- DOSA-DOSA BESAR
- Menyekutukan Allah / Musyrik
ﺣﺪﻳﺙ ﺃﻧﺱ
ﺭﺿﻲﺍﷲ ﻋﻧﻪ ﻗﺎﻞ
ﺳﺋﻞ ﺭﺳﻭﻝ ﺍﷲ
ﺻﻟﻰﺍﷲ ﻋﻟﻳﻪ ﻮﺳﻟﻡ
ﻋﻦ ﺍﻟﻛﺑﺎﺌﺭ ﻗﺎﻝ׃ ﺍﻻﺷﺭﺍﻙ ﺑﺎﺍﷲ ﻭﻋﻘﻭﻕ ﺍﻠﻮﺍﻟﺪﻳﻥ
ﻭﻗﺗﻝ ﺍﻟﻧﻔﺱ ﻭﺷﻬﺎﺪﺓ
ﺍﻟﺯﻭﺮ: (ﺍﺨﺭﺠﻪ
ﺍﻟﺑﺨﺎﺭﻯ
ﻓﻰ
׃ ٥٢ ـ ﮐﺘﺎﺏ
ﺍﻟﺷﻬﺎﺪﺍﺕ
׃١٠ ـ ﺑﺎﺐ
ﻣﺎ
ﻗﻳﻝ
ﻓﻰ
ﺷﻬﺎﺪﺓ
ﺍﻟﺯﻭﺭ).
- Arti Hadits
Hadits Anas ra. Dimana ia berkata, “Nabi
ditanya tentang dosa-dosa besar, kemudian beliau menjawab: “Syirik (mempersekutukan
Allah), durhaka kepada kedua orang tua, membunuh jiwa (manusia), dan saksi
palsu.” (Dikeluarkan oleh Imam Al-Bukhari
mentakhrijkan hadits ini dalam Kitab “Syahadat” bab : apa yang dikatakan dalam
saksi palsu).
- Mufrodat Hadits
Bentuk jamak dari (اَلْكَبِيْرَةٌ) artinya dosa-dosa besar
|
:
|
اَلْكَبَائِرُ
|
Durhaka
|
:
|
عُقُوْقٌ
|
Palsu, miring
|
:
|
الزَّوْرَ
|
- Urgensi Hadits
Dalam hadits di atas diterangkan
empat macam dosa besar, yakni menyekutukan Allah, durhaka kepada orang tua,
membunuh jiwa manusia tanpa hak dan menjadi saksi palsu.
- Sababul Wurud
Dalam kitab Riyadhus
Shalihin dijelaskan, bahwa ketika Nabi menjelaskan tentang dosa
syirik dan durhaka terhadap kedua orang tua, beliau dalam keadaan bersandar,
namun kemudian beliau duduk untuk menunjukan betapa pentingnya masalah yang
akan dibahasnya, yaitu tentang dosa saksi palsu. Beliau terus
mengulang-ulanginya, sampai para sahabat berkata, “Semoga Rasulullah segera
diam”.
- Fiqhul Hadits
Dalam hadits di atas diterangkan empat macam dosa besar,
yakni menyekutukan Allah, durhaka kepada orang tua, membunuh jiwa manusia tanpa
hak, dan menjadi saksi palsu. Di bawah ini akan dijelaskan secara singkat.
Syirik adalah mempersekutukan Allah dengan selain-Nya yang
merupakan dosa besar yang tidak akan diampuni oleh Allah Swt. Perbuatan lain
yang termasuk juga dosa besar adalah durhaka terhadap ayah bunda, membunuh jiwa
manusia, dan menjadi saksi palsu.
Rasulullah juga memperingatkan agar kita jangan sampai
terperosok ke dalam tujuh macam perbuatan dosa yang menghancurkan, terutama
perbuatan menduakan Allah. Sebab, syirik adalah dosa yang paling besar, dan
perbuatan syirik ibarat menghina Allah Maha Pencipta dan Maha Pengatur seluruh
alam ini. Apabila seseorang menjadikan Tuhan selain Allah, berarti ia menganggap
Allah itu lemah, yang sudah barang tentu merupakan perbuatan kurang ajar
terhadap kekuasaan Allah Yang Maha Agung.
1.
Musyrik (menyekutukan Allah)
Mempersekutukan
Allah atau syirik dikategorikan sebagai dosa yang paling besar yang tidak akan
diampuni oleh Allah Swt. Orang yang syirik diharamkan untuk masuk surga, sebagaimana
firman Allah Swt:
ﺇﻧﻪ ﻤﻥ ﻴﺷﺮﻙ
ﺑﺎﷲ ﻓﻘﺪ ﺣﺮﻡ
ﷲ ﻋﻟﻴﻪ ﺍﻟﺟﻧﺔ
ﻭﻣﺄﻭﻪ ﺍﻟﻧﺎﺭ... ﴿ﺍﻟﻣﺎﺋﺪﺓ׃٧٢﴾
Artinya: “Sesungguhnya orang yang menyekutukan Allah,
maka pasti Allah mengharamkan surga baginya dan ia ditempatkan di dalam neraka.”
(Q.S. Al-Ma’idah: 72)
Ada beberapa
macam bentuk menyekutukan Allah Swt, di antaranya:
- Syirik Besar
Syirik
besar
adalah memalingkan suatu bentuk ibadah kepada selain Allah, seperti berdo’a
kepada selain Allah atau mendekatkan diri kepadanya dengan penyembelihan kurban
atau nadzar untuk selain Allah, baik untuk kuburan, jin atau syaithan, dan
lainnya. Atau seseorang takut kepada orang mati (mayit) yang (dia menurut
perkiraannya) akan membahayakan dirinya, atau mengharapkan sesuatu kepada
selain Allah, yang tidak kuasa memberikan manfaat maupun mudharat, atau
seseorang yang meminta sesuatu kepada selain Allah, di mana tidak ada manusia
pun yang mampu memberikannya selain Allah, seperti memenuhi hajat, menghilangkan
kesulitan dan selain itu dari berbagai macam bentuk ibadah yang tidak boleh
dilakukan melainkan ditujukan kepada Allah saja.
Syirik
besar dapat
mengeluarkan pelakunya dari agama Islam dan menjadikannya kekal di dalam
Neraka, jika ia meninggal dunia dalam keadaan syirik dan belum bertaubat
daripadanya. Syirik besar ada banyak, sedangkan di sini akan disebutkan empat
macamnya saja:
- Syirik do’a, yaitu di samping ia berdo’a kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, ia juga berdo’a kepada selain-Nya.
- Syirik niat, keinginan dan tujuan, yaitu ia menujukan suatu bentuk ibadah untuk selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.
- Syirik ketaatan, yaitu mentaati selain Allah dalam hal maksiyat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
- Syirik mahabbah (kecintaan), yaitu menyamakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan selain-Nya dalam hal kecintaan.
- Syirik Kecil
Syirik
kecil
tidak menjadikan pelakunya keluar dari agama Islam, tetapi ia mengurangi tauhid
dan merupakan wasilah (jalan, perantara) kepada syirik besar. Syirik kecil ada
dua macam:
- Syirik zhahir (nyata), yaitu syirik kecil dalam bentuk ucap-an dan perbuatan. Dalam bentuk ucapan misalnya, bersumpah dengan selain Nama Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Adapun
contoh syirik dalam perbuatan, seperti memakai gelang, benang, dan
sejenisnya sebagai pengusir atau penangkal marabahaya. Seperti menggantungkan
jimat (tamimah) karena takut dari ‘ain (mata jahat) atau lainnya. Jika
seseorang meyakini bahwa kalung, benang atau jimat itu sebagai penyerta untuk
menolak marabahaya dan menghilangkannya, maka perbuatan ini adalah syirik
ashghar, karena Allah tidak menjadikan sebab-sebab (hilangnya marabahaya)
dengan hal-hal tersebut.
Adapun
jika ia berkeyakinan bahwa dengan memakai gelang, kalung atau yang lainnya
dapat menolak atau mengusir marabahaya, maka per-buatan ini adalah syirik akbar
(syirik besar), karena ia menggantungkan diri kepada selain Allah.
- Syirik khafi (tersembunyi), yaitu syirik dalam hal keinginan dan niat, seperti riya’ (ingin dipuji orang) dan sum’ah (ingin didengar orang), dan lainnya. Seperti melakukan suatu amal tertentu untuk mendekatkan diri kepada Allah, tetapi ia ingin men-dapatkan pujian manusia, misalnya dengan memperindah shalatnya (karena dilihat orang) atau bershadaqah agar dipuji dan memperindah suaranya dalam membaca (Al-Qur-an) agar didengar orang lain, sehingga mereka menyanjung atau memujinya.
2. Durhaka Kepada Orang Tua
Maksudnya adalah tidak
berbakti kepada keduanya. Setiap anak wajib berbakti kepada kedua orang tuanya
sesuai kemampuannya. Ia wajib menaati mereka selama bukan untuk kemungkaran dan
kemaksiatan kepada Allah Swt.
Hal itu
menandakan bahwa peran dan kedudukan orang tua sangat tinggi di hadapan Allah Swt, sehingga
Rasulullah Saw. bersabda:
ﺮﺿﻰﺍﷲ ﻓﻰ ﺮﺿﻰ ﺍﻟﻮﺍﻟﺪﻴﻦ
ﻭﺴﺧﻁ ﺍﷲ ﻓﻰ ﺴﺧﻁ ﻟﻮﺍﻟﺪﻴﻦ. ﴿ﺮﻭﺍﻩ
ﺍﻟﺘﺮﻤﺬﻯ
ﻮ
ﺍﻟﺤﺎﻛﻡ
ﺑﺷﺮﻄ ﺍﻟﻤﺴﻟﻡ﴾
Artinya: “Keridaan Allah itu terletak pada keridaan
kedua ibu bapaknya dan kemurkaan Allah itu terletak pada kemurkaan kedua ibu
bapak pula”. (HR.
Muslim, Hakim, dengan syarat Muslim)
3.
Membunuh
Maksud membunuh
dalam pembahasan ini adalah membunuh jiwa yang diharamkan tanpa hak dengan
sengaja. Orang yang berbuat seperti itu akan dimasukkan ke neraka jahanam dan
kekal di dalamnya. Sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nisa ayat
93 yang artinya: “Barang siapa yang membunuh orang yang beriman dengan
sengaja, maka balasannya ialah neraka jahanam, ia kekal di dalamnya dan Allah
murka kepadanya, dan mengutuknya serta menyediakan azab yang besar baginya.”
Dan Nabi Saw. bersabda:
ﺇﺬﺍ ﺍﻟﺘﻘﻰ
ﺍﻟﻤﺴﻟﻤﺎﻦ ﺑﺴﻴﻔﻴﻬﻤﺎ٬ ﻓﺎ ﻟﻘﺎﺘﻝ
ﻭﺍﻟﻤﻘﺘﻭﻝ ﻓﻲ ﺍﻟﻨﺎﺭ٬ﻫﺫﺍ
ﺍﻟﻘﺎﺗﻞ٬
ﻓﻣﺎ
ﺒﺎﻞ ﺍﻟﻣﻘﺗﻭﻞ؟ ﻗﺎﻞ׃ ﻷﻨﻪ ﻛﺎﻦ
ﺣﺭﻳﺻﺎ ﻋﻟﻰ ﻗﺗﻞ
ﺻﺎﺣﺑﻪ.
Artinya: “Jika dua
orang lelaki Muslim berjumpa membawa pedangnya masing-masing (dengan tujuan
untuk saling membunuh), maka pembunuhnya dan yang terbunuh akan sama-sama masuk
neraka. Lalu beliau ditanya oleh seorang sahabat: Ya Rasulullah, benarlah jika
pembunuh ini masuk neraka, tetapi mengapakah pula orang yang terbunuh itu turut
sama masuk neraka? Nabi Saw. menjawab: Sebab yang terbunuh itu
berusaha pula untuk membunuh kawannya yang telah membunuhnya itu.” (Riwayat
Bukhari, Muslim dan Ahmad).
Menurut Imam
Abu Sulaiman, cara yang demikian itu jika dalam bentuk saling membunuh itu
perlu kepada penjelasan. Sehingga jika ada dua orang (kelompok) yang saling
berusaha untuk membunuh yang lainnya atas dasar fanatisme atau untuk
mendapatkan harta keduniaan dan berebut pangkat. Adapun orang yang membunuh
untuk membela isterinya (keluarganya diancam), maka orang-orang tersebut tidak
termasuk hadits di atas.
4.
Saksi
Palsu
Imam An-Nawawi di dalam
kitabnya Riyadhus Shalihin mencantumkan “Bab
Larangan Memberikan Kesaksian Palsu.” Penulis menjelaskan bahwa kesaksian
palsu adalah seseorang yang memberikan kesaksian suatu peristiwa yang ia
ketahui, tetapi bertentangan dengan kenyataannya.
Seseorang
memberikan kesaksian sebuah kejadian dan ia tidak mengetahui kesaksiannya
sesuai dengan fakta yang sebenarnya atau justru bertentangan dengan fakta yang
sebenarnya. Seseorang mengetahui bahwa kejadian sebenarnya adalah seperti ini,
tetapi ia memberikan kesaksian yang tidak sesuai dengan kenyataannya.
Ketiga macam
bentuk persaksian ini hukumnya haram dan seseorang tidak boleh memberikan
kesaksian kecuali sesuai dengan fakta yang ia ketahui dan dengan cara yang
benar. Dalam riwayat lain menyebutkan bahwa
Nabi Saw. sangat
memberi perhatian besar pada persoalan ini. Hal itu ditunjukan dengan sikap
beliau yang sebelumnya duduk bersandar ketika mengucapkan dosa besar syirik dan
durhaka kepada kedua orang tua, dan beliau duduk tegak ketika mengucapkan
tentang perkataan dusta atau saksi palsu. Alasan perkara ini mendapat perhatian
khusus adalah karena perkataan dusta atau kesaksian palsu sangat mudah terjadi
pada manusia, serta sering diremehkan oleh kebanyakan orang. Adapun syirik
dijauhi oleh hati seorang muslim, sedangkan durhaka kepada kedua orang tua
tidak selaras dengan tabiat. Sementara kepalsuan itu ditunjang oleh berbagai
faktor, seperti permusuhan, dengki dan lain-lain.
b. Tujuh Macam Dosa Besar
عن
ابى هريرة رضى الله عنه: ان رسول الله صلي الله عليه وسلم قال: اجتنب السبع
الموبقات, قيل يارسول الله
,وماهن؟
قال الشرك بالله, والسحر, وقتل النفس التي حرم الله الا بالحق, واكل مال اليتيم,
واكل الربا, والمتولي يوم الزحف وقدف المحصنات الغافلات المؤمنات. )ﺍﺨﺭﺠﻪ ﺍﻟﺑﺨﺎﺭﻯ ﻓﻰ ׃٥٥ـ ﮐﺘﺎﺏ ﺍﻟﻭﺻﺎﻴﺎ׃٢٣ـ ﺑﺎﺏ ﻗﻭﻝﺍﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ ׃ﺍﻦ ﺍﻟﺬﻴﻥ ﻴﺄﻛﻟﻮﻦ ﺍﻤﻭﺍﻞ ﺍﻟﻴﺘﺎﻤﻰ
ﻈﻟﻤﺎ(.
·
Arti Hadits:
Hadits Abu
Hurairah ra. dari Nabi saw. dimana beliau bersabda: “ Jauhilah tujuh macam dosa yang membinasakan.”Para sahabat
bertanya: ”Wahai Rasulullah, apakah ketujuh macam dosa itu?” Beliau menjawab:
“Mempersekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa (manusia) yang diharamkan oleh
Allah kecuali dengan hak, makan riba, makan harta anak yatim, lari pada saat
pertempuran (dalam jihad) dan menuduh (berbuat zina) kepada wanita-wanita yang
selalu menjaga diri, mukminat dan tidak pernah berfikir (untuk berzina).”
Al-Bukhari mentakhrijkan
hadits ini dalam “Kitab Wasiat”
bab tentang firman Allah SWT (yang artinya) : “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim dengan aniaya .“
·
Mufrodat Hadits
Jauhilah
|
:
|
اِجْتَنِبْ
|
Yang
membinasakan
|
:
|
اَلْمُوْبِقَاتِ
|
Palsu,
perbuatan sihir
|
:
|
السَّحْرُ
|
Berpaling
(melarikan diri)
|
:
|
التَّوَلِّى
|
Waktu
perang
|
:
|
يّوْمَ الزَّحْفِ
|
Menuduh
|
:
|
فَذْفٌ
|
Wanita
yang sudah menikah
|
:
|
اَلْمُحْصَنَاتِ
|
- Asbabul wurud
Hadis ini beliau ucapkan ketika memberikan nasehat ketika
haji wada’. Maka ada salah seorang bertanya tentang al-kabair. Maka nabi Saw
membacakan hadis ini.
·
Fiqhul Hadits
Kebaikan
itu memiliki tingkatan yang berbeda-beda. Demikian juga halnya dengan kejahatan
dan dosa. Kebaikan apa saja yang mempunyai manfaat besar, maka pahalanya di
sisi Allah akan besar juga. Sedangkan kebaikan yang manfaatnya lebih rendah,
maka pahalanya pun seimbang dengan kebaikan tersebut. Sebaliknya, setiap
kejahatan yang mudharatnya lebih besar, maka ia disebut sebagai dosa-dosa besar
yang membinasakan dan siksanya pun sangat berat. Adapun kejahatan yang
mudharatnya lebih rendah dari itu, maka ia tergolong kepada dosa-dosa kecil
yang dapat terhapus dengan jalan menjauhi dosa-dosa besar.
Dalam
hadis di atas, Rasulullah Saw menyuruh umatnya agar menjauhi tujuh dosa yang
membinasakan. Tujuh dosa ini bukan berarti pembatasan (hanya tujuh perkara)
atas dosa-dosa yang membinasakan. Tetapi hal ini sebagai peringatan atas
dosa-dosa yang lainnya.
Ketujuh
dosa yang dimaksudkan dalam hadis di atas, uraiannya adalah sebagai berikut.
1. Musyrik (Mempersekutukan Allah)
Menyekutukan Allah yaitu menyamakan
dan mensejajarkan selain Allah dengan Allah dalam segala hal yang menjadi
kekhususan bagi-Nya Yang Maha Suci, Maha Tunggal, Tempat Bergantung Segala
Makhluk, dan Yang Maha Esa.
Menyekutukan
Allah Swt merupakan dosa yang paling besar. Bahkan Allah Swt tidak akan
mengampuni dosa musyrik yang terbawa mati. Allah Swt berfirman: “Sesungguhnya
Allah tidak akan mengampuni dosa musyrik, dan Dia mengampuni segala dosa yang
selain dari (musyrik) itu, bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Dan siapa saja
yang musyrik kepada Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar”. (Qs:
An-Nisa [4]: 48)
Ar-Raghib al-Ashfahani
menyatakan bahwa kemusyrikan terdiri dari dua bentuk, yaitu:
a) Syirik besar, yaitu
menetapkan adanya sekutu bagi Allah SWT. Inilah bentuk dosa yang paling besar.
b) Syirik kecil, yaitu
memperhatikan selain Allah di samping memperhatikan-Nya juga dalam beberapa
urusan. Itulah ria dan nifaq.
Adanya
kemusyrikan dalam kategori musyrik kecil bukan karena beban dosanya yang
rendah, tetapi kemusyrikan ini merupakan bentuk kemusyrikan yang seringkali
terabaikan atau tidak terasa dalam perwujudannya. Tentang kemusyrikan ini.
Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya perkara yang paling
aku khawatirkan menimpa kalian adalah musyrik yang paling kecil, yakni ria.”
(Muttafaq ‘Alaih)
2.
Sihir
Sihir
termasuk ke dalam dosa yang besar karena di dalamnya terdapat upaya pencampur-adukan
dan menutupi apa yang sebenarnya.
Bahkan
sihir ini bisa mengakibatkan penyesatan aqidah, baik dari sisi penyebabnya
maupun dari sisi perolehannya. Para ulama telah bersepakat atas pengharaman
sihir, pembelajaran dan pengajarannya.
Bahkan
Imam Malik, Imam Ahmad, dan sekelompok para sahabat dan para tabiin berpendapat
bahwa saling berbagi sihir termasuk bagian kekufuran yang pelakunya harus
mendapat hukum eksekusi (dibunuh). Demikian juga upaya mempelajari dan
mengajarkan sihir kepada orang lain, karena hal itu termasuk wasilah yang akan
menjadi jalan terwujudnya sihir tersebut.
Namun
di sisi lain, ada juga yang berpendapat bahwa jika mempelajari sihir itu hanya
sekadar ingin mengetahuinya dan sebagai upaya menjaga diri, maka yang demikian
itu tidak termasuk dalam kategori haram. Pernyataan ini dianalogikan kepada
orang-orang yang berusaha mengetahui hakikat aliran-aliran sesat.
3. Membunuh Jiwa.
Yang
dimaksud membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah Swt dalam hadis di atas
adalah membunuh seorang muslim dengan sengaja, bukan karena suatu hukuman
tertentu seperti qishas atau rajam.
Pembunuhan
seperti ini termasuk juga ke dalam bagian dari dosa-dosa besar yang dapat
membinasakan para pelakunya.
Melalui
upaya pembunuhan, sang pelaku telah menghilangkan rasa aman di lingkungannya,
menebar rasa takut, dan memutuskan ikatan persaudaraan sesama manusia,
khususnya di kalangan kaum muslimin. Bahkan Allah Swt mengisyaratkan bahwa
membunuh satu orang sama kedudukannya dengan membunuh semua orang. Keterangan ini
tercantum dalam ayat firman Allah Swt:
“Oleh
karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa siapa saja yang
membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau
bukan karena membuat kerusakan di muka bumi,...”. (QS Al-Maidah [5]: 32)
Hukum
ini, walaupun khitab-nya Bani Israil, bukanlah mengenai Bani Israil saja,
tetapi juga mengenai manusia seluruhnya. Allah memandang bahwa membunuh
seseorang itu bagaikan membunuh manusia seluruhnya, karena orang-orang itu
adalah anggota masyarakat dan karena membunuh seseorang berarti juga membunuh
keturunannya.
4. Memakan Riba
Allah Swt berfirman : "Hai
orang-orang yang beriman, ber-takwa lah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kau
orang-orang yang beriman" (Qs: al-Baqarah : 278).
Allah Swt berfirman: "Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kau memakan riba dengan berlipat ganda dan ber-takwa
lah kau kepada Allah supaya kau mendapat keberuntungan. Dan peliharalah dirimu
dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir" (Qs:
Ali Imran : 130)
Allah
mengancam orang yang memakan riba dengan berbagai jenis siksaan pada hari
kiamat nanti.
5. Memakan Harta Anak Yatim
Ketika seorang
anak menjadi yatim, karena ditinggal mati oleh orang tuanya,
Islam menganjurkan agar kaum muslimin, terutama kaum kerabatnya, dapat menjaga
dan mengurus harta mereka yang diperolehnya melalui proses pewarisan.
Pengurusan harta anak yatim ini terus berlangsung sampai usia anak ini menjadi
dewasa sebagaimana Allah berfirman: “Dan ujilah anak yatim itu sampai
mereka cukup umur untuk menikah (dewasa). Kemudian jika menurut pendapatmu
mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka
harta-hartanya. Dan janganlah kamu memakan harta anak yatim lebih dari batas
kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanja¬kannya) sebelum mereka
dewasa. Siapa saja (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan
diri (dari memakan harta anak yatim) dan siapa saja yang miskin, maka bolehlah
ia memakan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan
harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan
itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu)”. (Qs:
An-Nisa [4]: 6)
Tatkala
seorang pengurus, terutama bagi mereka yang serba berkecukupan, tidak mampu
menjaga dirinya dari memakan harta anak yatim, maka Allah Swt mengancam mereka
dengan ancaman yang sangat besar sesuai dengan ayat berikut.
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta
anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan
mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)”. (Qs: An-Nisa
[4]: 10).
6. Berpaling dari Barisan
Perang
Yaitu seseorang
yang melarikan diri ketika kaum muslimin sedang memerangi orang-orang kafir.
Perbuatan ini termasuk dosa besar, termasuk tujuh perbuatan yang akan
membinasakan karena menimbulkan dua bahaya:
a) Akan menghancurkan semangat kaum muslimin
b) Orang-orang kafir semakin berani menekan kaum muslimin
Ketika kaum
muslimin sudah mulai terdesak, maka orang-orang kafir akan semakin berani
memerang kaum muslimin.
Barangsiapa
yang lari dari medan perang karena dua sebab ini, yaitu untuk bergabung
dengan batalyon lain.
Contohnya: ketika ada
batalyon lain yang sedang dikepung oleh musuh dan akan sangat berbahaya jika
mereka dikuasai oleh musuh. Maka ia bergerak (mundur) untuk membantunya, maka
hal ini tidak apa-apa, karena larinya menuju batalyon tersebut sangat
menguntungkan.
Orang yang lari
dari medan perang dengan berbelok untuk (siasat) perang.
Contohnya
seperti. seorang
mujtahid yang lari belok (mundur) untuk memperbaiki senjata atau untuk memakai
baju besinya dan lain-lain yang termasuk dalam kepentingan berperang dan
perbuatan ini tidak apa-apa.
7. Menuduh Berzina
Menuduh
berzina kepada wanita yang menjaga kehormatan dan wanita itu adalah orang yang
terjaga keimanannya yaitu menuduh berzina wanita yang baik-baik, yang lurus,
yang telah berkeluarga, yang berstatus merdeka, dan yang beriman.
Predikat-predikat tersebut tercakup dalam pengertian sifat terhormat. Dan pada
hakIkatnya, seorang wanita itu terhormat karena Islam, ia menjaga kesucian,
menikah, dan berstatus merdeka.
Dalam
surat an-Nur Allah melarang menuduh berzina seorang wanita yang baik-baik, dan
menjelaskan sanksi hukuman atas perbuatan ini. Disebutkan dalam Shahih
Muslim dengan Syarah an-Nawawi jilid II halaman
86, seorang ulama ahli tafsir Imam Abul Hasan al-Wahidiy dan lainnya
mengatakan :
"Menurut
pendapat yang shahih ; batasan dosa besar itu tidak diketahui
secara pasti. Bahkan di dalam syari’at ada beberapa jenis
perbuatan maksiat yang dijelaskan sebagai dosa-dosa besar, dan ada juga
beberapa jenis perbuatan maksiat yang dijelaskan sebagai dosa-dosa kecil, dan
ada beberapa jenis perbuatan maksiat lainnya tanpa ada penjelasan. Artinya, ini
mencakup dosa-dosa besar maupun dosa-dosa kecil. Hikmah dari tidak adanya
penjelasan tersebut ialah, supaya seseorang tetap menahan diri jangan sampai
melakukan semuanya, karena dikhawatirkan jangan-jangan hal itu termasuk
dosa-dosa besar."
Menurut
mereka, ini sama dengan masalah disembunyikannya kapan terjadinya lailatul
qadar, saat-saat istimewa pada hari jum’at, saat-saat terkabulnya do’a pada
malam hari, nama Allah yang agung, dan hal-hal lain yang bersifat samar.
- ETOS KERJA
- Pekerjaan Yang Paling Baik
عَنْ رِفَعَةٍ بْن رَافِعٍ اَنَّ
النَّبِىَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ اَىُّ اْلكَسَبِ اَطْيَبُ ؟
قَالَ : عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُّ بَيِّعٍ مَبْرُوْرٌ ( رَوَاهُ
اْلبَزَار وَصَحَحَهُ الحَكِيْم )
- Arti Hadits
Dari Rifa’ah bin Rafi’ berkata: “bahwa Nabi
Muhammad Saw ditanya tentang usaha yang bagaimana dipandang baik?. Nabi
menjawab: Pekerjaan seseorang dengan tangannya dan setiap perdagangan yang
bersih dari penipuan dan hal-hal yang diharamkan.” (HR. Al-Bazzar dan
ditashihkan Hakim).
- Fiqhul Hadits
1. :عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِه maksud ungkapan ini ialah pekerjaan yang dilakukan seseorang
dengan tangannya sendiri (tenaganya) sendiri, seperti pertukangan kayu, tukang
batu, tukang besi, dan sebagainya), pertanian (bertani, berkebun, nelayan dan
sebagainya).
2. كُلُّ بَيِّعٍ مَبْرُوْرٌ : maksud ungkapan ini ialah perdagangan
yang bersih dari tipu daya dan hal-hal yang diharamkan. Artinya ada unsur
penipuan seperti sumpah palsu untuk melariskan barang dagangannya dan barang
yang perdagangkan itu haruslah barang-barang yang diperolehkan menurut hukum
agama dan hukum negara dengan transaksi memenuhi syarat serta rukunnya.
3. Cara-cara untuk memperoleh harta
secara sah dapat dilakukan dengan banyak cara. Ada yang melalui tanpa usaha,
separti mendapat warisan, hibah (pemberian) dan shadaqah. Ada juga yang melalui
usaha jasa, seperti menjadi karyawan, buruh, pelayan, tenaga profesional
(teknisi, praktisi, pendidik dan peneliti) dan sebagainya. Ada juga melalui
usaha bekerja sendiri, seperti berdagang, bertani, berkebun, menjadi nelayan
dan sebagainya.
Al-Khuli dalam kitabnya al-adab an-Nabawi mengemukakan
bahwa dari berbagai cara untuk memperoleh harta yang diutarakan di atas maka
cara yanng lebih utama adalah usaha yang dilakukan dengan tangan sendiri. Hal
ini dinyatakan Nabi Saw dalam hadis yang lain, dari Miqdam r.a yang
diriwayatkan oleh Bukhari, Abu Daud, Nasa’i dan perawi hadist lainnya,
bahwa Nabi SAW bersabda :
مَا اَكَلَ اَحَدٌ طَعَامَا قَطٌ
خَيْرًا مِنْ اَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلٍ بِيَدِهِ, وَاَنَّ النَّبِى الله دَاوُدَ
عَلَيْهِ السَّلاَم كَانَ يَأْكَلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
Artinya: “Tidaklah seseorang makan sesuap makanan lebih
baik daripada ia makan dari hasil kerja tangannya sendiri, dan sesungguhnya
Nabi Daud a.s adalah makan dari hasil kerja tangannya sendiri.”
Seseorang berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara bekerja keras
menggunakan tangannya sendiri, memeras keringat dan energidari badannya
kemudian memakan hasilnya, sudah tentu lebih baik dari makanan hasil dari yang
baersumber peninggalan warisan, pemberian atas kemurahan seseorang atau sedekah
yang diberikan kepadanya karena belas kasihan. Karena usaha seseorang mencari
nafkah dengan memeras tenaga, mencucurkan keringat itu akan berfaedah sehingga
kalau ia makan apa yang dimakannya menjadi terasa enak, dan makanan itu dicerna
dengan cepat dan mudah oleh pencernaan sehingga berguna bagi kesehatan tubuh.
Demikianlah dijelaskan Al-Khuli dalam mensyarahkan hadis ini.
4. Selain dari hasil kerja tangan sendiri lebih baik dalam memenuhi kebutuhan
hidup, juga hadis Nabi Saw di atas mengemukakan bahwa termasuk usaha yang
terbaik dalam memenuhi kebutuhan hidup adalah perniagaan yang bersih dari
penipuan dan hal-hal yang diharamkan. Kalau Nabi Daud a.s mencari nafkah
melalui usaha bekerja dengan tangannya, dalam sejarah beliau diceritakan
sebagai pandai besi, maka Nabi Muhammad Saw kita kenal dalam sejarah bahwa
beliau adalah seorang pedagang. Jadi dari petunjuk hadis ini jelaslah bahwa
usaha perdagangan termasuk usaha yang utama dalam pandangan agama. Bagi orang
yang beriman, kaum muslimin sudah tentu Rasulullah Saw adalah teladan yang
utamadan sunnah beliau adalah ikutan bagi umatnya. Menurut kalangan ulama hadis
(muhadditsin) bahwa yang dikatakan sunnah diangkat menjadi Rasul, tetapi
juga sunnah beliau, prilaku beliau sebelum menjadi Rasul (‘Ajjaz al-Khatib
1975: 27). Jadi berdasarkan pemikiran kalangan ahli hadis ini maka
pekerjaan Nabi Saw ketika masa muda sebagai pedagang merupakan sunnah yang
patut diikuti.
5. Ash-Shon’ani mengemukakan bahwa dengan ungkapan (yang terbaik)
adalah artinya yang paling halal dan paling berkat. Jadi secara nyata hadis ini
menunjukkan bahwa usaha yang paling halal dan berkat itu adalah usaha tangannya
sendiri, kemudian baru usaha perniagaan menunjukkan usaha dengan tangan sendiri
itu lebih utama. Hal ini sejalan dengan hadis Miqdam di atas. Walaupun demikian
para ulama tetap berbeda pendapat tentang usaha yang paling utama. Di antara
tiga macam usaha yang bersifat pokok sebagaimana dikemukakan al-Mawardi
yaitu pertanian, perdagangan dan industri. Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa
usaha yang terbaik itu adalah usaha pertanian karena usaha tersebut lebih dekat
kepada tawakkal. Dan karena pertanian itu membawa manfaat bukan hanya kepada
manusia secara umum, tetapi juga kepada binatang-binatang. Di samping itu usaha
pertanian termasuk kepada usaha yang dilakukann dominan dengan tangan.
- Larangan Meminta-minta
عَنْ اِبْنُ عُمَرَ رَضِىَ اللهُ
عَنْهُمَا اَنَّ رَسُوْلُ اللهَ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : قَالَ وَهُوَ
عَلىَ اْلِميْبَرِ وَذَكَرَ الصَّدَقَةِ وَالتّعْفُفَ وَالْمَسْئَلَةَ اْليَد
اْلعُلْيَا خَيْرُ مِنَ اْليَدِ السُّفْلَى فَاليَّدُ اْلعُلْيَا هِىَ اَلْمُنَفِقَةُ
وَالسُّفْلىَ هِىَ السَّائِلَةُ ( اَخْرَجَهُ اْلبُخَارِى فىِ كِتَابِ
الزَّكَاةِ )
- Arti Hadits
“Dari Umar r.a bahwasannya
Rasulullah SAW bersabda dari atas mimbar mengajak para orang kaya untuk
bershadaqoh dan mengajak para fakir miskin untuk memelihara kehormatan
(martabat) diri serta mencela pekerjaan meminta-minta. Beliau mengatakan bahwa
tangan yang di atas (pemberi shadaqoh) lebih mulia dari tangan yang di bawah
(peminta-minta).” (Dikeluarkan oleh Bukhari dalam kitab Zakat)
- Fiqhul Hadits
1. Istilah tangan
yang di atas dipahami dari hadis tersebut maksudnya ialah orang yang memberi
infaq/shadaqoh sedangkan “tangan yang di bawah” maksudnya ialah orang yang
meminta-minta (mengemis) mengharapkan belas kasihan orang. Sejalan dengan hadis
ini dalam hadis hadis yang lain dari Hakim bin Hizam bahwa Nabi Saw bersabda :
اَلْيَدُ اْلعُلْيَا خَيْرُ مِنَ
اْليَدِ السُّفْلَى, وَابْدَا بِمَنْ تَعُوْلُ وَخَيْرُ الصَّدَقَةِ عَنْ
ظُهْرِ غِنَى وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يَعْفِهِ اللهُ وَمَنْ يَسْتَغْنَ يُغْنِيْهِ الله
( رَوَاهُ الْبُخَارِى )
Artinya: “Tangan yang di atas lebih baik dari tangan yang
di bawah, mulailah dengan orang yang engkau beri kecukupan belanja (yang
menjadi tanggunganmu), dan sebaik-baiknya shadaqoh yang diberikan setelah
setelah mencukupi keperluan yang menjadi kewajiban yang bersedekah. Barang
siapa meminta belas kasihan, Allah menjadikan dirinya tetap kondisimengharap
belas kasihan, dan barang siapa menuntut kecukupan Allah akan beri kecukupan
padanya.” (H.R Bukhari).
Hadis ini menjelaskan bahwa kita sebagai orang yang tangannya di atas hendaklah
lebih dahulu memulai atau mendahulukan pemberiannya kepada keluarga setelah itu
barulah kepada yang lain. Di samping itu didalam hadis itu dijelaskan bahwa
Allah akan mencukupi seseorang yang menuntut atau bertekad menjadikan dirinya
berkecukupan tidak mau meminta belas kasihan orang lain. Ungkapan ini dapat
dipahami bahwa sangatlah bijak dan dianjurkan bagi orang kaya atau yang
berkecukupan agar memberi kepada yang miskin dengan pemberian yang dapat
menjadi modal usahanya untuk dia dapat menjadi orang yang mempunyai usaha
sehingga pada saatnya nanti ia tidak lagi menjadi orang yang meminta-minta
(mengharap belas kasihan orang).
2. Perbuatan suka memberi atau enggan meminta-minta dalam memenuhi
kebutuhan hidup, sangatlah dipuji oleh agama. Hal ini jelas dikatakan Nabi Saw
dalam hadis di atas bahwa Nabi mencela orang yang suka meminta-minta (mengemis)
karena perbuatan tersebut merendahkan martabat kehormatan manusia. Padahal
Allah sendiri sudah memuliakan manusia, seperti terungkap melalui firman-Nya :
وَلَقَدْ كَرَمْنَا بَنِى اَدَم
َوَحَمْلنَاهُمْ فىِ اْلبَرِّ وَاْلبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ
وَفَضَلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيْرٍ مِمَنْ خَلَقْنَا تَفْضِيْلاً
( سُوْرَةُ
اْلإِسْرَاء : 70
(
Artinya: “Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam.
Kami angkat mereka di daratan dan di lautan. Kami berikan mereka rezeki dari
yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna
atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (Q.S Al-Isra’ :
70).
Hadis ini juga memotivasi manusia agar mencari nafkah
memenuhi kebutuhan hidup haruslah berusaha dengan bekerja dalam lapangan
kehidupan yang ia mampu kerjakan, baik itu berupa bertani, berdagang,
bertukang, menjadi pelayan dan sebagainya. Jangan sekali-kali mencari nafkah
dari hasil meminta-minta sebagai pengemis jalanan. Jadi hadi ini sangat erat
hubungannya dengan hadis pokok bahasan pertama yang menyatakan bahwa usaha
terbaik dalam memenuhi kebutuhan hidup adalah usaha yang dilakukan dengan
tangan sendiri.
Demikiankah juga hadis ini memberi isyarat bahwa agama Islam
menyuruh umatnya bekerja untuk mendapatkan rezeki. Islam sangat menilai jelek
dan rendah martabat perilaku menjadi pengemis, untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Bekerja mencari kayu bakar kemudian dijual adalah lebih baik daripada mengemis.
Hal ini dinyatakan Nabi dalam salah satu sabdanya, hadis dari Abu Hurairah r.a
bahwa Rasulullah bersabda :
لِاَنْ يَطُبَ اَحَدُكُمْ جَزْمَةً
عَلىَ ظَهْرِهِ خَيْرٌ مِنْ اَنْ يَسْأَلَ اَحَدٌ فَيُعْطِهِ اَوْ يَمْنَعُهُ (
اَخْرَجَهُ اْلبُخَاِرىْ مِنْ كِتَابِ اْلبُيُوْعِ(
Artinya: “sesungguhnya bahwa seseorang di antara kamu
yang bekerja mencari kayu bakar, diikatkan di punggungnya kayu itu (guna
memikulnya) adalah lebih baik daripada dia meminta-minta yang kemungkinan
diberi atau tidak diberi.” (Hadis ini dikeluarkan oleh Imam Bukhari
dalam Kitab al-Buyu’).
- Mukmin yang Kuat Dapat Pujian
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ
عَنْهُ قَالَ, قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اَلْمُؤْمِنُ
اْلقَوِى خَيْرُ وَاَحَبُّ اِلىَ اللهُ مِنَ الْمُؤْمِنُ اْلضَّعِيْفِ, وَفىِ
كُلِّ خَيْرٍ اِحْرِصْ عَلىَ مَا يَنْفَعُكَ وَاَسْتَغْنِ باللهِ وَلاَ تَعْجِرُ
وَاَنْ اَصَابَكَ شَيْئٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ عَنِّى فَعَلْتُ كَذَا كَانَ كَذَا
وَكَذَا, وَلَكِنَّ قُلْ قَدَّرَ الله وَمَاشَاءَ اللهُ فَعُلَ, فَإِنْ لَوْ
تَفْتَحُ عَمَلُ الشَّيْطَانِ ( اَخْرَجَهُ مُسْلِم )
- Arti Hadits
“Dari Abu Hurairah r.a berkata,
Rasulullah SAW telah bersabda : Orang mu’min yang memiliki keimanan yang kuat
lebih Allah cintai daripada yang lemah imannya. Bahwa keimanan yang kuat itu akan
menerbitkan kebaikan dalam segala hal. Kejarlah (sukailah) pekerjaan yang
bermanfaat dan mintalah pertolongan kepada Allah. Janganlah lemah berkemauan
untuk bekerja. Jika suatu hal yang jelek yang tidak disenangi menimpa engkau
janganlah engkau ucapkan: Seandainya aku kerjakan begitu, takkan jadi begini,
tetapi katakanlah (pandanglah) sesungguhnya yang demikian itu sudah ketentuan
Allah. Dia berbuat apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya ucapan “seandainya” itu
adalah pembukaan pekerjaan setan.” (Hadis dikeluarkan Muslim).
- Fiqhul Hadits
- Hadits ini mengisyaratkan bahwa Nabi Muhammad SAW memerintahkan tentang tiga hal, yaitu :
- menguatkan keimanan
- rakuslah untuk berbuat yang bermanfaat, dan mohon pertolongan kepada Allah. Di samping itu beliau melarang berbuat dua hal, yaitu :
- lemah
- menyesali apa yang telah menimpa diri dari sesuatu yang tidak disukai, sehingga mengatakan : “ Seandainya aku lakukan begitu, tak akan terjadi begini.”
- Dalam hadits dinyatakan : وَفىِ كُلِّ خَيْرٍ maksudnya bahwa keimanan yang kuat pada diri seseorang akan menciptakan kebaikan dalam segala hal. Sebab dari iman yang sempurna (benar dan kuat) akan mendorong seseorang berbuat yang baik, yang sudah tentu akan berakibat yang baik bagi kehidupannnya. Oleh sebab itu al-Khuli dalam mensyarahkan hadis ini berpendapat bahwa iman itu menjadi pengawal kebahagiaan di dunia dan di akhirat, bila diikuti dengan perbuatan baik (amal saleh). Di dalam al-Qur’an Allah berfirman :
مِنْ عَمَلٍ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ
اَوْ اُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنُ فَلْنَحِيْيَنَهُ حَيَاةً طَيِّبَةً
وَلَنَجْزِيْنُهُمْ اَجْرَهُمْ بِأَحْسَنٍ مَا كَانُوْا يَعْلَمُوْنَ (
سُوْرَةُ اْلنَحْلِ : 97 )
Artinya: “Barang siapa mengerjakan amal saleh, baik
laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami
berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan
kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan.” (Q.s an-Nahl : 97).
Keimanan yang kuat (istiqamah) membuat seseorang rajin dan
bersungguh-sungguh mencari kebahagiaan, baik itu untuk kehidupan di dunia
maupun di akhirat. Sebaliknya keimanan yang lemah, tidak atau kurang menjadi
penggerak terwujudnya perbuatan baik pada diri seseorang, bahkan hawa nafsu
yang menguasai dirinya, sehingga dirinya dengan mudah untuk berbuat kefasikan,
berbuat yang tidak baik. Dengan demikian maka akan jauhlah kebahagiaan yang
diharapkan manusia itu. Oleh sebab itu Rasulullah Saw menyatakan dalam hadis
ini bahwa orang mukmin yang kuat imannya lebih dicintai oleh Allah daripada
yang lemah imannya.
- Dalam hadis ini Rasulullah Saw memerintahkan orang mu’min agar rakus (menyukai, mengerjakan) pekerjaan yang bermanfaat. Oleh sebab itu seseorang yang beriman haruslah bersikap tidak akan membiarkan waktu atau kesempatan yang dimiliki yang ia dapat menggunakan kesempatan itu berlalu tidak dimanfaatkan. Seorang mu’min yang baik dan bijak tentulah akan menggunakan kesempatan yang ada dengan sebaik-baiknya, mengisinya dengan pekerjaan-pekerjaan yang bermanfaat, seperti berusaha mencari rezeki, harta untuk keperluan dan kebahagiaan hidup, mencari posisi dan kedudukan yang layak dalam percaturan kehidupan ini, atau menunutut ilmu yang bermanfaat untuk bekal perjuangan hidup, atau menggunakan kesempatan yang ada untuk beramal dan beribadah mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Sehubungan dengan ini Rasulullah Saw pernah memperingatkan
dalam salah satu sabdanya yang berarti : “ada dua nikmat yang sering
dilupakan oleh kebanyakan manusia, yaitu nikmat kesehatan dan nikmat adanya
kesempatan” (H.R Bukhari dan Ibnu Abbas).
Dalam
sebuah hadis Rasulullah bersabda :
مَنْ حُسْنِ اِسْلاَمُ الْمَرْءِ
تَرْكَهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ ( رَوَاهُ التِّرْمِذِى وَاَبُوْ هُرَيَّرةَ )
Artinya: “Di antara kebagusan
perilaku keislaman seseorang adalah meninggalkan pekerjaan yang tidak berguna
baginya.” (H.R Turmudzi dan Abu Hurairah).
Di dalam al-Qur’an surat Al-Ashr
Allah Swt menyatakan bahwa manusia senantiasa dalam kerugian, kecuali yang
beriman dan beraktivitas yang positif serta saling mengingatkan kejalan yang
benar dan selalu bersabar (menghadapi tantangan dalam kehidupan ini).
- Perintah Nabi Saw dalam hadis ini, yang ketiga adalah agar minta pertolongan kepada Allah Swt sangat penting. Nabi mengingatkan kita tentang perintah ketiga ini, disebabkan dalam kehidupan ini kita tidak akan luput dari kesulitan-kesulitan. Memang Allah menciptakan kehidupan untuk menguji manusia menilai siapa yang paling baik amalnya. Hal ini dinyatakan Allah Swt :
اَلَّذِى خَلَقَ الْمَوْتَ
وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ اَحْسَنُ عَمَلَ وَهُوَ اْلعَزِيْزُ اْلغَفُوْرِ (
سُوْرَةُ اْلمُلْكِ : 2 )
Artinya: “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia
menguji kamu siapa di antara kamu yang paling baik amalnya. Dan Dia Maha
Perkasa lagi Maha Pengampun.” (Q.S AL-Mulk : 3).
Oleh karena itu tidak dapat tidak
manusia memperoleh pertolongan kepada Allah Swt Yang Maha Pencipta dan Maha
Kuasa. Dalam Surat AL-Fatihah, surat yang wajib dibaca dalam setiap rakaat
shalat, ada diikrarkan ungkapan
“
Mengisyaratkan
bahwa kita sangat memerlukan pertolongan Allah Swt.
- Setelah Nabi memerintahkan agar seorang mu’min menguatkan iman, rakus untuk berbuat hal yang bermanfaat dan meminta pertolongan kepada Allah Swt, maka sejalan dengan itu Nabi Saw melarang seorang mu’min bersikap lemah. Hal ini diungkapkan Nabi dengan kata-kata yang dimaksud dengan “lemah” di sini sudah tentu tidak lepas dari hubungan perintah sebelumnya yaitu lemah dalam hal keimanan, lemah dalam hal kerakusan untuk berbuat yang bermanfaat dan lemah dalam hal pertolongan kepada Allah. Kelemahan yang demikian ini mengakibatkan lemah dalam kemauan atau kurang berkembang untuk bekerja, beraktivitas yang bermanfaat. Al-khuli dalam kitabnya al-Adab an-Nabawi menyatakan bahwa kurang kemauan membawa akibat seseorang menjadi pemalas. Sifat lemah dalam kemauan dan pemalas sangat tidak disukai Rasul. Hal ini dapat diketahui adanya do’a yang diucapkan Nabi Saw dengan ungkapan :
اَللَّهُمَّ اِنِّى اَعُوْذُبِكَ
اْلعَجْزِ وَاْلكَسْلِ
Artinya: “Ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu
dari lemah (kemauan) dan pemalas”.
- Larangan yang kedua yang dinyatakan Nabi Saw dalam hadis ini adalah menyesali sesuatu musibah atau sesuatu yang tidak disukai yang telah terjadi menimpa diri, sehingga ia sampai berucap: “seandainya aku lakukan itu, niscaya akan terjadi apa yang aku harapkan ,” atau dengan ucapan lain seperti : “seandainya aku tidak lakukan itu, tidaklah akan terjadi begini.”
Nabi Saw melarang hal yang demikian ini disebabkan sikap
yang dialami menandakan tidak menganggap bahwa musibah yang dialami itu sudah
kehendak Allah Swt yang tidak seorangpun dapat menolak atau merubahnya. Sungguh
mustahil kehendak yang telah ditentukan Allah yang Maha Kuasa atas segala
sesuatu dapat ditolak kemauan hamba-Nya. Mustahil ketentuan yang sudah
ditempatkan Allah Swt kepada hamba-Nya itu akan dapat dibatalkan dengan usaha
yang baru akan dilakukan. Jadi perkataan “seandainya” itu adalah sia-sia
bahkan kata Nabi Saw sikap yang demikian ini membukakan pekerjaan setan, yakni
setan dengan mudah untuk menyesatkan aqidah hamba Allah Swt itu.
Al-Khuli berpendapat bahwa takdir yang menimpa seseorang seperti sakit,
akan dapat ditolak setelah itu dengan takdir juga yaitu bertobat. Begitu juga
dengan dosa yang telah dilakukan dapat ditolak dengan bertobat dan musuh dapat
ditolak dengan berjihad melawannya.
Oleh sebab itu musibah atau kegagalan ataupun kerugian yang menimpa kita,
seharusnya kita bersikap dengan cara menjadikann kegagalan itu sebagai
pelajaran untuk melangkah pada masa yang akan datang. Jadi kegagalan itu tidak
boleh membuat kita lemah kemauan untuk bekerja lebih giat dan tidak boleh
membuat kita putus asa. Kita harus memegang empat prinsip yang terdahulu yaitu
kuat keimanan dalam menghadapi musibah dalam bentuk kegagalan, tetap
menumbuhkan kerakusan untuk berbuat yang lebih baik, memohon pertolongan Allah sangat
penting untuk keberhasilan di masa mendatang dan janganlah menjadi lemah mental
karena pukulan kegagalan itu.
- KORELASI DENGAN DUNIA PENDIDIKAN
- Dosa-Dosa Besar
- maksiat akan menghalangi diri kita untuk mendapatkan ilmu pengetahuan
Ilmu adalah cahaya yang dipancarkan
ke dalam hati. Tapi ketahuilah, kemaksiatan dalam hati kita dapat menghalangi
dan memadamkan cahaya itu. Suatu ketika Imam Malik melihat kecerdasan dan daya
hafal Imam Syafi’i yang luar biasa. Imam Malik berkata, “Aku melihat Allah
telah menyiratkan dan memberikan cahaya di hatimu, wahai anakku. Janganlah
engkau padamkan cahaya itu dengan maksiat.” Imam Malik menunjukkan kepada kita
bahwa pintu ilmu pengetahuan akan tertutup dari hati kita jika kita melakukan
maksiat.
- maksiat akan menghalangi rezeki
Jika ketakwaan adalah penyebab
datangnya rezeki, maka meninggalkan ketakwaan berarti menimbulkan kefakiran.
Rasulullah saw. pernah bersabda, “Seorang hamba dicegah dari rezeki akibat
dosa yang diperbuatnya.” (HR. Ahmad)
Karena itu, wahai Saudaraku
sekalian, kita harus meyakini bahwa takwa adalah penyebab yang akan
mendatangkan rezeki dan memudahkan rezeki kita. Jika saat ini kita merasakan
betapa sulitnya mendapatkan rezeki Allah, maka tinggalkan kemaksiatan! Jangan
kita penuhi jiwa kita dengan debu-debu maksiat.
- maksiat membuat sulit semua urusan kita dalam segala hal
Jika ketakwaan dapat memudahkan
segala urusan, maka kemaksiatan akan mempesulit segala urusan pelakunya.
Ketaatan adalah cahaya, sedangkan maksiat adalah gelap gulita. Ibnu Abbas r.a.
berkata, “Sesungguhnya perbuatan baik itu mendatangkan kecerahan pada wajah
dan cahaya pada hati, kekuatan badan dan kecintaan. Sebaliknya, perbuatan buruk
itu mengundang ketidakceriaan pada raut muka, kegelapan di dalam kubur dan di
hati, kelemahan badan, susutnya rezeki dan kebencian makhluk.”(HR.
Bukhari-Muslim)
Begitulah, wahai Saudaraku, jika
kita gemar bermaksiat, semua urusan kita akan menjadi sulit karena semua
makhluk di alam semesta benci pada diri kita. Air yang kita minum tidak ridha
kita minum. Makanan yang kita makan tidak suka kita makan. Orang-orang tidak
mau berurusan dengan kita karena benci.
- Maksiat memperpendek umur dan menghapus keberkahan
Pada dasarnya, umur manusia dihitung
dari masa hidupnya. Padahal, tidak ada kehidupan kecuali jika hidup itu
dihabiskan untuk ketaatan, ibadah, cinta, dan dzikir kepada Allah serta mencari
keridhaan-Nya. Jika usia kita saat ini 40 tahun. Tiga per empatnya kita isi
dengan maksiat. Dalam kacamata iman, usia kita tak lebih hanya 10 tahun saja.
Yang 30 tahun adalah kesia-siaan dan tidak memberi berkah sedikitpun. Inilah
maksud pendeknya umur pelaku maksiat.
Sementara, Imam Nawawi yang hanya
diberi usia 30 tahun oleh Allah swt. Usianya begitu panjang. Sebab, hidupnya
meski pendek namun berkah. Kitab Riyadhush Shalihin dan Hadits Arbain yang
ditulisnya memberinya keberkahan dan usia yang panjang, sebab dibaca oleh
manusia dari generasi ke generasi hingga saat ini dan mungkin generasi yang
akan datang.
- Etos Kerja
Etos kerja
adalah seperangkat perilaku kerja positif yang berakar pada kesadaran
yang kental, keyakinan dan fundamental disertai komitmen yang total
(Yousef, 2000). Etos kerja menjadi kunci keberhasilan, sehingga etos
kerja menjadi acuan pelaksanaan organisasi diseluruh lini yang dimulai dari
pimpinan, staff bahkan sampai dengan pelaksana unit kegiatan. Yousef
(2000) memformulasikan 5 indikator etos kerja sebagai navigator menuju
sukses adalah sebagai berikut : Bekerja keras, Bertanggung jawab,
Pandangan terhadap kerja, Ketekunan dalam bekerja, dan Penghayatan terhadap
nilai kerja.
Sering muncul pernyataan bahwa bangsa Indonesia memiliki
etos kerja yang rendah. Secara sosiologis kita harus mengakui bahwa umat Islam
merupakan bagian terbesar dari bangsa ini. Bertolak dari realita ini, umat
Islam Indonesia dengan ajaran Islamnya merupakan kelompok yang pertama kali
bertanggungjawab terhadap pembinaan dan pengembangan etos kerja bangsa
tercinta.
Etos kerja yang rendah ini, ber-implikasi menempatkan umat
Islam termarjinalisasi dalam ekonomi. Kelompok terbesar dari bangsa ini sering
dikalahkan dalam bidang ekonomi oleh kelompok minoritas tanpa rnelalui
perebutan kekuasaan,tetapi cukup melalui solidaritas antara sesama mereka.
Untuk melakukan perbaikan ekonomi ini, etos kerja yang tinggj perlu dimiliki,
di samping peningkatan sumber daya manusia dan ukhuwah islamiyah.
Padahal Rasulullah yang menjadi tokoh sentral umat Islam
adalah seorang pengemban amanah yang luar biasa universal dan multikomplek.
Beliau seorang pemimpin negara, Kepala rumah tangga, narasumber dari berbagai
permasalahan ummat, seorang pengusaha, abul yatama (bapak dari banyak anak
asuh) dll. Seluruh amanah tersebut sangat mustahil dapat terselesaikan tanpa
didukung dengan etos kerja yang baik.
Adanya peningkatan etos kerja dalam diri
pegawai akan mempengaruhi kualitas pelayanan, sehingga fungsi pegawai akan
menjadi sangat penting. Peran etos kerja pegawai menjadi sangat penting karena
mempengaruhi peningkatan kinerja.
Profesionalitas guru tercermin dari etos
kerjanya dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran dan peran aktif guru terhadap
lingkungan sekitarnya. Guru yang profesional harus memahami tentang komponen
wawasan kependidikan yang berlaku sehingga guru dapat memahami landasan dan
kebijakan pendidikan, tingkat perkembangan peserta didik serta pendekatan
pembelajaran yang sesuai dengan materi pembelajarannya. Selain itu guru juga
dituntut peran aktifnya dalam meningkatkan kemajuan masyarakat di
lingkungannya. Dengan demikian guru harus selalu meningkatkan kinerjanya baik
di bidang pembelajaran maupun perannya dalam masyarakat.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan:
Ø Dosa menjadikan seseorang sengsara di
dunia. Belum lagi kesengsaranan yang abadi di kampung akhirat. Kita berdo’a
semoga kita dijauhkan dari berbagai kemaksiatan dan dijadikan Allah Ta’ala
cinta terhadap berbagai kebaikan. Tidak ada yang dapat memberi petunjuk kecuali
atas kehendak Allah.
Ø Sering kita berbuat dosa tanpa disadari.
Tapi juga kadang tahu bahwa perbutan yang kita lakukan adalah dosa, namun kita
tetap melakukannya Karena mungkin dirasa enak. Padahal tidaklah seseorang
melakukan dosa dengan tidak dibarengi penyesalan dan taubat, kecuali akan
melakukan dosa-dosa yang lain dengan ringannya.
Ø Dosapun juga menjadikan hati tidak
tenang. Walau mungkin seseorang merasa senang saat melakukan dosa tersebut.
Tetapi setelah perbuatannya tersebut akan melahirkan perasaan cemas dan
kehawatiran yang terus menerus. Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda;
الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ وَالإِثْمُ مَا حَاكَ فِى نَفْسِكَ وَكَرِهْتَ
أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ
“Kebaikan adalah dengan berakhlak yang mulia.
Sedangkan kejelekan (dosa) adalah sesuatu yang menggelisahkan jiwa. Ketika
kejelekan tersebut dilakukan, tentu engkau tidak suka hal itu nampak di tengah-tengah
manusia.” (HR. Muslim no. 2553).
Ø
ketika
kita selalu bisa mempersembahkan kinerja yang istimewa, atau ketika kita mampu
mengagas dan melaksanakan ide-ide kreatif untuk memajukan perusahaan, maka
mestinya ini semua tidak melulu didasari oleh keinginan untuk naik pangkat,
atau mendapat bonus yang besar, melainkan pertama-tama mesti dilatari oleh
niatan suci untuk beribadah.
Ø ketika
ketika kita hanya mempu menciptakan pelayanan yang amburadul dan membikin para
pelanggan patah arang, maka mestinya kita menanggap ini semua sebagai sebuah
”dosa” dan kita mesti merasa malu dihadapan Yang Maha Tahu.
DAFTAR
PUSTAKA
Asifuddin,
Ahmad Janan, Etos Kerja Islami, Surakarta: Muhammadiyah University Press,
2004.
Al-Thabrani,
al-Mu’jam al-Kabir, Maktabah ‘Ulum wa al-Hikam, 1983.
Asy-
Sya’rawi Mutawalli M, Dosa-Dosa Besar, Jakarta: Gema Insani Pers, 2000.
Bukhori, Shahih
al-Bukhari, Baeirut: Dar Ibn Katsir, 1987.
Imam
Az-Zaibadi, Ringkasan Shahih Bukhari, Mizan, cet IX, 2003
Drs. M.
Thalib, Dosa Besar. Penerbit; Gema Risalah press, 2008.
Muslim, Shahih
Muslim, Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-Arabi, 1999.
Software
Computer, al-Maktabah as-Syamilah – al-Ishdar al-Tsani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar