PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada abad modern ini islam telah menjadi kajian yang menarik minat banyak kalangan baik di Barat maupun Timur yang kemudian melahirkan Studi Islam (Islamic Studies). Islam tidak lagi hanya dipahami dalam pengertian normatif dan doktriner, tetapi telah menjadi fenomena yang kompleks baik dari sistem budaya, peradaban, komunitas politik, dan ekonomi. Mengkaji dan mendekati Islam, tidak lagi mungkin hanya dari satu aspek, karenanya dibutuhkan metode dan pendekatan interdisipliner dari ilmu-ilmu sosial lainnya.
Studi Islam (Islamic studies) seperti disebutkan diatas dikaji dengan menggunakan interdisipliner ilmu-ilmu sosial dan humanities, dari interdisipliner tadi menghasilkan berbagai macam fokus keahlian dalam pengkajian Studi Islam. Sehingga Studi Islam dapat berkembang pesat dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah sesuai dengan bidangnya, sehingga muncul sejarah agama, psikologi agama, sosiologi agama, antropologi agama, dan lain-lain. Asumsi dasar dari ilmuwan sosial adalah bahwa perilaku manusia mengikuti teori kemungkinan (possibility) dan objektivitas. Bila perilaku manusia itu dapat didefInisikan, diberlakukan sebagai entitas objektif, maka akan dapat diamati dengan menggunakan metode empiris dan juga dapat dikuantifikasikan.
Dengan pendekatan seperti itu, ilmuwan sosial menggambarkan agama dalam kerangka objektif, sehingga agama dapat “dijelaskan” dan perannya dalam kehidupan masyarakat dapat dimengerti. Penelitian dalam ilmu sosial bertujuan untuk menemukan aspek empiris dari keberagamaan dan fenomena keagamaan dalam kerangka seperti hukum sebab-akibat, supply and demand, atau stimulus and respons. Tetapi studi islam harusnya tidak meninggalkan sisi normatif dari agama itu sendiri, karena sisi normatif itulah yang melahirkan konsep-konsep sosial dalam masyarakat, meskipun kadangkala tidak sesuai dengan sisi historisnya. Konsep sosial tersebut dapat dikembangkan untuk membangun peradaban dan masyarakat islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Pendekatan Sosial
Adapun yang dimaksud dengan pendekatan di sini adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama. Dalam hubungan ini Jamaluddin Rakhmat mengatakan bahwa agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai paradigma realitas agama yang diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai dengan kerangka paradigmanya. Oleh karena itu, tidak ada persoalaan apakah penelitian agama itu, penelitian ilmu sosial, penelitian legalistis, atau penelitian filosofis. Dengan pendekatan ini semua orang dapat sampai pada agama. Di sini dapat dilihat bahwa agama bukan hanya monopoli kalangan teolog dan normalis, melainkan agama dapat dipahami semua orang sesuai dengan pendekatan dan kesanggupannya. Oleh karena itu, agama hanya merupakan hidayah Allah dan merupakan suatu kewajiban manusia sebagai fitrah yang diberikan Allah kepadanya.
Jika menggunakan pendekatan yang berbeda tentunya akan diperoleh hasil yang berbeda pula, tetapi hal itu tidak dipermasalahkan selama masih sesuai dengan standar ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan dan dikritisi secara empiris. Dalam studi islam terdapat 3 epistimologi dalam pendekatan sosialnya, yaitu bayani, irfani, dan burhani yang nantinya masing-masing menghasilkan studi islam yang berbeda.
B. Pendekatan Sosiologi
Sebelum membahas pendekatan studi islam secara sosiologis terlebih dulu kita membahas apa itu sosiologi sendiri. Sosiologi berasal dari bahasa Latin yaitu Socius yang berarti kawan, teman sedangkan Logos berarti ilmu pengetahuan. Ungkapan ini dipublikasikan diungkapkan pertama kalinya dalam buku yang berjudul "Cours De Philosophie Positive" karangan August Comte (1798-1857). Walaupun banyak definisi tentang sosiologi namun umumnya sosiologi dikenal sebagai ilmu pengetahuan tentang masyarakat. Sosiologi mempelajari masyarakat meliputi gejala-gejala social, struktur sosial, perubahan sosial dan jaringan hubungan atau interaksi manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial .
Sosiologi memiliki berbagai paradigma untuk mengkaji suatu masalah, sehingga sosiologi merupakan ilmu sosial yang berparadigma ganda. Adapun struktur paradigma didalam sosiologi adalah sebagai berikut.
Paradigma sosiologi lahir dari teori-teori sosiolog dari masa klasik hingga era modern ini. Menurut Thomas khun mengatakan bahwa paradigma sosiologi berkembang secara revolusi bukan secara kumulatif seperti pendapat sosiolog sebelumnya. Khun menyekemakan munculnya paradigm sebagai berikut:
Paradigma I→ Normal Science→ Anomalies→ Crisis→ Revolusi→ Paradigma II
Sehingga paradigm sosiologi dapat berkembang sesuai dengan fakta sosial. Pradigma ini lah yang akan digunakan sebagai alat untuk mengkaji studi islam, dalam pengkajian studi islam peneliti bebas memilih paradigma yang ada didalam sosiologi untuk mengkaji masyarakat islam. George Ritzer mengetengahkan bahwa paradigma-paradigma dalam sosiologi walaupun hasilnya berbeda namun tidak ada perselisihan diantara paradigm tersebut selama masih sejalan dengan hukum ilmiah. Meskipun begitu umumnya paradigma itu memiliki keunggulan pada masing-masing masalah yang dikajinya .
Dalam sosiologi ada pranata sosial, pranata adalah sistem norma atau aturan-aturan mengenai aktivitas masyarakat, sementara sosial secara sederhana adalah masyarakat. Jadi dapat disimpulkan pranata sosial adalah himpunan kaidah-kaidah atau aturan-aturan yang dipahami, dihargai, dan ditaati oleh warga masyarakat dan bertujuan untuk mengatur kehidupan masyarakat . Pelapisan sosial adalah perbedaan penduduk atau masyarakat ke dalam tatanan atau urutan secara bertingkat atau hierarki. Dalam islam sendiri terdapat pelapisan masyarakat hal itu dapat dipelajari melalui wujud pelapisan masyarakat seperti:
1. Tingggi-rendah
2. Bangsawan-rakyat biasa
3. Superior-inferior
4. Unggul-biasa
5. Priyayi-wong cilik dan semacamnya
Munculnya pelapisan sosial karena adanya sesuatu yang dihargai oleh masyarakat, yakni harta benda, ilmu pengetahuan, kekuasaan, keturunan keluarga terhormat, kesalehan dalam agama, dan semacamnya. Ada beberapa teori tentang munculnya lapisan-lapisan dalam masyarakat, yakni:
• Terjadi dengan sendirinya (otomatis), misalnya lapisan berburu karena kepandaian berburu hewan, atau misalnya seorang dermawan yang dihormati oleh masyarakat.
• Sengaja disusun untuk mencapai tujuan tertentu, yang sering disebut pembagian kerja, tanggung jawab, dan sebagainya. Misalnya dalam organisasi. Organisasi dalam berbisnis, politik, pendidikan, pemerintahan, dan lainnya.
Sifat sistem lapisan dalam masyarakat ada dua, yakni:
1. Tetutup, yakni tidak memberikan kesempatan atau kemungkinan pindahnya seseorang dari satu lapisan ke lapisan yang lain. contohnya adalah kasta dalam masyarakat Hindu, keturunan bangsawan atau darah biru, dan semacamnya.
2. Terbuka, yakni memungkinkan seseorang untuk berpindah dari satu lapisan ke lapisan yang lain.
Adapun faktor yang dapat dijadikan titi tolak mencapai kesamaan derajat adalah adanya pengakuan terhadap hak asasi manusia. Sementara faktor-faktor yang membedakan elit dan massa adalah, kekayaan, kedudukan, ilmu penegtahuan, kekuasaan, kehormatan, dan sebagainya. Sedangkan kelas menurut Karl Marx adalah ditentukan oleh faktor ekonomi. Kelas pemilik tanah atau alat-alat produksi dinamakan kaum borjuis. Sedangkan pemilik tenaga untuk disumbangkan disebut kaum buruh atau kaum proletar.
Stereotip adalah gambaran tertentu mengenai sifat seseorang atau sekelompok orang yang bersifat negatif, yang pembentukannya didasarkan pada generalisasi sehingga sifatnya subjektif. Lebih jau lagi stereotif adalah produk dari proses interaksi antar kelompok etnis atau yang terdapat dalam masyarakat yang di dalamnya ada kelompok mayoritas dan minoritas. Faktor-faktor yang memengaruhi stereotif dan prasangka adalah:
Kepribadian. Contohnya orang yang mempunyai kepribadian otoriter mudah mempunyai prasangka.
Pengaruh pendidikan orang tua terhadap anak.
Status, pada umumnya semakin tinggi dan baik tingkat pendidikan seserang, maka semakin sedikit prasangka dan stereotip.
Peranan sarana komunikasi, seperti, filem, radio, surat kabar, dll.
Peranan hubungan
Kaitannya dengan pendekatan sosiologi. Minimal ada tiga teori yang bisa digunakan dalam peneitian, yaitu: teori fungsional, teori interaksional, dan teori konflik. Tapi ada juga yang menambahkan dua teori lainnya, yaitu teori peranan dan teori kepentingan.
1. Teori Fungsional
Teori fungsional adalah teori yang mengasumsikan masyarakat sebagai organisme ekologi mengalai pertumbuhan. Semakin besar pertumbuhan terjadi semakin kompleks pula masalah-masalah yang akan dihadapi. Yang pada gilirannya akan membentuk kelompok-kelompok atau bagian-bagian tertentu yang mempunyai fungsi sendiri, yang mana bagian yang satu dengan bagian yang lain memiliki fungsi yang berbeda. Karena perbedaan pada bagian-bagian tadi maka perubahan fungsi pada bagian tertentu bisa juga memengaruhi fungsi kelompok lain. meskipun demikian masing-masing kelompok dapat dipelajari sendiri-sendiri. Maka yang menjadi kajian penelitian agama dengan pendekatan sosiologi dengan teori fungsional adalah dengan melihat atau meneliti fenomena masyarakat dari sisi fungsinya.
Adapun teori yang berhubungan dengan teori fungsi adalah teori peran. Peran disini maksudnya adalah, seperangkat tindakan yang diharapkan yang akan dimiliki seseorang yang berkedudukan dalam masyarakat. Berperan berarti bertindak atau bermain sebagai. Sedangkan peranan adalah tindakan yang dilakukan sesorang dalam suatu peristiwa . Hubungan peran dan status, baahwa peran tidak dapat dipisahkan dari status. Adapun pengertian status adalah tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial sehubungan dengan orang-orang lain dalam kelompok tersebut . Ada dua jenis status atau kedudukan:
a. Ascribe status, status yang didapat seseorang secara otomatis, tanpa usaha atau tanpa memerhatikan kemampuan. Misalnya status bangsawan, atau kasta yang diperoleh sejak lahir dari orang tua.
b. Achieve status, status yang diperoleh seseorang dengan usaha yang disengaja sesuai dengan kemampuannya.
Adapun langkah-langkah yang diperlukan dalam menggunakan teori fungsional. Yaitu, membuat identifikasi tingkah laku sosial yang problematik, mengidentifikasi konteks terjadinya tingkah laku yang menjadi objek penelitian, serta mengidentifikasi konsekuensi dari satu tingkah laku sosial.
2. Teori Interaksional
Teori interaksionisme mengasumsikan, dalam masyarakat pasti ada hubungan antara masyarakat dengan individu, individu dengan individu lain. Teori ini sering diidentifikasikan sebagai deskripsi yang interpretatif, yaitu suatu sebab yang menawarkan suatu analisis yang menarik perhatian besar pada pembekuan sebab yang senyatanya ada. Prinsip dasar yang dikembangkaan oleh teori interaksionisme adalah; bagaimana individu menyikapi sesuatu atau apa saja myang ada di lingkungan sekitarnya, memberikan makna pada fenomena tersebut berdasarkan interaksi sisoal yang dijalankan dengan individub yang lain, makna tersebut difahami dan dimodifikasi oleh individu melalui proses interpretasi atau penafsiran yang berhubungan dengan hal-hal yang dijumpainya.
3. Teori Konflik
Teori konflik adalah teori yang percaya bahwa manusia memilki kepentingan (interest) dan kekuasaan (power) yang merupakan pusat dari segala hubungan manusia. Menurut pemegang teori ini nilai dan gagasan-gagasan selau digunakan untuk melegitimasi kekuasaan.
Perubahan Sosial dalam Islam dapat dikaji menggunakan pendekatan sosiologi. Dengan menggunakan teori ini islam dapat diketahui perkembangan dan kemajuannya dari masa kemasa, sehingga nantinya dapat digunakan untuk mengembangkan masyarakat islam.
a. Teori evolusi
Teori ini sebenarnya adalah hasil pemikiran Frederick Hegel, namun dikenalkan oleh August Comte sebagai teori sosial. Menurut Comte, perubahan atau perkembangan manusia melewati tiga tahap. Fase teologis diteruskan dengan fase metafisik, selanjutnya diteruskan dengan fase ilmiah atau positif, yaitu dengan memahami hukum eksperimen ilmiah. Pengetahuan ilmiah dapat direncanakan, oleh Herbert Spencer disebut rekayasa sosial, juga disebut Darwinisme Sosial. Dalam aplikasinya teori ini menjelaskan tentang perubahan masyarakat yang dimulai dari masyarakat non industri atau masyarakat primitif, akan berevolusi ke masyarakat industri yang lebih kompleks dan berkebudayaan .
b. Teori fungsional struktural
Teori ini lahir tahun 1930-an, dekembangkan Robert Marton dan Talcott Parson. Teori ini memandang bagaiman masyarakat sebagai sistem yang terdiri atas bagian yang saling berkaitan (agama, pendidikan, struktur, politik, sampai rumah tangga). Masing-masing bagian terus mencari keseimbangannya (equilibrium) dan harmoni.
c. Teori moderenisasi
Teori ini lahir tahun 1950-an. Menurut Huntington (1976) moderenisasi dianggap sebagai jalan menuju perubahan. Proses moderenisasi adalah, revolusioner, kompleks, sistematik, global, bertahap, dan progresif.
d. Teori sumber daya manusia
Teori ini dikembangkan oleh Theodore Shulz (1961), menurutnya keterbelakangan masyarakat dianggap bersumber pada faktor interen negara atau masyarakat itu sendiri. Karena itu, untuk peningkatannya diperlukan investasi masing-masing.
e. Teori konflik
Hegel adalah orang pertama memberi perhatian untuk menjadi teori perubahan. Bagi Hegel perubahan adalah sebuah dialektik, yakni berasal dari proses tesis, antitesis, dan sintesis. Teori ini memengaruhi teori Kalr Marx. Menurut Marx masyarakat terpolarisasi dalam dua kelas yang selalu bertentangan, yaitu, kelas yang mengeksploitasi dan kelas yang tereksploitasi. Contoh konflik adalah revolusi, eksploitasi, kolonialisme, ketergantungan, konflik kelas, dan rasial.
f. Teori ketergantungan
Teori ini menekankan pada hubungan dalam masyarakat, misalnya masalah struktur sosial, kultural, ekonomi, dan politik.
g. Teori pembebasan
Asumsi teori ini adalah, masyarakat berada dalam keadaan terbelakang karena tertindas oleh pemegang kekuasaan dalam masyarakat mereka sendiri. Paulo Freire (1972), penting adanya pendidikan dalam pembebasan dan pembangunan. Oleh Gustavo Gutierrez, teori ini dikaitkan dengan teologi. Maka muncul teori pembebasan, yaitu melakukan penyadaran.
Sebagai tambahan dalam kaitannya agama islam sebagai gejala sosial, pada dasarnya bertumpu pada konsep sosiologi agama. Awalnya sosiologi agama hanya mempelajari hubungan hubungan timbal balik antara agama dan masyarakat. Namun dewasa ini, sosiologi agama mempelajari bagaimana agama meengaruhi masyarakat, dan boleh jadi agama maysrakat memengaruhi konsep agama. Dalam kajian sosiologi ini, agama dapat sebagai independent variabel, yaitu Islam memengaruhi faktor atau unsur lain. agama juga dapat sebagai dependent variabel, berarti agama dipengaruhi faktor lain. sebagai contoh, Islam sebagai dependent variabel adalah, bagaimana budaya masyarakat Yogyakarta memengaruhi resepsi perkawinan Islam (muslim Yogyakarta). Sedangkan contoh Islam sebagai independent variabel adalah, bagaimana Islam memengaruhi tingkah laku muslim Yogyakarta.
Al-Gazali secara substansial telah merumuskan kajian sosiologi ini dalam kajian hukum Islam. Menurutnya penelitian hukum Islam secara garis besar ada dua, yakni, penelitian hukum deskriptif (washfi) dan penelitian hukum normatif/perspektif (mi’yari). Penelitian deskriptif menekankanpada penjelasan hubungan antara variabel hukum dengan non hukum, baik sebagai variabel independent ataupun variabel dependent.
C. Pendekatan Antropologis
Antropologi adalah salah satu cabang ilmu sosial yang mempelajari tentang budaya masyarakat suatu etnis tertentu. Antropologi lahir atau muncul berawal dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri fisik, adat istiadat, budaya yang berbeda dari apa yang dikenal di Eropa. Antropologi lebih memusatkan pada penduduk yang merupakan masyarakat tunggal, tunggal dalam arti kesatuan masyarakat yang tinggal daerah yang sama, antropologi mirip seperti sosiologi tetapi pada sosiologi lebih menitik beratkan pada masyarakat dan kehidupan sosialnya.
Antropologi adalah ilmu yang mempelajari manusia dari segi keanekaragaman fisik serta kebudayaan (cara-cara berprilaku, tradisi-tradisi, nilai-nilai) yang dihasilkan sehingga setiap manusia yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda. Tampaknya sulit melukiskan garis pemisah yang jelas antara antropologi dan sosiologi karena kedua ilmu ini terbagi bukan karena metode yang dipakai oleh para sarjana, melainkan metode yang dipakai oleh tradisi. Bagaimanapun, antropologi telah memusatkan perhatiaannya kepada kebudayaan primitif yang tidak bisa baca tulis dan tanpa tehnik.
Pendekatan antropologi dalam agama, memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Dengan kata lain, cara yg digunakan ilmu antropologi dalam melihat suatu masalah digunakan pula untuk memahami agama. Dawam raharjo, “lebih mengutamakan pengamatan langsung, bahkan bersifat partisipatif”. Dari sini, timbul kesimpulan bersifat induktif yang mengimbangi pendekatan deduktif digunakan dalam pengamatan sosiologis.penelitian antropologis yang induktif dan graunded, yaitu turun kelapangan tanpa berpijak pada, atau setidak-tidaknya dengan upaya membebaskan diri dari kungkungan teori-teori formal yang pada dasarnya sangat abstrak.
Penelitian antropologis agama dapat ditemukan adanya hubungan positif antara kepercayaan agama dengan kondisi ekonomi politik. Golongan masyarakat kurang mampu dan miskin lebih tertarik pada gerakan keagamaan yang bersifat messianic, yang menjanjikan perubahan tatanan sosial kemasyarakatan. Golongan orang kaya lebih cenderung untuk mempertahankan tatanan masyarakat yang sudah mapan secara ekonomi lantaran menguntungkan pihaknya.
1. Karl Marx (1818-1883) melihat agama sebagai opium atau candu masyarakat tertentu sehingga mendorong memperkenalkan teori konflik atau teori pertentangan kelas. Menurutnya, agama bisa disalah fungsikan oleh kalangan tertentu untuk melestarikan status quo peran tokoh-tokoh agama yang mendukung sistem kapitalis di Eropa yang beragama Kristen.
2. Max Weber (1920-1964), dia melihat adanya korelasi positif antara ajaran Prostestan dan munculnya semangat kapitalisme modern.
3. Robert N. Bellah meneruskan cara pandang Weber dalam karyanya The Religion of Togugawa. Dia melihat adanya korelasi positif antara ajaran agama tokogawa.yakni semacam percampuran antara ajaran Budha dan Sinto pada era pemerintahan Meiji dengan semangat etos kerja orang Jepang modern.
Melalui pendekatan antropologis tersebut , kita melihat bahwa agama ternyata berkorelasi dengan etos kerja dan perkembangan ekonomi suatu masyarakat. Jika ingin mengubah pandangan dan sikap etos kerja seseorang, kita mengubah pandangan keagamaannya.
Dalam sejarah perkembangan antropologi diwarnai oleh divegensi teori yang semakin meningkat, dan pola tesebut nampaknya terus berlangsung. Tiadak ada kesepakatan tentang berapa jumlah paradigma dalam antropologi masa kini. Berikut adalah beberapa contoh paradigma antropologi (Achmad fedyani 2005: 63-66)
a. Evolusionisme klasik paradigma ini beupaya menelusuri perkembangan kebudayaan sejak yang paling awal, asal usul primitf, hingga yang paling mutakhir, bentuk yang paling kompleks.
b. Difusionisme paradigma ini berupaya menjelaskan kesaman-kesaman diantara bebagai kebudayaan. Kesamaan tersebut terjadi karena adanya kontak-kontak kebudayaan.
c. Partikularisme paradigma ini memusatkan perhatian pada pengumpulan data etnogafi dan deskipsi mengenai kebudayaan tertentu.
d. Struktural-Fungsionalisme paradigma ini berasumsi bahwa komponen-komponen system sosial, seperti halnya bagian-bagian tubuh suatu organism, befungsi memelihara integritas dan stabilitas keseluruhan sisitem
e. Antropologi Psikologi mengekspresikan dirinya kedalam tiga hal besar : hubungan antara kebudayaan manusia dan hakikat manusia, hubungan antara kebudayaan dan individu, dan hubungan antara kebudayaan dan kepribadian khas masyarakat.
f. Strukturalisme adalah strtegi penelitian untuk mengungkapkan struktur pikiran manusia-yakni, struktur dari poses pikiran manusia-yang oleh kaum strukturalis dipandang sama secara lintas budaya.
g. Materalisme Dialektik paradigma ini berupaya menjelaskan alas an-alasan terjadinya perubahan dan perkembangan system sosial budaya.
h. Cultural Materialisme paradigma ini berupaya menjelaskan sebab-sebab kesamaan dan pebedaan sosial budaya.
i. Etnosains paadigma ini juga disebut “etnografi bau”. Perspektif teoritis mendasar dari paradigma tersebut terkandung dalam konsep analisis kompensional, yang mengemukakan komponen kategori-kategori kebudayaan dapat dianalisis dalam konteksnya sendiriuntuk melihat bagaimana kebudayaan menstrukturkan lapangan kognisis.
j. Antropologi Simbolik paradigma ini dibangun atas dasar bahwa manusia adalah hewan pencari makna, dan berupaya mengungkapkan cara-cara simbolik dimana manusia secara individual, dan kelompok-kelompok kebudayan dari manusia, memberikan makna kepada kehidupannya.
k. Sosiobiologi paradigma ini berusaha menerapkan prinsip-prinsip evolosi biologi terhadap fenomena sosial dan menggunakan pendekatan dan program genetika untuk meneliti banyak prilaku kebudayaan.
Agama menurut pendekatan antropologis adalah hubungan mekanisme pengorganisasian (social organization) juga tidak kalah menarik untuk diketahui. Khusus di Indonesia, karya Clifford Geertz, The Religion of Java. Menurut Geertz, adanya klasifikasi sosial dalam masyarakat Muslim di Jawa: santri, priyayi, dan abangan. Hasil penelitian antropologis di Jawa Timur ini dapat sanggahan dari berbagai ilmuwan sosial, kontruksi stratifikasi sosial cukup membuat orang berfikir ulang mengecek keabsahannya.
Pendekatan antropologis fenomenologis, kita dapat melihat hubungan antara agama dan negara (state and religion). Contohnya Turkey modern yang mayoritas penduduknya beragama Islam, tetapi konstitusi negaranya menyebut sekularisme sebagai prinsip dasar kenegaraan yang tidak bisa ditawar-tawar. Belum lagi, kerajaan Saudi Arabia dan Negara Republik Iran yang berdasarkan Islam. Kedua sistem pemerintahan sangat berbeda, yaitu kerajaan dan republik. Dan, Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang mayoritas penduduknya beragama Islam, tetapi menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal.
Selanjutnya, melalui pendekatan antropologis ini, dapat ditemukan keterkaitan agama dengan psikoterapi
1. Signum Freud (1856-1939), mengaitkan agama dengan oedipus kompleks, yakni pengalaman infantile seorang anak yang tidak berdaya di hadapan kekuatan dan kekuasaan bapaknya. Agama dinilainya sebagai neurosis. Dia mengungkapkan hubungan antara id, ego, dan superego.
2. C.G. Jung, menemukan hasil temuan psikoanalisisnya yang berbalik arah dari yang ditemukan oleh Freud. Menurutnya, ada korelasi yang sangat positif antara agama dan kesehatan mental.
Sebagaimana tersebut di atas terlihat dengan jelas hubungan agama dengan berbagai masalah kehidupan manusia, dan dengan itu pula, agama terlihat akrab dan fungsional dengan berbagai fenomena kehidupan manusia.
Dalam Al-Qur’an Al-Karim, sebagai sumber utama ajaran Islam misalnya, kita memperoleh informasi tentang kapal Nabi Nuh di Gunung Arafat, kisah Ashabul Kahfi yang dapat bertahan hidup dalam gua lebih dari 300 tahun lamanya. Untuk mengetahui dimana bangkai kapal Nabi Nuh itu, dan di mana kira-kira gua itu dan bagaimana bisa terjadi peristiwa menakjubkan itu, atau hal fiktif? Tentu masih banyak lagi contoh lain yang hanya dapat dijelaskan dengan bantuan ahli geografi dan akeologi.
Dengan demikian, pendekatan antropologi sangat dibutuhkan dalam memahami agama, karena dalam ajaran agama tersebut terdapat uraian dan informasi yang dapat dijelaskan melalui bantuan antropologi dan cabang-cabangnya.
Pada awalnya kajian antropolog menitikberatkan pada penerapan teori evolusi Darwin. Kemudian di akhir abad ke 19 ada kritik terhadap teori evolusi. Kritik ini menyatakan bahwa yang terjadi adalah adanya perbedaan pada kelompok-kelompok masyarakat, bukan proses perkembangan yang bersifat evolusiotik. Menurut pemegang teori yang tidak setuju dengan teori evolusi, adanya perbedaan unsur-unsur budaya yang ada dalam berbagai masyarakat merupakan suatu kenyataan yang harus diakui. Masing-masing kebudayaan tersebut berfungsi sebagai usaha manusia secara kelompok untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia materi maupun spiritual. Maka kelompok-kelompok ini disebut fungsionalis. Agama sebagai sasaran studi antropologi dapat disimpulkan dalam dua hal. Pertama, antropologi yang merupakan bagian dari kebudayaan dan menjadi salah satu sasaran kajian cabang tersendiri yang disebut antropologi agama. Kedua, semua cabang-cabang atropologi sebenarnya masih dalam satu rumpun kajian yang bisa saling berhubungan yaitu antropologis. Karena itu pendekatan antropologi identik dengan pendekatan kebudayaan.
Adapun metode yang paling tepat dengan pendekatan antropologi adalah metode holistik. Artinya dalam melihat satu fenomena sosial, harus diteliti dalam konteks totalitas kebudayaan masyarakat yan dikaji. Sedangkan teknik pengumpulan data yang paling tepat adalah denngan observasi partisipatif dan wawancara mendalam. Pengumpulan data semacam ini dimaksudkan sebagai upaya untuk memeroleh pemahaman yang maksimal dari perspektif masyarakat yang diteliti, bukan dari perspektif pengamat atau peneliti. Dalam kaitannya dengan Islam sebagai gejala antropologi, sangat banyak objek kajian yang dapat dilakukan. Gejala yang dapat diteliti yakni:
a. Scripture atau naskah-naskah atau simbol-simbol atau sumber ajaran.
b. Penganut, pemimpin, tokoh, atau pemuka agama, yakni pemahaman sikap, perilaku
dan penghayatan.
c. Ritus-ritus, lembaga-lembaga, dan ibadah-ibadah, seperti shalat, puasa, haji, dll.
d. Alat-alat agama dan keagamaan seperti masjid, peci, tasbih, dll.
e. Organisasi-organisasi keagamaan, seperti NU, Muhamadiyah, Persis, dll.
DAFTAR PUSTAKA
Darmawan, Andy dkk. 2005. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga
Khoirudin Nasution. 2004. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta: AcAdeMIA + TAZZAFA
Ritzer, George. 2010. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Penerjemah, alimandan. Jakarta: Rajawali press.
Mudzhar, Atho. 2007. Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Abdullah, Taufik dan M. Rusli Karim. 1990. Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogyakarta
Abdullah, Yatmin. 2006. Studi Islam Kontemporer. Jakarta: Sinar Grafika Offset
A. Latar Belakang
Pada abad modern ini islam telah menjadi kajian yang menarik minat banyak kalangan baik di Barat maupun Timur yang kemudian melahirkan Studi Islam (Islamic Studies). Islam tidak lagi hanya dipahami dalam pengertian normatif dan doktriner, tetapi telah menjadi fenomena yang kompleks baik dari sistem budaya, peradaban, komunitas politik, dan ekonomi. Mengkaji dan mendekati Islam, tidak lagi mungkin hanya dari satu aspek, karenanya dibutuhkan metode dan pendekatan interdisipliner dari ilmu-ilmu sosial lainnya.
Studi Islam (Islamic studies) seperti disebutkan diatas dikaji dengan menggunakan interdisipliner ilmu-ilmu sosial dan humanities, dari interdisipliner tadi menghasilkan berbagai macam fokus keahlian dalam pengkajian Studi Islam. Sehingga Studi Islam dapat berkembang pesat dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah sesuai dengan bidangnya, sehingga muncul sejarah agama, psikologi agama, sosiologi agama, antropologi agama, dan lain-lain. Asumsi dasar dari ilmuwan sosial adalah bahwa perilaku manusia mengikuti teori kemungkinan (possibility) dan objektivitas. Bila perilaku manusia itu dapat didefInisikan, diberlakukan sebagai entitas objektif, maka akan dapat diamati dengan menggunakan metode empiris dan juga dapat dikuantifikasikan.
Dengan pendekatan seperti itu, ilmuwan sosial menggambarkan agama dalam kerangka objektif, sehingga agama dapat “dijelaskan” dan perannya dalam kehidupan masyarakat dapat dimengerti. Penelitian dalam ilmu sosial bertujuan untuk menemukan aspek empiris dari keberagamaan dan fenomena keagamaan dalam kerangka seperti hukum sebab-akibat, supply and demand, atau stimulus and respons. Tetapi studi islam harusnya tidak meninggalkan sisi normatif dari agama itu sendiri, karena sisi normatif itulah yang melahirkan konsep-konsep sosial dalam masyarakat, meskipun kadangkala tidak sesuai dengan sisi historisnya. Konsep sosial tersebut dapat dikembangkan untuk membangun peradaban dan masyarakat islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Pendekatan Sosial
Adapun yang dimaksud dengan pendekatan di sini adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama. Dalam hubungan ini Jamaluddin Rakhmat mengatakan bahwa agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai paradigma realitas agama yang diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai dengan kerangka paradigmanya. Oleh karena itu, tidak ada persoalaan apakah penelitian agama itu, penelitian ilmu sosial, penelitian legalistis, atau penelitian filosofis. Dengan pendekatan ini semua orang dapat sampai pada agama. Di sini dapat dilihat bahwa agama bukan hanya monopoli kalangan teolog dan normalis, melainkan agama dapat dipahami semua orang sesuai dengan pendekatan dan kesanggupannya. Oleh karena itu, agama hanya merupakan hidayah Allah dan merupakan suatu kewajiban manusia sebagai fitrah yang diberikan Allah kepadanya.
Jika menggunakan pendekatan yang berbeda tentunya akan diperoleh hasil yang berbeda pula, tetapi hal itu tidak dipermasalahkan selama masih sesuai dengan standar ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan dan dikritisi secara empiris. Dalam studi islam terdapat 3 epistimologi dalam pendekatan sosialnya, yaitu bayani, irfani, dan burhani yang nantinya masing-masing menghasilkan studi islam yang berbeda.
B. Pendekatan Sosiologi
Sebelum membahas pendekatan studi islam secara sosiologis terlebih dulu kita membahas apa itu sosiologi sendiri. Sosiologi berasal dari bahasa Latin yaitu Socius yang berarti kawan, teman sedangkan Logos berarti ilmu pengetahuan. Ungkapan ini dipublikasikan diungkapkan pertama kalinya dalam buku yang berjudul "Cours De Philosophie Positive" karangan August Comte (1798-1857). Walaupun banyak definisi tentang sosiologi namun umumnya sosiologi dikenal sebagai ilmu pengetahuan tentang masyarakat. Sosiologi mempelajari masyarakat meliputi gejala-gejala social, struktur sosial, perubahan sosial dan jaringan hubungan atau interaksi manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial .
Sosiologi memiliki berbagai paradigma untuk mengkaji suatu masalah, sehingga sosiologi merupakan ilmu sosial yang berparadigma ganda. Adapun struktur paradigma didalam sosiologi adalah sebagai berikut.
Paradigma sosiologi lahir dari teori-teori sosiolog dari masa klasik hingga era modern ini. Menurut Thomas khun mengatakan bahwa paradigma sosiologi berkembang secara revolusi bukan secara kumulatif seperti pendapat sosiolog sebelumnya. Khun menyekemakan munculnya paradigm sebagai berikut:
Paradigma I→ Normal Science→ Anomalies→ Crisis→ Revolusi→ Paradigma II
Sehingga paradigm sosiologi dapat berkembang sesuai dengan fakta sosial. Pradigma ini lah yang akan digunakan sebagai alat untuk mengkaji studi islam, dalam pengkajian studi islam peneliti bebas memilih paradigma yang ada didalam sosiologi untuk mengkaji masyarakat islam. George Ritzer mengetengahkan bahwa paradigma-paradigma dalam sosiologi walaupun hasilnya berbeda namun tidak ada perselisihan diantara paradigm tersebut selama masih sejalan dengan hukum ilmiah. Meskipun begitu umumnya paradigma itu memiliki keunggulan pada masing-masing masalah yang dikajinya .
Dalam sosiologi ada pranata sosial, pranata adalah sistem norma atau aturan-aturan mengenai aktivitas masyarakat, sementara sosial secara sederhana adalah masyarakat. Jadi dapat disimpulkan pranata sosial adalah himpunan kaidah-kaidah atau aturan-aturan yang dipahami, dihargai, dan ditaati oleh warga masyarakat dan bertujuan untuk mengatur kehidupan masyarakat . Pelapisan sosial adalah perbedaan penduduk atau masyarakat ke dalam tatanan atau urutan secara bertingkat atau hierarki. Dalam islam sendiri terdapat pelapisan masyarakat hal itu dapat dipelajari melalui wujud pelapisan masyarakat seperti:
1. Tingggi-rendah
2. Bangsawan-rakyat biasa
3. Superior-inferior
4. Unggul-biasa
5. Priyayi-wong cilik dan semacamnya
Munculnya pelapisan sosial karena adanya sesuatu yang dihargai oleh masyarakat, yakni harta benda, ilmu pengetahuan, kekuasaan, keturunan keluarga terhormat, kesalehan dalam agama, dan semacamnya. Ada beberapa teori tentang munculnya lapisan-lapisan dalam masyarakat, yakni:
• Terjadi dengan sendirinya (otomatis), misalnya lapisan berburu karena kepandaian berburu hewan, atau misalnya seorang dermawan yang dihormati oleh masyarakat.
• Sengaja disusun untuk mencapai tujuan tertentu, yang sering disebut pembagian kerja, tanggung jawab, dan sebagainya. Misalnya dalam organisasi. Organisasi dalam berbisnis, politik, pendidikan, pemerintahan, dan lainnya.
Sifat sistem lapisan dalam masyarakat ada dua, yakni:
1. Tetutup, yakni tidak memberikan kesempatan atau kemungkinan pindahnya seseorang dari satu lapisan ke lapisan yang lain. contohnya adalah kasta dalam masyarakat Hindu, keturunan bangsawan atau darah biru, dan semacamnya.
2. Terbuka, yakni memungkinkan seseorang untuk berpindah dari satu lapisan ke lapisan yang lain.
Adapun faktor yang dapat dijadikan titi tolak mencapai kesamaan derajat adalah adanya pengakuan terhadap hak asasi manusia. Sementara faktor-faktor yang membedakan elit dan massa adalah, kekayaan, kedudukan, ilmu penegtahuan, kekuasaan, kehormatan, dan sebagainya. Sedangkan kelas menurut Karl Marx adalah ditentukan oleh faktor ekonomi. Kelas pemilik tanah atau alat-alat produksi dinamakan kaum borjuis. Sedangkan pemilik tenaga untuk disumbangkan disebut kaum buruh atau kaum proletar.
Stereotip adalah gambaran tertentu mengenai sifat seseorang atau sekelompok orang yang bersifat negatif, yang pembentukannya didasarkan pada generalisasi sehingga sifatnya subjektif. Lebih jau lagi stereotif adalah produk dari proses interaksi antar kelompok etnis atau yang terdapat dalam masyarakat yang di dalamnya ada kelompok mayoritas dan minoritas. Faktor-faktor yang memengaruhi stereotif dan prasangka adalah:
Kepribadian. Contohnya orang yang mempunyai kepribadian otoriter mudah mempunyai prasangka.
Pengaruh pendidikan orang tua terhadap anak.
Status, pada umumnya semakin tinggi dan baik tingkat pendidikan seserang, maka semakin sedikit prasangka dan stereotip.
Peranan sarana komunikasi, seperti, filem, radio, surat kabar, dll.
Peranan hubungan
Kaitannya dengan pendekatan sosiologi. Minimal ada tiga teori yang bisa digunakan dalam peneitian, yaitu: teori fungsional, teori interaksional, dan teori konflik. Tapi ada juga yang menambahkan dua teori lainnya, yaitu teori peranan dan teori kepentingan.
1. Teori Fungsional
Teori fungsional adalah teori yang mengasumsikan masyarakat sebagai organisme ekologi mengalai pertumbuhan. Semakin besar pertumbuhan terjadi semakin kompleks pula masalah-masalah yang akan dihadapi. Yang pada gilirannya akan membentuk kelompok-kelompok atau bagian-bagian tertentu yang mempunyai fungsi sendiri, yang mana bagian yang satu dengan bagian yang lain memiliki fungsi yang berbeda. Karena perbedaan pada bagian-bagian tadi maka perubahan fungsi pada bagian tertentu bisa juga memengaruhi fungsi kelompok lain. meskipun demikian masing-masing kelompok dapat dipelajari sendiri-sendiri. Maka yang menjadi kajian penelitian agama dengan pendekatan sosiologi dengan teori fungsional adalah dengan melihat atau meneliti fenomena masyarakat dari sisi fungsinya.
Adapun teori yang berhubungan dengan teori fungsi adalah teori peran. Peran disini maksudnya adalah, seperangkat tindakan yang diharapkan yang akan dimiliki seseorang yang berkedudukan dalam masyarakat. Berperan berarti bertindak atau bermain sebagai. Sedangkan peranan adalah tindakan yang dilakukan sesorang dalam suatu peristiwa . Hubungan peran dan status, baahwa peran tidak dapat dipisahkan dari status. Adapun pengertian status adalah tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial sehubungan dengan orang-orang lain dalam kelompok tersebut . Ada dua jenis status atau kedudukan:
a. Ascribe status, status yang didapat seseorang secara otomatis, tanpa usaha atau tanpa memerhatikan kemampuan. Misalnya status bangsawan, atau kasta yang diperoleh sejak lahir dari orang tua.
b. Achieve status, status yang diperoleh seseorang dengan usaha yang disengaja sesuai dengan kemampuannya.
Adapun langkah-langkah yang diperlukan dalam menggunakan teori fungsional. Yaitu, membuat identifikasi tingkah laku sosial yang problematik, mengidentifikasi konteks terjadinya tingkah laku yang menjadi objek penelitian, serta mengidentifikasi konsekuensi dari satu tingkah laku sosial.
2. Teori Interaksional
Teori interaksionisme mengasumsikan, dalam masyarakat pasti ada hubungan antara masyarakat dengan individu, individu dengan individu lain. Teori ini sering diidentifikasikan sebagai deskripsi yang interpretatif, yaitu suatu sebab yang menawarkan suatu analisis yang menarik perhatian besar pada pembekuan sebab yang senyatanya ada. Prinsip dasar yang dikembangkaan oleh teori interaksionisme adalah; bagaimana individu menyikapi sesuatu atau apa saja myang ada di lingkungan sekitarnya, memberikan makna pada fenomena tersebut berdasarkan interaksi sisoal yang dijalankan dengan individub yang lain, makna tersebut difahami dan dimodifikasi oleh individu melalui proses interpretasi atau penafsiran yang berhubungan dengan hal-hal yang dijumpainya.
3. Teori Konflik
Teori konflik adalah teori yang percaya bahwa manusia memilki kepentingan (interest) dan kekuasaan (power) yang merupakan pusat dari segala hubungan manusia. Menurut pemegang teori ini nilai dan gagasan-gagasan selau digunakan untuk melegitimasi kekuasaan.
Perubahan Sosial dalam Islam dapat dikaji menggunakan pendekatan sosiologi. Dengan menggunakan teori ini islam dapat diketahui perkembangan dan kemajuannya dari masa kemasa, sehingga nantinya dapat digunakan untuk mengembangkan masyarakat islam.
a. Teori evolusi
Teori ini sebenarnya adalah hasil pemikiran Frederick Hegel, namun dikenalkan oleh August Comte sebagai teori sosial. Menurut Comte, perubahan atau perkembangan manusia melewati tiga tahap. Fase teologis diteruskan dengan fase metafisik, selanjutnya diteruskan dengan fase ilmiah atau positif, yaitu dengan memahami hukum eksperimen ilmiah. Pengetahuan ilmiah dapat direncanakan, oleh Herbert Spencer disebut rekayasa sosial, juga disebut Darwinisme Sosial. Dalam aplikasinya teori ini menjelaskan tentang perubahan masyarakat yang dimulai dari masyarakat non industri atau masyarakat primitif, akan berevolusi ke masyarakat industri yang lebih kompleks dan berkebudayaan .
b. Teori fungsional struktural
Teori ini lahir tahun 1930-an, dekembangkan Robert Marton dan Talcott Parson. Teori ini memandang bagaiman masyarakat sebagai sistem yang terdiri atas bagian yang saling berkaitan (agama, pendidikan, struktur, politik, sampai rumah tangga). Masing-masing bagian terus mencari keseimbangannya (equilibrium) dan harmoni.
c. Teori moderenisasi
Teori ini lahir tahun 1950-an. Menurut Huntington (1976) moderenisasi dianggap sebagai jalan menuju perubahan. Proses moderenisasi adalah, revolusioner, kompleks, sistematik, global, bertahap, dan progresif.
d. Teori sumber daya manusia
Teori ini dikembangkan oleh Theodore Shulz (1961), menurutnya keterbelakangan masyarakat dianggap bersumber pada faktor interen negara atau masyarakat itu sendiri. Karena itu, untuk peningkatannya diperlukan investasi masing-masing.
e. Teori konflik
Hegel adalah orang pertama memberi perhatian untuk menjadi teori perubahan. Bagi Hegel perubahan adalah sebuah dialektik, yakni berasal dari proses tesis, antitesis, dan sintesis. Teori ini memengaruhi teori Kalr Marx. Menurut Marx masyarakat terpolarisasi dalam dua kelas yang selalu bertentangan, yaitu, kelas yang mengeksploitasi dan kelas yang tereksploitasi. Contoh konflik adalah revolusi, eksploitasi, kolonialisme, ketergantungan, konflik kelas, dan rasial.
f. Teori ketergantungan
Teori ini menekankan pada hubungan dalam masyarakat, misalnya masalah struktur sosial, kultural, ekonomi, dan politik.
g. Teori pembebasan
Asumsi teori ini adalah, masyarakat berada dalam keadaan terbelakang karena tertindas oleh pemegang kekuasaan dalam masyarakat mereka sendiri. Paulo Freire (1972), penting adanya pendidikan dalam pembebasan dan pembangunan. Oleh Gustavo Gutierrez, teori ini dikaitkan dengan teologi. Maka muncul teori pembebasan, yaitu melakukan penyadaran.
Sebagai tambahan dalam kaitannya agama islam sebagai gejala sosial, pada dasarnya bertumpu pada konsep sosiologi agama. Awalnya sosiologi agama hanya mempelajari hubungan hubungan timbal balik antara agama dan masyarakat. Namun dewasa ini, sosiologi agama mempelajari bagaimana agama meengaruhi masyarakat, dan boleh jadi agama maysrakat memengaruhi konsep agama. Dalam kajian sosiologi ini, agama dapat sebagai independent variabel, yaitu Islam memengaruhi faktor atau unsur lain. agama juga dapat sebagai dependent variabel, berarti agama dipengaruhi faktor lain. sebagai contoh, Islam sebagai dependent variabel adalah, bagaimana budaya masyarakat Yogyakarta memengaruhi resepsi perkawinan Islam (muslim Yogyakarta). Sedangkan contoh Islam sebagai independent variabel adalah, bagaimana Islam memengaruhi tingkah laku muslim Yogyakarta.
Al-Gazali secara substansial telah merumuskan kajian sosiologi ini dalam kajian hukum Islam. Menurutnya penelitian hukum Islam secara garis besar ada dua, yakni, penelitian hukum deskriptif (washfi) dan penelitian hukum normatif/perspektif (mi’yari). Penelitian deskriptif menekankanpada penjelasan hubungan antara variabel hukum dengan non hukum, baik sebagai variabel independent ataupun variabel dependent.
C. Pendekatan Antropologis
Antropologi adalah salah satu cabang ilmu sosial yang mempelajari tentang budaya masyarakat suatu etnis tertentu. Antropologi lahir atau muncul berawal dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri fisik, adat istiadat, budaya yang berbeda dari apa yang dikenal di Eropa. Antropologi lebih memusatkan pada penduduk yang merupakan masyarakat tunggal, tunggal dalam arti kesatuan masyarakat yang tinggal daerah yang sama, antropologi mirip seperti sosiologi tetapi pada sosiologi lebih menitik beratkan pada masyarakat dan kehidupan sosialnya.
Antropologi adalah ilmu yang mempelajari manusia dari segi keanekaragaman fisik serta kebudayaan (cara-cara berprilaku, tradisi-tradisi, nilai-nilai) yang dihasilkan sehingga setiap manusia yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda. Tampaknya sulit melukiskan garis pemisah yang jelas antara antropologi dan sosiologi karena kedua ilmu ini terbagi bukan karena metode yang dipakai oleh para sarjana, melainkan metode yang dipakai oleh tradisi. Bagaimanapun, antropologi telah memusatkan perhatiaannya kepada kebudayaan primitif yang tidak bisa baca tulis dan tanpa tehnik.
Pendekatan antropologi dalam agama, memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Dengan kata lain, cara yg digunakan ilmu antropologi dalam melihat suatu masalah digunakan pula untuk memahami agama. Dawam raharjo, “lebih mengutamakan pengamatan langsung, bahkan bersifat partisipatif”. Dari sini, timbul kesimpulan bersifat induktif yang mengimbangi pendekatan deduktif digunakan dalam pengamatan sosiologis.penelitian antropologis yang induktif dan graunded, yaitu turun kelapangan tanpa berpijak pada, atau setidak-tidaknya dengan upaya membebaskan diri dari kungkungan teori-teori formal yang pada dasarnya sangat abstrak.
Penelitian antropologis agama dapat ditemukan adanya hubungan positif antara kepercayaan agama dengan kondisi ekonomi politik. Golongan masyarakat kurang mampu dan miskin lebih tertarik pada gerakan keagamaan yang bersifat messianic, yang menjanjikan perubahan tatanan sosial kemasyarakatan. Golongan orang kaya lebih cenderung untuk mempertahankan tatanan masyarakat yang sudah mapan secara ekonomi lantaran menguntungkan pihaknya.
1. Karl Marx (1818-1883) melihat agama sebagai opium atau candu masyarakat tertentu sehingga mendorong memperkenalkan teori konflik atau teori pertentangan kelas. Menurutnya, agama bisa disalah fungsikan oleh kalangan tertentu untuk melestarikan status quo peran tokoh-tokoh agama yang mendukung sistem kapitalis di Eropa yang beragama Kristen.
2. Max Weber (1920-1964), dia melihat adanya korelasi positif antara ajaran Prostestan dan munculnya semangat kapitalisme modern.
3. Robert N. Bellah meneruskan cara pandang Weber dalam karyanya The Religion of Togugawa. Dia melihat adanya korelasi positif antara ajaran agama tokogawa.yakni semacam percampuran antara ajaran Budha dan Sinto pada era pemerintahan Meiji dengan semangat etos kerja orang Jepang modern.
Melalui pendekatan antropologis tersebut , kita melihat bahwa agama ternyata berkorelasi dengan etos kerja dan perkembangan ekonomi suatu masyarakat. Jika ingin mengubah pandangan dan sikap etos kerja seseorang, kita mengubah pandangan keagamaannya.
Dalam sejarah perkembangan antropologi diwarnai oleh divegensi teori yang semakin meningkat, dan pola tesebut nampaknya terus berlangsung. Tiadak ada kesepakatan tentang berapa jumlah paradigma dalam antropologi masa kini. Berikut adalah beberapa contoh paradigma antropologi (Achmad fedyani 2005: 63-66)
a. Evolusionisme klasik paradigma ini beupaya menelusuri perkembangan kebudayaan sejak yang paling awal, asal usul primitf, hingga yang paling mutakhir, bentuk yang paling kompleks.
b. Difusionisme paradigma ini berupaya menjelaskan kesaman-kesaman diantara bebagai kebudayaan. Kesamaan tersebut terjadi karena adanya kontak-kontak kebudayaan.
c. Partikularisme paradigma ini memusatkan perhatian pada pengumpulan data etnogafi dan deskipsi mengenai kebudayaan tertentu.
d. Struktural-Fungsionalisme paradigma ini berasumsi bahwa komponen-komponen system sosial, seperti halnya bagian-bagian tubuh suatu organism, befungsi memelihara integritas dan stabilitas keseluruhan sisitem
e. Antropologi Psikologi mengekspresikan dirinya kedalam tiga hal besar : hubungan antara kebudayaan manusia dan hakikat manusia, hubungan antara kebudayaan dan individu, dan hubungan antara kebudayaan dan kepribadian khas masyarakat.
f. Strukturalisme adalah strtegi penelitian untuk mengungkapkan struktur pikiran manusia-yakni, struktur dari poses pikiran manusia-yang oleh kaum strukturalis dipandang sama secara lintas budaya.
g. Materalisme Dialektik paradigma ini berupaya menjelaskan alas an-alasan terjadinya perubahan dan perkembangan system sosial budaya.
h. Cultural Materialisme paradigma ini berupaya menjelaskan sebab-sebab kesamaan dan pebedaan sosial budaya.
i. Etnosains paadigma ini juga disebut “etnografi bau”. Perspektif teoritis mendasar dari paradigma tersebut terkandung dalam konsep analisis kompensional, yang mengemukakan komponen kategori-kategori kebudayaan dapat dianalisis dalam konteksnya sendiriuntuk melihat bagaimana kebudayaan menstrukturkan lapangan kognisis.
j. Antropologi Simbolik paradigma ini dibangun atas dasar bahwa manusia adalah hewan pencari makna, dan berupaya mengungkapkan cara-cara simbolik dimana manusia secara individual, dan kelompok-kelompok kebudayan dari manusia, memberikan makna kepada kehidupannya.
k. Sosiobiologi paradigma ini berusaha menerapkan prinsip-prinsip evolosi biologi terhadap fenomena sosial dan menggunakan pendekatan dan program genetika untuk meneliti banyak prilaku kebudayaan.
Agama menurut pendekatan antropologis adalah hubungan mekanisme pengorganisasian (social organization) juga tidak kalah menarik untuk diketahui. Khusus di Indonesia, karya Clifford Geertz, The Religion of Java. Menurut Geertz, adanya klasifikasi sosial dalam masyarakat Muslim di Jawa: santri, priyayi, dan abangan. Hasil penelitian antropologis di Jawa Timur ini dapat sanggahan dari berbagai ilmuwan sosial, kontruksi stratifikasi sosial cukup membuat orang berfikir ulang mengecek keabsahannya.
Pendekatan antropologis fenomenologis, kita dapat melihat hubungan antara agama dan negara (state and religion). Contohnya Turkey modern yang mayoritas penduduknya beragama Islam, tetapi konstitusi negaranya menyebut sekularisme sebagai prinsip dasar kenegaraan yang tidak bisa ditawar-tawar. Belum lagi, kerajaan Saudi Arabia dan Negara Republik Iran yang berdasarkan Islam. Kedua sistem pemerintahan sangat berbeda, yaitu kerajaan dan republik. Dan, Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang mayoritas penduduknya beragama Islam, tetapi menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal.
Selanjutnya, melalui pendekatan antropologis ini, dapat ditemukan keterkaitan agama dengan psikoterapi
1. Signum Freud (1856-1939), mengaitkan agama dengan oedipus kompleks, yakni pengalaman infantile seorang anak yang tidak berdaya di hadapan kekuatan dan kekuasaan bapaknya. Agama dinilainya sebagai neurosis. Dia mengungkapkan hubungan antara id, ego, dan superego.
2. C.G. Jung, menemukan hasil temuan psikoanalisisnya yang berbalik arah dari yang ditemukan oleh Freud. Menurutnya, ada korelasi yang sangat positif antara agama dan kesehatan mental.
Sebagaimana tersebut di atas terlihat dengan jelas hubungan agama dengan berbagai masalah kehidupan manusia, dan dengan itu pula, agama terlihat akrab dan fungsional dengan berbagai fenomena kehidupan manusia.
Dalam Al-Qur’an Al-Karim, sebagai sumber utama ajaran Islam misalnya, kita memperoleh informasi tentang kapal Nabi Nuh di Gunung Arafat, kisah Ashabul Kahfi yang dapat bertahan hidup dalam gua lebih dari 300 tahun lamanya. Untuk mengetahui dimana bangkai kapal Nabi Nuh itu, dan di mana kira-kira gua itu dan bagaimana bisa terjadi peristiwa menakjubkan itu, atau hal fiktif? Tentu masih banyak lagi contoh lain yang hanya dapat dijelaskan dengan bantuan ahli geografi dan akeologi.
Dengan demikian, pendekatan antropologi sangat dibutuhkan dalam memahami agama, karena dalam ajaran agama tersebut terdapat uraian dan informasi yang dapat dijelaskan melalui bantuan antropologi dan cabang-cabangnya.
Pada awalnya kajian antropolog menitikberatkan pada penerapan teori evolusi Darwin. Kemudian di akhir abad ke 19 ada kritik terhadap teori evolusi. Kritik ini menyatakan bahwa yang terjadi adalah adanya perbedaan pada kelompok-kelompok masyarakat, bukan proses perkembangan yang bersifat evolusiotik. Menurut pemegang teori yang tidak setuju dengan teori evolusi, adanya perbedaan unsur-unsur budaya yang ada dalam berbagai masyarakat merupakan suatu kenyataan yang harus diakui. Masing-masing kebudayaan tersebut berfungsi sebagai usaha manusia secara kelompok untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia materi maupun spiritual. Maka kelompok-kelompok ini disebut fungsionalis. Agama sebagai sasaran studi antropologi dapat disimpulkan dalam dua hal. Pertama, antropologi yang merupakan bagian dari kebudayaan dan menjadi salah satu sasaran kajian cabang tersendiri yang disebut antropologi agama. Kedua, semua cabang-cabang atropologi sebenarnya masih dalam satu rumpun kajian yang bisa saling berhubungan yaitu antropologis. Karena itu pendekatan antropologi identik dengan pendekatan kebudayaan.
Adapun metode yang paling tepat dengan pendekatan antropologi adalah metode holistik. Artinya dalam melihat satu fenomena sosial, harus diteliti dalam konteks totalitas kebudayaan masyarakat yan dikaji. Sedangkan teknik pengumpulan data yang paling tepat adalah denngan observasi partisipatif dan wawancara mendalam. Pengumpulan data semacam ini dimaksudkan sebagai upaya untuk memeroleh pemahaman yang maksimal dari perspektif masyarakat yang diteliti, bukan dari perspektif pengamat atau peneliti. Dalam kaitannya dengan Islam sebagai gejala antropologi, sangat banyak objek kajian yang dapat dilakukan. Gejala yang dapat diteliti yakni:
a. Scripture atau naskah-naskah atau simbol-simbol atau sumber ajaran.
b. Penganut, pemimpin, tokoh, atau pemuka agama, yakni pemahaman sikap, perilaku
dan penghayatan.
c. Ritus-ritus, lembaga-lembaga, dan ibadah-ibadah, seperti shalat, puasa, haji, dll.
d. Alat-alat agama dan keagamaan seperti masjid, peci, tasbih, dll.
e. Organisasi-organisasi keagamaan, seperti NU, Muhamadiyah, Persis, dll.
DAFTAR PUSTAKA
Darmawan, Andy dkk. 2005. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga
Khoirudin Nasution. 2004. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta: AcAdeMIA + TAZZAFA
Ritzer, George. 2010. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Penerjemah, alimandan. Jakarta: Rajawali press.
Mudzhar, Atho. 2007. Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Abdullah, Taufik dan M. Rusli Karim. 1990. Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogyakarta
Abdullah, Yatmin. 2006. Studi Islam Kontemporer. Jakarta: Sinar Grafika Offset
Tidak ada komentar:
Posting Komentar