PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pendidikan di Indonesia ini masih berorientasi pada
pragmatism, yakni diarahkan untuk penyediaan sumber daya manusia berkualitas.
Sehingga dengan hal tersebut, pembangunan dapat dilaksanakan secara cepat. Oleh
karena itu, konsep pendidikan indonesiabelum mampu menyentuh dimensi humanity dimana manusia hanya dianggap
menjadi produk capital dan sebagai alat untuk mengembangkan modal dengan
berdasarkan dari materialistik. Berdasarkan hal tersebut, keberhasilan
pendidikan yang didasarkan pada teori human
capital diukur dari seberapa besar rate
of return pendidikan terhadap pembangunan ekonomi.
Pada dasarnya, manusia merupakan makhluk social dan
spiritual. Dan menurut Paulo freire, hakikatnya manusia mampu melakukan
transendensi dengan semua realitas yang melingkupinya. Dengan hal itu, manusia
akan mengkonstruksi kesadaran integral tanpa merduksi konsep “kesatuan mistik
universum” dalam dirinya. Sehingga dengan kesatuan tersebut dapat menimbulkan
sifat humanity dan menuju insan
kamil. Sebagaimana hakikat dari tujuan pendidikan Indonesia adalah untuk
membentuk insane paripurna, baik di
dunia maupun di akhirat.
Maka, untuk mewujudkan perubahan pendidikan
Indonesia secara menyeluruh, maka perlu
memprioritaskan manajemen pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidiakan. Dalam
hal ini, yang paling berperan aktif adalah educational
leadership yang mengatur, mengorganisasikan, menggerakkan dan mengontrol
pola pergerakan pendidikan. Dan untuk itu, seorang pemimpin perlu memiliki dan
mengintegralkan serta mnyeimbangkan Intelligence
Quotient, Emotional Quotient, dan Spiritual
Quotient. Dan dalam makalah ini akan membahas tentang spiritual educational leadership.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Hakikat
Kecerdasan Spiritual, Kepemimpinan Pendidikan dan Kepemimpinan Spiritual
Istilah “spiritual” berasal dari kata dasar bahasa
Inggris yakni “spirit” yang memiliki cakupan makna: jiwa, arwah / roh,
semangat, hantu, moral dan tujuan
atau makna yang hakiki. Sedangkan dalam Bahasa Arab, istilah
spiritual terkait dengan yang ruhani dan ma’nawi dari segala sesuatu.
Makna inti dari kata spirit bermuara kepada
kehakikian, keabadian dan ruh, bukan yang bersifat sementara dan
tiruan. Dalam perspektif Islam, dimensi spiritualitas senantiasa berkaitan
secara langsung dengan realitas Ilahi, Tuhan Yang Maha Esa (tauhid). Spiritualitas
bukan sesuatu yang asing bagi manusia, karena spiritualitas merupakan inti dari
kemanusiaan itu sendiri. Manusia terdisi dari unsur material dan spiritual atau
unsur jasmani dan ruhani. Sedangkan perilaku manusia merupakan produk
tarik-menarik antara energi spiritual dan material atau antara dimensi ruhaniah
dan jasmaniah. Dorongan spiritual senantiasa membuat kemungkinan membawa
dimensi material manusia kepada dimensi spiritualnya (ruh, keilahian).[1]
Spiritual
Quotient (SQ) merupakan kecerdasan untuk menghadapi
dan memecahkan persoalan makna dan nilai hidup, menempatkan perilaku dalam
konteks makna secara lebih luas.[2]
Menurut Zohar (dalam Abd. Wahab:2011) SQ merupakan syarat mutlak bagi
berfungsinya IQ dan EQ secara efektif. SQ telah ada dalam diri manusia sejak
lahir. Hal ini ditujukan untuk membantu manusia dalam membangun dirinya secara
utuh. Dalam perjalanan kehidupan manusia, tidak hanya berdasarkan pada rasio
saja, melainkan juga menggunakan hati nurani sebagai pusat SQ. Karena kebenaran
sejati sebenarnya lebih terletak pada hati nurani bahkan menurut N. Dyakarya
secara ekstrim berpendapat bahwa suara nurani merupakan suara Tuhan.
Sedangkan hakikat dari kepemimpinan adalah suatu
kegiatan memengaruhi orang lain agar orang tersebut dapat bekerjasama untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Disini pemimpin merupakan factor penentu dalam keberhasilan suatu
organisasi atau usaha. Sebab seorang pemimpin dituntut untuk mampu mengelola
organisasi, memengaruhi secara konstruktif orang lain, dan menunjukan
perilakubenar yang harus dikerjakan bersama-sama serta memengaruhi semangat
kerja kelompok.[3]
Pendidikan secara umum merupakan usaha atau proses
yang dilakukan secara sadar oleh orang dewasa untuk mendidik dan mengajar anak
didik agar mereka dapat mencapai kedewasaan.[4]
Maka dari uraian tersebut kepemimpinan pendidikan adalah suatu kesiapan,
kemampuan yang dimiliki oleh seseorang dalam proses mempengaruhi, mendorong,
membimbing, mengarahkan dan menggerakkan
orang lain yang ada hubungannya dengan pelaksanaan dan pengembangan pendidikan
dan pengajaran agar segenap kegiatan dapat berjalan secara efektif dan efisien,
yang pada gilirannya dapat mencapai tujuan pendidikan dan pengajaran yang telah
ditetapkan.
Kepemimpinan spiritual adalah kepemimpinan yang membawa
dimensi keduniawian kepada dimensi spiritual (keilahian). Kepemimpinan yang
mampu mengilhami, membangkitkan, mempengaruhi dan menggerakkan melalui
keteladanan, pelayanan, kasih sayang dan implementasi nilai dan sifat-sifat
ketuhanan lainnya dalam tujuan, proses, budaya dan perilaku kepemimpinan.[5]
B. Karakteristik
kepemimpinan Spiritual
Seiring dengan ditemukannya konsep kecerdasan
spiritual yang justru dianggap sebagai the
ultimate intelligence dan sebagai pondasi yang diperlukan bagi keefektifan dua
kecerdasan yang lain yakni IQ dan EQ. Sebagaimana yang diuraikan diatas,
kepemimpinan spiritual adalah kepemimpinan yang berbasis pada etika religius,
kepemimpinan atas nama Tuhan, yaitu kepemimpinan yang terilhami oleh
perilaku etis Tuhan dalam memimpin makhluk-makhluk-Nya.
Adapun karakteristik dari kepemimpinan sepiritual
sebagaimana yang disampaikan oleh prof. Dr. Tobroni dalam makalahnya Spiritual
Leadership The Probem Solver Krisis
Kepemimpinan Dalam Pendidikan Islam berikut ini:
1.
Kejujuran
sejati.
Rahasia sukses para pemimpin besar dalam mengemban
misinya adalah memegang teguh kejujuran. Berlaku jujur senantiasa membawa
kepada keberhasilan dan kebahagiaan pada akhirnya, walaupun mungkin pada boleh
jadi terasa pahit.
2.
Fairness
Pemimpin spiritual mengemban misi sosial untuk menegakkan
keadilan di muka bumi, baik adil terhadap diri sendiri, keluarga dan orang
lain. Bagi para pemimpin spiritual, menegakkan keadilan bukan sekedar kewajiban
moral religius dan tujuan akhir dari sebuah tatanan sosial yang adil,
melainkan sekaligus dalam proses dan prosedurnya untuk keberhasilan
kepemimpinannya.
3.
Semangat
amal shaleh
Kebanyakan pemimpin suatu lembaga, mereka sebenarnya
bekerja bukan untuk orang dan lembaga yang dipimpin, melainkan untuk
“keamanan”, “kemapanan” dan “kejayaan” dirinya. Tetapi kepemimpinan spiritual
bersikap berbeda, yakni bekerja karena panggilan dari hati nurani yang
ditujukan semata-mata untuk mengharap ridho Tuhan.
4.
Membenci
formalitas dan organized religion
Bagi seorang spiritualis, formalitas tanpa isi
bagaikan pepesan kosong. Organized religion biasanya hanya mengedepankan
dogma, peraturan, perilaku dan hubungan sosial yang terstruktur yang berpotensi
memecah belah.. Tindakan formalitas perlu dilakukan untuk memperkokoh makna
dari substansi tindakan itu sendiri dan dalam rangka merayakan sebuah
kesuksesan, kemenangan. Pemimpin spiritual lebih mengedepankan tindakan yang
genuine dan substantive.
5.
Sedikit
bicara banyak kerja dan santai
Banyak bicara banyak salahnya, banyak musuhnya, banyak
dosanya serta sedikit kontemplasinya dan sedikit karyanya. Seorang pemimpin
spiritual adalah pemimpin yang sedikit bicara banyak kerja. Ia lebih
mnegedepankan pekerjaan secara efisien dan efektif.
6.
Membangkitkan
yang terbaik bagi diri sendiri dan orang lain.
Sebagaimana dikemukakan di muka, pemimpin spiritual
berupaya mengenali jati dirinya dengan sebaik-baiknya. Upaya mengenali jati
diri itu juga dilakukan terhadap orang lain. Dengan mengenali jati diri ia
dapat membangkitkan segala potensinya dan dapat bersikap secara arif dan
bijaksana dalam berbagai situasi.
7.
Keterbukaan
menerima perubahan.
“Perubahan” adalah kata yang paling disukai bagi
kelompok tertindas dan sebaliknya paling ditakuti oleh kelompok mapan. Pimpinan
biasanya dikategorikan sebagai kelompok mapan dan pada umumnya berusaha
menikmati kemapanannya dengan menolak perubahan. Kalaupun ia gencar mengadakan
perubahan adalah dalam rangka mempertahankan atau mengamankan posisinya.
Pemimpin spiritual berbeda dengan pemimpin pada
umumnya. Ia tidak alergi dengan perubahan dan juga bukan penikmat kemapanan.
Pemimpin spiritual memiliki rasa hormat bahkan rasa senang dengan perubahan
yang menyentuh diri mereka yang paling dalam sekalipun
8.
Pemimpin
yang dicintai.
Pemimpin pada umumnya sering tidak perduli apakah
mereka dicintai para karyawannya atau tidak. Bagi mereka dicintai atau dibenci
itu tidak penting, yang penting dihormati dan memperoleh legitimasi
sebagai pemimpin. Bahkan sebagian diantara mereka merasa tidak perlu dicintai
karena hal itu akan menghalangi dalam mengambil keputusan yang sulit yang
menyangkut persoalan karyawannya. Pernyataan ini mungkin ada benarnya,
akan tetapi bagi pemimpin spiritual, kasih sayang sesama justru merupakan ruh
(élan vital, spirit) sebuah organisasi. Cinta kasih bagi pemimpin spiritual
bukanlah cinta kasih dalam pengertian sempit yang dapat mempengaruhi
obyektifitas dalam pengambilan keputusan dan memperdayakan kinerja lembaga,
tetapi cinta-kasih yang memberdayakan, cinta kasih yang tidak semata-mata
bersifat perorangan, tetapi cita kasih struktural yaitu cinta terhadap ribuan
orang yang dipimpinnya.
9.
Think
Globally and act locally
Statemen di atas merupakan visi seorang pemimpin
spiritual. Memiliki visi jauh ke depan dengan fokus perhatian kekinian dan
kedisinian. Dalam hal yang paling abstrak (spirit, soul, ruh) saja ia dapat
meyakini, memahami dan menghayati, maka dalam kehidupan nyata ia tentu lebih
dapat memahami dan menjelaskan lagi walaupun kenyataan itu merupakan cita-cita
masa depan. Ia memiliki kelebihan untuk menggambarkan idealita masa depan
secara mendetail dan bagaimana mencapainya kepada orang lain seakan-akan
gambaran masa depan itu sebuah realitas yang ada di depan mata. Disiplin Tetapi
Fleksibel dan Tetap Cerdas dan Penuh Gairah
Kedisiplinan pemimpin spiritual tidak didasarkan
pada sistem kerja otoritarian yang menimbulkan kekakuan dan ketakutan,
melainkan didasarkan pada komitmen dan kesadaran yaitu kesadaran spiritual yang
oleh Percy dianggap sebagai bentuk komitmen yang paling tinggi setelah komitmen
politik, komitmen intelektual dan komitmen emosional. Pemimpin spiritual adalah
orang yang berhasil mendisiplinkan diri sendiri dari keinginan, godaan dan
tindakan destruktif atau sekedar kurang bermanfaat atau kurang patut. Kebiasaan
mendisiplinkan diri ini menjadikan pemimpin spiritual sebagai orang yang teguh
memegang prinsip, memiliki disiplin yang tinggi tetapi tetap fleksibel, cerdas,
bergairah dan mampu melahirkan energi yang seakan tiada habisnya.
10. Kerendahan Hati
Seorang pemimpin spiritual menyadari sepenuhnya bahwa
semua kedudukan, prestasi, sanjungan dan kehormatan itu bukan karena dia dan
bukan untuk dia, melainkan karena dan untuk Dzat Yang Maha Terpuji
C. Spiritual
Leader Sebagai Pemecah Masalah Pendidikan Indonesia
Sebagaimana yang diuraikan diatas, bahwa
masalah-masalah pendidikan di Indonesia sekarang ini dapat diatasai melalui
spiritual leadership. Dengan kata lain pemimpin spiritual adalah faktor utama
terjadinya perubahan dari suatu lembaga pendidikan untuk meraih prestasi. Implementasi
puncak etika religius dalam kehidupan sehari-hari akan melahirkan orang
yang memiliki komitmen (kepedulian) dan dedikasi (pengabdian), sabar, rela
berkorban, berjuang tanpa kenal lelah dan ihlas. Inilah orang yang memiliki
spiritualitas, orang yang mampu menjadi soko guru tegaknya lembaga pendidikan.[6]
Bagaimana pemimpin spiritual dalam mengembangkan
pendidikan Islam? Dan peran apa saja yang dilakukan dalam mengembangkan
pendidikan Islam? Untuk masalah itu Prof. Dr. Tobroni mengungkapkan dalam
makalahnya Spiritual Leadership The Probem Solver Krisis Kepemimpinan Dalam
Pendidikan Islam sebagaimana berikut:
1.
Sebagai pembaharu.
Keberhasilan pemimpin spiritual dalam mengembangkan
pendidikan tidak lepas dari perannya sebagai pembaharu. Gagasan-gagasan
atau ide-ide baru senantiasa keluar dari hasil kontemplasi, penjelajahan
dan pengembaraan intelektualnya yang luas.
2.
Pemimpin
Spiritual Sebagai Pemimpin Organisasi Pendidikan.
Sebagaimana dikemukakan dalam pembahasan sebelumnya,
lembaga pendidikan merupakan industry yang mulia yang merupakan gabungan
dari lembaga yang bersifat profit seperti perusahaan, industri dan jasa dan
lembaga non profit seperti lembaga sosial kemasyarakatan, dan lembaga dakwah
lainnya. Karena itu dari sisi kelembagaan, kekuatan-kekuatan kepemimpinan
spiritual sangat cocok untuk memimpin lembaga pendidikan. Pemimpin
spiritual mampu memerankan diri sebagai seorang entrepreneur, corporate dan pembisnis
yang handal sehingga mampu mengefektifkan budaya dan proses organisasi dan
mengembangkan usaha dan memperbesar laba. Di sisi lain, pemimpin
spiritual juga mampu berperan sebagai seorang tokoh pergerakan, seorang
ruhaniawan, relawan dan volunteer yang pandai menarik simpati dan menggerakkan
massa, tokoh spiritual dan seorang pekerja sosial. Itulah sebabnya, lembaga
pendidikan yang memiliki dimensi sebagai organisasi profit dan organisasi
sosial dan dakwah sangat tepat dipimpin oleh orang yang mengembangkan
kepemimpinan spiritual.
3.
Pemimpin
spiritual sebagai administrator proses pembelajaran.
Kepala sekolah selama ini lebih banyak berperan
hanya sebagai administrator pembelajaran. Tugas mereka seakan sudah
selesai apabila proses pembelajaran dapat berlangsung dengan lancar dan tertib.
Pemimpin spiritual memandang tugas sebagai administrator sebagai tugas
rutin dan karena itu diserahkan pelaksanaannya kepada masing-masing pimpinan
bidang atau unit. Ini tidak berarti tugas sebagai administrator tidak penting,
melainkan secara organisatoris telah ada pembagian tugas dan sekaligus sebagai
bentuk pengkaderan. Posisi pemimpin spiritual dalam hal ini berperan sebagai
pengilham, pencerah dan pembangkit.
4.
Pemimpin
Spiritual Sebagai Pendidik.
Salah satu kekuatan yang menyebabkan pemimpin
spiritual berhasil dalam mengembangkan pendidikan adalah karena perannya
sebagai pendidik (murabbi). Di depan muridnya ia tetap seorang guru yang mau
menyapa dan peduli sehingga memiliki hubungan yang harmoni, dekat, akrab
dan khurmah. Di depan guru dan karyawan ia adalah seorang teman sesama
guru yang senasip dan seperjuangan. Dengan sesama guru ia tetap egaliter, dekat
dan akrap disamping juga peduli. Bukan hanya dengan sesama guru, dengan
muridpun pemimpin spiritual dapat bergurau dengan renyah dan riang.
Dilihat dari proses pembelajaran di lembaga
pendidikan, pemimpin spiritual terbukti mampu mengefektifkan proses
pembelajaran dan melakukan berbagai inovasi. Sedang apabila dilihat dari
substansi dan esensi pendidikan, pemimpin spiritual terbukti mampu
mengembangkan pemikiran dan ide-ide baru yang brillian, mencerahkan dan
memberdayakan sehingga pendidikan benar-benar mampu memerankan fungsi pokoknya,
bukan sekedar fungsi formalnya.
BAB
III
PENUTUPAN
Kesimpulan
Spiritual
Quotient (SQ) merupakan kecerdasan untuk menghadapi
dan memecahkan persoalan makna dan nilai hidup, menempatkan perilaku dalam
konteks makna secara lebih luas. Kepemimpinan pendidikan adalah suatu kesiapan,
kemampuan yang dimiliki oleh seseorang dalam proses mempengaruhi, mendorong,
membimbing, mengarahkan dan menggerakkan
orang lain yang ada hubungannya dengan pelaksanaan dan pengembangan pendidikan
dan pengajaran agar segenap kegiatan dapat berjalan secara efektif dan efisien,
yang pada gilirannya dapat mencapai tujuan pendidikan dan pengajaran yang telah
ditetapkan. Kepemimpinan spiritual adalah kepemimpinan yang membawa dimensi
keduniawian kepada dimensi spiritual (keilahian).
Adapun karakteristik pemimpin spiritual yakni kejujuran sejati, adil, Semangat amal shaleh, membenci
formalitas dan organized religion, Sedikit bicara banyak kerja dan santai, Membangkitkan
yang terbaik bagi diri sendiri dan orang lain, Keterbukaan
menerima perubahan, Pemimpin
yang dicintai, Think
Globally and act locally, disiplin
tetapi fleksibel dan tetap cerdas dan penuh gairah, dan Kerendahan Hati.
Dan peran pemimpin spiritual dalam
memecahkan permasalahan pendidikan dapat ditinjau dari beberapa aspek yang
diantaranya adalah sebagai pembaharu, sebagai
pemimpin organisasi pendidikan, sebagai administrator
proses pembelajaran, pemimpin
spiritual sebagai pendidik.
DAFTAR PUSTAKA
Asmani, Jamal Ma’mur. 2009.Manajemen Pengelolaan dan Kepemimpinan Pendidikan Profesional.
Yogyakarta. Diva Press
Burhanudin. 1994. Analisis
Administrasi Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara
Busro dan Dirawat. 1983. Pengantar Kepemimpinan Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional
Tobroni. Spiritual
Leadership The Probem Solver Krisis Kepemimpinan Dalam Pendidikan Islam.
Wahab dan Umiarso. 2011. Kepemimpinan Pendidikan dan Kecerdasan Spiritual. Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media.
[1] Tobroni, 2010,
makalah Spiritual Leadership The Proble
Solver Krisis Kepemimpinan Dalam Pendidikan Islam.
[2] Abd.
Wahab dan Umiarso, 2011, Kepemimpinan
Pendidikan dan Kecerdasan Spiritual, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, hal.51
[4] Burhanuudin,
1994, Analisis Administrasi manajemen dan kepemimpinan pendidikan, Jakarta:
Bumi Aksara, hal. 64
[6] Ibid,..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar