Tampuk kepemimpinan tersebut
kemudian dilanjutkan oleh Abu Bakar, sepeninggal Rasulullah saw.,
sebagai pemimpin pertama pengganti Rasulullah. Tentu ada banyak
perbedaan corak kepemimpinan antara Rasulullah saw. Dengan kepemimpinan
Abu Bakar yang disebabkan semakin heterogennya masyarakat Muslim.
Dinamika sosial yang semakin berwarna lebih terlihat pada masa pemerintahan Umar bin Khattab pengganti Abu Bakar.
Berbagai fondasi kemajuan peradaban Islam diletakkan pada masa
pemerintahan Umar bin Khattab. Makalah ini akan mengkaji tentang
perdaban Islam pada masa pemerintahan dua Khalifah rasyidah tersebut.
II. Abu Bakar Khalifah Rasyidah Pertama (632-634 M/11-13 H)
Abu Bakar as-Shiddiq dilahirkan
di kota Mekkah pada tahun 573 M, kira-kira dua tahun setelah kelahiran
nabi Muhammad SAW. Ayahnya bernama Utsman bin Amar bin La’ab bin Sa’ad
bin Taim bin Murrah bin Ka’ab yang bergelar dengan Abu Quhafah. Dari
silsilah inilah Abu Bakar r.a, baik dari pihak ayahnya maupun ibunya
mempunyai pertalian dengan keluarga nabi Muhammad saw, yang bertemu
silsilahnya pada Murrah bin Ka’ab.[1]
Beliau adalah salah seorang
sahabat Rasulullah saw, yang mempunyai rasa sosial yang tinggi. Beliau
pernah membebaskan tujuh budak muslim yang tersiksa, salah satunya
adalah Bilal, Amir bin Quhairoh dan lain sebagainya. Beliau juga
mempunyai sebuah baitul mal yang berada di Sunh yang selalu ia tempati
sebelum hijrah ke Madinah, kemudian setelah hijrah ke Madinah, beliau
tetap tidak menerima usulan untuk menempatkan penjaga di baitul mal
tersebut. Beliau tetap membiarkannya sebagai temapt terbuka dan
persinggahan bagi orang-orang hingga rumah itu habis isinya. Beliau juga
pernah menginfakkan hartanya sebanyak 4000 dinar untuk kepentingan
Islam, padahal harta itu ia semuanya beliau dapatkan dari usahanya
berdagang.[2]
A. Proses Pengangkatan Abu Bakar r.a
Dalam catatan sejarah,
pengangangkatan Abu Bakar r.a sebagai kahlifah mengalami polemik di
kalangan para sahabat, hal ini diamping bahwa Ali bin Abi Thalib r.a
tidak ikut dalam peristiwa Saqifah, ternyata Ali bin Abi Thalib juga
tidak mau membaiat Abu Bakar hingga enam bulan lamanya.[3]
Dalam proses pemilihannya
terjadi hal-hal yang kurang damai antara kaum Anshor dan Muhajirin. Kaum
Anshor sebagai penduduk asli mengklaim bahwa mereka memiliki lebih
banyak andil dalam menyiarkan Islam dan memiliki sumber daya manusia
yang tidak kalah kualitasnya dibandingkan kaum Muhajirin. Dengan
demikian mereka melakukan musyawarah di suatu tempat di Bani Sai’dah
untuk memilih dan membaiat Sa’id bin Ubaidillah, seorang pemuka dari
suku Khazraj.[4]
Dengan diplomasi dan kerja sama
antara Abu Bakar r.a dan Umar bin Khattab r.a dan Abu Ubaidah bin
Jarrah, maka Umar bin Khattab r.a mengangkat tangan Abu Bakar r.a serta
mengucapkan baiatnya setianya kepada Abu Bakar r.a sebagai pemimpinnya,
lalu hal yang serupa juga dilakukan oleh Ubaidah bin Jarrah. Terobosan
dan spekulasi mereka ini ternyata menghasilkan nilai positif untuk
keberhasilan gagasan mereka dalam mengangkat Abu Bakar r.a sebagai
khalifah.[5]
Abu Bakar r.a kemudian dibaiat
secara umum pada ke-esokan harinya di masjid Nabawi. Pada kesempatan
ini ia mengucapkan pidato pertamanya sebagai khalifah. Maka sejak saat
itu kepimimpinan ummat berada di tangan Abu Bakar r.a dengan gelar
kahlifah Rasulullah (pengganti rasul) yang dalam perkembangan
selanjutnya disebut sebagai khalifah saja. Khalifah adalah pemimpin yang
diangkat sesudah nabi wafat untuk menggantikan beliau melanjutkan
tugas-tugas sebagai pemimpin ada dan kepala pemrintahan.[6]
B. Dinamika Pemerintahan Abu Bakar
1. Dinamika agama.
Ada beberapa gejala yang sungguh
umum yang terjadi tidak lama setelah kematian Muhammad saw. Beberapa
dari kalangan yang bukan Arab Quroisy kemudian menyatakan kemerdekaan
mereka karena menganggap bahwa ketundukan itu hanyalah berlaku kepada
Muhammad saw, sang rasul. Pembangkangan-pembakangan yang terjadi pada
masa Abu Bakar r.a ini juga dibarengi dengan munculnya beberapa orang
yang mengaku sebagai nabi baru dan mendakwakan agama ke kaumnya. Selain
itu juga muncul juga gerakan untuk mogok bayar zakat, dengan anggapan
bahwa zakat itu hanya wajib apabila Muhammad ada.
Masalah kematian Rasulullah saw,
memang telah membawa dampak yang sungguh besar dalam ke-imanan
seseorang kala itu. Krisis ini tidak hanya menerpa mereka yang memang
jauh dari Madinah, atau jauh dari Rasulullah, akan tetapi juga dialami
beberapa sahabat.
Masyarakat muslim kala itu
memang tidaklah se-heterogen bila dibandingkan pada masa selanjutnya,
akan tetapi beberapa elemen penyusun dasar masyarakat sudah mulai
bervariasi. Otomatis tingkat kepatuhan, keyakinan, minat terhadap Islam,
motivasi untuk memeluk agama Islam pada masa Rasulullah pasti
berbeda-beda. Bisa jadi ada yang motivasinya hanyalah penyelamatan diri
dari serangan-serangan Arab, atau juga bisa jadi hanya menghindari
beban upeti kepada mereka.[7]
Kemudian dengan meninggalnya
nabi Muhammad saw, anggapan bahwa zakat tidak perlu lagi dibayar serta
mertapun muncul. Meskipun beberapa kejadian ini mempunyai indikasi lain
yang tidak kalah pentingnya, yakni hanya sebuah usaha agar tidak
membayar pajak, akan tetapi kedoknya adalah benar-benar agama, hingga
mereka yang melancarkan gerakan nabi palsu, mogok zakat dan lain
sebagainya disebut sebagai murtad.[8]
Ada beberapa kelompok yang melakoni gerakan riddah ini, mereka adalah:[9]
- Bani Amir dan Hawazan dan Sulaim.
- Musailamah yang mengaku sebagai nabi baru.
- Penduduk Bahrain.
- Penduduk Oman dan Mahrah.
- Penduduk Yaman dalam dua kali gelombang.
- Penduduk Hadramaut dan Kinda
Abu Bakar sibuk untuk mengurusi
masalah-masalah yang seperti ini yang semuanya berlangsung pada tahun
awal pemerintahannya yakni tahun 11 H, hingga beliau tidak sempat
memikirkan ekspansi ke luar kecuali hanya sedikit, selain memang masa
kepemimpinan beliau memang yang paling singkat dibanding para
penerusnya. Tapi akhirnya Abu Bakar berhasil meredam seluruh gerakan
ini dengan mengirimkan pasukannya. Karena memang riddah dalam keyakinan
ummat Islam adalah harus dibunuh hingga mati atau kembali ke dalam Islam
maka begitu juga dengan perintah Abu Bakar r.a kepada para pemimpin
pasukan.
2. Dinamika Sosial.
Sebenarnya masyarakat muslim,
yang terdiri dari banyak element dan suku terancam hancur persatuannya
pada peristiwa Saqifah. Sejumlah kalangan pengungsi dari Mekkah dan
beberapa klan lemah di Madinah juga beberapa orang yang melepaskan diri
dari klannya bersatu untuk memikirkan suksesi Abu Bakar r.a dan
menghalangi kalan Khazraj untuk memilih pemimpin sendiri karena hal ini
akan sangat rentan dengan munculnya permusuhan di kalangan elit politik
dan masyarakat.[10]
Selain itu dalam beberapa kisah,
yang coba diabaikan beberapa kalangan, disebutkan bahwa terjadi
ketegangan antara bani Hasyim dengan Abu Bakar dan suksesornya Umar bin
Khattab.[11] Dalam beberapa riwayat seperti yang dituturkan oleh
Muhammad Haikal disebutkan bahwa Abu Bakar dan Umar bin Khattab
mendatangi Ali bin Abi Thalib dengan membawa sekelompok pasukan untuk
meminta baiat Ali bin Abi Thalib. Aka tetapi Ali bin Abi Thalib dan
beberapa anggotanya menghadap mereka dengan pedang di tangannya, hingga
terjadi adu fisik antara Ali bin Abi Thalib r.a dan Umar bin Khattab
r.a.[12]
Abu Bakar r.a adalah salah satu
figur yang dihormati oleh masyarakat, selain karena beliau termasuk
sahabat paling dekat dengan nabi, ia juga termasuk salah satu orang yang
paling pertama memeluk Islam dan mertua Rasulullah saw, akan tetapi Ali
bin Abi Thalib r.a sedikitpun tidak kalah wibawanya dibandingkan Abu
Bakar r.a, beliau adalah sepupu nabi, bahkan dalam beberapa riwayat
disebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib adalah orang yang paling pertama
kali masuk Islam, beliau juga adalah menantu Rasulullah saw. Dua figur
yang sangat dihormati di Madinah ini dan mempunyai banyak pendukung
tentu saja melahirkan paling sedikit dua blok masyarakat, yang mendukung
Abu Bakar r.a dan yang mendukung Ali bin Abi Thalib r.a. Tentu saja ini
melahirkan suatu dilema tersendiri bagi masyarakat.
3. Politik.
Kestabilan politik yang telah
dirintis oleh Rasulullah saw, berangsur-angsur memburuk setelah kematian
beliau. Ini terbukti dengan terjadinya beberapa pemberontakan di luar
Madinah, baik itu pemberontakan yang dimotivasi oleh keinginan
melepaskan diri dari kekuasaan Islam ataupun pemberontakan-pemberontakan
yang dilancarkan oleh kaum-kaum murtad.
Selain itu di Madinah, seperti
yang kita sebutkan diatas, muncul dua blok kekuasaan politik, satu pihak
adalah Abu Bakar r.a yang telah diangkat menjadi khalifah, di pihak
lain adalah Ali bin Abi Thalib r.a-yang dalam pandangan beberapa
sarjanawan disebutkan bahwa beliau berpendapat dan disetujui oleh
pengikutnya sebagai orang yang lebih berhak untuk menduduki posisi
kepemimpinan.[13]
Anggapan bahwa Ali bin Abi
Thalib r.a adalah orang yang lebih berhak untuk mendapatkan tampuk
kepemimpinan diawali dengan mengedepankan hadist Ghadir Khum yang
menyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib r.a adalah pewaris nabi Muhammad
saw. Peristiwa Saqifah yang tidak dihadiri oleh Ali bin Abi Thalib r.a
yang kala itu sibuk dengan mengurusi jenazah Rasulullah saw, dimata
beberapa kalangan merupakan awal perampasan kekuasaan dari Ali bin Abi
Thalib r.a. Kesekongkolan antara Umar bin Khattab r.a, Abu Bakar r.a dan
Abu Ubaid bin Jarrah dianggap sebagai salah satu usaha untuk tidak
menggabungkan kepemimpinan politik dan agama pada Bani Hasyim.[14]
Ada banyak versi yang
menceritakan pertikaian politik antara dua blok politik terbesar di
Madinah. Akan tetapi ada juga riwayat yang menafikan pertikaian politik
tersebut, seperti riwayat shahih yang diceritakan oleh at-Thabari.[15]
Selain itu Haikal juga menuturkan bahwa riwayat-riwayat yang menyebutkan
terjadinya pertikaian politik baru muncul jauh sesudah berakhirnya
ke-khalifahan Abu Bakar r.a yakni pada masa Abbasyiah.[16]
a. Stabilitas Negara.
Pada masa pemerintahan Abu Bakar
r.a, tercatat beberapa pemberontakan yang membahayakan bagi kesatuan
negara Islam. Beberapa diantaranya adalah gerakan-gerakan riddah yang
muncul tidak lama setelah kematian Rasulullah saw.
Pemberontakan-pemberontakan itu bisa dilatari beberapa alasan baik
alasan politik, ekonomi ataupun agama. Beberapa pemberontakan dan
gerakan yang mengancam stabilitas negara itu dapat kita sebutkan sebagai
berikut:[17]
1. Pemberontakan Thulaihah yang mengklaim dirinya sebagai nabi sebelum wafatnya Rasulullah saw.
2. Pemberontakan Sajjah dan Malik bin Nuwairoh di dari Yamamah.
3. Perang Yamamah, dan Musailamah yang menyebut dirinya sebagai nabi.
4. Gerakan riddah di Baharain.
5. Gerakan riddah di Omman dan Muhrah.
6. Gerakan riddah di Hadramaut dan Kindah.
Semua gerakan riddah dan pemberotakan ini berhasil diredamkan baik dengan peperangan ataupun tidak.
b. Ekspansi.
Meskipun Abu Bakar r.a tidak
banyak melakukan perluasan daerah kekuasaan, akan tetapi beliau berhasil
menaklukkan beberapa wilayah:[18]
1. Penaklukkan Iraq, seperti Mahdhor, Ullais, Nahrud Dain, Anbar dan Ain Tamar oleh Khalid bin Walid (12 H).
2. Penaklukkan Syam oleh Khalid bin Walid (13 H), yang sebelumnya telah ditekan oleh Khalid bin Sa’id bin Ash.
Dua penaklukan ini adalah
penaklukan besar yang terjadi pada masa Abu Bakar r.a meskipun
sebenarnya Syam berhasil ditaklukkan pada masa awal pemerintahan Umar
bin Khattab r.a.
c. Kebijakan Politik Abu Bakar r.a
Dalam perjalanan Abu Bakar r.a,
beliau telah menetapkan beberapa kebijakan dalam politik, beberapa
kebijakan penting beliau selain menumpas pemberontakan dan melakukan
ekspansi adalah:
1. Menjadikan Hirroh sebagai pusat militer untuk penyerangan selanjutnya ke Syam.
2. Menaklukkan daerah-daerah yang berpeluang untuk membantu melawan Kaisar.
3.
Menempatkan Khalid bin Sa’id bin Ash dan pasukannya sebagai
pasukan cadangan di Taima, yakni perbatasan wilayah kekuasaan negara
Islam dengan Syam. Tekanan-tekanan yang diberikan oleh Khalid bin Sa’id
te;ah memberikan Kontribusi besar dalam penaklukkan Syam, meskipun
akhirnya mereka kalah.
4. Pemindahan baitul mal dari Sunuh ke Madinah.
5. Mengurusi janda-janda perang di Madinah.
6. Pengangkatan al-Mutsanna bin Haritsah menggantikan Khalid bin Walid di Iraq.
7.
Penunjukan Umar bin Khattab r.a sebagai penggantinya sebagai
Khalifah. Beberapa pendapat mengatakan bahwa beliau menghawatirkan
keadaan akan menjadi kritis lagi bila seorang pemimpin tidak menunjuk
orang yang akan menggantikannya.
8. Mengampuni beberapa kepala pemberontak.
Selain itu beliau juga
mengangkat beberapa orang sebagai pemerintah di kota-kota tertentu. Abu
Bakar r.a mengangkat Umar bin Khattab r.a menjadi hakim di Madinah, Abu
Ubaidah menjadi pengurus baitul mal, Ali bin Abi Thalib r.a, Utsman bin
Affan dan Zaid bin Tsabit sebagai sekretaris, Uttab bin Usaid sebagai
amir kota Mekkah, Utsman bin Abi al-Ash sebagai amir di Thaif,
al-Muhajir bin Abi Umayyah di Shun’a, Ziyad bin Lubaid di Hadramaut, Abu
Musa di Zubaid dan Rima’, Muadz bin Jabal di Jund, al-Ala’ bin
al-Hadramiy di Bahrain, Jarir bin Abdullah di Najran, Abdullah bin Tsaur
di Jurasy, Iyadh bin Ghanm di Daumatuljandal, Khalid bin Walid sebagai
jendral besar pemimpin pasukan penakluk Syam.[19]
4. Intelektual.
Sedangkan dalam bidang
intelektual Abu Bakar r.a, kebijakan yang paling terkenal adalah
pengumpulan Alquran al-Karim setelah perang Yamamah. Gagasan untuk
mengumpulkan Alquran al-Karim ini sebenarnya datang pertama kali dari
Umar bin Khattab r.a, karena ia melihat banyaknya para penghapal Alquran
yang meninggal dalam peperangan terutama pada peperangan Yamamah
Pada mulanya Abu Bakar r.a
merasa ragu untuk menjalankan gagasan tersebut, karena Rasulullah saw,
sendiri tidak pernah melakukan hal tersebut. tetapi setelah berembuk
dengan para sahabat lain iapun memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk
mengumpulkan dan menuliskan Alquran.
Beliau juga merupakan orang
pertama yang memisahkan pemerintahan pusat dengan lembaga peradilan,
meskipun mungkin dalam tahap sederhana. Kepala pemerintahan sendiri
dipegang oleh Abu Bakar r.a, sedangkan Qadhi Madinah adalah Umar bin
Khattab yang berada dibawah kepala pemerintahan.
C. Kontribusi Pemerintahan Abu Bakar.
Selain beberapa kontribusi yang
telah kita sebutkan diatas seperti perluasan daerah, pemulihan
stabilitas negara dan lain sebagainya, pemerintahan Abu Bakar r.a juga
telah memberikan Kontribusi lain untuk kepentingan pemerintahan Islam
selanjutnya.
Sebenarnya, salah satu
keberhasilan Rasulullah saw. dalam kepemimpinannya adalah mengganti
sistem politik bangsa Arab yang dahulunya terpecah belah di bawah
naungan klan. Seseorang tidak bisa mengklaim bahwa dirinya adalah
seorang yang merdeka bila ia tidak bernaung dibawah sebuah klan.
Kemudian Rasulullah saw. menggantikan sistem ini dengan kesatuan politik
yang bernama Ummah, yakni kesatuan seluruh ummat Islam.[20]
Sedangkan pada masa Abu Bakar
r.a, kesatuan politik bangsa-bangsa Arab yang terpecah belah dibawah
beberapa kekuasan politik telah dirancang untuk disatukan dibawah
kekuasaan negara Islam. Kesatuan ini menjadi sistem pemerintahan negara
yang oleh bangsa Arab sebelumnya tidak diperhatikan.
Selain itu, Abu Bakar r.a juga
telah merintis sistem pengmbilan keputusan dengan keputusan syura. Lain
halnya dengan Rasulullah saw. yang keputusannya adalah mutlak karena
memang beliau menjadi wadah penerima wahyu. Pada pengambilan
keputusan-keputusan genting, beliau sering memanggil orang-orang yang
menurutnya berkompeten untuk didengar pendapatnya, yakni pada saat itu
adalah sahabat-sahabat Rasulullah saw. dengan begitu beliau telah mulai
merintis pembangunan dasar-dasar pemerintahan imperium Islam.[21]
D. Kematian Abu Bakar r.a
Setelah menderita sakit demam
selama lima belas hari akhirnya Abu Bakar r.a meninggal dunia pada hari
senin, 21 Jumadil Akhir 13 H (22 Agustus 634 M) pada usia 63 tahun.
Riwayat yang paling kuat mengenai sebab sakitnya beliau adalah riwayat
yang berasal dari putrinya yang menyebutkan bahwa beliau sering mandi
malam. Sedangkan pemerintahan beliau berjalan selama dua tahun tiga
bulan dan sepuluh malam.[22]
Selama sakitnya beliau tidak
bisa mengimami shalat jama’ah hingga beliau digantikan oleh Umar bin
Khattab r.a. selain itu juga beliau selalu memikirkan perkara ummat
Islam yang akan ia tinggalkan. Beberapa motivasi dan penyebab
mendorongnya untuk menunjuk orang yang menggantikannya setelah
berbincang-bincang dengan para sahabat besar lainnya, yang membulatkan
tekad beliau untuk menunjuk Umar bin Khattab r.a sebagai penggantinya.
Ada berapa hal yang mungkin
sangat berpengaruh terhadap keputusan Abu Bakar r.a untuk memilih
sendiri orang yang akan menggantikannya. Salah satunya adalah
perdebatan yang pernah terjadi di Saqifah Bani Saidah setelah Rasulullah
saw. meninggal dunia, selain itu juga masukan-masukan positif tentang
Umar bin Khattab r.a dari sahabat-sahabat besar lainnya.[23]
Di lain pihak, Jafri menuturkan
bahwa penunjukan ini juga salah satu bentuk penghalangan Ali bin Abi
Thalib r.a dari posisi ke-khalifahan. Sangat tidak mengherankan bila
Umar bin Khattab r.a tidak memilih Ali bin Abi Thalib r.a yang tidak mau
membaiatnya hingga lima hingga enam bulan pemerintahannya. Tentu saja
Umar bin Khattab r.a yang juga merupakan pioner pengangkatan Abu Bakar
r.a sebagai khalifah pada peristiwa Saqifah akan mendapatkan
kepercayaan Abu Bakar r.a untuk menjadi khalifah.
Menurut Jafri bahwa penghalangan
Ali bin Abi Thalib r.a dari ke-kahlifahan berlanjut pada masa
pemerintahan Umar bin Khattab r.a, yakni ketika beliau memilih enam
orang sahabat sebagai ahlul hilli wal aqdi yang bertugas untuk
menentukan penggantinya, akan tetapi keputusan akhir diberikan kepada
Abdurrahman bin Auf yang merupakan sahabat dekat Utsman bin Affan.
Selain itu juga oleh Abdurrahman bin Auf juga menyaratkan kesanggupan
untuk mengikuti tata cara (sunnah) Rasulullah saw. dan dua orang
pendahulunya dalam menjalankan pemerintahan. Tentu saja Ali bin Abi
Thalib r.a tidak akan menyanggupinya,yang lain halnya dengan Utsman yang
menyatakan bahwa ia akan menyanggupi syarat tersebut.[24]
Terlepas dari yang manakah
pendapat yang paling mendekati kebenaran, paling tidak kita mengetahui
beberapa perbedaan pendapat dalam masalah ini.
III. Umar bin Khattab Khalifah Ke-Dua (634-644 M/13-24 H)
Beliau adalah Umar bin Khattab
bin Nufail bin Abdul Uzza. Salah satu gelar pujian beliau
adalah al-Faruq (elang) yang diberikan oleh Rasulullah saw. kepada
beliau.[25] Beliau dilahirkan empat tahun sebelum kelahiran Rasulullah
saw. Umur beliau adalah 63 tahun dan beberapa bulan.[26]
A. Proses Pengangkatan Umar bin Khattab.
Seperti yang telah kita sebutkan
diatas bahwa Umar bin Khattab r.a diangkat dan dipilih sendiri oleh Abu
Bakar r.a untuk menggantikannya dalam ke-khalifahan. Oleh Abdul Wahhab
an-Nujjar, cara pengangkatan seperti ini disebut dengan thariqul ahad,
yakni seorang pemimpin yang memilih sendiri panggantinya setelah
mendengar pendapat yang lainnya, barulah kemudian dibaiat secara
umum.[27]
Pada masa pemerintahan Abu Bakar
r.a, sang khalifah dipanggil dengan sebutan khalifah Rasulullah.
Sedangkan pada masa pemerintahan Umar bin Khattab r.a, mereka disebut
dengan Amirulmu’minin. Sebutan ini sendiri diberikan oleh rakyat kepada
beliau. Salah satu sebab penggantian ini hanyalah makna bahasa, karena
bila Abu Bakar r.a dipanggil dengan khalifah Rasulullah (pengganti
Rasulullah), otomatis penggantinya berarti khalifah khalifah Rasulullah
(pengganti penggantinya Rasulullah), dan begitulah selanjutnya,
setidaknya begitulah menurut Haikal. Selain itu karena wilayah kekuasaan
Islam telah meluas, hingga ke daerah-daerah yang bukan daerah Arab,
yang tentu saja memerlukan sistem pemerintahan yang terperinci,
sementara ia tidak mendapatkan sistem pemerintahan terperinci dalam
Alquran al-Karim dan sunnah nabi, karena itu ia menolak untuk dipanggil
sebagai khalifatullah dan khalifah Rasulullah. [28]
Terdapat perbedaan dalam proses
pengangkatan Abu Bakar dan Umar, bila Abu Bakar dipilih oleh beberapa
wakil kalangan elit masyarakat, Umar dipilih dan ditunjuk langsung oleh
Abu Bakar untuk menggantikannya. Ada beberapa faktor yang mungkin sangat
berpengaruh terhadap penunjukan langsung ini:
1. kemungkinan besar Abu
Bakar khawatir akan terjadi perpecahan dalam tubuh ummat Islam bila
pemilihan diserahkan kepada masyarakat seperti yang hampir terjadi pada
dirinya.
2. bagaimanapun juga, Umar adalah suksessor Abu Bakar dalam pemilihan menjadi Khalifah.
3.
sementara beberapa pendapat lain mengatakan bahwa ke-khawatiran
Abu Bakar akan terpilihnya Ali bin Abi Thalib memotivasi dirinya untuk
memilih langsung penggantinya.[29]
B. Dinamika Pemerintahan Umar bin Khattab.
1. Agama.
Penaklukan-penaklukan yang
terjadi pada masa Umar menyebabkan orang ramai-ramai memeluk agama
Islam[30] namun meskipun demikian tentu tidak ada paksaan terhadap
mereka yang tidak mau memeluknya. Maka masyarakat saat itu adalah
masyarakat majemuk yang terdiri dari berbagai agama, dan hal ini tentu
saja berpengaruh tehadap masyarakat Islam, mereka mengenal ajaran-ajaran
selain Islam seperti Nasrani, Yahudi, Majusi Shabiah dan lainnya.
Masyarakat muslim otomatis akan belajar toleransi terhadap pemeluk agama
lainnya, dan kemajemukan beragama seperti ini akan kondusif untuk
melahirkan faham-faham baru dalam agama yang positif maupun negatif
meskipun pada masa Umar bin Khattab r.a belum ada cerita tentang
munculnya faham seperti ini.
Selanjutnya kehomogenan rakyat
negara juga tentu saja akan menuntut suatu prinsip-prinsip agama yang
fleksibel, yang mudah difahami, karena rakyat tidak hanya terbentuk dari
orang-orang Arab, akan tetapi juga beberapa bangsa lainnya seperti
Persia yang telah dahulu mengenal agama selain Islam, juga bangsa Afrika
yang sebelumnya tidak mengenal Islam. Maka sesuatu yang esensial dari
agama Islampun otomatis harus ditemukan agar bisa diaplikasikan pada
kehidupan orang-orang selain bangsa selain Arab.
Meskipun begitu aktivitas ini
tidak terlalu menonjol, karena memang mayoritas masa pemerintahan Umar
bin Khattab r.a dihabiskan untuk melakukan ekspansi-ekspansi. Kebanyakan
praktek-praktek agama yang dibawa oleh mayoritas pasukan Islam yang
berbangsa Arab adalah paduan antara praktek-praktek dan prinsip Islam
dengan praktek dan hukum adat orang-orang pada umumnya.[31]
2. Dinamika Sosial.
Keadaan sosial juga mulai
berubah, perubahan-perubahan ini sangat terlihat pada masyarakat yang
hidup diwilayah taklukan-taklukan Islam, mereka mengenal adanya kelas
sosial meskipun Islam tidak membenarkan hal itu. Tetapi
kebijakan-kebijakan tentang pajak, hak dan kekayaan yang terlalu jauh
berbeda telah menciptakan jurang sosial, ditambah lagi bahwa memang
sebelum datangnya Islam mereka telah mengenal kelas sosial ini.
Seperti kebijakan pajak yang berlaku pada masa Umar bin Khattab telah membagi masyarak kepada dua kelas, yaitu:
a. Kelas wajib pajak: buruh, petani dan pedagang.
b. Kelas pemungut pajak: pegawai pemerintah, tentara dan elit masyarakat.[32]
Hal ini akan menjadikan rakyat cenderung untuk menjadi tentara sebagai profesi.
Meskipun pajak itu memang
digunakan untuk kepentingan sosial seperti pembangunan sarana-sarana
sosial tapi pajak itu tetap lebih banyak dirasakan oleh elit masyarakat
dan penakluk. Pada masa Umar hak atas properti rampasan perang,
posisi-posisi istimewa diberikan kepada pembesar-pembesar penakluk.[33]
Meskipun Umar adalah orang yang sangat sederhana, lain dengan
sahabat-sahabatnya yang mempunyai kekayaan, seperti:
a. Zubair yang mempunyai kekayaan sampai 50.000.000. dirham.
b. Abdur Rahman bin Auf mewariskan 80.000-100.000 dirham.
c. Sa’ad Ibn Waqqash yang punya villa di dekat Madinah.
d. Thalhah yang mempunyai 2.200.000 dirham dan 200.000 dinar juga lahan safiyah seharga 30.000.000.dirham.[34]
Terlepas apakah itu harta yang
hak atau tidak, tentu akan membuat iri masyarakat terutama mantan-mantan
aristokrat Mekkah yang kebanyakan adalah Bani Umayyah. Pemerintahan
pusat mengirimkan gubernur, hakim dan lain-lain ke wilayah taklukan,
dengan begitu daerah-daerah yang tadinya hanya merupakan pedesaan
berubah menjadi kota yang padat penduduknya dan memiliki mobilitas
sosial dan ekonomi yang tinggi.[35] Pembangunan-pembangunan
infrastruktur berkisar pada jalan raya, irigasi dan bendungan, masjid
dan benteng.[36]
3. Dinamika Ekonomi.
a. Perdagangan, Industri dan Pertanian.
Meluasnya daerah-daerah taklukan
Islam yang disertai meluasnya pengaruh Arab sangat berpengaruh pada
bidang ekonomi masyarakat saat itu. Banyak daerah-daerah taklukan
menjadi tujuan para pedagang Arab maupun non Arab, muslim maupun non
muslim, dengan begitu daerah yang tadinya tidak begitu menggeliat mulai
memperlihatkan aktifitas-aktifitas ekonomi, selain menjadi tujuan para
pedagang juga menjadi sumber barang dagang. Maka peta perdagangan saat
itupun tentu berubah seperti Isfahan, Ray, Kabul, Balkh dan lain-lain.
Sumber pendapatan rakyatpun
beragam mulai dari perdagangan, pertanian, pengerajin, industri maupun
pegawai pemerintah. Industri saat itu ada yang dimiliki oleh perorangan
ataupun negara atau daerah untuk kepentingan negara,[37]
industri-industri ini adalah seperti industri rumah tangga yang mengolah
logam, industri pertanian, pertambangan dan pekerjaan-pekerjaan umum
pemerintah seperti pembangunan jalan, irigasi, pegwai pemerintah dan
lain-lain.
Pembangunan irigasi juga sangat
berpengaruh dalam pertanian, perkebunan-perkebunan yang luas yang
dimiliki oleh perorangan maupun negara atau daerah banyak menghasilkan,
lahan-lahan seperti ini adalah hasil rampasan perang yang sebagian
menjadi milik perorangan.[38]
b. Pajak.
Seluruh hal-hal diatas tentu
saja akan berpengaruh terhadap pajak. Pajak saat itu ditetapkan
berdasarkan profesi, penghasilan dan lain-lain. Sistem pajak yang
diberlakukan di suatu daerah pada dasarnya adalah sistem yang dipakai di
daerah itu sebelum ditaklukkan. Seperti di Iraq yang diberlakukan
sistem pajak Sasania. Tapi kalau daerah itu belum mempunyai satu sistem
pajak yang baku, maka sistem pajak yang diberlakukan adalah hasil
kompromi elit masyarakat dan penakluk. Yang bertugas mengumpulkan pajak
tersebut adalah elit masyarakat yang selanjutnya diserahkan kepada
pemerintah daerah untuk diserahkan ke pemerintah pusat.[39]
Pajak yang ditanggung oleh masyarakat adalah :
1) Pajak jiwa, pajak ini
berdasar jumlah masyarakat dan dipikul bersama. Yang bertugas melakukan
penghitungan adalah tokoh masyarakat juga.
2)
Pajak bumi dan bangunan, tanah wajib pajak adalah seluas 2400 m2
jumlahnya tergantung pada kualitas tanah, sumber air, jenis pertanian,
hasil pertanian dan jarak ke pasar.[40]
4. Dinamika Politik dan Adminstrasi.
Serangkaian penaklukan bangsa
Arab dipahami secara populer dimotivasi oleh hasrat akan terhadap harta
rampasan perang, dan termotivasi oleh agama yang tidak menganut
keyakinan tentang bangsa yang terpilih, layaknya Yahudi. Salah satu
prinsip agama Islam adalah menyebarkan ajarannya kepada orang lain,
lain halnya dengan Yahudi yang menganggap bangsanyasendirilah yang
terpilih dan menganggap bangsa lain adalah domba-domba yang sesat.[41]
Keyakinan inipun otomatis juga berpengaruh kepada lancarnya beberapa
ekspansi pada masa Umar bin Khattab r.a.
Motivasi apapun yang terlibat di
dalam beberapa penaklukan tersebut, semuanya merupakan perluasan yang
telah terencana dengan baik oleh pemerintahan Umar bin Khattab r.a,
meskipun sebagian kecilnya berlangsung secara kebetulan.
Beberapa wilayah yang akan
ditaklukkan dilihat dari kesuburan tanahnya, kestrategisannya dalam
dunia perdagangan dan kestrategisannya untuk menjadi basis-basis
penaklukan berikutnya. Seperti kota Mesir yang ditaklukkan, kota ini
merupakan lumbung besar bagi Kostantinopel, selain itu kota ini juga
dengan Hijaz, pelabuhan yang sangat penting dan agar bisa menjadi basis
penaklukan selanjutnya ke Afrika.
Kostantinopel mulai mengalami
kekalahan dalam peperangannya dengan pasukan-pasukan muslim setelah
Mesir jatuh ketangan negara Islam. Sedangkan untuk menaklukkan Sasania,
pasukan muslim tidaklah mengalami kesulitan, karena selain dari sisi
kekuatan politis imperium ini yang telah melemah dan hancurnya
adiministrasi, juga hubungan baik antara negara-negara kecil yang
sebelumnya merupakan wilayah kekuasaan mereka, juga karena Iraq telah
jatuh ke tangan pasukan muslim, pada masa sebelumnya.
Selain itu, beberapa alasan yang
mendukung keberhasilan serangkaian penaklukan ini adalah tidak
terjalinnya hubungan baik antara pemerintah dengan rakyat. Dalam
beberapa kasus hal ini sungguh penting, karena orang-orang Kristen Arab
yang merupakan bagian imperium yang ditaklukkan lebih menerima dan
bergabung dengan pasukan muslim. Lebih jauh lagi migrasi orang-orang
Arab badui juga ikut menjadi alasan keberhasilan ini.
Untuk tujuan mengorganisasi
orang-orang Badui ini, dan agar tidak membuat masalah kepada penduduk
lokal, maka Umar bin Khattabpun membangun beberapa mishr. Mishr ini
menjadi basis tempat orang-orang badui. Selain itu juga mishr-mishr ini
juga berperan sebagai basis-basis militer dengan tujuan penaklukan
selanjutnya.
Beberapa kampung-kampung militer
terbesar yang dibangun pada masa Umar bin Khattab adalah Bashrah yang
bertujuan untuk mempermudah komunikasi dengan Madinah, ibu kota negara
dan juga menjadi basis penaklukan menuju Iran Selatan. Kufah dibangun
untuk menjadi basis pemerintahan untuk administrasi untuk Iraq Utara
Mesopotamia dan bagian Timur dan Utara Iran.
Selain menjadi basis militer dan
pemerintahan, amshar juga menjadi pusat distribusi dan administrasi
pajak. Dengan begitu sistem yang diterapkan oleh Umar bin Khattab adalah
sistem desentralisasi. Gaji para pasukan yang diambil dari pajak, upeti
dan zakat dibayarkan melalui pusat-pusat administrasi ini. [42]
Pemerintahan Umar bin Khattab
pada dasarnya tidak memaksakan sebuah sistem administrasi baru di
wilayah taklukan mereka. Sistem adaministrasi yang berlaku adalah
kesepakatan antara pemerintah dengan elit lokal wilayah tersebut. Dengan
begitu, otomatis tidak ada kesamaan administrasi suatu wilayah dengan
wilayah lainnya. Tampaknya hal ini tidaklah menjadi masalah penting pada
saat itu.
a. Ekspansi-Ekspansi Pemeritahan Umar bin Khattab.
Adapun rangkaian penaklukan yang terjadi pada masa Umar bin Khattab adalah:[43]
1. Penaklukkan Syam (13 H),
meskipun memang awal serangan dimulai pada masa Abu Bakar, akan tetapi
kota ini baru bisa ditaklukkan pada masa awal pemerintahan Umar bin
Khattab. Penaklukan ini dipimpin oleh Khalid bin Walid, yang kemudian
dipecat oleh Umar bin Khattab r.apada hari kemenangannya.
2. Penaklukkan Damasqus oleh Abu Ubaidah yang diteruskan ke Baalbek, Homs dan Hama (13 H).
3. Yerussalem (638).
4. Caesaria (640) yang berlanjut ke Selatan Syiria, Harran, Edessa dan Nabisin.
5.
Mesir oleh Amr bin Ash (641 H/20 H) termasuk Heliopolis dan
Babylonia, sedangkan Alexandria baru ditaklukkan pada tahun (643).
6. Syiria ditaklukkan pada perang Qadisiyah (637 M/14 H).
7.
serangkaian penaklukan lainnya adalah Mosul (641 M/16 H), Nihawan,
Hamadazan (21 H), Rayy (22 H), Isfahan dan kota-kota Utama Iran Barat
(644 M), Khurasan (22 H).
8. Pasukan lainnya menguasai Ahwaz (Khuzistan) (640 M/17 H).
9. Sijistan dan Kerman (23 H)
Maka wilayah kekuasaan Umar bin
Khattab pada saat itu meliputi: benua Afrika hingga Alexandria, Utara
hingga Yaman dan Hadramaut, Timur hingga Kerman dan Khurasan, Selatan
hingga Tabristan dan Haran.
b. Kebijakan Politis dan Administratif.
1. Ekspansi dan penaklukkan.
2. Desentralisasi administrasi.
3. Pembangunan fasilitas-fasilitas umum, seperti Masjid, jalan dan bendungan.
4. Pemusatan kekuatan militer di amshar-amshar.
5. Memusatkan para sahabat di Madinah, agar kesatuan kaum muslimin lebih terjaga.
6. Aktivitas haji tahunan sebagai wadah laporan tahunan para gubernur terhadap khalifah.[44]
7. Membangun kota Kufah dan Bashrah.
8. Pemecatan Khalid bin Walid dari kepemimpinannya.
9. Pembentukan beberapa jawatan:
a. Diwan al-Kharaj (jawatan pajak) yang bertugas mengelola administrasi pajak negara.
b.
Diwan al-Ahdats (jawatan kepolisian) yang bertugas memlihara
ketertiban dan menindak pelaku penganiayaan untuk kemudian diadili di
pengadilan.
c. Nazarat an-Nafi’at (jawatan pekerjaan umum) yang bertanggung jawab oelaksanaan pembangunan fasilitas-fasilitas umum.
d. Diwan al-Jund (jawatan militer) yang bertanggung jawab atas pengelolaan administrasi ke-tentaraan.
e.
Baitul Mal sebagai lembaga perbendaharaan negara yang bertanggung
jawab atas pengelolaan kas negara. Beberapa tugasnya adalah memberikan
tunjangan (al-‘atha) yang merata kepada seluruh rakyat secara merata
baik sipil maupaun militer, tapi tentu saja tunjangan ini tidak sama
jumlahnya.[45]
f. Menciptakan mata uang resmi negara.
g. Membentuk ahlul hilli wal aqdi yang bertugas untuk memilih pengganti khalifah.
5. Dinamika Intelektual.
Selain dari menetapkan tahun
hijriah yang dihitung dari sejak berhirahnya nabi Muhammad saw. ke
Madinah, pada masa Umar bin Khattab r.a juga tercatat ijtihad-ijtihad
baru. Beberapa sebab-sebab munculnya ijtihad baru di masa awal Islam
berkataitan dengan Alquran maupun sunnah.
Di dalam Alquran al-Karim pada
saat itu sudah mulai ditemukan kata-kata yang musytarak, makna lugas dan
kiasan, adanya pertentangan nash, juga makna tekstual dan makna
kontekstual. Sedangkan tentang sunnah itu sendiri, karena ternyata para
sahabat tidak mempunyai pengetahuan yang merata tentang sunnah nabi,
karena kehati-hatian para sahabat untuk menerima suatu riwayat,
terjadinya perbedaan nilai hadist, dan adanya sunnah yang bersifat
kondisional.[46]
Selain beberapa alasan diatas,
tentu saja faktor lainnya ikut mewarnai beberpa kemunculan ijtihad pada
masa Umar bin Khattab, seperti faktor militer, yakni dengan meluasnya
wilayah kekuasaan Islam, faktor sosial yang semakin heterogennya rakyat
negara Islam, dan faktor ekonomi.
Berapa ijtihad beliau pada saat
itu adalah keputusan bahwa mua’llaf tidak mendapatkan zakat, padahal di
salah satu ayat dikemukakan bahwa mereka berhak mendapatkan zakat.[47]
Akan tetapi Umar bin Khattab berpendapat bahwa hal ini juga dilakukan
Rasulullah saw. pada masa Islam masih lemah.
Pada kasus lain adalah tentang
pemotongan tangan bagi pencuri.[48] Pada beberapa kasus ternyata Umar
bin Khattab r.a tidak melaksanakan hukuman ini, terutama pada masa musim
kemarau yang berkepanjangan pada tahun 18 H, dimana mereka hampir
kehabisan bekal makanan. Selain itu dalam beberapa kisah dikatakan bahwa
dua orang budak telah terbukti mencuri unta, akan tetapi Umar bin
Khattab r.a tidak menjatuhinya hukum potong tangan karena alasan bahwa
mereka mencuri karena kelaparan, sebagai gantinya beliau membebankan
ganti harga dua kali lipat dengan barang yang mereka curi.[49]
Ijtihad Umar b. Khattab ini,
yang berbasis atas keberanian intelektual selanjutnya berpengaruh kepada
dua mazhab besar dalam memutuskan hukum, yakni ahl ra’yi yang berbasis
di Baghdad dan ahl hadist yang berbasis di Madinah. Keberanian Umar ini
menjadikannya sebagai contoh dan imam tauladan bagi para penganut mazhab
ahl ra’yi, yang kemudian pada tingkat yang lebih besar dipimpin oleh
Abu Hanifah, sementara ahl hadist lebih mencontoh Abdullah putra Umar b.
Khattab, yang selanjutnya dipimpin oleh Imam Malik di Madinah.
Dalam bidang peradilan, Umar bin
Khattab r.a juga terkenal dengan risalah qodhonya, yakni surta yang
berisi hukum acara peradilan meskipun masih sederhana. Surat ini ia
kirimkan kepada Abu Musa al-Asy’ari yang menjadi qadhi di Kufah.[50]
Dalam mata kuliah Sistem Peradilan Islam dan yang semacamnya, surat Umar
bin Khattab ini dipandang sebagai hukum acara pengadilan tertulis
pertama dalam Islam.
C. Akhir Pemerintahan: Kematian Umar bin Khattab r.a
Banyak keputusan-keputusan baru
yang harus diambil oleh oleh khalifah ke-II Umar Bin Khattab (634-644
M). Penyebaran agama Islampun dilaksanakan seiring dengan perluasan
wilayah Islam. Banyak orang yang takluk dibawah Islam memeluknya sebagai
agama meskipun ada sebahagian dari mereka yang membenci Islam ataupun
bangsa Arab yang merupakan penjajah. Umar memerintah dengan tegas dan
disiplin, rakyat maupun pegawainya akan dihukum bila terbukti bersalah.
Pada akhir pemerintahannya timbul gejala-gejala ketidakpuasan terhadap
kebijakan-kebijakannya yang disuarakan pertama kalinya oleh mereka yang
membeci Islam ataupun bangsa Arab. Hal yang paling menonjol adalah
pembagian hasil rampasan perang yang dinilai tidak adil. Tetapi hingga
akhir hayatnya tidak ada yang berani mengutarakan secara
terang-terangan.
Benarkah terjadi ketidak-puasan
terhadap pemerintahan Umar bin Khattab, bisa jadi benar. Salah satu
bukti yang menunjukkan hal tersebut adalah pembunuhan Umar bin Khattab
sendiri, beliau dibunuh Abu Lu’luah, seorang Nasrani. Ia megutarakan
keberatannya atas pajak yang ia nilai terlalu besar untuknya yang
berprofesi sebagai tukang kayu, pelukis, dan pandai besi, ia harus
membayar dua dirham setiap hari. Akan tetapi meskipun Umar bin Khattab
r.a mendengar keluhannya, beliau tidak mengurangi pajak tersebut karena
kabarnya ia juga akan membuka penggilan tepung dengan angin.
Abu Lu’luah ternyata berlalu
dengan rasa tidak puas dengan keputusan beliau, hal ini disimpulkan dari
jawabannya atas keputusan Umar bin Khattab r.a: “kalau begitu
bekerjalah untukku dengan penggilingan itu!”, yang kemudian dijawab:
“kalau kamu selamat maka aku akan bekerja untukmu”. Tiga hari kemudian
ia berhasil membunuh beliau.[51]
Akan tetapi bila hanya bukti ini
yang diajukan untuk mengutarakan bahwa akhir pemerintahan Umar bin
Khattab r.a terjadi beberapa ketidak-puasaan terhadapa kebijaksaanan
beliau, maka itu terlalu dilebih-lebihkan. Tapi meskipun begitu, memang
faktanya ada yang merasa tidak puas dengan Umar bin Khattab r.a.
Beliau meninggal pada umur 63 tahun. Adapun ke-khalifahannya berjalan selama 10 tahun, 6 bulan dan 8 hari.
Ada indikasi yang menyatakan
bahwa perseturuannya dengan Ali bin Abi Thalib r.a mulai memudar-kalau
memang mereka berseteru-, yakni Umar bin Khattab r.a menikahi salah satu
putri Ali bin Abi Thalib r.a yakni Ummi Kaltsum, selain itu Ali bin Abi
Thalib r.a adalah salah seorang yang turun ke makam beliau, lain halnya
ketika Fathimah binti Rasulullah meninggal dunia, baik Abu Bakar r.a
dan Umar bin Khattab r.a tidak datang kepemakamannya atau ketika Abu
Bakar r.a meninggal dunia dimana Ali bin Abi Thalib r.a tidak datang
kepemakamannya.[52]
Beberapa pendapat mengatakan
bahwa salah salah satu usaha untuk meredakan perseteruannya dengan Bani
Hasyim adalah dengan mengangkat para pemuka Bani Hasyim sebagai pemimpin
pasukan dan mengirimkannya ke medan perang, agar mereka tidak terlalu
memikirkan siapakah sebenarnya yang berhak untuk menjadi khalifah,
disamping beliau juga memang menikahi putri Ali bin Abi Thalib r.a.
D. Kontribusi Pemerintahan Umar bin Khattab.
Sepanjang sejarah khilafah
rasyidah, ekspansi terluas yang pernah tecapai adalah pada masa Umar bin
Khattab r.a. Pada saat beliau meninggal kekuasaannya telah mencapai
Alexandria, Najran, Kerman, Khurasan, Rayy, Tabriz dan seluruh Syiria.
Selain itu dalam bidang
administrasi, beliau banyak mengadaptasi sistem-sistem pemerintahan dari
Sasania, Kostantinopel dan Bizantium. Hal ini memang akibat
persentuhannya dengan tiga imperium besar tersebut, dan juga akibat
meluasnya wilayah kekuasaan yang memerlukan suatu pengaturan yang lebih
rapi.
Mata uang resmi demi memudahkan administrasi negarapun ditetapkan. Selain itu juga sistem tahun hijriah juga beliau tetapkan.
Dalam bidang hukum, beliau juga
telah menetapkan qadi-qadi di setiap wilayah, dan juga menetapkan hukum
acara peradilannya. Selain itu, Umar bin Khattab r.a adalah orang yang
terkenal dengan kekritisannya, banyak munjul ijtihad-ijtihad beliau pada
masa pemerintahannya. Peta Jazirah Arab,[53] kekuasaan Umar bin Khattab
r.a berujung di Alexandria, Najran, Kerman, Sijistan, Khurasan, Rayy,
Tabriztan, Armenia, hingga Syiria.
IV. Penutup.
Masa pemerintahan Abu Bakar r.a
adalah masa transisi dari kepemimpinan seorang rasul yang mendapat
bimbingan wahyu dan mempunyai keabsulatan keputusan mutlak kepada
seorang sahabat biasa. Maka masa pemerintahan beliau ini diwarnai dengan
pemberontakan-pemberontakan dan geraka-gerakan riddah di beberapa
wilayah.
Kesulitan dalam menumpas semua
gerakan yang merongrong kestabilan negara telah menarik perhatian dan
waktu Abu Bakar r.a, hingga tidak bisa berbuat banyak dalam urusan
perluasan wilayah, disamping umur pemerintahan beliau yang relatif
singkat. Akan tetapi masa transisi ini adalah salah satu masa terpenting
dalam sejarah Islam, karena inilah masa pertama dimana kepemimpinan
negara Islam diambil oleh seorang yang bukan rasul, dan mereka (Abu
Bakar r.a dan rakyatnya) berhasil dengan gemilang.
Setelah masa transisi ini
berhasil dilalui, dan keamanan sudah relatif lebih tenang, maka khalifah
selanjutnya, Umar bin Khattab r.a, bisa lebih leluasa untuk memikrkan
perluasan wilayah. Dalam sepuluh tahun pemerintahannya beliau berhasil
menaklukkan beberapa wilayah-wilayah penting bagi beberapa imperium
besar. Selain itu juga beliau telah berhasil meletakkan sistem
administrasi negara, hukum, dan politik yang mapan untuk ukuran saat
itu. Semoga Allah SWT menunjuki kita untuk bisa mengkaji sejarah yang
lebih dekat kepada faktanya. Amien.
Sistem Pemerintahan Abu Bakar dan Umar bin Khattab Oleh: Daulat P. Sibarani, |
Daftar Pustaka dan Footnote
Footnote
[1] Harun Nasution, e.d, Ensikopedi Islam di Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992), h. 34.
[2] Ibn Atsir, Al-Kamil Fi At-Tarikh (Beirut: Daar Ashwar, 1965), jil. II, h. 422.
[3] Husain Haikal, Abu Bakar al-Shiddiq, terj. Abdul Kadir Mahdawi (Solo: Pustaka Mantiq, 1994), h. 54.
[4] Abu Ja’far, Tarikh at-Thabari, jil. III, h. 218. lihat juga K. Ali, Study of Islamic Story (Delhi: Idarah Adabiyah, 1980), h. 81.
[5] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, terj. Ghufron, bag. I dan II (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999), h. 57
[6] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), h. 35.
[7] Ira M. Lapidus menyatakan bahwa itulah tujuan umum dari munculnya gerakan-gerakan ini. Ira, Sejarah Sosial, h. 57.
[8] Baik oleh Ibnu Atsir dan At-Thabari gerakan ini disebut Riddah, lih. Ibnu Atsir, al-Kamil, h.576. dan Abu Ja’far, Tarikh, h. 230.
[9] Ibnu Atsir, al-Kamil, h. 342-378.
[10] Ira, Sejarah, h. 56.
[11] Husein Muhammad Haikal, Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq, terj. Abdul Qadir Mahdamy (Solo: Pustaka Mantiq, 1994), h. 71. lihat juga S.H. M Jafri, Dari Saqifah Sampai Imamah, terj. Kieraha (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), h. 95.
[12] Ibid. S.H.M. Jafri juga menuliskan cerita yang sama, Dari Tsaqifah, h. 100.
[13] Haikal, Abu Bakar, h. 71. juga Jafri, Dari Tsaqifah, h. 95.
[14] Jafri, ibid.
[15] Abu Ja’far, Tarikh Thabari, h. 218.
[16] Haikal, Abu Bakar, h. 76.
[17] Ibnu Atsir, al-Kamil, h. 342-378.
[18] Ibid, h. 402.
[19] Ibnu Atsir, al-Kamil, h. 420.
[20] Ira, Sejarah Sosial, h. 29.
[21] Haikal, Abu Bakar, h. 329.
[22] Ibnu Atsir, al-Kamil, h. 419.
[23] Haikal, Abu Bakar r.a, h. 347.
[24] Jafri, Dari Saqifah, h. 95.
[25] Abu Ja’far, Tarikh At-Thabari (Daar Maarif: Kairo, 1963), jil. IV, h. 195.
[26] Ibn Atsir, Al-Kamil Fi At-Tarikh (Beirut: Daar Ashwar, 1965), jil. III, h. 53.
[27] Abdul Wahhab al-Nujjar, al-Khulafa’ ar-Rasyidun (Beirut: Daar al-Qalam, 1986), h. 23.
[28] Haikal, Abu Bakar r.a, h. 329.
[29] S. H. M. Jafri, Dari Saqifah Sampai Imamah, terj. Kieraha (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), h. 39.
[30] Ira.M.Lapidus, Sejarah, h. 37.
[31] Marshall Hodgson, The Venture Of Islam (Chicago: Chichago University Press, 1974)
jil. I, h. 328, lihat juga Joseph Schacht, An Introduction To Islamic Law (Inggris: Oxford Press, 1971), h. 17.
[32] Ibid. hal 45.
[33] Ibid. hal 55
[34] Khuda Bakhsh, Politic In Islam, Idarah Adabiyah Delli, India, 1975. hal 12.
[35] Ira.M.Lapidus, Sejarah Sosial, hal 45.
[36] Ibid.hal 45.
[37] Abul Hasan An-Nadwi, Kehidupan Nabi Muhammad,terj Yunus Ali Muhdhar, (Semarang : as-Syifa, 1992), hal 577.
[38] Khuda Bakhsh, Politics, hal 29.
[39] Ira.M.Lapidus, Sejarah Sosial, h. 67.
[40] ibid. hal 44.
[41] Marshall, The Venture, h. 315.
[42] Ira, Sejarah Sosial, h. 63.
[43] Abu Ja’far, Tarikh at-Thabari (Kairo: Daar Ma’arif, 1973), jil. IV, h. 112.
[44] Abul A’la al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan (Jakarta: Mizan, 1996), h. 124.
[45] Amiur Nuruddin, Ijtihad Umar bin Khattab (Jakarta: Rajawali Press, 1991), h.128.
[46] ibid, h. 118.
[47] Qs at-Taubah: 60.
[48] Qs al-Maidah: 38.
[49] Amiur Nuruddin, Ijtihad, h. 151.
[50] Hasbiy as-Shidqi, Sejarah Peradilan Islam (Jakarta: PN Bulan Bintang, 1970), h. 26.
[51] Ibnu Atsir, al-Kamil, jil. IV, h. 50.
[52] Ibid.
[53] Peta ini dikutip dari Jere L. Bacharah, A Middle East Studies Handbook (London: London University Pres, 1974), h. 91.
Daftar Pustaka
Ali, K, Study of Islamic Story. Delhi: Idarah Adabiyah, 1980.
Atsir, Ibn, Al-Kamil Fi At-Tarikh, jil. II. Beirut: Daar Ashwar, 1965
________, Al-Kamil Fi At-Tarikh, jil. III. Beirut: Daar Ashwar, 1965.
Bacharah, Jere L, A Middle East Studies Handbook. London: Universty Of Washington Press, 1974.
Bakhsh, Khuda, Politics In Islam. India: Idarah Adabiyah Delli, 1975.
Haikal, Husain, Abu Bakar al-Shiddiq, terj. Abdul Kadir Mahdawi. Solo: Pustaka Mantiq, 1994.
Hodgson, Marshall, The Venture Of Islam, jil. I. Chicago: Chichago University Press, 1974.
Jafri, S.H. M, Dari Saqifah Sampai Imamah, terj. Kieraha. Bandung: Pustaka Hidayah, 1997.
Ja’far, Abu, Tarikh at-Thabari, jil. III,. Daar Maarif: Kairo, 1963.
_________, Tarikh at-Thabari, jil. IV. Daar Maarif: Kairo, 1963.
Lapidus, Ira M., Sejarah Sosial Ummat Islam, terj. Ghufron, bag. I dan II. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999.
Maududi, Abul A’la, Khilafah dan Kerajaan. Jakarta: Mizan, 1996.
Nadwi, Abul Hasan, Kehidupan Nabi Muhammad,terj Yunus Ali Muhdhar. Semarang : as-Syifa, 1992.
Nasution, Harun, e.d, Ensikopedi Islam di Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1992.
Nujjar, Abdul Wahhab, al-Khulafa’ ar-Rasyidun. Beirut: Daar al-Qalam, 1986.
Nuruddin, Amiur, Ijtihad Umar bin Khattab. Jakarta: Rajawali Press, 1991.
Schacht, Joseph, An Introduction To Islamic Law. Inggris: Oxford Press, 1971.
Shidqi, Hasbiy, Sejarah Peradilan Islam. Jakarta: PN Bulan Bintang, 1970.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000.
Footnote
[1] Harun Nasution, e.d, Ensikopedi Islam di Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992), h. 34.
[2] Ibn Atsir, Al-Kamil Fi At-Tarikh (Beirut: Daar Ashwar, 1965), jil. II, h. 422.
[3] Husain Haikal, Abu Bakar al-Shiddiq, terj. Abdul Kadir Mahdawi (Solo: Pustaka Mantiq, 1994), h. 54.
[4] Abu Ja’far, Tarikh at-Thabari, jil. III, h. 218. lihat juga K. Ali, Study of Islamic Story (Delhi: Idarah Adabiyah, 1980), h. 81.
[5] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, terj. Ghufron, bag. I dan II (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999), h. 57
[6] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), h. 35.
[7] Ira M. Lapidus menyatakan bahwa itulah tujuan umum dari munculnya gerakan-gerakan ini. Ira, Sejarah Sosial, h. 57.
[8] Baik oleh Ibnu Atsir dan At-Thabari gerakan ini disebut Riddah, lih. Ibnu Atsir, al-Kamil, h.576. dan Abu Ja’far, Tarikh, h. 230.
[9] Ibnu Atsir, al-Kamil, h. 342-378.
[10] Ira, Sejarah, h. 56.
[11] Husein Muhammad Haikal, Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq, terj. Abdul Qadir Mahdamy (Solo: Pustaka Mantiq, 1994), h. 71. lihat juga S.H. M Jafri, Dari Saqifah Sampai Imamah, terj. Kieraha (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), h. 95.
[12] Ibid. S.H.M. Jafri juga menuliskan cerita yang sama, Dari Tsaqifah, h. 100.
[13] Haikal, Abu Bakar, h. 71. juga Jafri, Dari Tsaqifah, h. 95.
[14] Jafri, ibid.
[15] Abu Ja’far, Tarikh Thabari, h. 218.
[16] Haikal, Abu Bakar, h. 76.
[17] Ibnu Atsir, al-Kamil, h. 342-378.
[18] Ibid, h. 402.
[19] Ibnu Atsir, al-Kamil, h. 420.
[20] Ira, Sejarah Sosial, h. 29.
[21] Haikal, Abu Bakar, h. 329.
[22] Ibnu Atsir, al-Kamil, h. 419.
[23] Haikal, Abu Bakar r.a, h. 347.
[24] Jafri, Dari Saqifah, h. 95.
[25] Abu Ja’far, Tarikh At-Thabari (Daar Maarif: Kairo, 1963), jil. IV, h. 195.
[26] Ibn Atsir, Al-Kamil Fi At-Tarikh (Beirut: Daar Ashwar, 1965), jil. III, h. 53.
[27] Abdul Wahhab al-Nujjar, al-Khulafa’ ar-Rasyidun (Beirut: Daar al-Qalam, 1986), h. 23.
[28] Haikal, Abu Bakar r.a, h. 329.
[29] S. H. M. Jafri, Dari Saqifah Sampai Imamah, terj. Kieraha (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), h. 39.
[30] Ira.M.Lapidus, Sejarah, h. 37.
[31] Marshall Hodgson, The Venture Of Islam (Chicago: Chichago University Press, 1974)
jil. I, h. 328, lihat juga Joseph Schacht, An Introduction To Islamic Law (Inggris: Oxford Press, 1971), h. 17.
[32] Ibid. hal 45.
[33] Ibid. hal 55
[34] Khuda Bakhsh, Politic In Islam, Idarah Adabiyah Delli, India, 1975. hal 12.
[35] Ira.M.Lapidus, Sejarah Sosial, hal 45.
[36] Ibid.hal 45.
[37] Abul Hasan An-Nadwi, Kehidupan Nabi Muhammad,terj Yunus Ali Muhdhar, (Semarang : as-Syifa, 1992), hal 577.
[38] Khuda Bakhsh, Politics, hal 29.
[39] Ira.M.Lapidus, Sejarah Sosial, h. 67.
[40] ibid. hal 44.
[41] Marshall, The Venture, h. 315.
[42] Ira, Sejarah Sosial, h. 63.
[43] Abu Ja’far, Tarikh at-Thabari (Kairo: Daar Ma’arif, 1973), jil. IV, h. 112.
[44] Abul A’la al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan (Jakarta: Mizan, 1996), h. 124.
[45] Amiur Nuruddin, Ijtihad Umar bin Khattab (Jakarta: Rajawali Press, 1991), h.128.
[46] ibid, h. 118.
[47] Qs at-Taubah: 60.
[48] Qs al-Maidah: 38.
[49] Amiur Nuruddin, Ijtihad, h. 151.
[50] Hasbiy as-Shidqi, Sejarah Peradilan Islam (Jakarta: PN Bulan Bintang, 1970), h. 26.
[51] Ibnu Atsir, al-Kamil, jil. IV, h. 50.
[52] Ibid.
[53] Peta ini dikutip dari Jere L. Bacharah, A Middle East Studies Handbook (London: London University Pres, 1974), h. 91.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar