Peranserta, untuk tidak menyebut
prakarsa, masyarakat Muslim Indonesia dalam pendidikan dan perguruan
keagamaan sangat signifikan dan bahkan sangat dominan. Sepanjang sejarah
pendidikan Islam di kawasan ini, Masyarakat Muslim dalam skala yang
tetap besar bukan hanya berperan serta-artinya ikut “nimrung”-tetapi
bahkan mengambil posisi terdepan dalam pendirian, pengembangan dan
pemberdayaan pendidikan keagamaan.
Tuntutan pengembangan sumber
daya manusia dari waktu ke waktu semakin meningkat. Oleh karena itu
layanan pendidikan harus mampu mengikuti perkembangan tersebut. Selain
keluarga dan sekolah, masyarakat memiliki peran tersendiri terhadap
pendidikan. Peran dominan orang tua pada saat anak-anak dalam masa
pertumbuhan hingga menjadi orang tua. Dan pada masa tersebut orang tua
harus mampu memenuhi kebutuhan pokok seorang anak. Sedangkan peran pada
pendewasaan dan pematangan individu merupakan peran dari kelompok
masayarakat.
Menurut Al-Syaibani, masyarakat
dalam pengertian yang paling sederhana ialah kumpulan individu dan
kelompok yang di ikat oleh kesatuan Negara, kebudayaan dan agama.
Termasuk segala jalinan hubungan yang timbal balik, kepentingan
bersama,adat kebiasan, pola-pola, teknik-teknik, syistem hidup,
undang-undang,institusi dan segala segi dan phenomena yang di rangkum
oleh masyarakat dalam pengertian luas dan baru.
Masyarakat merupakan kelompok
sosial terbesar dalam suatu negara. Selain di dalam lingkungan keluarga
dan lingkungan sekolah, pendidikan juga dapat berlangsung di dalam
lingkungan masyarakat. Pendidikan di dalam lingkungan masyarakat
tentunya berbeda dengan pendidikan yang terjadi pada lingkungan keluarga
dan sekolah. Masyarakat yang terdiri dari individu-individu dalam suatu
kelompok masyarakat tidak dapat dipisahkan antara yang satu dan yang
lainnya dalam sebuah mata rantai kehidupan.
Bukan hal yang asing, bila kita
seringkali mendengar semboyan ini: Pendidikan adalah tanggung jawab
bersama antara pemerintah, orang tua, dan masyarakat. Tetapi pada
kenyataannya, sampai saat ini, peran serta masyarakat masih belum
maksimal. Walaupun sekarang semua sekolah telah membentuk Komite Sekolah
yang pada prinsipnya merupakan wakil masyarakat dalam membantu sekolah,
namun belum berfungsi dan berperan sebagaimana yang diharapkan. Karena
itu kaitan masyarakat dan pendidikan dapat ditinjau dari tiga segi yaitu
:
- Masyarakat sebagai penyelenggara pendidikan baik dilembagakan maupun tidak dilembagakan
- Lembaga-lembaga masyarakat atau kelompok sosial masyarakat baik langsung maupun tidak langsung mempunyuai peranan dan fungsi edukatif.
- Dalam masyarakat tersedia berbagai sumber belajar, baik yang dirancang maupun tidak dirancang dan dimanfaatkan.
Masyarakat adalah kumpulan
individu dan kelompok yang diikat dalam kesatuan negara, kebudayaan, dan
agama yang memiliki cita-cita,peraturan-peraturan dan sistem kekuasaan
tertentu. Sedangkan partisipasi masyarakat merupakan keikutsertaan
masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan hasil dan
evaluasi program pembangunan. Hal itu sesuai pula dengan hak masyarakat
dalam pendidikan yaitu mereka dapat berperan serta dalam perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi program pendidikan.
Masyarakat adalah sistem sosial
yang di dalamnya unit-unit melakukan saling hubungan dalam memberi aksi
dan reaksi terhadap setiap peristiwa. Setiap aksi-reaksi masyarakat
merupakan respon sekaligus stimulan bagi munculnya inovasi dan
transformasi dalam masyarakat itu sendiri. Proses tranformasi terjadi
dalam struktur sosial melalui proses komunikasi baik langsung, maupun
tidak langsung. Proses komunikasi itu kemudian memberikan warna terhadap
perubahan cara pandang dan budaya masyarakat melalui agen perubahan.
