I. PENDAHULUAN
Pendidikan
adalah hal yang terpenting dalam kehidupan ini, karena tanpa pendidikan
seseorang tidak akan mampu mengetahui dunia luar. Namun akhir-akhir ini
pendidikan kurang diperhatikan tujuan dari pendidikan tersebut.
Pendidikan belakangan ini kurang mengarah kepada pembentukan insan
kamil, padahal tujuan dari pendidikan tersebut tidak lain adalah untuk
membentuk insan kamil atau sempurna. Sehingga pendidikan saat ini
bukanlah membentuk manusia utuh atau sempurna yang layak untuk menjadi
khalifah dibumi melainkan manusia yang individualis, materialis dan
pragmatis. Hal ini sangatlah berakibat fatal karena yang kuat menindas
yang lemah, yang berenang tetaplah berwenang dan yang kuat menindas yang
lemah, tanpa ingat dosa. Maka dari sinilah kami akan mengangkat sebuah
tema yang menyajikan tentang arti dan pentingnya pendidikan bagi kita,
yang kami ambil dari pemikiran filusuf muslim yang terkenal yaitu
“Al-Ghazali”.
II. PEMBAHASAN
A. Sekilas Tentang Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali. Ia lahir di desa Thus. Wilayah Khurasan, Iran
pada tahun 450 H/ 1058 M. ayahnya seorang pengrajin wol dan pedagang
hasil tenun. Dia adalah pemikir ulung Islam yang menyandang gelar
“pembela Islam” (hujjatul Islam), hiasan agama (Zainuddin), samudra yang
menghanyutkan (bahrun mughriq), dan pembaharu agama. Gelar ini
didasarkan pada keluasan ilmu dan amalnya serta hidupnya yang penuh
dengan perjuangan dan pengorbanan dalam mempertahankan ajaran agama dari
berbagai serangan.[1]
Al-Ghazali adalah orang yang pertama kali menggabungkan antara sufisme dan syari’ah dalam satu sistem.[2]
Ia belajar ilmu pertama kali pada seorang sufi di negara Thus, kemudian
ia pindah ke Jurjan dan Naisabur untuk belajar ilmu agama pada ulama
besar yang termashur yaitu Imam al-Haramain Diya al-Din al-Juwaini, ia
seorang direktur sekolah di Naisabur, ilmu yang dipelajarinya adalah
ilmu fiqih, ushul fiqih, mantiq, dan ilmu kalam.
Pada
tahun 478 H/ 1058 M al-Ghazali bermukim di al-Muaskar dan kemudian
pindah ke Baqhdad untuk menjadi dosen di Perguruan Tinggi Ridzamiyah
pada tahun 484 H/ 1091 M. Ia meninggal di Thus pada tangal 14 Jumadil
Akhir tahun 505 H/ 19 Januari tahun 1111 M.[3]
Faham
yang dibawanya adalah “al-Ma’rifah” sehingga karena jasanyalah tasawuf
tersebut dapat diterima dikalangan ahli syari’at. Menurutnya ma’rifat
adalah mengetahui rahasia tuhan dan mengetahui peraturannya, mengenai
segala yang ada, yang ia ungkapkan dalam ucapannya yaitu :
الاِطِّلاَعُ عَلَى اَسْرَارِالرُّبِيَةِ و َالْعِلْمُ بِتَرَتُّبِ اْلاُمُوْرِاْلاِلهِيَةِ الْمُحِيْطَةِ بِكُلِّ الْمَوْجُوْدَاتِ.[4]
Menurutnya ma’rifat dalam tasawuf adalah suatu tingkat di mana hijab hilang
didepan wajah seorang sufi, sehingga ia dengan hati sanubarinya dapat
melihat Tuhan dan hal-hal lain yang tidak dapat dilihat oleh manusia
biasa.
Ia
juga menjelaskan bahwa orang yang mempunyai ma’rifat tentang Tuhan, ia
tidak akan mengatakan kata-kata Ya Allah atau Ya Rabb, karena memanggil
Tuhan dengan kata-kata serupa itu menunjukkan bahwa Tuhan masih berada
dibelakang tabir orang yang berhadapan dengan temannya tidak akan
memanggil temannya dengan kata-kata itu.[5]
Baginya ma’rifat lebih dulu urutannya dari pada mahabah, karena mahabah
timbuh dari ma’rifat dan mahabah bagi al-Ghazali bukanlah mahabah
sebagaimana yang di ucapkan oleh rabiah, tetapi mahabah baginya adalah
dalam bentuk cinta seorang kasih dan rahmat Tuhan kepada manusia yang
memberi manusia hidup, rezeki, kesenangan, dan lain-lain. Mahabah dan
ma’rifat adalah setinggi-tingginya tingkat yang dapat dicapai oleh
seorang sufi. Pengetahuan yang diperoleh dari ma’rifat menurutnya lebih
bermutu dan lebih tinggi daripada pengetahuan yang diperoleh dengan
akal.[6]
B. Pemikiran tentang Pendidikan
Al-Ghazali
adalah orang yang banyak mencurahkan perhatiannya terhadap bidang
pengajaran dan pendidikan. Oleh karena itu ia melihat bahwa ilmu itu
sendiri adalah keutamaan dan melebihi segala-galanya. Oleh sebab itu
menguasai ilmu baginya termasuk tujuan pendidikan dengan melihat
nilai-nilai yang dikandungnya dan karena ilmu itu merupakan jalan yang
akan mengantarkan anda kepada kebahagiaan di akhirat serta sebagai alat
untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Oleh
karena itu ia menyimpulkan bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan
manusia sejak masa kejadiannya sampi akhir hayatnya melalui berbagai
ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara
bertahap di mana proses pengajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua
dan masyarakat.[7] Maka sistem pendidikan itu haruslah mempunyai filsafat yang mengarahkan kepada tujuan yang jelas.
Mengingat pendidikan itu penting bagi kita, maka al-Ghazali menjelaskan juga tentang tujuan pendidikan, yaitu :
1. Mendekatkan diri kepada Allah, yang wujudnya adalah kemampuan dan kesadaran diri melaksanakan ibadah wajib dan sunah.
2. Menggali dan mengembangkan potensi atau fitrah manusia.
3. Mewujudkan profesionalitas manusia untuk mengemban tugas keduniaan dengan sebaik-baiknya.
4. Membentuk manusia yang berakhlak mulia, suci jiwanya dari kerendahan budi dan sifat-sifat tercela.
5. Mengembangkan sifat-sifat manusia yang utama, sehingga menjadi manusia yang manusiawi.
Bertolak
dari pengertian pendidikan menurut al-Ghazali, dapat di mengerti bahwa
pendidikan merupakan alat bagi tercapainya suatu tujuan. Pendidikan
dalam prosesnya memerlukan alat, yaitu pengajaran atau ta’lim. Sejak
awal kelahiran manusia sampai akhir hayatnya kita selalu bergantung pada
orang lain. Dalam hal pendidikan ini, orang (manusia)
yang bergantung disebut murid sedangkan yang menjadi tempat bergantung
disebut guru. Murid dan guru inilah yang disebut sebagai subyek
pendidikan.[8]
Oleh
karena itu arahan pendidikan al-Ghazali menuju manusia sempurna yang
dapat mendcapai tujuan hidupnya yakni kebahagiaan dunia dan akhirat
yanghal ini berlangsung hingga akhir hayatnya. Hal ini berarti bahwa
manusia hidup selalu berkedudukan sebagai murid.
Manusia
adalah subyek pendidikan, sedangkan pendidikan itu sangat penting bagi
manusia, maka dalam pendidikan itu harus diperhatikan tentang
kurikulumnya. Kurikulumnya pendidikan menurut al-Ghazali adalah materi
keilmuan yang disampaikan kepada murid hendaknya secara berurutan, mulai
dari hafalan dengan baik, mengerti, memahami, meyakini, dan membenarkan
terhadap apa yang diterimanya sebagai pengetahuan tanpa memerlukan
bukti atau dalil.[9] Sehingga dengan pentahapan ini melahirkan metode khusus pendidikan, menurut al-Ghazali yaitu :
1. Metode khusus pendidikan agama
Menurut
al-Ghazali metode ini pada prinsipnya di mulai dengan hafalan dan
pemahaman, kemudian dilanjutkan dengan keyakinan dan pembenaran, setelah
itu penegakan dalil-dalil dan keterangan yang bisa menunjang penguatan
akidah.
2. Metode khusus pendidikan ahklak
Akhlak
menurut al-Ghazali adalah : suatu sikap yang mengakar dalam jiwanya
yang melahirkan berbagai perbuatan tanpa adanya pertimbangan dan
pemikiran terlebih dahulu.[10]
Dengan
adanya metode tersebut, maka al-Ghazali menyimpulkan bahwa pendidikan
itu harus mengarah kepada pembentukan akhlak mulia, sehingga Ia
menjadikan al-Qur’an sebagai kurikulum dasar dalam pendidikan. Ia juga
menyimpulkan bahwa tujuan akhir pendidikan dan pembinaan itu ada 2 yaitu
:
1. Kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah.
2. Kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
C. Karya-Karya al-Ghazali
1. Di Bidang Filsafat
a. Maqashidu –ul falasifah (tujuan ilmu filsafat)
b. Tahafut –ul falasifah (kesesatan ilmu filsafat)
c. Al-Ma’rifatul ‘Aqliyah (ilmu pengetahuan yang rasional)
2. Di Bidang Agama
a. Ihya’ Ulumuddin (menghidup-hidupkan ilmu agama)
b. Al-Mungis minal dhalal (terlepas dari kesesatan)
c. Minhaj ul abidien (jalan mengabdi Tuhan)
d. Kitab-kitab akhlak dan tasawuf.
3. Dalam Bidang Kenegaraan
a. Mustazh – hiri
b. Sirrul ‘alamain (rahasia dua dunia yang berbeda)
c. Suluk us Sulthanah (cara menjalankan pemerintahan)
d. Nashihat et muluk (nasihat untuk kepala-kepala negara)
Itulah karya-karya al-Ghazali yang saat masih bisa kita simak.[11]
III. PENUTUP
Dari
uraian di atas dapat di simpulkan bahwa pendidikan itu adalah proses
memanusiakan manusia yang bertujuan membentuk insan kamil untuk menjadi
khalifah di bumi. Dan dengan adanya pendidikan ini diharapkan manusia
mampu mencapai tujuan hidupnya di dunia dan akherat, dan hidup yang
berpedoman al-Qur’an dan Hadits.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran al-Ghazali Tentang Pendidikan, Pustaka Pelajar, cet I, Yogyakarta, 1998
Abudin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan tasawuf (Dirasah Islamiyah IV), Rajawali Pers, Jakarta, 1993.
Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, juz III, Masyhadul Husaini, tt.
C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1991.
Fathiyah Hasan Sulaiman, Aliran-Aliran Dalam Pendidikan Studi Tentang Aliran Pendidikan Menurut Al-Ghazali, Dina Utama, Semarang, cet I, 1993.
Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, PT. Pustaka Panji Mas, Jakarta, cet XI, 1984.
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, UI Press, Jakarta, 1979.
Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, Dina Utama, Semarang, cet-1, 1993.
[1] C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1991, hlm. 103.
[2] Ibid, hlm. 104.
[3] Abudin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan tasawuf (Dirasah Islamiyah IV), Rajawali Pers, Jakarta, 1993, hlm. 91.
[4] Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, PT. Pustaka Panji Mas, Jakarta, cet XI, 1984, hlm. 135.
[5] Ibid, hlm. 181.
[6] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, UI Press, Jakarta, 1979, hlm. 78.
[7] Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran al-Ghazali Tentang Pendidikan, Pustaka Pelajar, cet I, Yogyakarta, 1998, hlm. 56.
[8] Ibid, hlm. 94.
[9] Fathiyah Hasan Sulaiman, Aliran-Aliran Dalam Pendidikan Studi Tentang Aliran Pendidikan Menurut Al-Ghazali, Dina Utama, Semarang, cet I, 1993, hlm. 18.
[10] Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, juz III, Masyhadul Husaini, tt, hlm. 109.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar