STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Kamis, 28 Juli 2011

Pembiayaan Pendidikan di Era Otonomi Daerah

Pasca Reformasi tahun 1998, membawa perubahan fundamental dalam sistem pendidikan nasional. Perubahan sistem pendidikan tersebut mengikuti perubahan sistem pemerintah yang sentralistik menuju desentralistik atau yang lebih dikenal dengan otonomi pendidikan dan kebijakan otonomi nasional itu mempengaruhi sistem pendidikan Indonesia (Suyanto, 2006). Sistem pendidikan Indonesia pun menyesuaikan dengan model otonomi. Kebijakan otonomi di bidang pendidikan (otonomi pendidikan) kemudian banyak membawa harapan akan perbaikan sistem pendidikan di Indonesia di masa akan datang.
Implementasi Kebijakan Otonomi daerah yang didasarkan pada UU No. 22 tahun 1999 jo UU No. 32 Tahun 2004, yaitu memutuskan suatu keputusan dan atau kebijakan secara mandiri dimana kewenangan yang dulu berada di pusat sekarang telah diserahkan kepada daerah dalam hal ini propinsi dan kabupaten/kota. Pemberian otonomi ini dimaksudkan untuk lebih memandirikan daerah dan memberdayakan masyarakat sehingga lebih leluasa dalam mengatur dan melaksanakan kewenangannya atas prakarsa sendiri. Pemberian otonomi yang luas dan bertanggung jawab dilaksanakan dengan berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, berkeadilan, dan memperhatikan potensi serta keanekaragaman daerah, dengan titik sentral otonomi pada tingkat yang paling dekat dengan rakyat, yaitu kabupaten dan kota. Hal yang esensial dari otonomi daerah adalah semakin besarnya tanggung jawab daerah untuk mengurus tuntas segala permasalahan yang tercakup di dalam pembangunan masyarakat di daerahnya, termasuk bidang pendidikan (Jalal dan Supriadi, 2001). Dengan memberikan peluang yang besar kepada pemerintah daerah kabupaten/kota dalam memberikan pelayanan dasar dan menengah kepada masyarakat.
Kewenangan besar yang dimiliki oleh daerah dengan Undang-undang otonomi daerah tentu saja hanya akan bermanfaat apabila diikuti dengan kapasitas pemerintah Kabupaten/Kota untuk membuat kebijakan-kebijakan yang akurat yang diarahkan untuk meningkatkan input dan proses pembelajaran. Upaya untuk membuat kebijakan yang akurat dalam bidang pendidikan, salah satunya akan sangat tergantung kepada tersedianya informasi yang valid tentang berbagai persoalan pendidikan yang dihadapi oleh Kabupaten/Kota. Dengan informasi yang valid tersebut para policy maker akan dapat merumuskan apa persoalan pokok yang harus dipecahkan dari aspek input dan proses pembelajaran, sebagai upaya untuk meningkatakan kualitas pendidikan. Setelah substansi persoalan dapat diketahui dan dirumuskan dengan jelas selanjutnya para policy maker di daerah akan dapat membuat kebijakan-kebijakan yang tepat guna untuk memecahkan masalah tersebut.
Bagaimana implementasi kebijakan pembiayaan pendidikan di era otonomi daerah di tiap kabupaten/kota dilihat dari aspek regulasi dan mekanisme penyusunan anggaran pendidikan, sumber-sumber anggaran pendidikan dan alokasi pengeluaran pendidikan? Ini tentunya disesuaikan dengan kemampuan APBD kabupaten /kota masing-masing.

Desentralisasi merupakan simbol adanya kepercayaan pemerintah pusat kepada daerah. Ini akan dengan sendirinya mengembalikan harga diri pemerintah dan masyarakat daerah. Kalau dalam sistem sentralistik mereka tidak bisa berbuat banyak dalam mengatasi berbagai masalah, dalam sistem otonomi ini mereka di tantang untuk secara kreatif menentukan solusi-solusi atas berbagai masalah yang dihadapi sehingga pemerintah pusat tidak perlu mempunyai aparat sendiri di daerah kecuali dalam batas-batas yang sangat diperlukan. Untuk itu yang perlu dicermati dalam desentralisasi menurut Rondinelli adalah agen (dekonsentrasi) dan badan otonom (devolusi) atau kalau mengacu pada Smith bahwa desentralisasi mengimplikasikan dua kondisi fundamental yaitu pertama, pemerintahan sendiri (lokal) bahwa lokal mempunyai pemerintahan sendiri melalui institusi politik yang berakar dari teritorial yang menjadi kewenangan. Institusi tersebut didirikan oleh sistem politik daerah (dekonsentrasi), kedua, institusi tersebut akan direkrut secara demokratis (devolusi) ( Smith, 1985).
Dari dimensi konsep pemerintah lokal, Undang-undang No. 22 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 yang memang membawa pergeseran sejumlah model dan paradigma. Pemerintah lokal yang dulunya Structural efficiency model yang menekankan efisiensi dan keseragaman ditinggalkan dan dianut local democracy model yang menekankan pada nilai demokrasi dan keberagaman dalam penyelenggaraan pemerintah lokal. Seiring dengan pergeseran model tersebut terjadi pula dari penguatan dekonsentrasi ke penguatan desentralisasi (Bhenyamin Hoessein, 2002).
Pergeseran model dan paradigma tersebut memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintah yang responsif terhadap kepentingan publik dan memelihara suatu mekanisme pengambilan keputusan yang kuat pada asas pertanggungjawaban publik. Sehingga dalam prakteknya dengan adanya Undang-undang Otonomi Daerah kewenangan pengelolaan pendidikan berubah dari sistem sentralisasi ke desentralisasi. Desentralisasi pendidikan berarti terjadinya pelimpahan kekuasaan dan kewenangan yang lebih luas kepada daerah untuk membuat perencanaan dan mengambil keputusannya sendiri dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi di bidang pendidikan (Abdul Halim, 2001)
Berdasarkan PP Nomor 25 Tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan propinsi sebagai daerah otonom, pada kelompok bidang pendidikan dan kebudayaan disebutkan bahwa kewenangan pemerintah meliputi; (1) penetapan standar kompetensi siswa dan warga belajar, serta pengaturan kurikulum nasional dan penilaian hasil belajar secara nasional, serta pedoman pelaksanaannya (2) penetapan standar materi pelajaran pokok (3) penetapan persyaratan perolehan dan penggunaan gelar akademik (4) penetapan pedoman pembiayaan penyelenggaraan pendidikan (5) penetapan persayaratan penerimaan, perpindahan sertifikasi siswa, warga belajar dan mahasiswa (6) penetapan persayaratan peningkatan/zoning, pencarian, pemanfaatan, pemindahan, penggandaan, sistem pengamanan dan kepemilikan benda cagar budaya, serta persyaratan penelitian arkeologi (7) pemanfaatan hasil penelitian arkeologi nasional serta pengelolaan museum nasional, galeri nasional, pemanfaatan naskah sumber arsip, danmonumen yang diakui secara internasional (8) penetapan kalender pendidikan dan jumlah jam belajar efektif setiap tahun bagi pendidikan dasar, menengah dan luar sekolah (9) pengaturan dan pengembangan pendidikan tinggi, pendidikan jarak jauh, serta pengaturan sekolah internasional (10) pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra Indonesia
Sementara itu, kewenangan pemerintah propinsi meliputi hal-hal sebagai berikut; (1) penetapan kebijakan tentang penerimaan siswa dan mahasiswa dari masyarakat minoritas, terbelakang atau tidak mampu, (2) penyediaan bantuan pengadaan buku peljaran pokok/ modul pendidikan untuk taman kanak-kanak, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan luar sekolah (3) mendukung/membantu pengaturan kurikulum, akreditasi, dan pengangkatan tenaga akademis (4) pertimbangan pembukaan dan penutupan perguruan tinggi (5) penyelenggaraan sekolah luar biasa dan balai pelatihan atau penataran guru (6) penyelenggaraan museum propinsi, suaka peninggalan sejarah, kepurbakalaan, kajian sejarah dan nilai tradisonal, serta pengembangan bahasa dan budaya daerah

Kebijakan pendidikan merupakan bagian dari kebijakan publik di bidang pendidikan. Ensiklopedia Wikepedia dalam Nugroho (2008:36) menyebutkan kebijakan pendidikan berkenaan dengan kumpulan hukum atau aturan yang mengatur pelaksanaan sistem pendidikan, yang tercakup di dalamnya tujuan pendidikan dan bagaimana mencapai tujuan tersebut.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Mark Olsen, John Codd dan Anne-Marie O’Neil dalam Nugroho (2008:36) menyatakan bahwa kebijakan pendidikan merupakan kunci bagi keunggulan, bahkan eksistensi bagi negara-negara dalam persaingan global, sehingga kebijakan pendidikan perlu mendapat prioritas dalam era globalisasi. Salah satu argumen utamanya adalah bahwa globalisasi membawa nilai demokrasi. Demokrasi yang memberikan hasil adalah demokrasi yang didukung oleh pendidikan

Dalam penyelenggaraan pendidikan di tingkat nasional maupun daerah mengalami suatu transisi yang sangat signifikan dalam pengelolaan sumber-sumber daya yang ada dalam bidang pendidikan terutama dalam hal pendanaan pendidikan (pembiayaan pendidikan). Dalam hal ini pelaksanaan pendidikan harus disertai dengan adanya peningkatan peran sumber-sumber daya pendidikan (dana pendidikan) yang telah tertuang dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I Ketentuan Umum pasal 1 ayat 23 yang menjelaskan bahwa Sumber daya pendidikan adalah segala sesuatu yang dipergunakan dalam penyelenggaraan pendidikan yang meliputi tenaga kependidikan, masyarakat, dana, sarana, dan prasarana. Dalam hal ini pembiayaan pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting bagi pendidikan di daerah. Lebih lanjut dalam pasal 47 disebutkan tentang sumber pendanaan pendidikan yaitu : (1) Sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan. (2) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat mengerahkan sumber daya yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Ketentuan mengenai sumber pendanaan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah

Amanat Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 4 juga menerangkan dalam hal pembiayaan pendidikan bahwa; ”Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan pennyelenggaraan pendidikan nasional”

Sejalan dengan itu maka dalam implementasi kebijakan pendidikan di daerah akan berjalan dengan baik apabila didukung oleh sumber daya pendidikan (pembiayaan pendidikan) yang memadai dan dapat diandalkan untuk meningkatkan mutu dan kualitas sumber daya di daerah.
Dengan adanya perubahan kewenangan pengelolaan pendidikan dengan segera mengubah pola pembiayaan sektor pendidikan. Sebelum otonomi daerah, praktis hanya pembiayaan sekolah dasar (SD) yang menjadi tanggung jawab Pemda, sedangkan SMP dan SMA (dan juga perguruan tinggi) menjadi tanggung jawab Pusat, seperti yang tertuang dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 pasal 46; (1) Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. (2) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (3) Ketentuan mengenai tanggung jawab pendanaan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pembiayaan SMP dan SMA dilakukan melalui Kanwil Diknas (di tingkat propinsi) dan Kandepdiknas (di tingkat kabupaten/kota). Setelah diberlakukannya otonomi daerah, seluruh pengelolaan sekolah dari SD hingga SMA menjadi tanggung jawab Pemda. Konsekwensinya, tidak ada lagi Kanwil dan Kandepdiknas, yang ada hanyalah Dinas Pendidikan di tingkat kabupaten/kota yang berada di bawah kendali Pemda, dan Dinas Pendidikan propinsi yang berada di bawah kendali Pemprop. Antara Dinas Pendidikan kabupaten/kota dengan Dinas Pendidikan propinsi tidak ada hubungan hierarkhis, sedangkan propinsi masih tetap mengemban amanat sebagai perwakilan pemerintah pusat. Dengan konfigurasi kelembagaan seperti itu, jelas bahwa Pusat tidak lagi punya “tangan” di daerah untuk mengimplementasikan program-programnya. Implikasinya, setiap program di tingkat sekolah harus dilakukan melalui koordinasi dengan Pemda, atau khususnya Dinas Pendidikan kabupaten/kota.
Dengan konfigurasi kelembagaan yang seperti itu pula, pola pembiayaan pendidikan mengalami perubahan yang cukup mendasar. Pasal 48 Undang Undang-undang No. 20 Tahun 2003 menjelaskan bahwa; (1) pengelolaan dana pendidikan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik, (2) Ketentuan mengenai pengelolaan dana pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Dengan demikian daerah memiliki tanggung jawab yang sangat besar untuk membiayai sektor pendidikan dengan menggunakan APBD-nya. Dukungan dari Pusat (dan Propinsi) tetap dimungkinkan, tetapi juga harus melalui mekanisme APBD, atau paling tidak tercatat di dalam APBD kabupaten/kota.
Tantangan pertama yang harus dihadapi oleh para pengelola pendidikan adalah masalah pendanaan. Sebagai ilustrasi, rendahnya kualitas gedung sekolah, terutama SD, merupakan salah satu dampak keterbatasan kemampuan pemerintah dalam memobilisasi dana untuk sektor pendidikan. Di sisi lain, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) memberi beban yang sangat berat bagi pemerintah. Pasal 49 menyatakan sebagai berikut; (1) Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). (2) Gaji guru dan dosen yang diangkat oleh Pemerintah dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). (3) Dana pendidikan dari Pemerintah dan pemerintah daerah untuk satuan pendidikan diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (4) Dana pendidikan dari Pemerintah kepada pemerintah daerah diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (5) Ketentuan mengenai pengalokasian dana pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Jelas bahwa Pemda memiliki tanggung jawab yang besar dan bersifat jangka panjang di sektor pendidikan, tetapi tidak memiliki sumber dana yang cukup dan stabil untuk mendanai. Jika situasinya tidak berubah, Daerah tidak akan mampu memenuhi 20% anggaran untuk pendidikan seperti yang diamanatkan UU Sisdiknas dan pada gilirannya ada risiko terjadi penurunan kualitas SDM sebagai dampak otonomi daerah.

Dengan berlakunya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah, telah memberikan peluang kepada tiap Kabupaten/Kota untuk lebih meningkatkan pelayanan dasar kepada masyarakat. Di bidang pendidikan Pemerintah Kabupaten/Kota berusaha untuk memberikan pelayanan yang maksimal dengan menempatkan pendidikan sebagai pilar utama dalam pembangunan, ini berarti pemerintah mempunyai itikad baik memajukan pendidikan di daerah ini. Dengan alokasi anggaran pendidikan yang melebihi 20% di Kabupaten Kuningan khususnya diharapkan kualitas pendidikan meningkat dan wajib belajar Sembilan tahun dapat dituntaskan. 
 
BOS
Perubahan dan perkembangan yang terjadi pada masyarakat dunia saat ini menimbulkan persaingan yang semakin ketat antar bangsa dan dalam berbagai bidang kehidupan. Untuk menghadapi persaingan tersebut maka diperlukan sumber daya manusia yang berkwalitas tinggi. Pembangunan sumber daya yang berkwalitas tinggi pada dasarnya adalah untuk menciptakan dan mengembangkan ilmu dan teknologi yang modern sebagai sarana mewujudkan suatu masyarakat yang maju, mandiri, dan sejahtera. Peningkatan sumber daya manusia dapat dilakukan melalui proses pendidikan.

Di dalam tujuan pendidikan nasional menurut UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Bertujuan untuk berkembangnya potensi anak didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat berilmu cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Sedangakan UU no. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa ”Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk mempeoleh pendidikan yang bermutu”, dan pasal 11 ayat (1) menyatakan “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”.

Bantuan Operasional Sekolah (BOS) adalah program kebijakan pemerintah negara kita terhadap dunia pendidikan. Sebagai bukti bahwa pemerintah sangat peduli dengan kualitas pendidikan bagi anak-anak bangsa. Ini juga merupakan bagian dari mensukseskan program wajib belajar 9 tahun. Pemerintah jelas ingin membantu warga dalam membiayai dana pendidikan anak-anak dari tingkat SD kelas satu sampai SMP kelas 9.

Pengaturan penyaluran dana BOS sudah dimulai sejak tahun 2007. Bantuan dana tunai untuk penyelenggaraan operasional sekolah ini langsung diberikan kepada anak-anak melalui lembaga sekolah negeri atau sekolah swasta, secara merata. Dana untuk biaya operasional sekolah diambil dari APBN dan mulai Januari 2011 penyalurannya melalui Kas Daerah Kabupaten/Kota dan diutamakan untuk warga miskin, tapi boleh diberikan pada warga yang mampu sekedar meringankan beban dana pendidikan pada para orang tua.

Pemerintah berharap tak ada lagi anak-anak yang putus sekolah. Pokoknya, pemerintah berkeinginan semua anak usia sekolah bisa mengecap pendidikan minimal sampai kelas 9. Tujuannya pastilah untuk meningkatkan taraf hidup bangsa.

Para kepala sekolah diberikan petunjuk dan pelaksanaan penggunaan dana BOS. Dana ini diutamakan untuk membebaskan iuran bulanan atau SPP, alias sekolah gratis. Jika masih ada sisa, maka bisa digunakan untuk biaya operasional yang lain, tapi bukan untuk membiayai kegiatan yang tidak mendukung proses pembelajaran. Bahkan untuk membuat bangunan baru pun tidak diperkenankan.

Jadi, dana BOS bisa juga digunakan untuk : (1). Penerimaan murid baru (2). Pembelian buku referensi terutama untuk perpustakaan sekolah (3). Pembelian buku teks pelajaran. (4) Pembelajaran pengayaan, pemantapan sebelum ujian, ekskul, karya ilmiah remaja (5). Membiayai kebutuhan ujian, atau ulangan harian, ulangan umum, remedial, dan lain-lain (6). Pembelian bahan praktikum, dan peralatan ATK di kelas (7). Pembayaran listrik, air, telepon dan internet yang ada di sekolah (8). Biaya perawatan sekolah (9). Membayar honorarium SDM honorer (10). Pengembangan profesi guru. (11) Membantu dana transport anak miskin ke dan dari sekolah (12) Membiayai kegiatan dalam kaitan dengan pengelolaan BOS (13) Pembelian komputer dekstop untuk kbm siswa (14) Jika semua sudah terpenuhi, baru boleh digunakan untuk membeli alat peraga, media belajar dan furniture untuk sekolah dan peralatan untuk UKS. Dan mulai tahun anggaran 2011 penyaluran dana BOS melalui kas daerah dengan rincian komposisi belanja langsung sebagai berikut : Belanja Pegawai 20%, Belanja Barang dan Jasa 65%, Belanja Modal 15%.

Sebetulnya banyak juga hal-hal yang bisa didukung dengan dana bantuan operasional sekolah ini. Namun, para kepala sekolah harus ekstra hati-hati dalam penggunaannya. Kepala sekolah harus jeli tentang skala prioritas dari penggunaan dana itu. Mereka harus memberikan laporan dan ada tim audit khusus yang memantau pemakaian dana BOS di sekolah-sekolah, khawatir adanya penyimpangan yang akan menimbulkan ketidaknyamanan semua pihak.

Dana BOS yang digulirkan ke setiap sekolah boleh saja ditolak oleh sekolah tertentu. Dengan catatan sekolah tersebut tidak boleh meminta pungutan apapun kepada orang tua siswa, kecuali jika ada kesepakatan bahwa para orang tua murid tidak berkeberatan dengan dana yang ditentukan oleh sekolah untuk kelangsungan kegiatan pembelajaran. Juga, apabila ada anak yang tidak mampu, sekolah tersebut harus berani memberikan bantuan pendidikan kepada mereka.


Dalam konteks ini pada prinsipnya progam Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dicetuskan sebagai upaya untuk meningkatkan akses masyarakat, khususnya siswa dari keluarga miskin atau kurang mampu terhadap pendidikan yang berkwalitas dalam rangka penuntasan wajib belajar 9 tahun.


Sasaran program Bantuan Operasional Sekolah adalah semua sekolah setingkat SD dan SMP, baik negeri maupun swasta diseluruh propinsi Indonesia. Program Kejar Paket A dan Paket B tidak termasuk sasaran program Bantuan Opersional Sekolah. Selain itu Madrasah Diniyah dan TK miliyah juga tidak berhak menerima Bantuan Operasional Sekolah (BOS) karena siswanya telah terdaftar disekolah reguler yang telah menerima dana Bantuan Operasioanal Sekolah. Dalam pemberian dana operasional sekolah diharapakan dapat mengurangi beban perekonomian masyarakat miskin, sehingga mereka dapat melanjutkan pendidikannya.

Begitu pentingnya pendidikan bagi kemajuan bangsa diharapkan pemberian dana Bantuan Operasional Sekolah dapat dilaksanakan seadil-adilnya dan tepat pada sasarannya dan tujuan siswa-siswi yang benar benar berhak atas bantuan yaitu siswa-siswi yang kurang mampu atau tidak mampu. Pemberian dana operasional sekolah yang tidak tepat sasarannya sama saja membuang uang karena hal tersebut dapat menimbulkan penyelewengan, untuk mencegah hal tersebut, masyarakat harus mengawasi pelaksanaan dan penyaluran BOS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar