1. Pengertian, Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan Islam
Pendidikan adalah suatu proses untuk menghasilkan suatu out put yang mengarah kepada pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi dan berdisiplin tinggi.
Rumusan
pendidikan yang dikemukakan oleh Ibnu Khaldun adalah merupakan hasil
dari berbagai pengalaman yang dilaluinya sebagai seorang ahli filsafat
sejarah dan sosiologi yang mencoba menghubungkan antara konsep dan
realita. Sebagai seorang ahli filsafat sejarah atau historical philosophy approach,
karena kedua pendekatan tersebut akan mempengaruhi terhadap sistem dan
pemikirannya dalam pembahasan setiap masalah, karena kedua pendekatan
tersebut mampu merumuskan beberapa pendapat dan interpretasi dari suatu
kenyataan dan pengalaman yang telah dilalui.[1]
Pandangan
Ibnu Khaldun tentang pendidikan Islam berpijak pada konsep dan
pendekatan filosofis-empiris. Melalui pendekatan ini, memberikan arah
terhadap visi tujuan pendidikan Islam secara ideal dan praktis.
Menurutnya ada tiga tingkatan tujuan yang hendak dicapai dalam proses
pendidikan, yaitu:
- Pengembangan kemahiran (al-malakah atau skill) dalam bidang tertentu. Orang awam bisa meneliti, pemahaman yang sama tentang suatu persoalan dengan seorang ilmuwan. Akan tetapi potensi al-malakah tidak bisa demikian oleh setiap orang, kecuali setelah ia benar-benar memahami dan mendalami suatu disiplin tertentu.
- Penguasaan ketrampilan professional sesuai dengan tuntutan zaman (lingkungan dan materi). Dalam hal ini pendidikan hendaknya ditujukan untuk memperoleh ketrampilan yang tinggi pada potensi tertentu. Pendekatan ini akan menunjang kemajuan dan kontinuitas sebuah kebudayaan, serta peradaban umat manusia di muka bumi. Pendidikan yang meletakkan ketrampilan sebagai salah satu tujuan yang hendak dicapai dapat diartikan sebagai upaya mempertahankan dan mengutamakan peradaban secara keseluruhan.
- Pembinaan pemikiran yang baik. Kemampuan berpikir merupakan jenis pembeda antara manusia dengan binatang. Oleh karena itu, pendidikan hendaknya di format dan dilaksanakan dengan terlebih dahulu memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan potensi-potensi psikologis peserta didik. Melalui pengembangan akal, akan dapat membimbing peserta didik untuk menciptakan hubungan kerjasama sosial dalam kehidupannya, guna mewujudkan kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat.[2]
2. Kedudukan Manusia Dalam Alam Semesta
Manusia
menurut Ibnu Khaldun adalah bukan merupakan produk nenek moyang, akan
tetapi produk sejarah, lingkungan sosial, lingkungan alam, adat
istiadat. Karena itu lingkungan sosial merupakan pemegang tanggung jawab
dan sekaligus memberikan corak penilaian seorang manusia. Hal ini
memberikan arti bahwa pendidik menempati posisi sentral dalam rangka membentuk manusia ideal yang diinginkan.[3]
Manusia sebagai khalifah fil ardli,
dibekali oleh Allah SWT akal pikiran, untuk mengatur, merekayasa, dan
mengolah sumber daya alam untuk keperluan seluruh umat manusia, sehingga
manusia memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Maka manusia
dikatakan sebagai makhluk yang berbeda dengan makhluk yang lainnya,
karena manusia adalah makhluk yang berpikir. Oleh karena itu manusia
mampu melahirkan ilmu (pengetahuan) dan teknologi. Sifat-sifat semacam
ini tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Kemampuan berpikirnya itu tidak
hanya membuat kehidupannya, tetapi juga menarik peneliti terhadap
berbagai cara guna memperoleh makna hidup. Proses-proses yang semacam
ini melahirkan perbedaan.
Akal
pikiran yang menghasilkan ilmu pengetahuan, juga dapat menuntun manusia
ke jalan Ilahi dan meningkatkan derajat manusia sehingga manusia
diwajibkan untuk menuntut ilmu pengetahuan. Hidupnya jiwa manusia karena
ilmu pengetahuan, dan gelapnya hati manusia karena miskinnya ilmu
pengetahuan.
Dengan
akal pikiran inilah yang kemudian menjadikan manusia memiliki perbedaan
dengan makhluk lainnya, khususnya binatang. Perbedaan ini antara lain
karena manusia disamping memiliki pemikiran yang dapat menolong dirinya
untuk menghasilkan kebutuhan hidupnya, juga memiliki sikap hidup
bermasyarakat yang kemudian dapat membentuk suatu masyarakat antara satu
dengan lainnya saling menolong. Dari keadaan manusia yang demikian itu
maka timbullah ilmu pengetahuan dan masyarakat. Pemikiran tersebut pada
suatu saat diperlukan dalam menghasilkan sesuatu yang tidak dapat
dicapai oleh panca indera. Ilmu yang demikian mesti diperoleh dari orang
lain telah lebih dahulu mengetahui.[4]
3. Hakikat dan Tujuan Pendidikan
Rumusan Ibnu Khaldun mengenai tujuan pendidikan adalah untuk:
a. Memberikan
kesempatan kepada pikiran untuk aktif dan bekerja, karena aktivitas ini
sangat penting bagi terbuka pikiran dan kematangan individu kemudian
kematangan ini kan mendapat faedah bagi masyarakat.
b. Memperoleh berbagai ilmu pengetahuan sebagai alat untuk membantunya, hidup dengan baik di dalam masyarakat maju dan berbudaya.
c. Memperoleh lapangan pekerjaan, yang digunakan untuk memperoleh rizki.
Beberapa faktor yang dijadikan alasan untuk merumuskan tujuan pendidikan yaitu:
- Pengaruh filsafat sosiologi yang tidak bias memisahkan antar masyarakat, ilmu pengetahuan dan kebutuhan masyarakat.
- Perencanaan ilmu pengetahuan sangat menentukan bagi perkembangan masyarakat berbudaya.
- Pendidikan sebagai aktivitas akal insani, merupakan salah satu industri yang berkembang di dalam masyarakat, karena sangat urgent dalam kehidupan setiap individu.[5]
4. Hakikat Pendidik
Seorang
pendidik hendaknya memiliki pengetahuan yang memadai tentang
perkembangan psikologis peserta didik. Pengetahuan ini akan sangat
membantunya untuk mengenal setiap individu peserta didik dan mempermudah
dalam melaksanakan proses belajar mengajar. Para pendidik hendaknya mengetahui kemampuan dan daya serap peserta didik. Kemampuan ini akan bermanfaat bagi menetapkan materi pendidikan
yang sesuai dengan tingkat kemampuan peserta didik. Bila pendidik
memaksakan materi di luar kemampuan peserta didiknya, maka akan
menyebabkan kelesuan mental dan bahkan kebencian terhadap ilmu
pengetahuan yang diajarkan. Bila ini terjadi, maka akan menghambat
proses pencapaian tujuan pendidikan. Oleh karena itu, diperlukan
keseimbangan antara materi pelajaran yang sulit dan mudah dalam cakupan
pendidikan.
Dalam
melaksanakan tugasnya, seorang pendidik hendaknya mampu menggunakan
metode mengajar yang efektif dan efisien. Ibnu Khaldun mengemukakan 6
(enam) prinsip utama yang perlu diperhatikan pendidik, yaitu:
a. Prinsip pembiasaan
b. Prinsip tadrij (berangsur-angsur)
c. Prinsip pengenalan umum (generalistik)
d. Prinsip kontinuitas
e. Memperhatikan bakat dan kemampuan peserta didik
f. Menghindari kekerasan dalam mengajar[6]
5. Hakikat Peserta Didik
Peserta
didik merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi
(kemampuan) dasar yang masih perlu dikembangkan. Di sini peserta didik
merupakan makhluk Allah yang memiliki fitrah jasmani maupun
rohani yang belum mencapai taraf kematangan baik bentuk, ukuran, maupun
perimbangan pada bagian-bagian lainnya. Dari segi rohaniah, ia memiliki
bakat, kehendak, perasaan, dan pikiran yang dinamis dan perlu
dikembangkan.[7]
Melalui
paradigma di atas, menjelaskan bahwa peserta didik merupakan subjek dan
objek pendidikan yang memerlukan bimbingan orang lain (pendidik) untuk
membantu mengarahkannya mengembangkan potensi yang dimilikinya, serta
membimbingnya menuju kecerdasan.
Pada dasarnya peserta didik adalah:
a) Peserta
didik bukan merupakan miniatur orang dewasa, akan tetapi memiliki
dunianya sendiri. Hal ini sangat penting untuk dipahami agar perlakuan
terhadap mereka dalam proses kependidikan tidak disamakan dengan
pendidikan orang dewasa, bahkan dalam aspek metode, mengajar, materi
yang akan diajarkan, sumber bahan yang digunakan dan sebagainya.
b) Peserta
didik adalah manusia yang memiliki diferensiasi periodesasi
perkembangan dan pertumbuhan. Aktivitas kependidikan Islam disesuaikan
dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan yang pada umumnya dilalui
oleh setiap peserta didik. Karena kadar kemampuan peserta didik
ditentukan oleh faktor-faktor usia dan periode perkembangan atau
pertumbuhan potensi yang dimilikinya.
c) Peserta
didik adalah manusia yang memiliki kebutuhan, baik menyangkut kebutuhan
jasmani maupun kebutuhan rohani yang harus dipenuhi.
d) Peserta
didik adalah makhluk Allah yang memiliki perbedaan individual
(diferensiasi individual), baik yang disebabkan oleh faktor pembawaan
maupun lingkungan di mana ia berada.
e) Peserta didik merupakan resultan
dari dua unsur alam, yaitu jasmani dan rohani. Unsur jasmani memiliki
daya fisik yang menghendaki latihan dan pembiasaan yang dilakukan
melalui proses pendidikan. Sementara unsur rohani memiliki dua daya,
yaitu daya akal dan daya rasa. Untuk mempertajam daya akal maka proses
pendidikan hendaknya melalui ilmu-ilmu rasional. Adapun untuk
mempertajam daya rasa dapat dilakukan melalui pendidikan akhlak dan
ibadah.
f) Peserta didik adalah manusia yang memiliki potensi (fitrah) yang dapat dikembangkan dan berkembang secara dinamis.[8]
6. Hakikat Kurikulum
Kurikulum
adalah merupakan landasan yang digunakan pendidik untuk membimbing
peserta didiknya ke arah tujuan pendidikan yang diinginkan melalui
akumulasi sejumlah pengetahuan, ketrampilan dan sikap mental.
Pemikiran
Ibnu Khaldun tentang kurikulum pendidikan dapat dilihat dari konsep
epistemologinya. Menurutnya, ilmu pengetahuan dalam kebudayaan umat
Islam dapat dibagi kepada dua bagian, yaitu:
a. Ilmu Pengetahuan syar’iyyah yang berkenaan dengan hukum dan ajaran agama Islam. Ilmu pengetahuan syar’iyyah yaitu ilmu-ilmu yang bersandar pada “warta” otoritatif syar’i
(Tuhan/Rosul) dan akal manusia tidak mempunyai peluang untuk
“mengotak-atiknya”, kecuali dalam lingkup cabang-cabangnya. Itu pun
masih harus berada dalam kerangka diktum dasar “warta” otoritatif
tersebut. Ilmu ini diantaranya adalah tentang Al-Qur’an, Hadits,
prinsip-prinsip syari’ah, fiqh, teologi, dan sufisme.
b. Ilmu pengetahuan filosofis,
yaitu ilmu yang bersifat alami yang diperoleh manusia dengan kemampuan
akal dan pikirannya. Lingkup persoalan, prinsip-prinsip dasar dan metode
pengembangannya sepenuhnya berdasar daya jangkau akal pikir manusia.
Ilmu pengetahuan filosofis meliputi:
(1) Ilmu Mantik (logika), yakni ilmu yang menjaga proses penalaran dari hal-hal yang sudah diketahui agar tidak mengalami kesalahan.
(2) Ilmu Pengetahuan Alam, yakni ilmu tentang realitas empiris-inderawan, baik berupa unsur-unsur atomik, bahan-bahan tambang, benda-benda angkasa maupun gerak alam jiwa manusia yang menimbulkan gerak dan sebagainya.
(3) Ilmu Metafisika yakni hasil pemikiran tentang hal-hal metafisis.
(4) Ilmu Matematika, ilmu ini meliputi empat disiplin keilmuan yang disebut al-Ta’lim yakni: a) Ilmu Ukur (al –Handasah); b) Ilmu Aritmatika; c) Ilmu Musik; d) Astronomi.[9]
Ilmu pengetahuan filosofis juga sering disebut sains alamiah. Hal ini disebabkan karena dengan potensi akalnya, setiap orang memiliki kemampuan untuk menguasainya dengan baik.
Ilmu pengetahuan syar’iyyah dan filosofis
merupakan pengetahuan yang ditekuni manusia (peserta didik) dan saling
berinteraksi, baik dalam proses memperoleh atau proses mengajarkannya.
Konsepsi ini kemudian merupakan pilar dalam merekonstruksi kurikulum
pendidikan Islam yang ideal, yaitu kurikulum pendidikan yang mampu
mengantarkan peserta didik yang memiliki kemampuan membentuk dan
membangun peradaban umat manusia.[10]
7. Metode Pendidikan
Metode
pendidikan adalah segala segi kegiatan yang terarah yang dikerjakan
oleh guru dalam rangka kemestian-kemestian mata pelajaran yang
diajarkannya. Cirri-ciri perkembangan peserta didik dan suasana alam di
sekitarnya dan tujuan membimbing peserta didik untuk mencapai proses
belajar yang diinginkan dan perubahan yang dikehendaki pada tingkah laku
mereka.
Metode
pendidikan sama halnya dengan metode pembelajaran (pengajaran), yang
mana pemikiran Ibnu Khaldun tentang metode pendidikan terungkap lewat
empat sikap reaktifnya terhadap gaya para pendidik (guru) dimasanya dalam dasar empat dasar persoalan pendidikan.
Pertama,,
kebiasaan mendidik dengan metode “indoktrinasi” terhadap anak-anak
didik, para pendidik memulai dengan masalah-masalah pokok yang ilmiah
untuk diajarkan kepada anak-anak didik tanpa mempertimbangkan kesiapan
mereka untuk menerima dan menguasainya. Maka Ibnu Khaldun lebih memilih
metode secara gradual sedikit demi sedikit, pertama-tama disampaikan
permasalahan pokok tiap bab, lalu dijelaskan secara global dengan
mempertimbangkan tingkat kecerdasan dan kesiapan anak didik, hingga
selesai materi per-bab.
Kedua, memilah-milah
antara ilmu-ilmu yang mempunyai nilai instrinsik, semisal ilmu-ilmu
keagamaan, kealaman, dan ketuhanan, dengan ilmu-ilmu yang instrumental,
semisal ilmu-ilmu kebahasa-Araban, dan ilmu hitung yang dibutuhkan oleh
ilmu keagamaan, serta logika yang dibutuhkan oleh filsafat.
Ketiga,
Ibnu Khaldun tidak menyukai metode pendidikan yang terkait dengan
strategi berinteraksi dengan anak yang “militeristik” dan keras, anak
didik harus seperti ini dan seperti itu, karena berdampak buruk bagi
anak didik berupa munculnya kelainan-kelainan psikologis dan perilaku
nakal.[11]
Ibnu
Khaldun mengajarkan agar pendidik bersikap sopan dan halus pada
muridnya. Hal ini termasuk juga sikap orang tua terhadap anaknya, karena
orang tua adalah pendidik yang utama. Selanjutnya jika keadaan memaksa
harus memukul si anak, maka pemukulan tidak boleh lebih dari tiga kali.[12]
8. Hakikat Evaluasi Pendidikan
Evaluasi
pendidikan Islam dapat dibagi batasan sebagai suatu kegiatan untuk
menentukan taraf kemajuan suatu pekerjaan dalam proses pendidikan Islam.
Dalam ruang lingkup terbatas, evaluasi dilakukan adalah dalam rangka
menjelaskan tingkat keberhasilan pendidik dalam menyampaikan materi
pendidikan Islam kepada peserta didik. Sedangkan dalam ruang lingkup
luas, evaluasi dilakukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan
kelemahan suatu proses pendidikan Islam (dengan seluruh komponen yang
terlibat di dalamnya) dalam mencapai tujuan pendidikan yang
dicita-citakan.
Secara umum ada empat kegunaan evaluasi dalam pendidikan Islam, yaitu:
- Dari segi pendidik, evaluasi berguna untuk membantu seorang pendidik mengetahui sudah sejauh mana hasil yang dicapai dalam pelaksanaan tugasnya.
- Dari segi peserta didik, evaluasi berguna membantu peserta didik untuk dapat mengubah atau mengembangkan tingkah lakunya secara sadar ke arah yang lebih baik.
- Dari segi ahli fikir pendidikan Islam, evaluasi berguna untuk membantu para pemikir Islam dan membantu mereka dalam merumuskan kembali teori-teori pendidikan Islam yang relevan dengan arus dinamika zaman yang senantiasa berubah.
- Dari segi politik pengambil kebijakan pendidikan Islam (pemerintah), evaluasi berguna untuk membantu mereka dalam membenahi sistem pengawasan dan mempertimbangkan kebijakan yang akan diterapkan dalam suatu pendidikan nasional (Islam).
Konsep
evaluasi dalam pendidikan Islam bersifat menyeluruh, baik dalam
hubungan manusia dengan Allah SWT sebagai Pencipta, hubungan manusia
dengan manusia lainnya, hubungan manusia dengan alam sekitarnya, dan
hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Spectrum kajian evaluasi dalam
pendidikan Islam tidak hanya terkonsentrasi pada
aspek kognitif, tetapi justru dibutuhkan keseimbangan yang terpadu
antara penilaian iman, ilmu, dan amal. Sebab kualitas keimanan,
keilmuan, dan amal shalihnya. Kesemuanya itu merupakan bahan pemikiran bagi pengembangan sistem evaluasi dalam pendidikan Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Jawad Ridla, Muhammad, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam, Tiara Wacana, Yogyakarta, 2002
Marimba, Ahmad D., Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Al-Ma’arif, Bandung, 1989
Nata, Abuddin, Drs. H. M.A., Filsafat Pendidikan Islam, Logos Wacana Ilmu, Jakata, 1997
Nizar, Samsul, H, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Prakstis, Ciputat Press, Jakarta, 2002
Siregar, Marasudin, Drs, Konsepsi Pendidikan Ibnu Khaldun:Suatu Analisa Fenomenologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999
Tidak ada komentar:
Posting Komentar