namun disamping itu masih banyak masalah alam yang tetap merupakan misteri.
Problem tentang manusia pun sudah banyak yang dapat dijawab oleh ilmu-ilmu pengetahuan tentang manusia, namun di sisi itu masih banyak pula masalah manusia yang tetap menjadi misteri.
Masalah Tuhan sama sekali di luar jangkauan ilmu pengetahuan manusia. Ilmu pengetahuan manusia biasanya bersifat empiris dan eksperimental yang tidak bisa menjawab persoalan diluar itu, akan tetapi hanya sebatas ilmu dan pengetahuan yang telah Tuhan sendiri berikan kepada manusia untuk mengenal Tuhan. Dalam konteks ini banyak ahli mistisisme yang membuat ujaran ‘aroftu robbi bi robbi, artinya: aku kenal tuhan-ku melalui tuhan-ku. Orang yang tidak mendasari masalah Tuhan kepada agama, lalu meletakan pembahasannya kepada filsafat, oleh karena itu lahirlah filsafat yang membahas masalah tuhan yang dikenal dengan Theology.
F. Pertentangan Antara Idealisme dan Realisme
Objek filsafat, baik formal dan material, memiliki unsur pokok yang membentuknya. Unsur pokok dari yang ada dan harus ada dan/atau unsur dari sarwa yang ada itu, yaitu idealisme dan realisme. Realisme ada yang menamakannya juga dengan materialisme. Karena ia berpandangan tentang yang ada dan mungkin ada serta sarwa yang ada itu adalah wujud yang ada. Sedangkan idealisme berpandangan bahwa yang ada dan mungkin ada itu dan/atau sarwa yang ada itu ide tentang wujud tersebut.
Perlu jadi catatan penting di sini, realisme dan/atau materialisme adalah musuh agama yang tidak dapat didamaikan sama sekali. Bahkan kaum materialisme berpandangan bahwa dalam dunia yang tidak terdapat apa pun kecuali materi yang bergerak, tidak ada tempat bagi tuhan.
G. Metode Berpikir Filsafat
Filsafat bertujuan untuk mencari kebenaran. Metode filsafat untuk mencari “benar” dimulai dengan sikap sangsi atau tidak percaya. Kemudian dilanjutkan kepada analisis integral untuk memahami akar pokok permasalahan yang dihadapi. Dan pada tahap ahir dilakukan generalisasi terhadap analisis masalah tersebut. Sehingga jawaban yang dihasilkannya berbentuk alternatif yang harus dipilih oleh manusia, nilai benar yang mana yang lebih mendekat kebenaran terhadap persoalan yang dihadapinya.
Kebenaran filsafat adalah kebenaran spekulatif, dugaan yang tidak dapat dibuktikan secara empirik, riset dan eksperimental. Kebenaran yang dihasilkan filsafat bersifat nisbi, relatif, sehingga jawaban filsafat terhadapap problenmatika yang diselesaikannya bersifat spekualitif dan juga laternatif.
Filsafat, dengan wataknya sendiri pula, menghampiri kebenaran, baik tentang alam mauapaun tentang manusia dan tuhan yang bersumberkan kepada ro’yu (akal, budi, rasio, reason, rede, verstand, vernunft).
Menurut Juhaya S. Praja ada tiga metode yang digunakan untuk memecahkan problema-problema filsafat, yaitu metode deduksi, metode induksi, dan metode dealiktika.
Metode deduksi ialah suatu metode berpikir dimana suatu keimpulan ditarik dari prinsip-prinsip umum kemudian diterapkan kepada sesuatu yang bersifat khusus. Sedangkan metode induksi kebalikan dari metode deduksi, suatu metode berpikir dimana suatu keimpulan ditarik dari prinsip-prinsip yang bersifat khusus kemudian diterapkan kepada sesuatu yang bersifat umum. Metode ini sering disebut Silogisme.
Silogisme adalah konklusi (kesimpulan) yang dihasilkan dari dua premis metode berpikir, premis mayor (yang bersifat umum) dan/atau premis minor (yang bersifat khusus).
Contoh metode deduksi: Premis Mayor – Semua mahasiswi STAI memakai
kerudung
Premis Minor – Sinta mahasiswi STAI
Conclusi – Jadi Sinta memakai kerudung
Contoh metode induksi: Premis Minor – Amir adalah manusia
Premis Mayor – Ia (Amir) akan mati
Conclusi – Seluruh manusia akan mati
Sedangkan metode dealektika ialah suatu cara berpikir dimana suatu kesimpulan diperoleh melalui tiga triade (jengjang penalaran). Yang meliputi: tesis, anti tesis, dan sintesis.
Metode dealiktika berusaha untuk mengembangkan suatu contoh argumen yang di dalamnya terjalin implikasi bermacam-macam proses (sikap) yang saling mempengaruhi. Argeman tersebut akan menunjukan bahwa tiap-tiap proses tidak menyanjikan pemahaman yang sempurna tentang kebenaran. Dengan demikian, timbulah pandangan dan alternatif yang baru. Pada setiap tahap dalam dialektika ini kita memasuki lebih dalam kepada problema originalitas “asli”, dan dengan demikian ada kemungkinan untuk lebih mendekati kebenaran.
Proses dealiktika selalu terdiri dari tiga fase. Fase pertama disebut tesis yang menampilkan lawannya pada fase kedua yang disebut anti tesis. Akhirnya timbul fase yang ketiga yang disebut sistesis yang mendamaikan antara tesis dan anti tesis yang saling berlawanan. Sintesis yang telah dihasilkan dapat menjadi tesis yang baru pula yang menampilkan antitesis lagi dan akhirnya kedua-duanya didamaikan oleh sistesisi yang baru. Demikian selanjutnya setiap sistesis dapat menjadi tesis dan antitesis lain.
Contoh dealektika: Tesis – Suami
Anti tesis – Istri
Sintesis – Anak
Dalam keluarga, suami dan istri adalah dua makhluk yang berlawanan dan berlainan, yang dapat berupa tesis dan anti tesis. Anak dapat merupakan sistesis yang mendamaikan antara keduanya (suami dan istri/tesis dan anti tesis). Bagi suani dan istri anak merupakan bagian dari dirinya sendiri. Demikian seterusnya anak akan menjadi tesis baru ketika ada anti tesisnya dan akhirnya melahirkan sistesis baru dari keduanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar