BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Penyebaran Islam yang telah merambat dari bagian utara dan barat Indonesia di abad ke tujuh terus menghebat, terutama setelah abad ke sebelas dan dua belas. Kedatangan Islam ini kemudian dapat dikatakan secara total menggantikan Hinduisme dan Buddhisme yang telah berhasil sebelumnya membawa kejayaan Nusantara dengan kerajaannya yang sangat berpengaruh, rakyatnya yang sangat rajin berdagang hingga ke negeri yang sejauh-jauhnya, raja-rajanya yang hebat mengagumkan dan candi-candi serta kuil-kuil tempat pemujaan yang akan menjadi “peninggalan” yang tak akan lenyap untuk selama-lamanya, membanggakan bagi setiap generasi yang diturunkan, bukan dalam arti religiusnya yang mungkin karena paham-paham baru diganti dengan lebih sesuai dengan tuntutan hati nurani manusia, akan tetapi karena kemampuannya menimbulkan kesan berharga bagi manusia-manusia baru mendatang. Pengaruh Islam itu masuk hingga ke dalam sendi-sendi kerajaan dan kepemimpinan rakyat dengan agama Islam, ditandai pertama-tama dengan berdirinya kerajaan Demak. Tidak hanya kerajaan-kerajaan dengan kekuasaan ketatanegaraannya saja, akan tetapi juga cara-cara istimewa yang dipraktekkan oleh para “Wali Sanga” yang telah sanggup mengubah mental spiritual rakyat dengan mental Islam yang rasional, menghapus ketahayulan, tanpa mengurangi kegemaran dan apa saja yang disukai rakyat dengan saluran-saluran baru sesuai dengan ajaran baru. Gaya baru menurut ajaran Islam dalam waktu singkat memberi warna pada setiap kerajaan yang lahir dihampir seluruh negeri, menyambut kedatangan penjajah-penjajah dari ras putih. Adalah telah menjadi keharusan dan kenyataan sejara, yang bangsa Indonesia di bawah raja-raja pemeluk Islam, harus menghadapi penjajahan, memberikan nama-nama pemimpin raja yang digodok jiwanya oleh geloranya api perjuangan Islam. Tegasnya, gerakan-gerakan semacam itu dimulai di abad tigabelas. Apabila kemudian terjadi bentrokan-bentrokan di antara raja atau pangeran-pangeran, maka tak lain akibatnya muncul kerajaan yang lebih besar dan kokoh kuat. Di sinilah akan terlihat pasang surutnya peradaban Islam atau yang lebih tepatnya perkembangan dakwah Islam yang mengalami berbagai polemik dan tantangan untuk tetap bertahan di tengah kejamnya penjajahan, baik penjajahan bangsa barat maupun penjajahan Jepang.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana perkembangan peradaban Islam di Indonesia pada masa penjajahan Portugis?
2. Bagaimana perkembangan peradaban Islam di Indonesia pada masa penjajahan Belanda?
3. Bagaimana perkembangan peradaban Islam di Indonesia pada masa penjajahan Jepang?
C. TUJUAN
1. Mengetahui perkembangan peradaban Islam di Indonesia pada masa penjajahan Portugis.
2. Mengetahui perkembangan peradaban Islam di Indonesia pada masa penjajahan Belanda.
3. Mengetahui perkembangan peradaban Islam di Indonesia pada masa penjajahan Jepang.
Penyebaran Islam yang telah merambat dari bagian utara dan barat Indonesia di abad ke tujuh terus menghebat, terutama setelah abad ke sebelas dan dua belas. Kedatangan Islam ini kemudian dapat dikatakan secara total menggantikan Hinduisme dan Buddhisme yang telah berhasil sebelumnya membawa kejayaan Nusantara dengan kerajaannya yang sangat berpengaruh, rakyatnya yang sangat rajin berdagang hingga ke negeri yang sejauh-jauhnya, raja-rajanya yang hebat mengagumkan dan candi-candi serta kuil-kuil tempat pemujaan yang akan menjadi “peninggalan” yang tak akan lenyap untuk selama-lamanya, membanggakan bagi setiap generasi yang diturunkan, bukan dalam arti religiusnya yang mungkin karena paham-paham baru diganti dengan lebih sesuai dengan tuntutan hati nurani manusia, akan tetapi karena kemampuannya menimbulkan kesan berharga bagi manusia-manusia baru mendatang. Pengaruh Islam itu masuk hingga ke dalam sendi-sendi kerajaan dan kepemimpinan rakyat dengan agama Islam, ditandai pertama-tama dengan berdirinya kerajaan Demak. Tidak hanya kerajaan-kerajaan dengan kekuasaan ketatanegaraannya saja, akan tetapi juga cara-cara istimewa yang dipraktekkan oleh para “Wali Sanga” yang telah sanggup mengubah mental spiritual rakyat dengan mental Islam yang rasional, menghapus ketahayulan, tanpa mengurangi kegemaran dan apa saja yang disukai rakyat dengan saluran-saluran baru sesuai dengan ajaran baru. Gaya baru menurut ajaran Islam dalam waktu singkat memberi warna pada setiap kerajaan yang lahir dihampir seluruh negeri, menyambut kedatangan penjajah-penjajah dari ras putih. Adalah telah menjadi keharusan dan kenyataan sejara, yang bangsa Indonesia di bawah raja-raja pemeluk Islam, harus menghadapi penjajahan, memberikan nama-nama pemimpin raja yang digodok jiwanya oleh geloranya api perjuangan Islam. Tegasnya, gerakan-gerakan semacam itu dimulai di abad tigabelas. Apabila kemudian terjadi bentrokan-bentrokan di antara raja atau pangeran-pangeran, maka tak lain akibatnya muncul kerajaan yang lebih besar dan kokoh kuat. Di sinilah akan terlihat pasang surutnya peradaban Islam atau yang lebih tepatnya perkembangan dakwah Islam yang mengalami berbagai polemik dan tantangan untuk tetap bertahan di tengah kejamnya penjajahan, baik penjajahan bangsa barat maupun penjajahan Jepang.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana perkembangan peradaban Islam di Indonesia pada masa penjajahan Portugis?
2. Bagaimana perkembangan peradaban Islam di Indonesia pada masa penjajahan Belanda?
3. Bagaimana perkembangan peradaban Islam di Indonesia pada masa penjajahan Jepang?
C. TUJUAN
1. Mengetahui perkembangan peradaban Islam di Indonesia pada masa penjajahan Portugis.
2. Mengetahui perkembangan peradaban Islam di Indonesia pada masa penjajahan Belanda.
3. Mengetahui perkembangan peradaban Islam di Indonesia pada masa penjajahan Jepang.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perkembangan Peradaban Islam di Indonesia pada Masa Penjajahan Bangsa Barat
1. Masa Penjajahan Portugis
Perjalanan bangsa Portugis hingga benua Asia tidak terlepas dari watak sebagian besar bangsa Eropa (beragama Kristen) yang membenci umat Islam. Seperti yang telah kita ketahui bahwa pernah terjadi peperangan besar yang terjadi antara umat Islam dan Kristen yang disebut “Perang Salib” (1096-1270 M). Penguasaan besar-besaran oleh umat Islam di daerah Timur Tengah dan beberapa wilayah Eropa pada saat itu memancing umat Kristen di sekitarnya untuk segera mengambil alih kedudukan itu. Walaupun perang Salib berhasil dimenangkan oleh umat Islam, namun beda halnya dengan yang terjadi di belahan Dunia Islam sebelah barat. Orang-orang Islam (Arab) yang telah berkuasa atas semenanjung Iberia (Spanyol-Portugal) semenjak abad 6 Masehi mengalami pasang naik dan pasang surut. Karena sebab-sebab perpecahan ke dalam, pertentangan politik, penonjolan rasa keakuan yang melampaui batas, berebut kekuasaan dan kekayaan, tidak dapat membedakan yang mana boleh dikerjakan sendiri-sendiri di antara golongan-golongan dan yang mana harus bersatu, dan karena mengabaikan ajaran-ajaran Syara’ Islam, maka pada periode demi periode mengalami kemunduran dan persengketaan. Akhirnya pada tahun-tahun memasuki abad ke-15 M daerah-daerah yang mereka kuasai, propinsi demi propinsi direbut kembali oleh orang-orang Spanyol-Portugis hingga akhirnya pecahlah Kerajaan Islam Spanyol yang jaya menjadi berkeping-keping di Afrika Utara. Istilah “reconquistia” pun mulai didengung-dengungkan sebagai lambang kemegahan orang Spanyol dan Portugis. Istilah ini dikemukakan oleh Dr. W. B. Sijabat yang berarti “merebut kembali dari suatu yang pernah diambil pihak lain”.
Bersamaan dengan itu, orang-orang Portugis mengambil kesempatan untuk melakukan apa yang mereka namakan “reconquistia”. Mereka bukan saja merebut miliknya yang pernah hilang, akan tetapi lebih dari itu. Mereka menjadi bernafsu untuk merebut milik orang-orang Islam di mana saja mereka berada baik di Barat maupun di Timur. Setiap orang yang beragama Islam bagi mereka adalah orang Moro, orang yang harus diperangi.
Mulailah orang-orang portugis berlanglang buana atas nama “conquistador-conquistador” (jagoan penakluk) yang direstui Sri Paus. Tujuannya berganda, membalas dendam, merebut tanah jajahan, kekuasaan politik, mengangkut rempah-rempah dan harta kekayaan penduduk pribumi serta menyebarkan agama Katholik.
Portugis menetapkan diri mereka sebagai penguasa samudra Hindia pada awal abad ke-16. Pada tahun 1509 mereka mengalahkan sebuah pasukan gabungan Mesir dan India serta merebut Goa. Setelah menguasai Goa, bandar perdagangan di pantai barat India, Portugis mengarahkan lirikan mata imperialismenya ke Timur, Malaka (Malaysia). Pada tahun 1511 mereka menaklukkan Malaka di bawah pimpinan d’Albuquerque , tahun 1515 menaklukkan Hormuz di teluk Persia, dan pada tahun 1522 mereka menaklukkan Ternate sebagai sebuah upaya untuk menguasai perdagangan antara Cina, Jepang, Siam, Molucca, Samudra India dan Eropa. Portugis diusir dari Ternate pada tahun 1575, tetapi mereka tetap menguasai sejumlah kepulauan lainnya di Molucca.
Tahun-tahun sekitar 1510 itu Kerajaan Islam Malaka memang sedang mengalami kemerosotan akibat pertentangan dan perang saudara memperebutkan kekuasaan dan kekayaan. Agaknya penyakit inilah yang sedang melanda umat Islam di mana-mana sejak dari Spanyol hingga ke Asia Tenggara.
Di Malaka, selain banyak sekali berdatangan para pedagang bangsa Arab (Islam) juga tidak sedikit datang dan pergi para pedagang Muslimin bangsa Indonesia baik yang berasal dari Sumatra (Pase dan Perlak) maupun yang datang dari Jawa (Demak). Hal itulah yang lebih menarik perhatian Portugis. Pertama, orang-orang dari Jawa ini pemeluk agama Islam yang taat dan menjadi sahabat Malaka. Kedua, karena pedagang dari Demak itu dagang dengan membawa rempah-rempah yang amat mempesonakan Portugis. Ketiga, kapal-kapal dagang Demak tidak dipersenjatai karena tujuan pelayarannya memang semata-mata untuk berniaga.
Mulailah Portugis melakukan provokasi-provokasi untuk memutuskan hubungan Malaka-Demak dan sekaligus merampas rempah-rempah yang sangat harum di hidung orang Eropa itu. Lama kelamaan gelagat buruk ini diketahui oleh Adipati Yunus yang ketika itu menjadi sultan Demak. Mengusik dan merampas rempah orang Demak sama artinya dengan mematahkan ekonomi Negara Demak dan menghalang-halangi dakwah Islam. Memang, di kapal-kapal dagang orang Demak banyak pula berlayar para saudagar Islam bangsa Arab, akan tetapi buat Demak banyak pula mereka adalah warga negaranya sendiri yang selain sedang melakukan kegiatan berniaga sekaligus juga melakukan tugas dakwah yang dilindungi oleh kedaulatan Demak. Sejak kerajaan Demak berdiri, maka kegiatan dakwah dan niaga dilakukan secara serentak. Mubaligh-mubaligh dan saudagar-saudagar pribumi Demak berdampingan bahu membahu dengan mubaligh-mubaligh dan saudagar-saudagar Arab. Mereka tidak saja dalam hubungan antara murid dan guru tetapi telah menjadi satu saudara yang dipertalikan oleh satu agama yaitu Islam di bawah daulat kerajaan Demak.
Perlawanan pun mulai digencarkan yaitu pada tahun 1513 dan 1521 yang langsung dipimpin oleh Sultan Yunus. Namun sayangnya pertempuran ini masih bisa dihalau oleh pasukan Portugis yang memiliki kemajuan teknik dan pengalaman di laut sambil berperang, bahkan pertempuran ini menewaskan Sultan Yunus sebagai syuhada’. Peperangan tak berhenti di sini, dengan kata lain perlawanan tetap berlanjut walau sering kali mengalami kegagalan.
Ternyata pertahanan yang dilakukan Demak ini membawa dampak negatif dalam sisi internal. Pemerintahan pusat di Demak lebih mencurahkan kegiatannya pada masalah politik terutama politik luar negeri. Penggarapan terhadap masalah-masalah sosial, pendidikan, kemakmuran dan sebagainya tidak seimbang. Dan yang paling diabaikan adalah masalah kaderisasi atau pembinaan generasi muda untuk calon-calon pengganti mereka di masa datang. Yang terasa pula ialah bahwa jalannya dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar tidak terorganisir seperti sedia kala. Padahal pelaksanaan politik yang lepas dari dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar dengan mudah akan menimbulkan penyelewengan-penyelewengan politik, politik menjadi lepas dari norma-norma Taqwallah, maka akibatnya menjurus kepada gejala “politik menghalalkan segala cara”. Kalau sudah demikian, pasti goyahlah sendi-sendi kerajaan, jauhlah hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah, dan jurang itu akan semakin melebar jikalau tidak cepat dijembatani. Oleh karena itulah, merenggangnya hubungan penguasa dengan para ulama juga bisa dijadikan sebagai penyebab melemahnya kerajaan Demak. Pendek kata, Islam sebagai pedoman hidup harus tetap dijaga, komunikasi yang baik antara para ulama dan para penguasa sangat penting untuk diwujudkan.
Demak telah berakhir, namun Islam tidaklah berakhir.
Intervensi Portugis secara tidak langsung justru menyokong bagi penyebaran Islam. Dengan hancurnya kekuasaan Malaka, para guru dan misionari Muslim berpindah ke Sumatra Utara, Jawa, Molucca, dan ke Borneo. Setelah hancurnya kekuasaan Malaka, tiga pusat utama kehidupan politik dan kultural Muslim tumbuh berkembang. Di Aceh, sultan Syah Ali Mughayat menyatukan lawan-lawan Portugis, dan berhasil mengalahkan mereka pada perang di Pidie 1521 dan pada perang Pasai tahun 1524, menaklukkan wilayah pesisir utara kerajaan Aceh yang menjadi pusat persaingan utama pihak Portugis. Antara tahun 1529-1587 Aceh melancarkan usaha-usaha secara berkesinambungan untuk merebut kembali Malaka. Antara tahun 1618 dan 1620, kerajaan Aceh merebut Pahang, Kedah, dan Perak. Puncak kekuasaan Aceh tercapai pada masa pemerintahan Iskandar Muda (1607-1636), yang mengorganisir sebuah rezim yang efektif dan memperkokoh dominasinya atas para penguasa lokal (uleebalang) dan berbagai kelompok perkampungan. Ambisi Sultan Iskandar untuk menguasai seluruh wilayah semenanjung ini dipatahkan oleh kekuatan pemerintahan Malaya lainnya pada tahun 1629.
Beberapa kesultanan Muslim didirikan di semenanjung Malaya pada abad 15 dan abad 16. Di antaranya yang paling besar adalah kesultanan Johor (1512-1812). Kesultanan Johor tidak merupakan sebuah dinasti, melainkan sebuah wilayah kewenangan yang diperintah oleh beberapa penguasa yang berbeda. Johor bertempur melawan Aceh dan Portugis untuk memperebutkan kekuasaan atas Malaka.
Jawa menjadi wilayah bagi pusat kekuasaan Muslim ketiga. Antara tahun 1513 dan 1528, sebuah koalisi kerajaan Muslim mengalahkan kekuasaan Majapahit, dan tumbuhlah dua negara baru di wilayah pusat Jawa, yaitu kerajaan Banten di Jawa Tengah dan Jawa Barat (didirikan pada tahun 1568), dan kerajaan Mataram di wilayah timur Jawa Tengah.
Melanjutkan perjalanan Portugis, setelah berhasil mengacau perdagangan di Malaka, mereka mulai menemukan pedagang Melayu yang melarikan diri ke daerah lain seperti Demak dan Makasar. Mereka yang menyelamatkan diri ke Maluku, oleh Portugis diikuti jejaknya seolah dijadikan “guide”, penunjuk jalan untuk menemukan Maluku.
Islamisasi di Maluku pada saat itu sudah berkembang, yaitu sejak pertengahan abad ke limabelas. Hal itu ditandai dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam yang dipimpin oleh penguasa-penguasa yang taat beribadah dan sangat memperhatikan dakwah Islam.
Keadaan seperti itulah yang tidak disukai Portugis. Mereka mulai menggunakan taktik adu domba untuk kembali melakukan misi utamanya, yaitu menjajah bumi Nusantara dan menghancurkan Islam. Karena usia Islam masih muda di Ternate, Portugis yang tiba di sana pada tahun 1522 M berharap dapat menggantikannya dengan agama Kristen. Harapan itu tidak terwujud. Usaha mereka hanya mendatangkan hasil yang sedikit.
Hingga pada suatu saat, seorang utusan dari Roma yang terkenal, Fransisco Xaverius, melakukan kristenisasi besar-besaran sekitar tahun 1546 padahal ratusan tahun yang lalu Islam sudah memasuki Maluku dan penduduk gugusan pulau-pulau yang padat itu telah memeluk agama Islam. Menghadapi tantangan seperti itu maka tidak sedikit terjadi perlawanan terhadap pasukan-pasukan Portugis yang membawa agama Katholiknya. Dakwah Islam itu mencapai puncaknya ketika motivasinya didorong oleh unsur politik membela kepentingan bangsa dan tanah air berhubung dengan perbuatan Portugis yang melukai sentimen nasional yang sangat kuat.
Akhirnya tindakan kristenisasi tersebut membangkitkan semangat juang di kalangan kaum Muslimin Maluku. Sultan Ternate mengambil inisiatif utnuk mengadakan tindakan timbal balik. Keras dihadapi dengan keras, sentimen dengan sentimen, ekspansi atau perluasan daerah diimbangi dengan ekspansi pula. Itu sebabnya, di mata Gereja Katholik, Sultan Ternate dipandang sebagai “orang keras paling dibenci”. Hal itulah yang oleh pemimpin Gereja sendiri akhirnya diakui sebagai suatu fanatisme yang meluap-luap. Ya, tetapi siapa mendahului siapa?
Sekali pun penyebaran Kristen demikian pesat di kepulauan Maluku, namun dakwah Islam terus berkembang baik di kepulauan Maluku Utara, Tengah maupun Selatan. Umat Islam di sana mempunyai potensi yang hidup dan sanggup berdiri di atas kaki sendiri.
Keadaan pada waktu sekarang tetaplah demikian dan semakin memperlihatkan perkembangan Islam yang mantap dan maju. Hal itulah yang membuat kesadaran di kalangan pemeluk agama Kristen tentang keadaan Islam yang sebenarnya di Maluku.
2. Masa Penjajahan Belanda
Penindasan Belanda atas Islam justru menjadikan Islam mampu meletakkan dasar-dasar identitas bangsa Indonesia. Selain itu Islam juga dijadikan lambang perlawanan bagi imperialisme. Bagi para penguasa pribumi, memeluk agama Islam berarti memiliki dua senjata. Pertama, mendapat dukungan dari rakyat, karena rakyat banyak dari kalangan petani dan pedagang yang telah menjadikan Islam sebagai agamanya. Kedua, selain para penguasa dengan memeluk agama Islam mendapatkan dukungan rakyat, juga dapat memiliki senjata dalam melawan agresi agama dan perdagangan dari imperialis barat.
Kehadiran ulama dalam masyarakat telah diterima sebagai pelopor pembaharu dan pengaruh ulama pun semakin mendalam setelah berhasil membina pesantren. Ternyata pesantren itu tidak hanya merupakan lembaga pendidikan, tetapi juga merupakan lembaga penyemaian kader-kader pemimpin rakyat, sekaligus berfungsi sebagai wahana merekrut prajurit sukarela yang memiliki keberanian moral yang tinggi.
Sepintas lalu ulama hanya terlihat sekedar sebagai pembina pesantren. Akan tetapi, peranannya dalam sejarah cukup militan. Diakui oleh Thomas Stanford Raffles bahwa ulama merupakan part nearship para penguasa dalam melawan usaha perluasan kekuasaan asing di Indonesia. Dengan demikian, ulama memegang peranan multifungsi, termasuk bidang politik dan militer.
Kelanjutan dari pengaruh ulama yang demikian luas tersebut tidak hanya terbatas dibidang politik dan militer saja, melainkan meluas juga terhadap ekonomi yang telah meninggalkan bekas-bekasnya atas the ecology of economic activities. Maka jelaslah Belanda di Indonesia mendapatkan rintangan dari ulama terutama dibidang perdagangan. Belanda melihat kegiatan umat Islam yang mempunyai dwifungsi sebagai pedlar missionaries (da’i dan pedagang). Akibatnya, usaha perdagangan Belanda menghadapi ancaman dari umat Islam.
Pemberontakan Santri Abad ke-19
Kondisi yang demikian itu mengubah kondisi pesantren yang tadinya sebagai lembaga pendidikan, berubah menjadi a center of anti ducth sentiment (sebagai pusat pembangkit anti Belanda). Dalam abad ini saja Belanda menghadapi empat kali pemberontakan santri yang besar. Pertama, perang Cirebon (1802-1806). Kedua, perang Diponogoro sebagai peperangan terbesar yang dihadapi pemerintah kolonial Belanda di Jawa (1825-1830). Ketiga, perang Padri di Sumatra Barat (1821-1838). Keempat, di Aceh sebagai pemberontakan santri yang terpanjang atau terlama (1873-1908).
Perlawanan-perlawanan yang dilakukan untuk membebaskan diri dari pengaruh Belanda tidak pernah putus. Akan tetapi, usaha-usaha itu selalu gagal karena beberapa sebab, di antaranya: (1) Belanda diperlengkapi dengan organisasi dan persenjataan modern sementara kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia masih bersifat tradisional, (2) penduduk Indonesia sangat tergantung kepada wibawa seorang pemimpin, sehingga ketika pemimpinnya tertangkap atau terbunuh praktis perang atau perlawanan terhenti dengan kemenangan di pihak Belanda, (3) tidak ada kesatuan antara kerajaan-kerajaan Islam dalam melawan Belanda, karena (4) Belanda berhasil menerapkan politik adu domba, dan (5) dengan politik adu domba itu, banyak penduduk pribumi yang ikut memerangi rekan-rekannya sendiri.
Pada mulanya Belanda menempuh cara menghancurkan ulama dan Islam dengan melancarkan politik agama non Islam. Akan tetapi, sekali pun gerakan ini dibiayai oleh pemerintah, namun ternyata hanya mampu menarik suku-suku asing dari agamanya.
Dutch Islamic Policy
Melihat perkembangan ulama yang demikian ini, Snouck mencoba memberikan diagnosis yang dijadikan Dutch Islamic Policy. Dia melihat ulama dan santri itu sendiri tidak berbahaya, sekalipun mereka berada di desa-desa dekat dengan para petani. Oleh karena itu diciptakan diagnosis “Menciptakan ulama dan santri di desa-desa menjadi tuna politik (depolitisasi).” Pemerintah tidak perlu takut kepada ulama dan santri, asal mereka dijauhkan dari propaganda politik, baik dari kegiatan politik dalam negeri maupun luar negeri.
Untuk merealisasikan diagnosis tersebut, dianjurkan supaya pemerintahan menjalankan dwikebijaksanaan (twin policies), yakni menganjurkan adanya toleransi agama, dan menindak dengan kekerasan terhadap ulama yang masih melanjarkan kegiatan politik dan militer.
Mematahkan Ulama Melalui Tanam Paksa
Untuk dapat mencapai target diagnosis tersebut, Belanda memerlukan kawan. Snouck menasehatkan supaya pemerintah menggunakan tenaga Pangreh Praja. Keadaan Jawa memungkinkan untuk tujuan tersebut. Belanda telah berhasil melumpuhkan basis suplai ulama dan santri. Pengreh Praja yang merasa mendapatkan keuntungan dari tanam paksa, dengan menyalahgunakan kekuasaan telah ikut memperluas dan meratakan kemiskinan rakyat.
Ulama dan santri yang bermata pencaharian sebagai petani akan mudah dipatahkan dengan penguasaan atas tanah. Tanam paksa benar-benar telah melumpuhkan rakyat. Pemerintah takut terhadap ulama dan santri Jawa Barat yang memberontak selama mereka mampu menguasai tanah sawahnya. Karena itu pelaksanaan tanam paksa harus diperkeras dan diperlama. Akibatnya, kemelaratan benar-benar menindih kehidupan petani muslim di Jawa Barat.
Rusaknya Mental Penguasa Pribumi
Petani sebagai basis suplai yang telah rusak kehidupannya, tidak mendapatkan pembelaan dari Pangreh Praja saat itu. Raja-raja tidak mampu berbuat untuk menolong rakyat. Mereka telah kehilangan syari’at Islam sebagai landasan hukum dasarnya. Selanjutnya, Ronggo Warsito memberikan gambaran tentang sikap penguasa pribumi setelah lepas hubungannya dengan ulama. Tingkah laku mereka mengejar kemewahan, menambah merajalelanya penderitaan rakyat.
Kondisi yang demikian digambarkan oleh Harry J. Benda: Bangsawan Indonesia telah kehilangan tambatan budaya dan politik mereka sebagai akibat penaklukan Belanda.
Depolitisasi Ulama Desa
Kedudukan ulama benar-benar menyedihkan. Ulama desa yang tuna politik tidak tahu tentang struktur pemerintahan di atasnya. Para ulama desa dan pengikut-pengikutnya diputuskan hubungannya langsung dengan kalangan priyayi atau bangsawan di atasnya. Mereka tidak memiliki pengetahuan apapun tentang struktur kenegaraan.
Berita Nahdlatul Ulama dalam hal ini memberikan gambaran betapa parahnya orientasi ulama saat itu, antara lain: “Para ulama kita satu dengan yang lainnya tak kenal mengenal atau kurang rapat hubungannya hanya selaku kenalan saja. Tiada sampai pada bersama-sama kerja untuk agama dan umat umum. Bahkan kadang-kadang ada kalanya yang diantara mereka sembur-semburan antara satu dengan yang lainnya, dikarenakan berselisih dalam masalah atau sebab lain. Sebagian dari mereka tidak mengetahui keadaan kehinaan umat Islam yang diluar pagar rumahnya.”
Membangkitkan Gerakan Nasional
Waktu yang tepat untuk mengadakan perubahan akhirnya datang pula struktur penjajahan yang ingin menciptakan Pax Neer Landica telah menemukan efek samping yang menguntungkan umat Islam Indonesia. Penindasan yang diderita telah melahirkan persamaan nasib. Islam bagi bangsa Indonesia identik dengan tanah air.
Para ulama mencoba menggerakkan masyarakat dengan melalui waktu-waktu yang sangat menguntungkan dalam pendidikan. Dicobanya mendidik masyarakat supaya motifasinya bangkit kembali dibidang ekonomi perdagangan. Untuk keperluan ini H. Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam (16 oktober 1905). Setahun kemudian dirubahnya menjadi Sarekat Islam.
Tetapi Belanda melihatnya dari segi lain bahwa dengan adanya organisasi atau perserikatan diartikan sebagai usaha membina persatuan, sebagai cara baru dalam kebangkitan Islam. Apalagi aktivis SDI selanjutnya membentuk kerjasama dagang antara Islam dan Cina Kong Sing. Sedangkan policy Belanda sejak abad ke-18, berusaha mencegah asimilasi antara Cina dan Islam. Kesatuan Cina dengan umat Islam akan mudah dijalinnya, karena latar belakang sejarahnya memudahkan kesatuan tersebut. Sebagai misal sebagai hubungan umat Islam Cirebon dengan Cina pada abad ke-15, yang dikisahkan dalam Carita Purwaka Caruban Nagari, bahwa panglima Wai Ping dan laksamana Te Bo beserta pengikutnya mendirikan mercusuar di bukut Gunung Jati. Kesatuan Cina dalam susuhunan Mataram yang disertai dengan masuknya Cina kedalam agama Islam, mengilhami Belanda untuk melahirkan kebijaksanaan yang berusaha memisahkan asimilasi antara Islam dengan Cina. Kebijaksanaan Belanda yang mencegah terjadinya asimilasi pada abad ke-20 adalah mudah dimengerti. Persoalannya terletak pada latar belakang sejarah mereka. Negara cina juga sedang bertujuan menetang imperialisme barat, sedangkan Indonesia memiliki sejarah yang sama. Oleh karena itu, bila terjadi asimilasi, berarti mempercepat proses gulung tikarnya Belanda di Indonesia.
Telah jelas bahwa pihak Islam telah menampung asimilasi tersebut dan di Negara Cina telah berkobar revolusi Cina, karenanya dengan berbagai provokasi Belanda menimbulkan bentrokan fisik antara Cina dengan umat Islam. Pancingan ini berhasil melahirkan pemberontakan anti-Cina di Solo. Akibat pemberontakan ini sangat menguntungkan Belanda yang pada awal mulanya ketakutan terhadap menularnya revolusi Cina ke Indonesia. Bila revolusi ini benar-benar menjalar, sukar ditumpasnya, karena telah adanya persatuan antara Islam dengan Cina. Dengan adanya pemberontakan tersebut, selesailah usaha mencegah asimilasi, dan Belanda merasa aman baik terhadap ancaman gerakan nasional dari bantuan Cina, maupun dari bahaya menjalarnya revolusi Cina ke Indonesia. Dengan demikian, Belanda telah berhasil memisahkan Cina-Indonesia yang dipelopori Islam, sekaligus timbullah hubungan Cina-Belanda menentang perkembangan tuntutan nasionalisme pribumi.
Mencegah Kesatuan Islam-Priyayi
Pemberontakan anti-Cina dalam sejarah dituliskan sebagai perlawanan SDI plus lascar Mangkunegara (1911), yang menyebabkan Belanda mengeluarkan skorsing terhadap kegatan SDI. Tetapi, skorsing hanya berjalan selama 14 hari (12-26 Agustus 1912).
SDI, setelah menerima skorsing mencoba pula mengadakan konsolidasi. Ternyata pilihan SDI tepat sekali, waktu itu SDI merintis jalan untuk menyerahkan pimpinan SI kepada H. O. S. Cokroaminoto. Seperti yang kita ketahui, pilihan ini mempunyai motivasi yang sesuai dengan tuntutan zamannya. Pada masa itu, tokoh priyayi masih mempunyai nilai tersendiri di mata rakyat. H. O. S. Cokroaminoto selain seorang muslim yang demokrat juga mempunyai darah ningrat, dan lebih dari itu beliau adalah seorang pemimpin yang brilian.
Hanya dalam waktu empat bulan SI telah sanggup mengadakan konggres I di Surabaya (26 Januari 1973) konggres ini mendapatkan dukungan masa rakyat yang luar biasa. Belanda ketakutan terhadap usaha SI yang berusaha menyadarkan rakyat akan politik. Pemerintah mulai melarang pembentukan sentral SI. Larangan ini tidak mempan, CSI dibentuk di Surabaya (1915). Umat Islam yang tadinya diharapkan oleh pemerintah colonial menjadi tuna politik (depolitisasi), justru sekarang bangkit berjuang menyadarkan rakyat untuk menuntut pemerintahan sendiri.
Menghadapi kebangkitan umat Islam dengan gerakan nasionalnya, Belanda mencari jalan lain. Pemerintah mencoba memecahkan hubungan antara umat Islam dengan kalangan priyayi. Lebih-lebih perlu dijauhkan kalangan Pangreh Praja dari gerakan politik yang dilancarkan SI. Dengan “Perintah halus”-nya, Belanda berhasil menciptakan iklim pertentangan antara SI dan priyayi.
Pertentangan semacam ini semestinya menurut perhitungan pemerintah akan menghentikan aktivitas SI. Ternyata pertentangan priyayi-ulama di lain pihak menumbuhkan gerakan baru, yakni perserikatan ulama di Majalengka (1917) yang dipimpin oleh K. H. Abdul Halim. Gerakan ini kerjasama dengan SI, sekalipun mengkhususkan dalam bidang sosial pendidikan. Kemudian disusul dengan berdirinya Persis (1920).
Memperalat Komunisme
Pemerintah Belanda dengan berbagai usaha ingin mematahkan gerakan nasional yang digerakkan oleh umat Islam. Meskipun perpecahan ulama-priyayi oleh pemerintah Belanda, ternyata tidak menghalangi gerakan membangkitkan gerakan politik nasional.
Sneevlite sebagai tokoh komunis pertama di Indonesia berhasil menciptakan pertentangan dalam kalangan SI. Semaun dan Darsono terpengaruh oleh marxisme, dan mencoba membelokkan Islam sebagai ideologi, serta melancarkan berbagai fitnah terhadap H. O. S. Cokroaminoto, H. Agus Salim, dan Abdul Muis. Akibatnya, gerakan SI berubah, yang tadinya berpusat kepada usaha menanamkan kesadaran politik dan ekonomi nasional terhadap rakyat, setelah adanya serangan Semaun dan Darsono, gerakan terfokus dalam usaha untuk mengamankan SI.
Kerjasama antara imperialisme Belanda dengan komunis akan mudah dimengerti bila kita melihat latar belakang sejarahnya. Gerakan komunis di Eropa, semenjak kegagalan Marx memimpin revolusi buruh dalam pemberontakan komunis di Paris, tidak lagi menentang imperialisme barat tetapi justru cenderung mendukungnya.
Komunis Belanda mendukung karena takut kehilangan Indonesia sekaligus takut kehilangan predikat sebagai penjajah nomor 3 atau 4 di dunia. Tanpa Indonesia, Belanda hanya merupakan Negara dingin yang kecil di laut utara.
Oleh karena itu, seluruh usaha SI ditolaknya dan berusaha menghancurkan keyakinan rakyat terhadap kepemimpinan H. O. S. Cokroamonoto, H. Agus Salim, Abdul Muis dan Surya Pranoto. Tetapi, kenyataannya sejarah membuktikan, bagaimanapun usaha orang-orang komunis, umat Islam tetap menuntut kemerdekaan.
B. Perkembangan Peradaban Islam di Indonesia pada Masa Penjajahan Jepang
Kemunduran progresif yang dialami partai-partai Islam seakan mendapat dayanya kembali setelah Jepang datang menggantikan posisi Belanda. Jepang berusaha mengakomodasi dua kekuatan, Islam dan nasionalis “sekuler” ketimbang pimpinan tradisional (maksudnya raja dan bangsawan lama).
Dalam menghadapi umat Islam, Jepang sebenarnya mempunyai kebijaksanaan politik yang sama dengan Belanda. Hanya dalam awal pendekatannya, Jepang memperlihatkan sikap bersahabat, karena Jepang berpendirian bahwa umat Islam merupakan powerful forces dalam menghadapi sekutu. Latar belakang sejarah umat Islam yang anti imperialisme Barat, memiliki kesamaan tujuan dengan perang Asia Timur Raya. Sikap umat Islam yang yang demikian itu akan dimanfaatkan oleh pemerintahan kolonial Jepang.
Tetapi tentara Jepang tidak menghendaki adanya parpol Islam. Mereka lebih menyukai hubungan langsung dengan ulama daripada dengan pemimpin parpol. Oleh karena itu, Jepang mengeluarkan maklumat pembubaran parpol. Dalam menghadapi tentara Jepang, umat Islam bertindak untuk sementara menyetujui pembubaran tersebut dengan mengeluarkan maklumat juga.
Tindakan Jepang ini jelas menunjukkan rasa takutnya terhadap Islam sebagai partai politik. Tapi di suatu pihak, Jepang menyadari potensi umat Islam dalam menunjang tujuan perang. Sekalipun Jepang tidak menyetujui dan tidak menyukai berhubungan dengan pemimpin parpol Islam, namun Jepang memerlukan para ulama untuk membentuk wadah organisasi baru untuk membina ulama dan umat Islam.
Untuk tujuan di atas dibentuklah Kantor Urusan Agama (KUA) dengan ketuanya kolonel Horie yang telah dipersiapkan konsepnya sebelum Jepang mendarat di Indonesia. Karena begiitu Belanda menyerah tanpa syarat pada 8 maret 1942, pada akhir maret 1942 pembentukan KUA tersebut telah siap. Selain itu dibentuk pula Tiga A (Nippon Pemimpin, Pelindung, dan Cahaya Asia). Dengan adanya Tiga A ini, berdasarkan konsep Shimizui, dibentuklah Persiapan Persatuan Umat Islam (PPUI).
Pada tanggal 4 September 1942 melalui Tiga A diadakan musyawarah pertama di Hotel des Indes. Hasil dari musyawarah ini, umat Islam menghidupkan kembali MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) yang berdiri tahun 1938 dan memilih W. Wondoamiseno sebagai ketua. Sekalipun Jepang sangat memerlukan bantuan umat Islam tetapi timbul rasa takut terhadap persatuan dan kebangkitan umat Islam.
Mayor Jendral Okazaki lebih menekankan perhatian pemerintahannya kepada ulama daripada MIAI. Dengan cara ini diharapkan dapat mematikan MIAI yang berkedudukan di Jakarta. Usaha di atas ini jelas gagal. Betapa mungkin KUA dapat diperalat untuk menghancurkan MIAI.
Orang Jepang harus menyadari bahwa Islam bukanlah hanya sekadar agama, tetapi merupakan keseluruhan way of life yang telah menyebar ke segenap lapisan masyarakat. Umat Islam Indonesia telah lama berjuang menentang imperialisme Barat. Hal ini sesuai dengan dasar mengapa umat Islam dapat bekerja sama dengan Jepang. Untuk memelihara kerja sama ini hendaknya kita saling menghormati agama kita masing-masing. Perbedaan agama tidaklah menjadi penghalang perbedaan tersebut.
Sebenarnya Jepang sendiri adalah imperialis. Tetapi bagi umat Islam saat itu tidak ada pilihan lain kecuali menampakkan sikap yang demikian itu. Sebaliknya Jepang juga tidak ubahnya dengan Belanda berusaha untuk menghancurkan Islam. Tetapi kondisi peperangan yang menuntut bantuan stabilitas dalam negeri, memaksa Jepang untuk mendekati umat Islam. Harry J. Benda menyatakan melalui propaganda Jawa Baru, umat Islam membangkitkan Pan-Islamisme.
Mengawasi Pesantren
Tentara Jepang banyak mewarisi hasil karya belanda, kebijaksanaan politik Islamnya Belanda, dicoba direvisi sedikit. Perang dunia II menuntut Jepang untuk menggerakkan massa Islam berpihak kepadanya. Untuk itu diletakkanlah Nippon's Islamic Grass Roots Policy (kebijaksanaan politik Jepang terhadap kalangan rakyat jelata Islam). Sasarannya adalah pesantren, desa, dan ulama, dan menjadikan ulama menjadi pemimpin sipil terdepan yang berpartisipasi menciptakan ketentraman dan kewaspadaan. Penguasa kepada ulama berarti bahwa Jepang menguasai desa dan pesantren.
Untuk melaksanakan policy di atas, Jepang menggunakan media pendidikan sebagai alat propagandanya. Para ulama perlu ditingkatkan partisipasinya dengan diadakan semacam kursus kilat, tujuannya untuk meningkatkan kesadaran ulama terhadap situasi dunia dan semangat ulama supaya dapat sepenuhnya membantu Jepang.
Inilah sebagai pelaksanaan Islamic Gross-roots policy-nya jepang. Di satu pihak Jepang menolak mentah-mentah eksistensi parpol Islam, tetapi di lain pihak Jepang lebih menyukai mempolitikkan ulama. Dengan cara ini Jepang berharap dapat menyalurkan potensi laten pesantren kepada kepentingan perangnya.
Pembela Tanah Air (PETA)
PETA dibentuk pada tanggal 10 September 1943 oleh Gatot Mangkupraja kawan Bung Karno. "Tetapi harus diingat bahwa Jepang bagaimanapun juga adalah imperialis". Dasar inilah yang membuat pembentukan PETA lebih bersifat politik daripada ketentaraan. Pembentukan PETA bukan hanya karena permohonan Gatot Mangkupraja, ataupun usulan milisi dari R. Sutarjo, karena Jepang sendiri telah memiliki konsep tentang pembentukan tentara pribumi.
Untuk merealisasikan tentara pribumi ini diserahkan pada Beppen (Seksi khusus, dinas intelijen). Segera Beppan membentuk Jawa Bo-ei Giyugun Kanbu Renseitai (Korps latihan perwira pasukan sukarela pembela tanah air Jawa) di Bogor. Disinilah ulama dilatih sebagai calon daidanco (komandan batalion).
Untuk mendapatkan dukungan lebih banyak dari umat Islam, maka dikatakan bahwa tugas peta sebagai tugas suci. Daidanki (Bendera peta) dengan lambang bulan bintang ini dijelaskan oleh Kan Po sebagai lambang yang dihormati oleh rakyat di Jawa.
Tujuan penguasa militer Jepang sebenarnya tidak akan menciptakan kesatuan, tetapi hanya menginginkan kerja sama lebih mudah dengan umat Islam Indonesia.adapun usaha Jepang bertujuan; 1. Menanamkan semangat Nippon, 2. Menumbuhkan loyalitas ulama terhadap Jepang, 3. Meyakinkan kebencian ulama terhadap sekutu, 4. Perang asia Timur Raya adalah perang suci, 5. Menambahkan keyakinan bahwa Jepang dan Indonesia adalah satu nenek moyang dan satu ras.
Tujuan di atas menumbuhkan sikap takut Jepang akan timbulnya kesatuan umat Islam. Peta selain diharapkan bantuannya, juga disiapkan untuk memecah belah struktur organisasinya. Namun ulama masih sanggup memanfaatkan Peta untuk membangkitkan semangat keprajuritan. Usaha ulama inilah yang menjadikan peta sebagai wadah pembibitan pemimpin TNI nanti di kemudian hari.
Bait A-Mal dan Jawa Hokokai
MIAI dalam memanfaatkan perubahan selama penduduk Jepang, digunakan pula untuk menghimpun dana. Dari dana ini diharapkan dapat membiayai pembinaan umat. Untuk itu MIAI diluar KUA mengadakan gerakan pengumpulan zakat Bait Al-Mal (BAM). Usaha ini terlihat nyata di Bandung yang dipelopori oleh bupati Wiranta Kusuma dan meluas di seluruh Jawa terbentuk 35 cabang (BAM).
Tampaknya Jepang tidak sejalan dengan tindakan MIAI membentuk BAM tanpa Backing dari KUA. Untuk mengimbangi atau mematikan BAM, Jepang melancarkan kegiatan Jawa Hokokai (kebangkitan rakyat), dan Tonari Gumi (rukun tetangga) usaha ini benar-benar berhasil tertunjang oleh kondisi peperangan sehingga BAM tidak bisa melanjutkan usahanya.
Masyumi
Pengaruh MIAI cukup membahayakan. MIAI masih sanggup menunjukkan kemampuannya menggerakkan massanya, berbeda dengan partai sekuler lainnya yang sudah tidak mampu menampakkan potensi massanya lagi. Oleh karenanya Jepang mencoba menghilangkan pengaruh MIAI dengan membentuk Majelis Syura Muslimin Indonesia, sekaligus dengan pembentukan organisasi baru ini bertujuan untuk menurunkan pimpinan MIAI dengan mengangkat Hasyim Asyari sebagai ketua Masyumi. Jepang mengharapkan timbulnya perpecahan di kalangan umat Islam. Tetapi kenyataannya perkembangan Masyumi sangat cepat kontras sekali dengan Putera dan Hokokai.
Sejak awal Jepang telah mencoba untuk menetralisir Masyumi dari kegiatan politik. Karena itu pimpinan Masyumi disumpah untuk membebaskan dirinya dari kegiatan politik apapun. Dengan demikian Masyumi dapat menjadi wadah yang menjauhkan umat Islam dari politik. Usaha ini juga mempunyai latar belakang lain, yaitu agar Jepang mudah mematahkan basis suplai pesantren.
Pemberontakan Santri Peta
Selain menghadapi sekutu, Jepang juga mempersiapkan diri agar dapat mematahkan potensi Islam di Jawa Barat, yang ternyata berakar di desa-desa. Melalui Romusha (prajurit kerja) dan menyerahkan padi, Jepang memperkirakan akan dapat melumpuhkan potensi umat Islam. Ternyata tindakan Jepang dijawab oleh umat Islam dengan adanya pemberontakan santri di Singaparna yang dipimpin oleh Kiai Zainal Musthafa (NU), yang bercita-citakan menegakkan kebahagiaan rakyat di dalam negara Islam yang bebas dari kekuasaan asing. Pemberontakan ini secara fisik berhasil dipadamkan, tetapi tiga bulan kemudian pecah lagi pemberontakan santri yang lebih meluas yang meliputi kecamatan Lohbener dan kecamatan Simpang. Tentara dan polisi Jepang membasmi pemberontakan tersebut. Pemimpin-pemimpin berhasil di tembak mati.
Cita-cita pemberontakan tersebut menginginkan tegaknya kebahagiaan dan negara Islam. Jepang pun segera memberikan janji kemerdekaan yang sejalan dengan cita-cita tersebut. Perdana Menteri dalam sidang Teikoku Gikai ke-85 di Tokyo tanggal 7 september 1944 mengumumkan janji kemerdekaan. Berita ini disampaikan secara resmi kepada rakyat Indonesia dengan menyebutkan gambaran pembentukan "negara Indonesia yang berdasarkan Islam".
Kaum politis Islam setelah pemberontakan terjadi, mereka sibuk dengan menyambut perkenan kemerdekaan. Tetapi Jepang lupa mengulur waktu pelaksanaan janji. Bagi yang menantikan sekalipun baru satu tahun, dirasakan terlalu lama. Apalagi dilakukan tindakan pemerasan yang dilakukan diluar peri kemanusiaan.
Tepat satu tahun setelah pembentukan santri sukamah, di Blitar timbul pemberontakan Peta yang dipimpin oleh Supriyadi (14 februari 1945). Adapun motivasi yang mendorong pemberontakan tersebut yaitu: 1. Tidak tahan melihat penderitaan rakyat, 2. Tidak tahan melihat kesombongan dan kesewenangan Jepang, 3. Janji kemerdekaan itu omong kosong.
Sebenarnya baik pemberontakan santri dan Peta dilancarkan pada saat Jepang sedang menghadapi kehancuran. Bila hal tersebut telah diketahui oleh rakyat banyak, kemudian didukung oleh politis termasuk bung Karno dan bung Hatta, riwayat Jepang tamat lebih awal dari penyerahan di Amerika.
BAB III
KESIMPULAN
1. Islam pada masa penjajahan Portugis menghadapi banyak sekali tantangan. Sikap Portugis yang sangat tidak menyukai Islam terbukti dengan berbagai usahanya dalam mengganggu aktifitas dakwah terutama dalam lewat perdagangan. Dengan semangat juang pemimpin atau raja-raja Islam dalam menghadapi ancaman Portugis itu, maka sebagian besar rintangan bisa dihalau. Namun sayangnya Islam dalam lingkungan Demak sempat mengalami gangguan internal sehingga memperlemah kekuatannya. Walau demikian perkembangan Islam tidak berhenti. Seperti halnya Islam di Maluku yang berhasil bertahan menancapkan perjuangan dakwahnya di tengah-tengah kristenisasi pada masa penjajahan Portugis.
2. Pada masa penjajahan Belanda terjadi pemberontakan pejuang-pejuang Islam yang berkobar untuk membela tanah air. Untuk menghadapi umat Islam, Belanda menggunakan cara depolitisasi, yaitu menjadikan para ulama tuna politik. Selain itu, banyak taktik Belanda yang lainnya seperti adu domba antara Islam-Priyayi, tanam paksa dan lain-lain. Namun tentu saja umat Islam tidak selamanya berdiam diri dalam urusan politik, sehingga mulailah bermunculan organisasi-organisasi bernuansa Islam di sekitar awal abad ke dua puluh. Inilah permulaan kembalinya Islam di kancah politik secara nasional.
3. Perkembangan Islam pada masa Jepang ini sangat berarti, karena kebijaksanaan yang diberlakukan bangsa Jepang sedikit berbeda dengan Belanda, walau intinya tetap sama yaitu dalam mengeruk kekayaan Indonesia alias imperialisme. Dengan demikian Islam dapat lebih berperan dalam kehidupan kenegaraan walaupun tak sedikit pula tekanan dari pihak Jepang. Perkembangan Islam ini dapat dilihat dari keterlibatan umat Islam di dalam organisasi politik dan militer baik bentukan anak negeri maupun bentukan Jepang.
DAFTAR PUSTAKA
Ira, dkk. 1997. Sejarah Sosial Umat Islam. Semarang: PT Rajawali Pers Persada
Mansur Suryanegara, Ahmad. 1995. Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia. Bandung: Mizan
Waridah Q., Siti, dkk. 2001. Sejarah Nasional dan Umum untuk SMU Kelas I. Jakarta: Bumi Aksara
Yatim, Badri. 2000. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Zuhri, Saifuddin. 1979. Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia. Bandung: Al Ma’arif
Tidak ada komentar:
Posting Komentar