I. PENDAHULUAN
Nash Yang Menjadi dalil hukum Islam baik
dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah, keduanya adalah menggunakan bahasa
Arab. Untuk memahaminya dengan baik, maka membutuhkan kemampuan memahami
bahasa dan ilmu bahasa Arab dengan baik pula.
Seseorang yang ingin mengistinbathkan
atau mengambil hukum dari sumber-sumber tersebut harus betul-betul
mengetahui seluk beluk bahasa Arab. Ia harus mengerti betul kehalusan
dan kedalaman yang dimaksud oleh bahasa itu (dalalahnya). Karena itulah
ulama’ Ushul Fiqh menaruh perhatian yang besar sekali agar nash atau
dalil yang berbahasa Arab dapat dipahami dengan baik dan sempurna.
Suatu teks nash kadang-kadang dapat
memberikan pengertian yang bermacam-macam karena dari jalan-jalan yang
dipergunakan oleh para mujtahid untuk memahami petunjuknya (Thuruqud-Dalalahnya).
Mengambil petunjuk suatu nash bukanlah hanya terbatas dengan memahami
apa yang tersurat dalam susunan kalimat suatu nash, akan tetapi dengan
mencari apa yang tersirat dibalik susunan kalimat itu.
Mencari illat yang menjadi sebab
ditetapkannya suatu hukum untuk dijadikan tempat menganalogikan
peristiwa yang tidak ada nashnya, dan juga dengan jalan membubuhkan kata
yang layak hingga pengertiannya menjadi rasionil. Jalan tersebut oleh Ahli Ushul dinamai ‘Dilalatun Ibarat, Dalaltul Isyarah, Dalalatud Dalalah, dan Dalalalatul Iqtidha’.[1]
Pembicaraan tentang Dalalah inipun
merupakan sebagian dari pembicaraan tentang lafadh yakni pembicaraan
tentang lafadh ditinjau dari maksud yang terdapat di dalamnya. Memang
Dalalah itu sendiri menurut bahasa adalah kepada maksud tertentu.
Dalalah atau petunjuk lafadh ini
mempunyai beberapa macam. Hanya saja di kalangan para ulama’ Ushul Fiqh
tidak sependapat dalam membaginya. Dalam makalah ini akan pemakalah
uraikan tentang Dalalah menurut ulama’ Hanafiyah.
II. RUMUSAN MASALAH
Merunut pada prolog di atas, maka
pemakalah akan memberi batasan yang jelas dan tegas mengenai
permasalahan yang akan pemakalah tulis. Tema di atas memang begitu
menarik untuk dibahas dan juga sangat kompleks tetapi demi pemahaman
atas tema bahasan, alangkah arifnya jika pemakalah diperkenankan
menawarkan rumusan masalah yang mendasar yaitu:
- Apakah definisi dari Dalalah itu?
- Apa saja macam-macamnya?
- Bagaimana tingkat kehujjahan dari Dalalah tersebut?
III.PEMBAHAAN
A. Pengertian Dalalah
Dalalah (الدلالة) adalah suatu petunjuk
yang menunjukkan kepada yang dimaksudkan atau memahami sesuatu yang
disebutkan pertama disebut madlul (مدلول) yang ditunjuk. Dalam hubungannya dengan hukum, yang disebut madlul
itu adalah hukum itu sendiri. Kata sesuatu yang disebutkan kedua
kalinya disebut dalil (دليل) yang menjadi petunjuk. Dalam hubungannya
dengan hukum, dalil itu disebut dalil hukum[2].
Dalam Al-Misbahul Munir, disebutkan bahwa:
الدلالة مايقتضيه اللفظ عند الإطلاق
Artinya: “Dalalah adalah apa yang dikehendaki oleh lafadh, ketika lafadh tersebut diucapkan secara mutlak.”
Adapun pengertian yang lain Dalalah
(الدلالة) itu sendiri menurut bahasa adalah maksud tertentu. Dan dalam
ilmu Ushul Fiqh dapat ditegaskan bahwa Dalalah adalah pengertian yang
ditunjuki oleh suatu lafadh dengan kata lain petunjuk suatu lafadh
kepada makna tertentu. Dalalah atau Dalalah adalah hubungan antara al-dal dan al-madlul. Al-dal adalah lafadh sedangkan Al-madlul adalah ma’na lafadh.[3]
Contoh :الصلاة(sholat). ini namanya al-dal. dan madlulnya
adalah do’a (ma’na bahasa atau lughawi). Atau perbuatan yang diakhiri
dengan takbir dan diakhiri dengan salam (ma’na istilah). Maka penunjukan
ma’na sholat pada doa atau perbuatan yang diawali dengan takbir dan
diakhiri dengan salam namanya Dalalah.
Pembahasan Dalalah sangat amat penting untuk mengetahi maksud suatu dalil. Dalam mengambil suatu dalil namanya istidlal (الأستدلال). Jadi antara al-dal, al-madlul, Dalalah, dan al-istidlal itu tidaklah sama.
B. Pembagian Dalalah
Ulama golongan Hanafiyah membagi Dalalah
menjadi dua bentuk yaitu Dalalah Lafdhiyah dan Dalalah Gairu
Lafdhiyah.Adapun pembagiannya antara lain adalah:
1. Dalalah Lafdhiyah
Dalalah Lafdhiyah adalah petunjuk
berbentuk lafadh dengan dalil yang digunakan untuk memberi petunjuk
kepada sesuatu dalam bentuk lafadh, suara, atau kata. Dalam
penunjukannya pada suatu ma’na, Imam Abu Hanifah membaginya ke dalam
empat macam yaitu:
a) ‘Ibaratu al-Nash (عبارة النص )
Dalalah Ibarat yang juga disebut Ibarat
Nash ialah petunjuk lafadh kepada makna yang mudah dapat dipahami baik
dimaksudkan untuk suatu arti ashli maupun untuk arti tab’i[4], dan makna itu memang dikehendaki oleh Siyaqul Kalam
(rangkaian pembicaraan), baik maksud itu asli menurut mereka atau
maksud utama dari nash dan maksud yang tidak asli atau maksud kedua yang
mengikuti ma’na yang asli tadi tapi tidak disebutkan dalam nash.
Menurut Abu Zahrah adalah:
وهي المعنى المفهوم من اللفظ سواء كان نصا او ظاهرا
Artinya: “Makna yang dapat dipahami dari apa yang disebut dalam lafadh, baik dalam bentuk nash ataupun dzahir”.
Oleh karena itu, setiap pengertian yang difahami dari keadaan lafadh yang jelas disebut Dalalah Ibarah.[5]
Sebagai contoh adalah ibarat dalam Al-Qur’an misalnya firman Allah SWT:
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
Artinya:. “Sesungguhnya orang-orang
yang memakan harta anak yatim secara dzalim, sebenarnya mereka itu
menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang
menyala-nyala (neraka). (Qs. An-nisa:10).
Nash tersebut menunjukkan, bahwa di
antara perbuatan dzalim yang paling keji ialah memakan harta benda anak
yatim, dimana perbuatan tersebut adalah dosa yang menimbulkan siksaan
kelak di hari kiamat dan sanksi hukuman di dunia yang dilaksanakan oleh
pemerintah, agar perbuatan tersebut tidak terulang lagi.
Dari sini dapat diketahui, bahwa Dalalah
‘Ibarat itu mempunyai beberapa tingkat kejelasan suatu lafadh. Dalalah
lafadh pada nash yang lalu, lebih kuat dari pada dalalah dzahir. Sebagai
contoh firman Allah yang berbunyi:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya: Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba’ (Qs. Al-Baqarah: 275).
Ungkapan atau ibarat pada ayat tersebut menunjukkan dua pengertian sebagaimana berikut:
- Membedakan antara jual beli dan riba. Ini merupakan tujuan utama yang ditunjukkan ayat tersebut.
- Menjelaskan akan halalnya jual beli. Pengertian ini merupakan tujuan Taba’i (sekunder).[6]
Contoh lainnya yaitu:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا
تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ
مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا
فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا
تَعُولُوا
Artinya: Dan jika kamu takut tidak
akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yang yatim maka
kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka seorang saja, (An-nisa’: 3).
Dengan memperhatikan ’Ibaratnash(apa yang tersurat dalam nash) tersebut kita memperoleh tiga pengertian. Yakni:
- Diperbolehkan mengawini wanita-wanita yang disenangi,
- Membatasi jumlah istri sampai empat orang saja dan,
- Wajib hanya mengawini seorang saja jika dikhawatirkan berbuat khianat lantaran mengawini wanita banyak.
Pengertian yang pertama bukan merupakan
maksud ashli, sedang pengertian yang kedua dan ketiga merupakan maksud
yang ashli. Sebab ayat tersebut dikemukakan pada orang-orang yang
khawatir berkhianat terhadap hak-hak wanita yatim, sehingga harus
dialihkan dari beristri yang tiada terbatas kepada terbatas yaitu hanya
dua, tiga atau empat orang saja. Inilah maksud yang ashli dari Siyaqul Kalam (rangkaian pembicaraan), kemudian maksud yang tidak asli (tabi’i) tentang bolehnya mengawini wanita yang disenangi.[7]
b) Isyaratu al-Nash (اشارة النص )
Dalalah Isyarartun Nash ialah
petunjuk lafadh kepada arti yang dipahami dengan jalan mengambil
kalaziman atau kemestian dari arti yang dipahami dengan dalalah Ibarotun
Nash[8].
Adapun menurut Abu Zahrah adalah suatu pengertian yang ditangkap dari
suatu lafadh, dari kesimpulan dari pemahaman terhadap sesuatu ungkapan
(ibarat) dan bukan dari ungkapan itu sendiri atau dengan kata lain
menyimpulkan dari arti yang dipahami dengan dalalah ibarotun nash.[9]
Sedangkan dalam kamus Ushul Fiqh:
اشارة النص وهي دلالة على مالم يقصد له اللفظ أصلا
Artinya: Isyarat Nash adalah petunjuk lafadh kepada yang tidak dimaksud oleh lafadh untuknya (yang ditunjuki oleh lafadh, bukan dengan ibarat nya, tetapi petunjuk itu datang sebagai natijah dari ibarat ini)[10].
Sebagai contoh firman Allah SWT yang berbunyi:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى
فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ
كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ
الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ
مِنْهُ شَيْئًا
Artinya: “Hai orang-orang
yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu
yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang
penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis
enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah
ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa
yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya,” (Qs. Al-Baqarah :282)
Maksudnya adalah memberi sifat terhadap
catatan dengan benar, memberikan pemahaman secara jelas bahwa apa yang
ditulis itu harus benar dan sesuai kehendak orang yang mengimlakkan. Dan
secara implisit (isyarat) dapat dipahami bahwa catatan itu dapat
dijadikan Argumentasi (data) bagi orang yang mengimlakkan, dimana ia
tidak dapat terhadap apa-apa yang tertera dalam tulisan tersebut selama
tidak didustakan.
Contoh lainnya:
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوف
Artinya: Dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. (Q.S. Al-Baqarah, ayat 233)
Makna Ibarat Nash yang tersurat
dari ayat tersebut adalah bahwa memberi nafkah dan pakaian kepada ibu
yang menyusui wajib bagi Ayah. Karena demikianlah makna yang dapat
diambil dengan mudah dari lafadh tersebut dan memang dimaksudkan oleh Siyaqul Kalam, adapun makna isyarat nash nya yang tersirat antara lain:
- Ayah tidak dapat disertai orang lain dalam menjalankan kewajibannya memberi nafkah kepada anak-anaknya, lantaran anak itu adalah putranya sendiri bukan putra orang lain.
- Ayah walaupun dalam keadaan miskin sedangkan ibunya mampu, maka putra tersebut tetap menjadi tanggungannya.
- Ayah dalam keadaan yang sangat memerlukan boleh mengambil harta anaknya sekedar menutup kebutuhannya, tanpa menggantinya. Karena ia adalah anaknya dan harta anaknya termasuk hartanya juga.
Pengertian-pengertian yang demikian ini
diistimbathkan dari Isyarat Nash. Yaitu dari huruf ”lam” pada lafadh
“lahu”yang mengandung pengertian itu bahwa seorang anak itu adalah milik
bapaknya. [11]
c) Dalalatu al-Nash (دلالة النص )
Dalalatun Nash juga disebut Mafhum Muwafaqah disamping disebut pula Dilalatul Aula. Sebagian fuqahamenyebutnya Qiyas Jali. Dilalatul Nash adalah pengertian secara implisit tentang suatu hukum lain yang dipahami dari pengertian nash secara eksplisit (‘Ibaratun nash) karena adanya penyebab faktor yang sama. Contohnya terdapat dalam firman Allah SWT yang berbunyi:
فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ
وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا. وَاخْفِضْ لَهُمَا
جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا
رَبَّيَانِي صَغِيرًا
Artinya: Maka sekali-kali
janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah
kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia
Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan
dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana
mereka berdua Telah mendidik Aku waktu kecil”. (Qs. Al-Isra’: 23-24)
Secara eksplisit ayat tersebut
menunjukkan tentang haramnya mengucapkan kata “ah” kepada kedua orang
tua. Bila ucapan ”ah” kepada kedua orang tua saja diharamkan maka
memukul dan mencerca serta segala perkataan dan perbuatan yang
menyakitkan hati kedua orang tua, tentu lebih diharamkan. Dalalah ini
dapat difahami dari nash ayat tersebut tanpa memerlukan sebuah istinbath.
Dengan demikian, perbedaan antara Dilalatun Nash dengan Qiyas adalah kalau Qiyas titik persamaan (illat) antara hukum yang terkandung di dalam nash dan yang tidak terkandung di dalam nash hanya dapat diketahui melalui istinbath. Sedang Dalalatun Nash hukum itu dapat diketahui tanpa adanya istinbath. Bahkan terkadang Dalalah tersebut dapat langsung diketahui dari satu lafadh. Baik oleh orang yang ahli atau pun tidak.
d) Iqtidhau al-nash (اقتضاء النص )
Dalalah Al-iqtidha (دلالة الإقتضاء) disebut juga Iqtidha an-Nash (إقتضاء النص). Menurut sebagianulama’ahli Ushul Fiqh berpendapat bahwa:
الدلالة اللفظ على السكوت عنه يتوقف صدق الكلام عليه
Artinya: Penunjuk lafadh kepada sesuatu yang tidak disebutkan yang kebenarannya tergantung kepada yang tidak disebut itu.
Adapun Abu Zahrah secara sederhana mendefinisikannyasebagai berikut:
دلالة اللفظ على كل امرلا يستقيم المعنى الا بتقديره
Artinya: “Penunjukan lafadh kepada setiap sesuatu yang tida selaras maknanya”.
Misalnya firman Allah SWT:
وَاسْأَلِ الْقَرْيَةَ الَّتِي كُنَّا فِيهَا وَالْعِيرَ الَّتِي أَقْبَلْنَا فِيهَا
Artinya: Dan tanyalah (penduduk)
negeri yang kami berada disitu, dan kafilah yang kami datang bersamanya,
dan Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang benar”. (Q.S.Yusuf:82)
Menurut dzahir ungkapan ayat tersebut
terasa ada yang kurang, karena bagaimana mungkin bertanya kepada
“kampung” yang bukan makhluk hidup. Karenanya dirasakan perlu
memunculkan sesuatu kata agar ungkapan dalam ayat itu menjadi benar.
Kata yang perlu dimunculkan itu adalah “penduduk” sebelum kata “kampung”
yang dapat ditanya dan memberi jawaban. Selain itu, juga dianggap perlu
memunculkan kata “orang-orang” sebelum kata “kafilah”, sehingga menjadi
orang-orang dalam “kafilah” yang memungkinkan memberikan jawaban.
Contoh lain misalnya dalam al-Qur’an :
Artinya: Diharamkan atas kamu (………) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan…(QS. an-Nisa’: 23)
Arti yang dipahami dengan Dalalah Ibarotun Nash
dari ayat di atas adalah bahwa ibu dan anak perempuan adalah haram.
Akan tetapi keharaman itu terletak pada perbuatan bukan pada materi
bendanya. Oleh karena itu untuk menjadikan lebih jelas pengertian ayat
tersebut, harus diperkirakan adanya sesuatu yang tidak disebutkan yakni
(mengawini), sehingga arti ayat di atas menjadi: Diharamkan atas kamu
mengawini ibu-ibumu, anak-anakmu.
2. Dalalah Gairu Lafdhiyah
Dalalah Ghairu Lafdhiyah adalah dalalah
yang bukan lafadh, yaitu dalil yang digunakan bukan dalam bentuk suara,
bukan lafadh, dan bukan pula dalam bentuk kata. Hal ini berarti bahwa
“diam” atau “tidak bersuara”, sesuatu dapat pula memberi petunjuk pada
sesuatu. Contohnya “raut muka” seseorang mengandung arti tertentu.
Ulama’ Hanafiyah membagi Dalalah Gairu Lafdhiyah menjadi empat bagian yaitu:
Ulama’ Hanafiyah membagi Dalalah Gairu Lafdhiyah menjadi empat bagian yaitu:
a. انيلزمعنمذكورمسكوتعنه
Artinya adalah Lazim (harus ada) dari hukum yang disebutkan, suatu hukum bagi yang tidak disebutkan (maskut ‘anhu).
Dalam suatu hukum yang tersurat dapat diketahui pula hukum lain meskipun tidak tersurat dalam lafadh itu. Contohnya:
وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ
مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ
يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ
Artinya: Dan untuk dua orang
ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan,
jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak
mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya
mendapat sepertiga. (Q.S.An-Nisa’:11)
Ibarat nash dari ayat ini adalah ahli
waris hanya dua orang ibu bapak, maka ibu menerima sepertiga. Meskipun
dalam ayat ini tidak disebutkan hak ayah, nemun dari ungkapan ayat ini,
dapat dipahami bahwa hak ayah adalah sisa dari sepertiga yaitu, dua
pertiga.
b. دلالةحالالساكتالذيكانتوظيفتهالبيانمطلقا
Dalalah(petunjuk) keadaan diamnya seseorang yang fungsinya untuk memberikan penjelasan.
Seseorang yang diberi tugas untuk
memberikan penjelasan atas sesuatu namun ia dalam keadaan tertentu diam
saja memberikan petunjuk atas sesuatu. Begitu pula seseorang yang diberi
tugas suntuk melarang sesuatu perbuatan tapi sesuatu saat ia
menyaksikan perbuatan yang dilarang itu dilakukan orang, namun ia diam
saja. Diam nya itu memberi petunjuk atas suatu hukum.
Dalam hal ini adalah izin untuk melakukan
perbuatan itu. Sebab kalau perbuatan itu dilarang, tentu ia tidak akan
tinggal diam ketika melihat perbuatan tersebut. Karena ia bertugas
memberikan penjelasan atau melarang perbuatan yang salah. Keadaan diam
nya itu memberikan izin untuk berbuat.
c. اعتبارسكوتالساكتدلالةكالنطقلدفعالتغرير
Memandangdiam orang diam itu, satu petunjuk, sama dengan tuturan nya, untuk menolak penipuan.
Contohnya, seorang wali anak bersikap
diam saat orang yang berada di bawah perwaliannya melakukan tindakan
yang bertalian dengan hartanya, seperti jual beli. Orang yang berada di
bawah pertaliannya itu baru sah tindakannya bila secara jelas diizinkan
oleh walinya, tidak hanya diam semata.
Namun, karena jual beli itu sudah
berlangsung dan kalau tidak mendapat persetujuan dari walinya, tentu
tindakan itu tidak dianggap sah yang akan merugikan pihak lain. Dalam
rangka menghindari kerugian dari pihak lain maka meskipun wali itu hanya
diam tetapi sudah sah.
d. دلالةالمسكوتعلىتعيينمعدودتعورىحذفةضرورةطولالكلامبذكره
Dalalah diam terhadap penentuan bilangan yang biasa dibuang (tidak disebut) dalam pembicaraan.
Contoh dalam hal ini biasanya muncul dalam penyebutan angka-angka atau bilangan. Dalam bahasa Arab bila seseorang berkata:
ارز وصاع من مائة (seratus dan satu gantang beras).
Dalam pemakaian bahasa Arab yang lengkap
seharusnya dijelaskan dengan ucapan: مائة صاع وصاع yang kalau yang kita
terjemahkan menjadi:’ seratus gantang dan satu gantang” untuk maksud
bilangan 101 gantang. Namun telah terbiasa membuang kata “gantang” yang
pertama dalam rangka menghindarkan panjangnya ucapan.[12]
C. Kekuatan Hujjah Dalalah
Empat macam Dalalah yang telah disebutkan
di atas tadi khususnya yang dalalah lafdhiyah dapat dijadikan pegangan
ataupun hujjah untuk menentukan arti suatu nash dalam suatu penetapan
hukum, hanya saja kekuatan di antara empat macam Dalalah tersebut
bertingkat-tingkat. Tingkatan Dalalah-Dalalah tersebut dalam Istinbath hukum tidaklah sama. Dalalah Ibarat (eksplisit) yang paling kuat, dan Dalalah iqtidha’ yang paling lemah. Menurut Madzhab Hanafi, tingkatan Dalalah tersebut adalah sebagai berikut:
1. Dalalah al-Ibarah
2. Dalalah al-Isyarah
3. Dalalah an-Nash
4. Dalalah al-Iqtidha’
2. Dalalah al-Isyarah
3. Dalalah an-Nash
4. Dalalah al-Iqtidha’
Denganurutan-urutan ini maka apabila
dalam suatu peristiwa terjadi pertentangan arti yang dipahami dengan
Dalalah yang satudengan arti yang dipahami dengan dalalah yang lain,
maka didahulukan arti yang dipahami dengan dalalah yang lebih kuat. Jadi
arti yang dipahami dengan Isyarotun Nash didahulukan dari pada arti yang dipahami dengan dalalah-dalalah yang lain.
Sebagai contoh, pertentangan antara arti yang dipahami dengan Dalalah Isyarotun Nash, dari ayat-ayat sebagai berikut:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; (QS. Al-Baqarah:178).
Arti yang dipahami dengan dalalah ibrotun
nash dari ayat di atas yaitu bahwa pembunuh baik dengan sengaja maupun
dengan tidak sengaja wajib dikenai hukuman qhishos. Sedangkan dalam ayat
yang lain disebutkan:
Artinya: Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja Maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya ….(Q.S, an-nisa’: 93).
Arti yang dipahami dengan Dalalah Isyarotun Nash
dari ayat di atas adalah bahwa pembunuh dengan sengaja tidak dikenai
hukuman qishas, sebab Allah SWT telah menentukan balasannya, dengan
demikian terjadilah pertentangan antara arti yang dipahami dari kedua
ayat di atas.
Dalam hal ini dipilih arti bahwa pembunubh dengan sengaja wajib dikenai qishas, sebab arti ini dipahami dengan Ibarotun Nash, dan arti yang dipahami dengan Ibarotun Nash maka harus didahulukan dari arti yang dipahami dengan dalalah-dalalah yang lain.[13]
IV. KESIMPULAN
Dari berbagai penjabaran di atas, kiranya
dapat diambil kesimpulan bahwa jalan yang digunakan oleh imam Hanafi
dalam mengambil petunjuk suatu nash, dibagi menjadi dua cara: yang
pertama yaitu menggunakan Dalalah Lafdhiyah yang kemudian dirinci
menjadi empat, antara lain: Dalalah ‘Ibarah, Dalalah ‘Isyarat, dalalatun Nash, dan Dalalatul ‘Iqtidha.
Sedangkan cara yang kedua yaitu menggunakan Dalalah Ghairu Lafdhiyah.
Itu semua bertujuan untuk memahami makna ataupun kandungan dari ayat
Al-Qur’an, kemudian hasil penunjukan nash menjadi dalil hukum yang wajib
diamalkan.
Dalam memahami kandungan makna Al-qur’an,
Imam Hanafi menggunakan pengertian-pengertian yang diperoleh
melalui-jalan tersebut merupakan “Madlul Nash”(hasil penunjuk nash) dan
nash tersebut menjadi dalil dan hujjah yang wajib diamalkan isinya
setiap orang yang dikenakan nash dibebani pula mengamalkan petunjuk dari
nash tersebut.
V. PENUTUP
Demikian makalah yang berisi tentang pembahasan mengenai Dalalah Menurut Mazdhab Hanafiyah
pemakalah sampaikan. Pemakalah yakin di dalam pembuatan makalah ini
masih banyak kesalahan dan kekurangan karena keterbatasan pemakalah
dalam memahami dan menelaah. Untuk itu kritik dan saran yang konstruktif
sangat pemakalah harapkan. Akhirnya semoga makalah ini bermanfaat bagi
pembaca pada umumnya dan bagi pemakalah khususnya. Wassalam.
DAFTAR PUSTAKA
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an Depag RI, 2006.
Jumantoro, Totok, dkk., Kamus Ilmu Ushul Fiqih, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2005.
Rahman, Drs. H. Asymuni A., dkk., Ushul Fiqh II (Qaidah-Qaidah Istinbath dan Ijtihad-Metode Penggalian Hukum Islam), Jakarta: Dirjen PKAI Depag, 1986.
Umam, Khairul, dkk., Ushul Fiqih II. Bandung: Pustaka Setia, 1998.
Yahya, Mukhtar, dkk., Dasar-Dasar Pembinanan Hukum Fiqih Islami, Jakarta: Pustaka Firdaus,1986.
Zahrah, Muhamad Abu., Ushul Fiqih, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995
[1] Yahya Mukhtar, dkk., Dasar-Dasar Pembinanan Hukum Fiqih Islami, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986, hlm. 295
[2] Totok Jumantoro dkk, Kamus Ilmu Ushul Fiqh, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2005, hlm 37.
[3]Khairul Umam, dkk, Ushul Fiqih II, Bandung: Pustaka Setia, 1998, hlm 25.
[4] Drs. H. Asymuni A. Rahman, dkk., Ushul Fiqh II (Qaidah-Qaidah Istinbath dan Ijtihad-Metode Penggalian Hukum Islam), Jakarta: Dirjen PKAI Depag, 1986, hlm. 81
[5] Totok Jumantoro, dkk, Op.Cit, hlm. 42
[6] Muhamad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995, hlm. 205.
[7] Yahya Mukhtar, dkk, Op.Cit, hlm. 296.
[8] Drs. H. Asymuni A. Rahman, dkk. Op.Cit. hlm. 84
[9] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih. 1995, hlm. 205
[10] Totok Jumantoro, dkk, Op.Cit, hlm. 39
[11] Yahya Mukhtar, Op.Cit, hlm. 298
[12] Totok Jumantoro, Op.Cit, hlm. 52
[13] Drs. H. Asymuni A. Rahman, dkk. Op.Cit. hlm. 90
Tidak ada komentar:
Posting Komentar