A. PENDAHULUAN
Kajian tentang manusia telah
banyak dilakukan para ahli yang selanjutnya dikaitkan dengan berbagai
kegiatan, seperti politik, ekonomi, social, budaya, pendidikan, agama
dan lain sebagainya. Hal tersebut dilakukan karena manusia selain
sebagai subjek (pelaku), juga sebagai objek (sasaran) dari berbagai
kegiatan tersebut. Termasuk dalam kajian Ilmu Pendidikan Islam.
Pemahaman terhadap manusia menjadi penting agar proses pendidikan
tersebut dapat beerjalan dengan efektif dan efisien.1
Pengetahuan tentang asal
kejadian manusia adalah amat penting dalam merumuskan tujuan pendidikan
bagi manusia. Asal kejadian ini justru harus dijadikan pangkal tolak
dalam menetapkan pandangan hidup bagi orang Islam. Pandangan tentang
kemakhlukan manusia cukup menggambarkan hakikat manusia. Manusia adalah
makhluk (ciptaan) Allah adalah salah satu hakikat wujud manusia.2
Quraish Syihab dalam bukunya
Wawasan Al-Qur‟an mengungkapkan pendapat Alexis Carrel tentang kesukaran
yang dihadapi untuk mengetahui hakikat manusia bahwa Sebenarnya manusia
telah mencurahkan perhatian dan usaha yang sangat besar untuk
mengetahui dirinya, kendatipun kita memiliki perbendaharaan yang cukup
banyak dari hasil penelitian para ilmuwan, filosof, sastrawan dan para
ahli bidang keruhanian sepanjang masa ini. Tapi kita (manusia) hanya
mampu mengetahui beberapa segi tertentu dari diri kita. Kita tidak
mengetahui manusia secara utuh. Yang kita ketahui hanyalah bahwa manusia
terdiri dari bagian-bagian tertentu, dan ini pun pada hakikatnya dibagi
lagi menurut tata cara kita sendiri. Pada hakikatnya, kebanyakan
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh mereka yang mempelajari manusia
-kepada diri mereka- hingga kini masih tetap tanpa jawaban.”3
Satu-satunya jalan untuk
mengenal dengan baik siapa manusia, adalah merujuk kepada wahyu Illahi
(Al-Qur‟an) dan As-Sunnah (Hadits Rosulullah SAW), agar kita dapat
menemukan jawabannya. Bagaimanakah perspektif Al-Qur‟an dan As-Sunnah
tentang hakikat dan fitrah manusia? Makalah ini berusaha mengungkapkan
Hakikat dan Fitrah manusia dalam perspektif Al-Qur‟an dan As-Sunnah.
B. PEMBAHASAN
1. Hakikat Manusia dalam Perspektif Al-Qur’an
Apa
Hakikat manusia dalam perspektif Al-Qur‟an? Di dalam Al-Qur‟an, manusia
merupakan salah satu subjek yang dibicarakan, terutama yang menyangkut
asal-usul dengan konsep penciptaannya, kedudukan manusia dan tujuan
hidupnya. Hal tersebut merupakan sesuatu yang wajar karena al-Qur‟an
memang diyakini oleh kaum muslimin sebagai firman Allah SWT yang
ditujukan kepada dan untuk manusia.
Ada tiga kata yang digunakan Al-Qur‟an untuk menunjuk kepada manusia,4 yaitu:
a. Menggunakan kata yang terdiri dari huruf alif, nun dan sin semacam insan, ins, nas atau unas.
b. Menggunakan kata basyar.
c. Menggunakan kata Bani adam dan Dzuriyat Adam.
Sementara
Ramayulis dalam bukunya Ilmu Pendidikan Islam mengatakan bahwa istilah
manusia dalam Al-Qur‟an dikenal tiga kata, yakni kata al-insân,
al-basyâr dan al-nâs.5
Walaupun ketiga kata di atas menunjukkan arti pada manusia, tetapi secara khusus memiliki pengertian yang berbeda:
1) Al-Insân
Al-Insân
terbentuk dari kata نسي – ينسَ yang berarti lupa. Kata al-insân
dinyatakan dalam al-Qur‟an sebanyak 73 kali yang disebut dalam 43 surat.
Penggunaan kata al-insân pada umumnya digunakan pada keistimewaan
manusia penyandang predikat khalifah di muka bumi, sekaligus dihubungkan
dengan proses penciptaannya. Keistimewaan tersebut karena manusia
merupakan makhluk psikis disamping makhluk pisik yang memiliki potensi
dasar, yaitu fitrah akal dan kalbu. Potensi ini menempatkan manusia
sebagai makhluk Allah SWT yang mulia dan tertinggi dibandingkan
makhluk-Nya yang lain.6
Nilai psikis manusia sebagai
al-insân yang dipadu wahyu Ilahiyah akan membantu manusia dalam
membentuk dirinya sesuai dengan nilai-nilai insaniah yang terwujud dalam
perpaduan iman dan amalnya. Sebagaimana firman Allah SWT Artinya:
“kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka bagi mereka
pahala yang tiada putus-putusnya.” (QS. At-Thiin: 6)
Dengan pengembangan nilai-nilai
tersebut, akhirnya manusia mampu mengemban amanah Allah SWT di muka
bumi. Quraish Syihab dalam bukunya Wawasan Al-Qur‟an mengatakan bahwa
kata insan terambil dari akar kata uns yang berarti jinak, harmonis dan
tampak. Menurutnya pendapat ini jika ditinjau dari sudut pandang
Al-Qur‟an lebih tepat dari yang berpendapat bahwa ia terambil dari kata
nasiya (lupa), atau nasa-yanusu yang berarti (berguncang). Kata insan,
digunakan Al-Qur‟an untuk menunjuk kepada manusia dengan seluruh
totalitasnya, jiwa dan raga. Manusia yang berbeda antara seseorang
dengan yang lain, akibat perbedaan fisik, mental dan kecerdasan.7
Kata al-insân juga menunjukkan
pada proses kejadian manusia, baik proses penciptaan Adam maupun proses
manusia pasca Adam di alam rahim yang berlangsung secara utuh dan
berproses. Firman Allah:
Artinya:
71. (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat: “Sesungguhnya aku akan menciptakan manusia dari tanah”.
72. Maka apabila telah
Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)Ku; Maka
hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadaNya”. (QS. Shaad: 71-72)
Artinya:
12. dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah.
13. kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim) (QS. Al-Mukminûn: 12-13)
2) Al-Basyar
Al-Basyar
terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti penampakan sesuatu
dengan baik dan indah. Dari akar kata yang sama lahir kata basyarah yang
berarti kulit. Manusia dinamai basyar karena kulitnya tampak jelas, dan
berbeda dengan kulit binatang yang lain.8
Kata Al-Basyar dinyatakan dalam
al-Qur‟an sebanyak 36 kali yang tersebut dalam 26 surat.9 Kata-kata
tersebut diungkap dalam bentuk tunggal dan sekali dalam bentuk mutsanna
(dual) untuk menunjukkan manusia dari sudut lahiriahnya serta
persamaannya dengan manusia seluruhnya.10
Pemaknaan manusia dengan
Al-Basyar memberikan pengertian bahwa manusia adalah makhluk biologis
serta memiliki sifat-sifat yang ada di dalamnya, seperti makan, minum,
perlu hiburan, seks dan lain sebagainya. Karena kata Al-Basyar
ditunjukkan kepada seluruh manusia tanpa terkecuali, ini berarti nabi
dan rasul pun memiliki dimensi Al-Basyar seperti yang diungkapkan firman
Allah SWT dalam Al-Qur‟an Surat Al-Kahfi ayat 110: Artinya:
Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku… (QS. Al-Kahfi 110)
Dengan demikian penggunaan kata
al-basyar pada manusia menunjukkan persamaan dengan makhluk Allah SWT
lainnya pada aspek material atau dimensi jasmaniahnya.
3) Al-nâs
Kata
al-nâs menunjukkan pada hakikat manusia sebagai makhluk social dan
ditunjukkan kepada seluruh manusia secara umum tanpa melihat statusnya
apakah beriman atau kafir.11 Penggunaan kata al-nâs lebih bersifat umum
dalam mendefinisikan hakikat manusia dibanding dengan kata al-insân.12
Kata
al-nâs juga dipakai dalam Al-Qur‟an untuk menunjukkan bahwa
karakteristik manusia senantiasa berada dalam keadaan labil. Meskipun
telah dianugerahkan Allah SWT dengan berbagai potensi yang bisa
digunakan manusia untuk mengenal Tuhannya, namun hanya sebagian manusia
saja yang mau mempergunakannya, sementara sebagian yang lain tidak,
justru mempergunakan potensi tersebut untuk menentang ke-Mahakuasa-an
Tuhan. Dari sini terlihat bahwa manusia mempunya dimensi ganda, yaitu
sebagai makhluk yang mulia dam yang tercela.
Dari uraian di atas, bahwa
pendefinisian manusia yang diungkap dalam Al-Qur‟an dengan istilah
Al-Insân, Al-Basyar dan al-nâs menggambarkan tentang keunikan dan
kesempurnaan manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT. Hal ini
memperlihatkan bahwa manusia merupakan satu kesatuan yang utuh, antara
aspek material (fisik/jasmani), dan immaterial (psikis/ruhani) yang
dipandu oleh ruh Ilahiah. Kedua aspek tersebut saling berhubungan.
Dengan kelengkapan dua aspek
material dan immaterial di atas, manusia dapat melaksanakan
tugas-tugasnya. Disini manusia memerlukan bimbingan,binaan dan
pendidikan yang seimbang, harmonis dan integral, agar kedua aspek
tersebut dapat berfungsi dengan baik dan produktif.
Produksi dan Reproduksi Manusia
Manusia adalah makhluk Allah. Ia
bukan terjadi dengan sendirinya, tetapi dijadikan oleh Allah SWT.
Sebagaimana firman Allah dalam Al Qur‟an Surat Ar-Rum ayat 40, yang
berbunyi:
Artinya:
“Allah-lah
yang menciptakan kamu, kemudian memberimu rezki, kemudian mematikanmu,
kemudian menghidupkanmu (kembali)” (QS. Ar-Rum : 40)
Manusia adalah satu-satunya
makhluk yang unsur penciptaannya terdapat ruh Illahi sedang manusia
tidak diberi pengetahuan tentang ruh kecuali sedikit.
Artinya:
Dan
mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu Termasuk
urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan
sedikit”. (QS. Al-Israa : 85)
Proses penciptaan manusia
seperti yang dimuat pada Al-Qur‟an Surat Ash-Shaad ayat 71-72 dan
Al-Mukminûn ayat 12-13 di atas, penggunaan kata al-insân mengandung dua
dimensi, Pertama; dimensi tubuh/materiil (dengan berbagai unsurnya).
Kedua; dimensi spiritual (ditiupkan-Nya ruh-Nya kepada manusia).13
Quraish
Syihab dalam Wawasan Al-Qur‟an menjelaskan bahwa Al-Qur‟an ketika
berbicara tentang penciptaan manusia pertama, menunjuk kepada sang
Pencipta dengan menggunakan pengganti nama berbentuk tunggal :14
Artinya:
(ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat: “Sesungguhnya aku akan menciptakan manusia dari tanah”.
(QS. Shâd: 71)
Artinya:
Allah berfirman: “Hai iblis, Apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah
kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) Termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?”. (QS. Shâd: 75)
Tetapi ketika berbicara tentang reproduksi manusia secara umum, Yang Maha Pencipta ditunjuk dengan menggunakan bentuk jamak.
Artinya:
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu
berfirman kepada Para Malaikat: “Sesungguhnya aku akan menciptakan
seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam
yang diberi bentuk,
Maka apabila
aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan kedalamnya
ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.(QS.
Al-Hijr: 28-29)
Seperti telah disebutkan di atas
bahwa Al-Qur‟an juga menggunakan kata ath-thin untuk unsur materiil
asal manusia. Salah satunya menggunakan kata sulâlatin min thîn, dalam
konteks kejadian manusia pada umumnya. Di bagian lain diungkap
menggunakan kata thînin lâzib seperti yang termuat dalam Al-Qur‟an Surat
Ash-Shâffât ayat 11:
Maka Tanyakanlah kepada mereka
(musyrik Mekah): “Apakah mereka yang lebih kukuh kejadiannya ataukah apa
yang telah Kami ciptakan itu?” Sesungguhnya Kami telah menciptakan
mereka dari tanah liat. (QS. Ash-Shâffât : 11)
Selain menggunakan kedua kata di
atas (sulâlatin min thîn dan thînin lâzib), dalam Al-Qur‟an juga
terdapat kata shalshâl yang dirangkai dengan ungkapan min hama‟in masnûn
seperti yang disebut dalam Surat Al-Hijr ayat 26:
Artinya:
Dan
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat
kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk.
Artinya:
Dia menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar (QS. Ar-Rahmân ; 14)
Dari uraian di atas, kata-kata yang digunakan untuk menjelaskan unsur materiil asal-usul manusia adalah
- Sulâlah artinya bagian yang ditarik dari sesuatu dengan pelan dan tersembunyi. Bagian yang ditarik tersebut menurut Ath-thabarsyi disebut sebagai sari sesuatu yang dikeluarkan darinya (shafwatusy-syay‟I al-latî yakhruju minhâ).16
- Shalshâl yang berarti tanah lempung, berasal dari kata shalshalah yang artinya berbunyi, tanah lempung disebut dengan shalshalah karena ia mengeluarkan bunyi bila sudah kering seperti tembikar (al-fakhkhâr) yang mengeluarkan bunyi seperti suara besi bila berantukan.17
- Lâzib, para mufassir sering mengartikan thînun lâzib dengan thînun lâshiq yang maksudnya tanah yang lengket.
- Hama‟un masnûn, kata hama‟ adalah kata lain yang menunjuk pada jenis tanah asal manusia. Kata hama‟un pada dasarnya berarti tanah hitam yang berbau busuk. Arti tersebut tidak jauh berbeda dengan arti yang dikemukakan ath-Thabary sebagai tanah yang berubah menjadi hitam.18
Kata turâb disebutkan sebagai
unsur materiil asal manusia yang berarti juga „tanah‟ atau „debu‟. Semua
kata tersebut menjelaskan unsur materiil dari ciptaan manusia yang
terdiri dari bermacam-macam jenis tanah yang boleh jadi melambangkan
komponen-komponen kimiawi pembentuk fisik manusia, dan inti tanah yang
berupa tanah lempung dan berbau, menggambarkan suatu unsur materiil yang
amat sederhana dan rendah. Unsur inilah yang digabungkan dengan unsur
yang amat sempurna dan mulia yakni ruh Tuhan.
Ruh Tuhan yang ditiupkan ke
dalam unsur materi manusia itu merupakan ruh kehidupan yang suci.
Ungkapan yang digunakan Al-Qur‟an adalah rûhiy (ruh-Ku) dan rûhih
(ruh-Nya).
Artinya:
Maka apabila aku telah
menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan kedalamnya ruh
(ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.19(QS.
Al-Hijr : 29)
Artinya:
Kemudian
Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Nya dan Dia
menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu
sedikit sekali bersyukur.(QS. As-Sajdah: 9)
Perpaduan
antara dua unsur di atas (unsur materiil dan unsur ruh) menunjukkan
suatu perpaduan unsur yang bersih dan baik, namun mempunyai karakter
yang berlawanan, yaitu unsur yang rendah dan hina dengan unsur yang suci
dan mulia.20
Disamping dua unsur di atas,
akal adalah salah satu aspek penting dalam hakikat manusia. Banyak ayat
Al-Qur‟an yang menjelaskan tentang akal. Akal adalah alat untuk
berpikir. Jadi salah satu hakikat manusia ialah ia ingin, ia mampu dan
ia berpikir.
Ahmad Tafsir dalam bukunya
Filsafat Pendidikan Islam mengatakan bahwa menurut Harun Nasution ada
tujuh kata yang digunakan al-Qur‟an untuk mewakili konsep akal; yaitu21
Pertama; kata nazara.
Artinya:
Maka
Apakah mereka tidak melihat akan langit yang ada di atas mereka,
bagaimana Kami meninggikannya dan menghiasinya dan langit itu tidak
mempunyai retak-retak sedikitpun ? (QS. Qaaf: 6)
Kedua; kata tadabbara
Artinya:
Kemudian
makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu
yang telah dimudahkan (bagimu). dari perut lebah itu ke luar minuman
(madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang
menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang
memikirkan. (QS. Al-Nahl : 29)
Keempat; kata faqiha. Kelima; kata tadzakkara. Keenam; kata fahima. dan Ketujuh; kata „aqala.
Kata „aqala dalam Al-Qur‟an kebanyakan digunakan dalam bentuk fi‟il (kata kerja), hanya sedikit dalam bentuk ism (kata benda).
Ini menunjukkan bahwa pada akal yang penting ialah berpikir bukan akal sebagai otak yang berupa benda.22
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hakikat manusia adalah terdiri atas unsur jasmani, ruhani dan akal.
2. Fitrah Manusia dalam Perspektif Al-Qur’an dan As-sunnah
Manusia insan secara kodrati,
sebagai ciptaan Allah SWT yang sempurna bentuknya dibandingkan dengan
ciptaan Allah lainnya. Manusia juga sudah dilengkapi dengan kemampuan
mengenal dan memahami kebenaran dan kebaikan yang terpancar dari
ciptaan-Nya.
Kemampuan lebih yang dimiliki
manusia itu adalah kemampuan akalnya. Untuk itulah manusia sering
disebut sebagai animal rationale, hayawan al-nâtiq, yaitu binatang yang
dapat berpikir. Melalui akalnya, manusia berusaha memahami realitas
hidupnya, memahami dirinya serta segala sesuatu yang ada di
sekitarnya.23
Yang banyak dibicarakan oleh Al
Qur‟an tentang manusia adalah sifat-sifatnya dan potensinya. Potensi
manusia dijelaskan oleh Al-Qur‟an antara lain melalui kisah Adam dan
Hawa dalam Surat Al-Baqarah ayat 30-39. Dalam ayat tersebut dijelaskan
bahwa sebelum kejadian Adam, Allah telah merencanakan agar manusia
memikul tanggung jawab kekhalifahan di bumi. Untuk maksud tersebut di
samping tanah (jasmani) dan ruh Ilahi (akal dan ruhani), manusia
dianugrahi pula:
Manusia
(1) Potensi untuk mengetahui nama dan fungsi benda-benda alam
Dengan potensi ini manusia
adalah makhluk yang berkemampuan untuk menyusun konsep-konsep, mencipta,
mengembangkan dan mengemukakan gagasan/ide serta melaksanakannya.
Potensi ini adalah bukti yang membungkamkan malaikat, yang tadinya
merasa wajar untuk dijadikan khalifah di muka bumi, dan karenanya
malaikat bersedia sujud (penghormatan) kepada Adam.24
(2) Pengalaman hidup di surga, baik yang berkaitan dengan kecukupan dan kenikmatannya, maupun rayuan Iblis dan akabat buruknya.
Pengalaman
di surga adalah arah yang harus dituju dalam membangun dunia ini,
kecukupan sandang, pangan dan papan serta rasa aman terpenuhi, sekaligus
arah terakhir bagi kehidupannya di akhirat kelak. Sedangkan godaan
iblis, dengan akibat yang sangat fatal itu, adalah pengalaman yang amat
berharga dalam menghadapi rayuan iblis di dunia.25
(3) Petunjuk-petunjuk keagamaan
Secara
tegas Al-Qur‟an mengemukakan bahwa manusia pertama diciptakan dari
tanah dan ruh Ilahi melalui proses yang tidak dijelaskan rinciannya,
sedangkan reproduksi manusia walaupun dikemukakan tahapan-tahapannya,
namun tahapan tersebut lebih banyak berkaitan dengan unsur tanahnya.
Isyarat yang menyangkut unsur
immaterial ditemukan antara lain dalam uraian tentang sifat-sifat
manusia dan dari uraian tentang fitrah, nafs, qalb dan ruh yang
menghiasi manusia.
Al-Qur‟an menjelaskan bahwa
manusia memiliki fitrah. Fitrah di sini adalah potensi.26 Manusia lahir
membawa kemampuan-kemampuan; kemampuan itulah yang disebut pembawaan.
Sabda Rosulullah SAW:
24 Quraish Shihab, Wawasan Al-qur’an, op. cit, h.283
25 ibid
26 Ahmad Tafsir. Filsafat Pendidikan Islam, op. cit, h. 23
كل ه لٌ دٌ ي لٌذ عل الفطزة فاب اٌه يي دٌانو ا ينصزانو ا يوجسانو
)ر اًه البخار هسلن(
Artinya:
“Tiap-tiap
orang dilahirkan membawa fitrah; ayah dan ibunyalah yang menjadikannya
Yahudi, Nasrani atau Majusi (HR Bukhori dan Muslim).
Fitrah yang disebut dalam hadits
di atas adalah potensi. Potensi adalah kemampuan; jadi fitrah yang
dimaksud disini adalah pembawaan. Ayah dan ibu dalam hadits ini adalah
lingkungan sebagaimana yang dimaksud oleh para ahli pendidikan.
Kedua-duanya (pembawaan dan lingkungan) itulah, menurut hadits tersebut
yang menentukan perkembangan seseorang.27
Pengaruh itu terjadi baik pada
aspek jasmani, akal maupun aspek rohani. Aspek jasmani banyak
dipengaruhi oleh alam fisik (selain oleh pembawaan), aspek akal banyak
dipengaruhi oleh lingkungan budaya (selain oleh pembawaan), dan aspek
rohani dipengaruhi oleh kedua lingkungan itu (selain oleh pembawaan).
Pengaruh-pengaruh itu berbeda tingkat dan kadar pengaruhnya antara
seseorang dengan orang lain.
Lalu apa sebenarnya yang
dimaksud fitrah itu? Dari segi bahasa, kata fitrah terambil dari akar
kata al-fathr yang berarti belahan, dan dari makna ini lahir makna-makna
lain antara lain “penciptaan” atau “kejadian”. 28 Jadi fitrah manusia
adalah kejadiannya sejak semula atau bawaan sejak lahir. Di dalam
Al-Qur‟an diungkapkan:
Artinya:
Maka
hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas)
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak
ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui.29
Merujuk kepada fitrah yang di
atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa manusia sejak asal kejadiaannya
membawa potensi beragama yang lurus, dan dipahami oleh para ulama
sebagai tauhid.
Muncul
pertanyaan, apakah fitrah manusia hanya terbatas pada keagamaan? Jelas
tidak. Masih ada ayat-ayat lain yang membicarakan tentang penciptaan
potensi manusia, walaupun tidak menggunakan kata fitrah, seperti:
Artinya:
Dijadikan indah pada (pandangan)
manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita,
anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan,
binatang-binatang ternak30 dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di
dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (QS. Ali
„Imrân: 14)
Manusia berjalan dengan kakinya
adalah contoh fitrah jasadiyah, sementara menarik kesimpulan melalui
premis-premis adalah fitrah aqliyah. Senang menerima nikmat, dan sedih
bila ditimpa musibah adalah juga fitrah. Jadi fitrah adalah:
الفطزة ى النظام الذ ا جًذه الله ف كل هخل قٌ اًلفطزة الت تخص ن عٌ الانساى
ى ها خلقو الله عليو جسذا عًقلا
29Fitrah
Allah: Maksudnya ciptaan Allah. manusia diciptakan Allah mempunyai
naluri beragama Yaitu agama tauhid. kalau ada manusia tidak beragama
tauhid, Maka hal itu tidaklah wajar. mereka tidak beragama tauhid itu
hanyalah lantaran pengaruh lingkungan.
30 Yang dimaksud dengan binatang ternak di sini ialah binatang-binatang yang Termasuk jenis unta, lembu, kambing dan biri-biri.
Fitrah adalah bentuk dan sistem
yang diwujudkan Allah pada setiap makhluk. Fitrah yang berkaitan dengan
manusia adalah apa yang diciptakan Allah pada manusia yang berkaitan
dengan jasmani, akal dan ruhnya.31
Ahmad Tafsir menjelaskan bahwa Fitrah (potensi) yang dijelaskan oleh Al-Qur‟an antara lain;32
1) Manusia sebagai makhluk sosial, artinya manusia itu membawa sifat ingin bermasyarakat. (QS. Al-Hujurât 13)
2) Manusia sebagai makhluk yang
ingin beragama (QS Al-Mâidah 3; Al-A‟râf 172), karena itu pendidikan
agama dan lingkungan beragama perlu disediakan bagi manusia.
3) Manusia itu mencintai wanita
dan anak-anak, harta benda yang banyak, emas dan perak, kuda-kuda
pilihan (kendaraan sekarang), ternak dan sawah lading (QS. Ali „Imrân:
14)
Nafs
Kata
nafs dalam Al-qur‟an mempunyai aneka makna, sekali diartikan sebagai
totalitas manusia. Secara umum dapat dikatakan bahwa nafs dalam konteks
pembicaraan manusia, menunjuk kepada sisi dalam manusia yang berpotensi
baik dan buruk.
Dalam pandangan Al-Qur‟an, nafs
diciptakan Allah dalam keadaan sempurna untuk berfungsi menampung serta
mendorong manusia berbuat kebaikan dan keburukan, dan karena itu sisi
dalam manusia oleh Al-Qur‟an untuk diberi perhatian lebih besar.33
in Asyur dalam tafsirnya tentang surat A-Rum ayat 30, yang dikutip Quraish Shihab dalam Wawasan Al Qur’an, op. cit, h. 285
Artinya:
Dan
jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan
kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. (QS. Al-Syams: 7-8)
Quraish Shihab menjelaskan bahwa
terdapat perbedaan pengertian kata menurut Al-Qur‟an dengan terminology
kaum sufi, yang oleh Al-Qusyairi dalam risalahnya dinyatakan bahwa nafs
dalam pengertian kaum sufi adalah sesuatu yang melahirkan sifat tercela
dan perilaku buruk. Pengertian kaum sufi ini sama dengan penjelasan
Kamus Besar Bahasa Indonesia yang antara lain menjelaskan arti kata sufi
sebagai dorongan hati yang kuat untuk berbuat kurang baik.34
Walaupun Al-Qur‟an menegaskan
bahwa nafs berpotensi positif dan negatif, namun diperoleh isyarat bahwa
pada hakikatnya potensi positif manusia lebih kuat dari potensi
negatifnya, hanya saja daya tarik keburukan lebih kuat dari daya tarik
kebaikan. Karena itu manusia dituntut agar memelihara kesucian nafs dan
tidak mengotorinya.
“Sesungguhnya beruntunglah orang
yang mensucikan jiwa itu, dan Sesungguhnya merugilah orang yang
mengotorinya.” (Qs. Al-syam 9-10)
Al-Qur‟an juga mengisyaratkan
keanekaragaman nafs serta peringkat-peringkatnya yakni al-nafs
al-lawamah, ammarah dan muthma‟innah. Nafs menampung gagasan dan kemauan
serta banyak hal lainnya bahkan boleh jadi hal-hal yang sudah hilang
dari ingatan pemiliknya.
Apa yang ada dalam nafs dapat
juga muncul dalam mimpi, yang dalam Al-qur‟an pada garis besarnya
terbagi dalam dua bagian pokok. Pertama; dinamainya ru‟ya, dan kedua;
dinamainya adhghatsu ahlam. Yang pertama dipahami sebagai gambaran atau
symbol dari peristiwa yang telah, sedang atau akan dialami dan yang
belum atau tidak terlintas dalam benak yang memimpikannya. Yang kedua
lahir dari keresahan atau perhatian manusia terhadap sesuatu dan hal-hal
yang telah berada di bawah sadarnya.35
Qalb
Kata
qalb berasal dari akar kata yang bermakna membalik karena seringkali ia
berbolak-balik. Qalb amat pberpotensi untuk tidak konsisten. Al-Qur‟an
menggambarkan hal tersebut seperti;
“Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai
akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang Dia menyaksikannya.”
(QS. Qâf: 37)
Pada ayat lain terdapat;
“Allah menjadikan kamu ‘cinta’ kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu” (QS. Al-Hujurât 7)
Dari ayat-ayat di atas terlihat
bahwa qalb adalah wadah dari pengajaran, kasih sayang, takut dan
keimanan. Qalb menampung hal-hal yang disadari oleh pemiliknya. Ini
salah satu perbedaan dengan nafs yang menampung apa yang berada di bawah
sadar atau yang tidak diingat lagi. Membersihkan qalb adalah salah satu
cara untuk memperoleh pengetahuan.
“ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya”36 (QS. Al-Anfâl 24)
Ayat
di atas menjelaskan bahwa Allah menguasai qalb manusia, sehingga mereka
yang merasakan kegundahan dan kesulitan dapat bermohon kepada-Nya untuk
menghilangkan kerisauan dan penyakit qalb yang dideritanya.
“(yaitu) orang-orang yang
beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah.
Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. (QS.
Al-Ra‟d 28)
3. Kedudukan Manusia
Kesatuan
wujud manusia antara fisik dan psikis serta didukung oleh
potensi-potensi yang ada membuktikan bahwa manusia sebagai ahsan
al-taqwim. Dalam hubungannya dengan Pendidikan Islam, menempatkan
manusia pada posisi yang strategis, yaitu:
a. Manusia sebagai makhluk yang mulia
b. Manusia sebagai Khalifah Allah di muka bumi
c. Manusia sebagai makhluk paedagogik
a. Manusia sebagai makhluk yang mulia
Manusia
adalah makhluk yang memiliki potensi untuk beragama sesuai dengan
fitrahnya. Manusia adalah hamba Allah („abd Allah). Esensi dari ketaatan
seorang hamba adalah ketaatan, ketundukan dan kepatuhan terhadap
Tuhannya. Sebagai hamba Allah manusia tidak bisa lepas dari
kekuasaan-Nya karena fitrah untuk beragama.
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan
Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah
menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah
Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui”
(QS. Al-Ruum 30)
Berdasarkan ayat di atas,
menjelaskan bahwa bagaiamana pun primitifnya suku bangsa manusia, mereka
akan mengakui adanya Zat Yang Maha Kuasa di luar dirinya.37 Dengan
demikian, rasa tunduk dan kepatuhan manusia kepada Zat Yang Maha Agung,
merupakan tabiat asli (fitrah) manusia yang dimiliki oleh setiap manusia
sebagai nilai ubudiyah kepada-Nya.
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” (QS. Adz-Dzâriyât 56)
Ayat tersebut menjelaskan bahwa
tugas manusia dalam hidup ini berakumulasi pada tanggung jawab mengabdi
(beribadah) kepada Allah SWT.
b. Manusia sebagai Khalifah Allah di muka bumi
Fungsi kekhalifahan manusia di muka bumi ini, dijelaskan oleh Al-Qur‟an berikut;
Artinya:
Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: “Sesungguhnya aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (QS. Al-Baqarah 30)
Artinya:
Dan
Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia
meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa
derajat” (QS Al-An‟am 165)
Ayat-ayat di atas disamping
menjelaskan kedudukan manusia di alam raya ini sebagai khalifah, juga
memberi isyarat tentang perlunya sikap moral atau etika yang harus
ditegakkan dalam melaksanakan fungsi kekhalifahannya.
Untuk melaksanakan tugasnya
sebagai khalifah, Allah telah memberikan kepada manusia seperangkat
potensi (fitrah) berupa aql, qalb dan nafs. Namun demikian, aktualisasi
fitrah itu tidaklah otomatis berkembang melainkan tergantung pada
manusia itu sendiri. Untuk itu, Allah SWt menurunkan wahyu-Nya kepada
para Nabi dan Rosul, agar menjadi pedoman bagi manusia dalam
mengaktualisasikan fitrahnya secara utuh, selaras dengan tujuan
penciptaanya, sehingga manusia dapat tampil sebagai makhluk Allah yang
tinggi martabatnya.38
Ahmad Hasan Firhat membedakan kedudukan kekhalifahan manusia pada dua bentuk:39
Pertama, khalifah kauniyah.
Dimensi ini mencakup wewenang manusia secara umum yang telah
dianugerahkan Allah SWT untuk mengatur dan memanfaatkan alam semesta
beserta isinya bagi kelangsungan umat manusia di muka bumi. Dalam
konteks ini, wewenang manusia meliputi pemaknaan yang bersifat umum,
tanpa dibatasi oleh agama apa yang mereka yakini. Artinya label
kekhalifahan yang dimaksud diberikan kepada semua manusia sebagai
penguasa alam semesta.
Jika dimensi ini yang dijadikan
standar dalam melihat predikat manusia sebaga khalifah Allah fi al-ardh,
maka akan berdampak negatif bagi kelangsungan kehidupan manusia dan
alam semesta. Manusia dengan kekuatannya akan mempergunakan alam semesta
sebagai konsekuensi kekhalifahannya tanpa control dan melakukan
penyimpangan-penyimpangan dari nilai Ilahiah. Akibatnya keberadaannya di
muka bumi, bukan lagi sebagai pembawa kemakmuran, namun cenderung
berbuat kerusakan dan merugikan makhluk Allah lainnya.
Kedua, khalifah Syar’iyat;
Dimensi ini wewenang Allah yang diberikan kepada manusia untuk
memakmurkan alam semesta. Hanya saja untuk melaksanakan tugas dan
tanggung jawab ini, predikat khalifah secara khusus ditujukan kepada
orang-orang mukmin. Hal ini dimaksudkan agar dengan keimanan yang
dimilikinya, mampu menjadi pilar dan control dalam mengatur mekanisme
alam semesta, sesuai dengan nilai-nilai ilahiyah yang telah digariskan
Allah lewat ajaran-Nya. Dengan prinsip ini, manusia akan senantiasa
berbuat kebaikan dan memanfaatkan alam semesta ini demi kemaslahatan
umat manusia.
c. Manusia sebagai makhluk paedagogik
Makhluk
paedagogik ialah makhluk Allah yang dilahirkan membawa potensi dapat
dididik dan dapat mendidik.40 Manusia adalah makhluk paedagogik, karena
memiliki potensi dapat dididik dan mendidik sehingga mampu menjadi
khalifah di bumi. Manusia dilengkapi dengan fitrah Allah, berupa bentuk
atau wadah yang dapat diisi dengan berbagai kecakapan dan keterampilan
yang dapat berkembang, sesuai dengan kedudukannya sebagai makhluk yang
mulia. Pikiran, perasaan dan kemampuannya berbuat merupakan komponen
dari fitrah itu.
“(tetaplah atas) fitrah Allah
yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan
pada fitrah Allah.” (QS. Al-Rum 30)
Manusia adalah makhluk yang
dapat berpikir, merasa dan bertindak dan terus berkembang. Fitrah inilah
yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Dari sinilah semakin
jelas bahwa manusia adalah makhluk paedagogik. Meskipun demikian, jika
potensi itu tidak dikembangkan, niscaya ia akan kurang bermakna dalam
kehidupan. Oleh karena itu perlu dikembangkan dan pengembangan itu
senantiasa dilakukan dalam usaha dan kegiatan pendidikan. Teori nativis
dan empiris yang dipertemukan oleh Kerschenteiner dengan teori
konvergensinya, telah ikut membuktikan bahwa manusia itu adalah makhluk
yang dapat dididik dan mendidik (paedagogik).41
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu dan Nur Uhbiyati. 1991. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Rineka Cipta.
Al-Ghazali. 1990. Ihya Ulumuddin, (Seluk-Beluk Pendidikan al-Ghazali). Jakarta
Al-Syaibany, Omar Mohammad Al-Toumy. 1979. Falsafah Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang. Cet. IV
Arifin, M. 1989. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi Aksara
Daradjat, Zakiah. 1996. Peranan Agama dalam Kesehatan Mental. Jakarta: Gunung Agung. Cet. XV
_____________. et. al. 1992. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Ditjen Binbaga Islam, Depag.
_____________. 1996. Kesehatan Mental. Jakarta: Gunung Agung. Cet. XXIII
_____________. 1970. Ilmu Djiwa Agama. Djakarta: Bulan Bintang
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Fahmi, Asma Hasan. 1979. Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam. Terjemahan Ibrahim Husen, Jakarta : Bulan Bintang.
Muhammad Ibn Jarîr ath-Thabary. 1954. Jami‟al-Bayân „an Ta‟wil Ay Al-Qur‟ân, XII. Kairo: Mushthâfâ al-Bâbiy al-Halabiy
Munzir Hitami. 2009. Revolusi Sejarah Manusia. Yogyakarta : LKIS Pelangi Aksara.
Nata, Abuddin. 2009. Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran. Jakarta : Prenada Media Group.
Nurcholis Majid. 1991. Islam Kemodern dan Keindonesiaan. (Bandung : Mizan
Shihab, Quraish M. 1998. Wawasan Al-Qur‟an, Tafsir Maudhu‟I atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung : Mizan, Cet. VII
___________. 1994. Membumikan Al-Qur‟an. Bandung: Mizan
Ramayulis. 2010. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Kalam Mulia. Cet. VIII
Tafsir, Ahmad. 2007. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya,cet. VII
___________. 2010. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Remaja RosdaKarya. Cet. IV
___________. 1996. Metodologi Pendidikan Agama Islam. Bandung : Remaja Rosdakarya. Cet. III
___________. 1990. Metodik Khusus Pendidikan Agama Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya.
==============
1 Abuddin Nata. Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran. Jakarta : Prenada Media Group.2009. h. 27
2Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya,cet. VII 2007), h. 34
3 Quraish Shihab. Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat. (Bandung : Mizan, Cet. VII, 1998) h. 277
4 Ibid, h. 278
5 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam. (Jakarta : Kalam Mulia, 2010, cet. VIII). h. 3
6 Ibid
7 Quraish Shihab. Wawasan Al-Qur’an, op. cit. h. 280
8 Ibid, h. 279
9 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, op.cit, h.4
10 Quraish Shihab, Wawasan Al-qur’an, op. cit, h. 279
11 Nurcholis Majid, Islam Kemodern dan Keindonesiaan, (Bandung : Mizan, 1991) h. 63
12 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, op.cit h.6
13 Ibid, h. 4
14 Quraish Shihab, Wawasan Al-qur’an, op. cit, h.280
15 Ibid, h. 281
16 Munzir Hitami. Revolusi Sejarah Manusia. (Yogyakarta : LKIS Pelangi Aksara. 2009) h. 36
17 ibid
18 Muhammad Ibn Jarîr ath-Thabary, Jami’al-Bayân ‘an Ta’wil Ay Al-Qur’ân, XII (Kairo: Mushthâfâ al-Bâbiy al-Halabiy, 1954), h. 28
19 Dimaksud dengan sujud di sini bukan menyembah, tetapi sebagai penghormatan.
20 Munzir Hitami. Revolusi Sejarah Manusia, op. cit, h. 37
21 Ahmad Tafsir. Filsafat Pendidikan Islam. (Bandung: Remaja RosdaKarya, 2010) Cet. IV h.17
22 Ibid
23 Abuddin Nata, Perspektif Islam….., op. cit. h. 34
27Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, op. cit, h. 35
28Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, op.cit, h. 283
32 Ahmad Tafsir. Filsafat Pendidikan Islam, op. cit, h. 23
33 Quraish Shihab, Wawasan Al Qur’an, op. cit, h. 286
34 Ibid
35 Ibid, h. 288
36 Maksudnya: Allah-lah yang menguasai hati manusia
37 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam. Op.cit. h. 8
38 Ibid, h. 10
39 Ibid, h. 11
40 Zakiah Darajat, Ilnu Pendidikan Islam (Jakarta: Ditjen Binbaga Islam Depag, 1992), h.16
41 Ibid, h. 17
Ahmadi, Abu dan Nur Uhbiyati. 1991. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Rineka Cipta.
Al-Ghazali. 1990. Ihya Ulumuddin, (Seluk-Beluk Pendidikan al-Ghazali). Jakarta
Al-Syaibany, Omar Mohammad Al-Toumy. 1979. Falsafah Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang. Cet. IV
Arifin, M. 1989. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi Aksara
Daradjat, Zakiah. 1996. Peranan Agama dalam Kesehatan Mental. Jakarta: Gunung Agung. Cet. XV
_____________. et. al. 1992. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Ditjen Binbaga Islam, Depag.
_____________. 1996. Kesehatan Mental. Jakarta: Gunung Agung. Cet. XXIII
_____________. 1970. Ilmu Djiwa Agama. Djakarta: Bulan Bintang
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Fahmi, Asma Hasan. 1979. Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam. Terjemahan Ibrahim Husen, Jakarta : Bulan Bintang.
Muhammad Ibn Jarîr ath-Thabary. 1954. Jami‟al-Bayân „an Ta‟wil Ay Al-Qur‟ân, XII. Kairo: Mushthâfâ al-Bâbiy al-Halabiy
Munzir Hitami. 2009. Revolusi Sejarah Manusia. Yogyakarta : LKIS Pelangi Aksara.
Nata, Abuddin. 2009. Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran. Jakarta : Prenada Media Group.
Nurcholis Majid. 1991. Islam Kemodern dan Keindonesiaan. (Bandung : Mizan
Shihab, Quraish M. 1998. Wawasan Al-Qur‟an, Tafsir Maudhu‟I atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung : Mizan, Cet. VII
___________. 1994. Membumikan Al-Qur‟an. Bandung: Mizan
Ramayulis. 2010. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Kalam Mulia. Cet. VIII
Tafsir, Ahmad. 2007. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya,cet. VII
___________. 2010. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Remaja RosdaKarya. Cet. IV
___________. 1996. Metodologi Pendidikan Agama Islam. Bandung : Remaja Rosdakarya. Cet. III
___________. 1990. Metodik Khusus Pendidikan Agama Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya.
==============
1 Abuddin Nata. Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran. Jakarta : Prenada Media Group.2009. h. 27
2Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya,cet. VII 2007), h. 34
3 Quraish Shihab. Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat. (Bandung : Mizan, Cet. VII, 1998) h. 277
4 Ibid, h. 278
5 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam. (Jakarta : Kalam Mulia, 2010, cet. VIII). h. 3
6 Ibid
7 Quraish Shihab. Wawasan Al-Qur’an, op. cit. h. 280
8 Ibid, h. 279
9 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, op.cit, h.4
10 Quraish Shihab, Wawasan Al-qur’an, op. cit, h. 279
11 Nurcholis Majid, Islam Kemodern dan Keindonesiaan, (Bandung : Mizan, 1991) h. 63
12 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, op.cit h.6
13 Ibid, h. 4
14 Quraish Shihab, Wawasan Al-qur’an, op. cit, h.280
15 Ibid, h. 281
16 Munzir Hitami. Revolusi Sejarah Manusia. (Yogyakarta : LKIS Pelangi Aksara. 2009) h. 36
17 ibid
18 Muhammad Ibn Jarîr ath-Thabary, Jami’al-Bayân ‘an Ta’wil Ay Al-Qur’ân, XII (Kairo: Mushthâfâ al-Bâbiy al-Halabiy, 1954), h. 28
19 Dimaksud dengan sujud di sini bukan menyembah, tetapi sebagai penghormatan.
20 Munzir Hitami. Revolusi Sejarah Manusia, op. cit, h. 37
21 Ahmad Tafsir. Filsafat Pendidikan Islam. (Bandung: Remaja RosdaKarya, 2010) Cet. IV h.17
22 Ibid
23 Abuddin Nata, Perspektif Islam….., op. cit. h. 34
27Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, op. cit, h. 35
28Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, op.cit, h. 283
32 Ahmad Tafsir. Filsafat Pendidikan Islam, op. cit, h. 23
33 Quraish Shihab, Wawasan Al Qur’an, op. cit, h. 286
34 Ibid
35 Ibid, h. 288
36 Maksudnya: Allah-lah yang menguasai hati manusia
37 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam. Op.cit. h. 8
38 Ibid, h. 10
39 Ibid, h. 11
40 Zakiah Darajat, Ilnu Pendidikan Islam (Jakarta: Ditjen Binbaga Islam Depag, 1992), h.16
41 Ibid, h. 17
Tidak ada komentar:
Posting Komentar