Agen perubahan adalah masyarakat itu sendiri. Ia adalah subyek sekaligus
obyek dari perubahan yang terjadi di dalam.
Selama ini penyelenggaraan
partisipasi masyarakat di Indonesia terbatas pada keikutsertaan anggota
masyarakat dalam implementasi atau penerapan program-program
pembangunan. Hal ini dipahami sebagai upaya mobilisasi untuk kepentingan
pemerintah dan negara. Dalam implementasi partisipasi masyarakat,
seharusnya anggota masyarakat merasa bahwa tidak hanya menjadi objek
dari kebijakan pemerintah namun harus dapat mewakili masyrakat itu
sendiri dengan kepentingan mereka. Perwujudan partisipasi masyarakat
dapat dilakukan secara individu atau kelompok, spontan atau
terorganisir, secara berkelanjutan atau sesaat.
B. Definisi operasional dan Pembatasan Masalah
Ada beberapa definisi operasional yang penulis maksud dalam pembahasan makalah ini, antara lain:
Peranan adalah proses aktif dan
inisiatif yang muncul dari masyarakat, yang dapat terwujud sebagai suatu
kegiatan nyata apabila terpenuhi oleh tiga faktor pendukungnya, yaitu :
adanya kemauan. kemampuan dan kesempatan. Masyarakat adalah masyarakat
muslim, yakni kelompok warga negara Indonesia non pemerintah yang
mempunyai perhatian dan peranan dalam pendidikan
Pendidikan agama adalah pendidikan agama Islam terutama di sekolah formal maupun non formal.
Selanjutnya, pembahasan dalam makalah ini akan difokuskan pada rumusan pertanyaan sebagai berikut:
1. Mengapa masyarakat perlu berperan dalam pendidikan agama;
2. Apakah yang mendasari peran serta masyarakat dalam pendidikan agama?
3. Apakah bentuk peran serta masyarakat dalam meningkatkan pendidikan agama?
C. Dasar-dasar Peranan Masyarakat dalam Pendidikan Agama
Diantara dasar-dasar yang menjadi landasan peranan masyarakat dalam meningkatkan kualitas pendidikan agama adalah:
1. Tanggung jawab individu masyarakat
Al-Syaibany yang dikutip oleh
Zakiyah Daradjat mengemukakan sebagai berikut: “diantara ulama muktahir
yang menyentuh persoalan tanggung jawab adalah Abbas Mahmud Al-Akkad
yang menganggap rasa tanggung jawab sebagai salah satu ciri pokok bagi
manusia pada pengertian al-Qur’an dan Islam, sehingga dapat ditafsirkan
manusia sebagai “Makhluk yang bertanggung Jawab”. Sebagaimana dalam
Alqur’an,
Allah berfirman : Q.S. Ath.-Thur 21
وَالَّذِينَ آمَنُوا
وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ
ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ كُلُّ
امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ (٢١)
dan orang-orang yang beriman,
dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami
hubungkan anak cucu mereka dengan mereka , dan Kami tiada mengurangi
sedikitpun dari pahala amal mereka. tiap-tiap manusia terikat dengan apa
yang dikerjakannya.(QS. 52.Ath-Thuur: 21)
Allah berfirman: QS. At-Tahrim, 66 : 6
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلائِكَةٌ غِلاظٌ شِدَادٌ
لا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ (٦)
“Hai orang-orang yang beriman,
peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya
adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras,
dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada
mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. 66.
At-Tahrim: 6)
Sekalipun Islam menekankan
tanggung jawab perseorangan dan pribadi bagi manusia dan menganggapnya
sebagai asas, ia tidaklah mengabaikan tanggung jawab sosial dan
menjadikan masyarakat solidaritas, berpadu dan kerjasama membina dan
mempertahankan kebaikan. Semua anggota masyarakat memikul tanggung jawab
membina, memakmurkan, memperbaiki, dan memerintahkan yang ma’ruf
melarang yang mungkar dimana manusia memiliki tanggung jawab manusi
melebihi perbuatan-perbuatannya yang khas, perasaannya,
pikiran-pikirannya, keputusan-keputusannya dan maksud-maksudnya,
sehingga mencakup masyarakat tempat ia hidup dan alam sekitar yang
mengelilinginya. Islam tidak membebaskan manusia dari tanggung jawab
tentang apa yang berlaku pada masyarakatnya dan apa yang terjadi di
sekelilingnya atau terjadi dari orang lain. Terutama jika orang lain itu
termasuk orang yang berada dibawah perintah dan pengawasannya seperti
istri, anak dan lain-lain.
Allah berfirman :QS. Ali Imran, 3 : 110
كُنْتُمْ خَيْرَ
أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ
عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ
لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ
الْفَاسِقُونَ (١١٠)
kamu adalah umat yang terbaik
yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah
dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab
beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang
beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik (QS. 3. Ali
Imran : 110)
Dengan demikian jelaslah bahwa
tanggung jawab dalam Islam bersifat perseorangan dan sosial sekaligus.
Selanjutnya siapa yang memiliki syarat-syarat tanggung jawab ini tidak
hanya bertanggung jawab terhadap perbuatannya orang-orang yang berada
dibawah perintah, pengawasan, tanggungannya dan perbaikan masyarakatnya.
Ini berlaku saat diri pribadi, istri, bapak, guru, golongan,
lembaga-lembaga pendidikan pemerintah.
2. UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003
Reformasi yang dilakukan oleh
pemerintah dewasa ini adalah lebih mengedepankan peran serta masyarakat
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka dengan berlakunya Undang
Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional berubah
pulalah pengaturan tentang peran serta masyarakat dalam dunia
pendidikan. Pasal 54 Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa:
- Peranserta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi pengusaha dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan.
- Masyarakat dapat berperanserta sebagai sumber pelaksana dan pengguna hasil pendidikan. Sedangkan pasal 56 menyatakan:
Masyarakat berperan dalam
peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan,
pengawasan dan evaluasi program pendidikan melalui dewan pendidikan dan
komite sekolah/madrasah.
Dewan
Pendidikan sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam
peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan,
arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana serta pengawasan
pendidikan pada tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota yang tidak
mempunyai hubungan hirarkhie.
Komite sekolah/madrasah, sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan
dalam peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan, arahan
dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan
pada tingkat satuan pendidikan.
D. Tantangan Pendidikan Agama
Sebelum menjelaskan tentang
peranan masyarakat dalam peningkatan pendidikan agama, ada baiknya
diketahui terlebih dahulu tentang apa yang menjadi tantangan pendidikan
agama. Sehingga peranan yang dimainkan oleh masyarakat tersebut pada
gilirannya sekaligus menjadi solusi terhadap berbagai persoalan yang
saat ini tengah dihadapi pendidikan agama. Diantara persoalan-persoalan
tersebut adalah:
a. Krisis moral-akhlak
Memperhatikan
kenyataan merosotnya akhlak sebagian besar bangsa kita, tentunya
penyelenggara pendidikan agama beserta para guru agama dan dosen agama
tergugah untuk merasa bertanggung jawab guna meningkatkan kualitas
pelaksanaan pendidikan agama agar mampu membantu mengatasi kemerosotan
akhlak yang sudah parah itu.
Pendidikan agama adalah termasuk
pendidikan nilai. Pendidikan nilai apapun tidak mudah menanamkannya ke
dalam pribadi anak didik, karena banyak faktor yang mempengaruhinya,
baik faktor penunjang maupun faktor penghambat. Sebagai contoh, ada
seorang anak yang di dalam rumah mendapat pendidikan yang baik karena
kebetulan bapak-ibunya guru. Tetapi di luar rumah, dia mempunyai kawan
yang nakal, yang sering mengajaknya main judi dan melihat film porno.
Kalau kebetulan mereka menang dalam judi, mereka bersenang-senang ke
tempat mesum. Bapak-ibunya tidak tahu kelakuan anaknya yang
sesungguhnya.
Keberhasilan pendidikan tidak
dapat diandalkan pada pendidikan formal di sekolah saja, tetapi
diharapkan adanya sinkronisasi dengan pendidikan di luar sekolah, yaitu
pendidikan dalam keluarga (informal) dan masyarakat (nonformal).
Pengaruh faktor luar sekolah terhadap pendidikan ini merupakan masalah
yang serius pada dewasa ini. Misalnya, para siswa di sekolah dididik
menjadi anak yang jujur, tetapi kenyataan dalam masyarakat, mereka
menjumpai perilaku suap-menyuap, korupsi, pungli, dan selingkuh
merajalela.
Di sekolah mereka dididik
berbusana sopan dan menjauhi minuman keras, tetapi dalam tayangan
televisi ataupun perilaku turis asing yang datang ke Indonesia banyak
yang berpakaian mempertontonkan aurat dan minuman keras merupakan
kebiasaan mereka sehari-hari.
Perlu diingat, kemerosotan
akhlak tidak dapat dicarikan kambing hitamnya dengan menyatakan, bahwa
hal itu karena pelaksanaan pendidikan agama di sekolah yang kurang
berhasil. Mengapa? Karena, kemerosotan akhlak bangsa disebabkan oleh
banyak faktor, seperti pengaruh globalisasi, krisis ekonomi, sosial,
politik, budaya, dan lain-lain. Misalnya, karena terjadinya krisis
ekonomi menyebabkan banyak orang sulit mencari sesuap nasi.
Akhirnya mereka nekat mencuri,
menipu, memeras, menggarong, melacur, dan lain-lain. Contoh lain, karena
pengaruh globalisasi, orang ingin mencontoh gaya hidup mewah, maka
karyawan atau pegawai rendah pun ingin bisa memiliki kendaraan bermotor.
Akhirnya mereka berupaya mencari uang dengan cara apapun asal bisa
memiliki kendaraan bermotor.
Kiranya perlu kita sadari pula
bahwa merebaknya kenakalan remaja, perkelahian antar pelajar terutama di
kota-kota besar, munculnya “premanisme” dan berbagai bentuk kejahatan
lainnya merupakan tantangan bagi para pendidik, tokoh masyarakat, guru
agama, dan kita semua.
Tetapi kita juga ingin
menegaskan bahwa dalam menghadapi kasus-kasus kejahatan tersebut
guru-guru agama tidak dapat dipersalahkan begitu saja atau dijadikan
“kambing hitam”. Guru Agama tidak dapat dipersalahkan secara pukul rata
lantaran ada kejahatan, tidak berakhlak, brutal, alkoholis, berkelahi
dan bersikap kurangajar! Banyak faktor lain yang lebih dominan dalam
pembentukan perilaku dan watak mereka. Karenanya kita menolak kalau ada
pihak yang menilai bahwa semakin “merebaknya“ kejahatan dan kenakalan
remaja itu merupakan indicator kuat terhadap kegagalan pendidikan agama
disekolah-sekolah. Tetapi meski demikian kita juga tidak boleh bersikap
apatis sambil berkata: “apa yang terjadi, terjadilah!
”Tokoh-tokoh Islam, Ulama’ dan
guru-guru agama kiranya tetap menaruh rasa prihatin dan perlu proaktif
untuk ikut menangulangi kejahatan dan kenakalan remaja dan premanisme
tersebut. Perlu kita sadari juga, bahwa para preman, remaja dan pelajar
yang suka berkelahi, anak-anak yang suka mabuk-mabukan, mereka yang
melakukan kejahatan di kota-kota besar, sebagian besar berasal dari
keluarga muslim, baik dari kalangan yang berada maupun dari kalangan
yang tidak punya. Tetapi sekali lagi, hal tersebut bukan indikator
kegagalan atau merosotnya kualitas penghayatan dan pengamalan keagamaan
umat Islam Indonesia.
b. Disorientasi fungsi keluarga
Fungsi
keluarga yang dikenal sebagi tempat pendidikan utama dan pertama,
nampaknya saat ini sudah berubah seiring dengan era globalisasi dalam
setiap lini kehiduapan. Fungsi keluarga yang semula menjadi basecamp
pendidikan pertama bagi anggota keluarga (anak, ibu dan bapak), saat ini mulai bergeser ke luar, yakni bisa berpindah ke lingkungan sekolah dan masyarakat.
Ibu yang sering disebut sebagai
“madrosatul ula” saat ini sudah banyak yang berkerja, berprofesi di luar
rumah. Sehingga pada gilirannya anggota keluarga, terutama anak-anak
sering menjadi korban, kurang terperhatikan, terutama dalam kebutuhan
psikologisnya, tingkat kedekatan dan kasih sayangnya. Akhirnya mereka
banyak yang sering melampiaskan kegiatannya di luar rumah, dan
terjerumus ke jurang kenistaan dan kehinaan.
c. Lemahnya learning society
Seiring dengan era globalisasi,
dimana sikap individualitas semakin menguat dan gaya interaksi antar
individu tersebut sangat fungsional. Maka hal tersebut telah berakibat
pada lemahnya peran serta masyarakat dalam pembelajaran di lingkungan
keluarga. Learning society secara praktek sudah dilakukan oleh
masyarakat Indonesia- meski belum secara maksimal- namun secara konsep
masih meraba-raba. Dalam batasan ini, adapun yang dimaksud dengan
learning society adalah pemberdayaan peran masyarakat dalam keluarga
dalam bidang pendidikan, termasuk dalam bidang pendidikan agama. Selama
ini peran pendidikan formal, dalam arti sekolah, yang baru mendapatkan
perhatian. Sementara pendidikan non formal dan informal di Indonesia
belum mendapatkan perhatian hanya dalam porsi yang sedikit.
d. Menguatnya faham sekuler dan liberal
Diantara tantangan yang cukup
serius yang dihadapi pendidikan agama adalah menguatnya faham sekular
dan liberal. Kedua faham tersebut tak jarang menjadikan kebingungan di
kalangan masyarakat; Sekularisme atau ( الما نية ) adalah sebuah gerakan
yang menyeru kepada kehidupan duniawi tanpa campur tangan agama. Ini
berarti bahwa dalam aspek politik dan pemerintahan juga harus berdasar
pada sekularisme. Sementara Liberalisme adalah faham kebebasan dalam
memahami syari’at, yaitu dengan melakukan perubahan metodologi ijtihad
yang menekankan aspek kontekstualitas historis, rasio, sehingga hukum
Islam menjadi relatif dan tidak ada kepastian.
Padahal agama Islam yang
merupakan agama wahyu, selama ini diyakini sebagai agama yang universal
dan integral (shaalihun likulli zaman wa makan), mempunyai pandangan
yang serasi antara akal dan wahyu, mengambil jalan tengah dalam setiap
persoalan (manhaj al-wustho)
e. Masih Kuatnya Manajeman Patriarki
Dalam
ruang lingkup lembaga pendidikan agama/keagamaan masih sering kita
dapatkan manajemen patriarki (kekeluargaan). Artinya semua unsur
pemangku kebijakan di lembaga tersebut adalah terdiri dari satu
keluarga-kerabat, misalnya dari unsur ketua yayasan, Pembina,, Pengawas,
Pengurus, Kepala Sekolah, bahkan Guru dan staf. Pendekatan manajemen
seperti ini dalam banyak hal akan menimbulkan disfungsi manajemen
organisasi kelembagaan pendidikan yang ada. Yang sudah barang tentu akan
mengganggu pada profesionalitas manajemen pengelolaan lembaga tersebut.
Termasuk dalam pengembangan pendidikan agama, apabila manajemen yang
digunakan masih berpusat pada manajemen keluarga (patriarki), maka dapat
dikatakan tingkat akuntabilitasnya sulit dipertanggung jawabkan.
E. Peranan Masyarakat dalam Pendidikan Agama
Berdasarkan pada tantangan yang
dihadapi pendidikan agama dan UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 tersebut di
atas, maka bentuk-bentuk peranan masyarakat dalam meningkatkan
pendidikan agama adalah sebagai berikut:
1. Revitalisasi dan reorientasi pendidikan agama di keluarga
Anggota
keluarga yang terdiri dari individu-individu masyarakat, memiliki
peranan yang strategis dalam memberikan penguatan terhadap pendidikan
agama. Tanggung jawab orang tua dalam memberikan pendidikan agama
terhadap anggota keluarga akan memberi dampak yang paling nyata dalam
peningkatan pendidikan agama. Dengan contoh suri teladan yang baik dalam
perilaku keagamaan keluarga, akan lebih efektif dalam proses pencapaian
tujuan pendidikan agama, yaitu menjadikan peribadi yang sempurna
(berkeperibadian islami).
Di tengah-tengah terjadinya
disfungsi keluarga sebagai lingkungan pendidikan partama dan utama,
adalah peranan nyata anggota masyarakat saat ini untuk mengembalikan
fungsinya sebagai “madrosatul ula”. Fungsi-fungsi anggota keluarga harus
kembali mendapat penguatan, apakah itu sebagai ayah, ibu maupun anak,
yang merupakan lingkungan terkecil dari suatu masyarakat.
2. Pembiayaan, Pemberian bahan dan sarana pendidikan agama dan keagamaan
Salah satu peluang untuk peran
serta masyarakat dalam meningkatkan pendidikan agama dan keagamaan
adalah dalam hal pembiayaan pendidikannya. Sebagaimana dimaklumi bahwa
terutama pendidikan formal yang bercorak keislaman yang dibawah naungan
Kementerian Agama RI, seperti: RA, MI, M.Ts, MA atau sejenisnya masih
cukup memperihatinkan, apabila dibandingkan dengan pendidikan umum di
bawah naungan kemendiknas RI, rata-rata pembiayaan satuan pendidikan
agama (unit cost) tersebut, hanya 38 % yang ditanggung pemerintah,
selebihnya (62 %) masih ditanggung anggota masyarakat (orang tua) . Hal
tersebut menunjukkan contoh konkret peran serta masyarakat sekaligus
kemandirian madrasah yang harus dipertahankan, sekaligus ditingkatkan.
Sementara itu mayoritas madrasah (91 %) dikelola oleh swasta dengan
jumlah keseluruhan satuan pendidikan madrasah sebanyak 40.258 buah.
Peran serta masyarakat juga
dapat berupa wakaf tanah untuk penambahan bangunan madrasah, sarana
penunjang pendidikan agama, seperti masjid Madrasah, dan saran penunjang
lainnya. Sebagaimana pernah dilakukan pula oleh masyarakat pada masa
pemerintahan Khalifah Harun Ar-Rasyid, dimana sarjana Baitul Hikmah
melakukan gerakan wakaf tanah untuk fasilitas pendidikan, seperti
perpustakaan, dll.
Wakaf pada
asalnya adalah bertujuan mengekalkan yang asal dan memanfaatkannya untuk
kebaikan, atau harta yang dapat digunakan hasilnya tetapi asalnya
kekal.
3. Penguatan Learning Society dalam Pendidikan Agama
Salah
satu sarana potensial dalam penguatan learning society adalah Masjid,
Musholla, Langgar dan sejenisnya. Dapat dipastikan hampir tiap RW
memiliki Masjid atau Musholla, yang secara umum mempunyai jama’ah
masing-masing (yang terdiri dari anggota masyarakat). Dalam kontek ini
Masjid telah berfungsi sebagai tempat belajar masyarakat untuk
meningkatkan wawasan keagamaan/keislaman. Pusat-pusat pembelajaran
masyarakat tentang agama telah berdiri di Masjid selama berabad-abad
sehingga sampai sekarang. Namun di era teknologi informasi-globalisasi
ini yang meng-hegemony hampir seluruh lapisan kehidupan, maka tradisi
mengaji di masjid, musholla dan langgar pada saat ini berkurang. Jutaan
mata masyarakat muslim yang biasa belajar agama selepas shalat magrib
sambil menunggu shalat Isya. Sekarang telah beralih di depan televisi,
menonton sinetron dan atau jalan-jalan ke Mall.
Dalam kondisi yang seperti
tersebut di atas, maka peran serta masyarakat dalam mengembalikan
kualitas pendidikan agama dengan penguatan learning society melalui
pengajian-pengajian di musholla, masjid, langgar dll., menjadi sangat
penting untuk dilakukan secara terprogram, aktif dan kreatif. Selain itu
untuk meminimalistir distorsi pemahaman agama masyarakat, dapat
dipelopori juga gerakan TV dan internet sehat, dll.
4. Berpartsipasi aktif dalam Komite Madrasah/Sekolah
Salah
satu sarana untuk berperan serta dalam meningkatkan kualitas pendidikan
agama adalah masyarakat dapat berperan aktif di Komite Sekolah/Madrasah
sebagaimana diatur dalam pasal 56 UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, bahwa
masyarakat dapat berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan
yang meliputi perencanaan, pengawasan dan evaluasi program pendidikan.
Termasuk di dalamnya bidang pendidikan agama.
5. Mendorong dan mendukung semua program Pendidikan Agama di madrasah/sekolah;
Peran
serta masyakat untuk meningkatkan pendidikan agama juga dapat dilakukan
dengan mendorong dan mendukung semua kebijakan Sekolah/madrasah yang
terkait peningkatan mutu pendidikan agama, baik melalui program
kurikuler, misalnya, dengan adanya jam tambahan khusus jam pelajaran
agama (Membaca Alqur’an setiap hari pada awal pembelajaran, seperti di
Al-Azhar, dan Islamic Fullday School, atau beberapa sekolah umum
lainnya, membiasakan berbusana Muslim di Sekolah umum. Dan juga dapat
mendukung dalam program ekstrakurikuler, seperti Studi Islam Intensif,
Kuliah Dluha, Pesantren Kilat, dll.
6. Mendirikan dan mengembangkan lembaga pendidikan agama yang berbasis mutu
Diakui
atau tidak, lembaga pendidikan agama (Islam), secara umum masih
dianggap lembaga pendidikan nomor dua jika dibandingkan dengan
sekolah-sekolah umum lainnya. Dan hal ini pula yang menjadi keprihatinan
para pengamat pendidikan Islam. Maka salah satu peran serta aktif
masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan agama adalah dengan
mendirikan dan mengembangkan lembaga pendidikan agama yang berbasis
mutu.
Untuk menjadikan lembaga
pendidikan agama dan keagamaan (seperti Madrasah) yang bermutu, maka
menurut Afifuddin aspek-aspek suatu sekolah/madrasahnya dipersyaratkan
mempunyai standar mutu pula, antara lain aspek administrasi/manajemen,
Aspek Ketenagaan, Aspek Kesiswaan, Aspek Kultur Belajar, Aspek Sarana
dan Prasarana. Namun demikian, saat ini telah bermunculan beberapa
sekolah/madrasah bercorak keagamaan/Ke-Islaman yang telah dianggap
berbasis mutu, seperti MIN 1 Malang Jawa Timur, SMU Insan Cendikia
Serpong-Tangerang, SMU Madania, Parung-Bogor, Madrasah Pembangunan UIN
jakarta, AL-Azhar Pondok Labu-Jakarta, dll.
7. Penguatan Manajemen Pendidikan Agama
Salah
satu titik kelemahan lembaga pendidikan agama/keagamaan yang mayoritas
dikelola swasta, antara lain masih kuatnya manajemen
patriarki-ashabiyah. Maksudnya bahwa para pengelola biasanya terdiri
dari keluarga, dari mulai ketua Yayasan, Pembina, Pengawas, Pengurus,
Kepala Sekolah, Guru, dan lainnya adalah mayoritas terdiri dari unsur
keluarga, sehingga yang didahulukan adalah unsur kebersamaan, dan
terkadang mengabaikan mutu dan profesionalitas. Misalnya yang banyak
terjadi adalah antara Kepala Madrasah/Sekolah dengan Bendahara sekolah
adalah suami isteri, gurunya juga adalah anak dari kepala
Madrasah/Sekolah tersebut, dan kerabat lainnya.
Kondisi tersebut dapat
mengakibatkan kurang berfungsi-nya unsur-unsur manajemen secara baik,
dan memungkinkan akan terhambatnya akselerasi pencapaian program-progam
sekolah yang ada, termasuk dalam bidang pendidikan agama. Karena
akuntabilitas dan realibilitas unsur-unsur yang ada sulit ditegakkan
secara ideal. Maka dalam konteks inilah peran serta masyarakat dapat
saling mengawasi terhadap manajemen lembaga pendidikan agama yang ada.
Kalaupun ada unsur kekeluargaan sebaiknya tetap memperhatikan
profesionalitas.
F. Penutup/Kesimpulan
Secara garis besar peningkatan
“peranserta” masyarakat dalam pemberdayaan dan peningkatan pendidikan
keagamaan dapat dikerangkakan sebagai berikut; Pertama; peningkatan
peranserta masyarakat dalam pemberdayaan managemen pendidikan.yakni
peningkatan pengembangan managemen yang lebih accountable, baik dari
segi keuangan maupun organisasi pendidikan itu sendiri. Melalui
peningkatan ini, sumber-sumber finansial masyarakat dapat
dipertanggungjawabkan secara lebih efisien untuk pemberdayaan dan
peningkatan kualitas pendidikan Islam; begitu juga dari segi organisasi,
sehingga menjadi lebih viable dan durable dalam perubahan dan tantangan
zaman. Kedua, peningkatan peran serta masyarakat dalam pengembangan
pendidikan yang berkualitas dan berkeunggulan, yang pada gilirannya akan
mendorong perkembangan madrasah dan lembaga-lembaga pendidikan Islam
lainnya menjadi “centers of exellence “ yang mengahsilkan pendidik yang
berparadigma keilmuan “komprehensif”, yakni pengetahuan umum dan agama,
plus imtaq. Ketiga; peningkatan peran serta masyarakat dalam pengelolaan
sumber-sumber belajar lain yang dapat dalam masyarakat, sehingga system
pendidikan Islam tidak terpisah, atau menjadi bagian integral dari
masyarakat muslim secara keseluruhan. Melalui pengembangan ini, madrasah
atau perguruan lainnya dapat menjadi “core’’ dari “learning society”,
masyarakat belajar, yang gilirannya membuat anak didik keluaran lembaga
pendidikan Islam lebih berkualitas, capable, fungsional dan integrated
dengan masyarakat.
Penghayatan dan pengamalan
keagamaan umat Islam dalam masa dua atau tiga dekade terakhir ini jauh
lebih maju, semarak dan mantap dibandingkan dengan masa sebelumnya atau
dimasa orde lama. Betapapun masih ada kekurangan dan hambatan, program
pendidikan agama telah memberikan hasil dan dampak positif bagi
peningkatan kualitas keimanan dan ketaqwaan generasi muda dan umat Islam
Indonesia.
Kesadaran masyarakat untuk
menanamkan keimanan dan ketaqwaan sedini mungkin kepada anak-anak didik
kita makin tumbuh dan merata. Hal tersebut dapat dilihat dari semakin
maraknya kegiatan “pendidikan agama”. Melalui media masa, munculnya
pengajian-pengajian, majlis ta’lim, madrasah diniyah, pesantren kilat,
taman pendidikan Al Qur’an, dan lain-lain.Gerakan masyarakat dalam
kegiatan pendidikan agama tersebut perlu didorong lebih luas dan
meningkat lagi, dan segala kekurangan dan hambatan yang ada kita
tanggulangi dan kita carikan jalan keluar.
DAFTAR PUSTAKA
- Afifuddin (2010), Bahan Perkuliahan Manajemen Madrasah, Pascasarjana UIN Bandung
- Al-Syaibani, Omar Mohammad Al-Toumy (1979), Falsafah Pendidikan Islam, Bulan Bintang, Jakarta
- Azra, Azumardi (1999), Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Logos Wacana Ilmu, cet.1, Jakarta
- Darajat, Zakiah (2009 ), Ilmu Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta
- Everett, M. Rogers (1995), Diffusion of Inovation, The Free Press, New York
- Hidayati, Umul (2007), Permaslahan Madrasah pada Era Otonomi Daerah, dalam Jurnal EDUKASI
- Nanang Fattah (2007), Indikator Kemandirian Pembiayaan Madrasah, dalam Jurnal EDUKASI, Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan, Balai Litbang dan Diklat Kemenag RI, Jakarta
- Nizar, Samsul (2002), Filsafat pendidikan Islam,Pendekatan Historis dan Praktis, Cet.1 Ciputat Pers, Jakarta
- Ravik Karsidi (2005), Sosiologi Pendidikan, UNS Press, Surakarta
- Tirtarahardja, Umar dan S.L.La Sulo (2005), Pengantar Pendidikan, Rineka Cipta, Jakarta
- UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pasal 8 tentang hak masyarakat.
- www.inherent-dikti.net/files/sisdiknas (diunduh, 31 Maret 2011)
- WAMI Lembaga Penelitian dan Penelitian (1995), Gerakan Keagamaan dan Pemikiran, , terjemahan bahasa Indonesia , Penerbit Al-Ishlahi Press, Jakarta
- Zuhairini,dkk. (1992), Sejarah Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Cet.3, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar