Seperti
yang telah kita ketahui bahwa Islam sangat berpengaruh terhadap setiap
orang yang hidup di wilayah muslim, sehingga Islam merupakan suatu
“warisan” tersendiri yang sangat berarti. Prinsip-prinsip ajaran Islam
telah mewarnai kehidupan sosial sepanjang sejarah dan ke seluruh pelosok
dunia. Islam terus menerus berhasil mengemban misi pengentasan bagi
persoalan hidup manusia semenjak masyarakat Islam pertama kali di
Madinah dibawah pimpinan Rasulullah SAW.
Setelah
Rasulullah wafat, sekelompok sahabat yang mengetahui fiqh dan ilmu
serta lama menemani Rasulullah dan faham akan al-Qur’an dan
hukum-hukumnya dihadapkan untuk memberikan fatwa dan membentuk hukum
untuk kaum muslimin. Karena penyebaran Islam ini tidak hanya melalui
penaklukan ke daerah-daerah saja, tetapi juga perlu adanya jerih payah
dari tangan para ulama dan fuqoha’ untuk menyebarkan ajaran dan prinsip
agama Islam.
Dan penyiaran ajaran Islam oleh para mubalighin akan selalu bertalian erat dengan para pakar-pakar mazhab dalam al-Fiqhul Islamy. Sehingga tidak layak bagi kita bila tidak mencoba mengungkap bagaimana para pakar mazhab mengawali da’watul Islam.
Kemudian,
pada makalah ini kami mencoba menguraikan tentang imam mazhab keempat
yakni Imam Ahmad bin Hanbal, yang biasa dikenal oleh masyarakat luas
sebagai seseorang yang ahli di bidang ilmu fiqh dan sekaligus juga
seorang ilmuwan hadist. Bagaimana tentang kehidupan sosial, budaya serta
politik pada masa beliau dan juga tentang istinbat-istinbat hukum yang
dipakainya untuk memecahkan masalah kemanusiaan.
II. PEMBAHASAN
1. Biografi Ahmad bin Hanbal
Nama
lengkap Ahmad bin Hanbal ialah Ahmad bin Hanbal bin Hilal bin Usd bin
Idris bin Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasit bin Mazin bin Syalban.
Panggilan sehari-harinya Abu Abdullah. Ahmad bin Hanbal dilahirkan di
Baghdad pada bulan Rabi’ul Awal tahun 164 Hijriah (780 Masehi). Ayahnya
menjabat sebagi walikota Sarkhas dan pendukung pemerintahan Abbasiyah.
Menurut satu riwayat, ayahandanya yang bernama Muhammad asy-Syalbani
telah meninggalkan beliau sebelum dilahirkan ke dunia fana ini. Sehingga
beliau tumbuh remaja hanya dalam asuhan ibundanya, Syafiyah binti
Maimunah seorang wanita dari golongan terkemuka kaum Banu Amir.
Imam Ahmad adalah seorang zuhud,
bersih hatinya dari segala macam pengaruh kebendaan. Beliau juga
dikenal seorang yang pendiam tetapi beliau tertarik untuk selalu
berdiskusi dan tidak segan meralat pendapatnya sendiri apabila jelas
bahwa pendapat orang lain lebih benar. Beliau adalah orang yang
berwawasan luas, ulama yang sangat dalam pemahamannya terhadap ruh
syariat. Selama hayatnya, Imam Ahmad cinta sekali kepada sunnah
Rasulullah SAW, sehingga mendorongnya untuk banyak meniru Rasulullah
dalam segala urusan agama dan dunia. Beliau tidak hafal satu hadispun
kecuali mengamalkannya.[1] Sehingga ada suatu kalangan yang lebih melihat beliau sebagai seorang ilmuwan hadist daripada ilmuwan fiqh.
Sebagian
fuqoha’ berkata tentang beliau, “Ahmad menguasai seluruh ilmu”. Selain
itu Imam Syafi’i selaku gurunya juga mengungkapkan, “ketika saya
meninggalkan Baghdad, disana tidak ada orang yang lebih pandai dibidang
fiqih dan lebih alim ketimbang Ahmad bin Hanbal”.
2. Setting Sosial-Budaya Pada Masa Imam Hanbali
Ketika menginjak masa muda, Ahmad melihat kehidupan orang-orang disekitarnya sangat mengagumkan. Namun semaraknya bid’ah
telah mengancam sunnah. Orang yang berpendidikan telah mencelakakan
orang yang tidak tahu, para penimbun harta kenyang dengan emas dan perak
timbunannya, tetapi mereka tidak tahu bagaimana mereka akan
membelanjakannya. Tidak jarang pula mereka terjerumus dalam kemunafikan
dan kejahatan. Kata-kata rayuan dan penipuan telah mengelabuhi manusia
hingga mereka meninggalkan kesejahteraan hidup yang dihalalkan, yang
biasa disebut wara’ atau zuhud.[2]
Ahmad
yang sejak kecil hafal al-Qur’an, memahami hukum-hukumnya, dan
mempelajari ilmu hadist untuk berhadapan dengan kehidupan dunia yang
demikian parah. Apapun yang beliau lakukan tidak lain adalah untuk
menunjukkan bahwa beliau membenci kehidupan dunia seperti itu. Beliau
menamakan semua itu dengan bid’ah dan bernazar untuk
meluruskannya dan menghidupkan sunnah Rasulullah SAW. Namun sebagian
masyarakat menuduhnya sebagai orang yang mempersulit pelaksanaan agama.
Imam
Ahmad yang hidup dimasa penuh dengan bid’ah dan agama ditawar-tawar
sehingga menggoyangkan sendi-sendinya, karena itu beliau memutuskan
untuk selalu berpegang pada al-Qur’an dengan sekuat-kuatnya.[3]
Ahmad tertuntut untuk mencari jalan bagi pembebasan diri dan bersikap
keras dalam menegakkan kebenaran serta membebaskan orang-orang yang
menjadi hamba bagi kondisi mereka. Alangkah jeleknya kondisi waktu itu!
Yang
mulia Imam Hambali selaku seorang alim besar dari ahli sunnah,
senantiasa bersikap keras akan urusan bid’ah dan orang yang ahli bid’ah,
sebagai buktinya ditunjukkan pada :
a. Beliau pernah berkata : “pokok pangkal “sunnah”
itu bagi saya ialah memegang teguh dan mengikut dengan kokohnya kepada
apa yang pernah dilakukan oleh para sahabat Nabi, dan menjauhi atau
meninggalkan perbuatan bid’ah, karena tiap-tiap bid’ah di dalam urusan
agama itu sesat”. Jadi, sudah cukup jelas bahwa segala perbuatan bid’ah
yang bertalian dengan urusan ibadah itu sesat, dan tiap-tiap kesesatan
itu di dalam nerakalah tempat kembalinya.
b. Beliau
juga pernah berkata : “janganlah kamu bertukar fikiran dengan orang
ahli bid’ah di dalam urusan agamamu, dan janganlah kamu berkawan dengan
seorangpun dengan mereka itu di dalam pelayanmu”.[4]
Sehingga sudahlah jelas akan sikap Imam Hambali atas bid’ah itu sendiri dan juga orang-orang yang termasuk dalam ahli bid’ah.
3. Kehidupan Politik Pada Masa Imam Hanbali
Ahmad
bin Hanbal mengetahui bahwa yang paling mengundang kemarahan para
penguasa bani Abbas adalah penyebaran fiqh Ali bin Abi Thalib.
Keturunannya berkali-kali mengadakan pemberontakan terhadap para
khalifah yang berbuat aniaya dari Bani Umayyah, juga terhadap para
khalifah Bani Abbas. Hal inilah yang mengakibatkan timbulnya berbagai
peperangan besar. Fiqih Imam Ali dan keputusan-keputusannya hanya
dihafal oleh sejumlah kecil ulama, terutama dari kalangan syi’ah.
Kemudian
setelah Bani Abbas merasa khawatir terhadap fiqih Ali, maka itu
dipergunakan oleh para penentang fiqih Imam Ali untuk mengkritiknya.
Hingga akhirnya Bani Abbas tidak tahan menghadapi pertentangan tersebut,
dan bila ada orang yang datang menyampaikan pengaduan, kritikan, atau
rintangan, maka pasti akan merasakan tajamnya pedang para algojo atau
lidahnya membisu dibalik tembok penjara.[5]
Namun
demikian, Imam Ahmad tidak bisa bersikap masa bodoh terhadap perilaku
tersebut. Imam Ahmad mencari fiqih dan keputusan para Khulafaur Rasyidin,
kemudian beliau mulai menyiarkan dan mempersaksikannya. Imam Ahmad
tidak ingin berpolitik tetapi mulai hanya berpendapat wajib mentaati
khalifah meskipun mereka menyimpang. Sebab, menurut beliau, taat kepada
penguasa yang menyimpang itu lebih baik ketimbang fitnah yang tidak
hanya menimpa orang-orang yang berbuat aniaya saja. Akan tetapi bukan
berarti mendiamkan saja khalifah yang zalim. Dan menasehatinya akan
lebih baik daripada memberontaknya.[6]
Ahmad
bin Hanbal tidak menerjunkan dirinya langsung dalam kancah konflik
politik yang menyala-nyala. Akan tetapi, beliau berpendapat dengan
sesuatu yang beliau yakni kebenarannya dalam rangka mengikuti sunnah
bagaimanapun caranya mencapai pendapat tersebut, karena beliau adalah
orang yang paling ingin meniru Rasulullah SAW. Beliau berkata “Ahli
hadist adalah orang yang mengamalkannya”.
Sepanjang
riwayat, ketia yang mulai Imam Syafi’i diminta oleh baginda harun
al-Rasyid untuk mencari ahli hukum dan yang berilmu pengethuan dalm
pusat pemerintahannya, maka Imam Syafi’i menunjuk Imam Hanabli untuk
mendudukinya. Namun, berulang kali dan secara tegas Imam Hanbali berkata
: “Saya datang kepada engkau ini hendak menuntut ilmu pengetahuan,
bukan hendak mencari kedudukan atau pangkat disisi kepala negara”.[7]
Meskipun demikian, Imam Ahmad tidak dapat menjauh dari politik, karena
politik selalu menyertai kehidupan dan politik juga mengantarkan manusia
mendekati kemaslahatan dan menjauhi kerusakan.
Begitu juga ketika aliran Mu’tazilah menguasai pemerintahan Ma’mun bin Harun al-Rasyid yang membaca ajaran tentang kemahlukan al-Qur’an,
kebijakan ini mendapat reaksi keras dari para ahli fiqih aliran
ahlussunah terutama Imam Ahmad. Tetapi, kebijakan politik oleh penguasa
Khalifah Ma’mun dan Mu’tashim tidak mampu menyurutkan dan merubah
pendiriannya, meskipun beliau mendapat penyiksaan keras dari mereka.
Bahkan semakin keras penyiksaan itu, semakin kuat pula pendiriannya.
Hingga akhirnya, muncullah seorang khalifah baru berpaham Ahlussunah
yang berhasil membasmi para pengikut aliran Mu’tazilah.[8]
4. Wacana Keilmuwan Yang Digunakan
Dalam
pesantrennya setiap selesai sholat ashar, Imam Ahmad membiasakan
memberi fatwa dan bersama dengan peserta pesantrennya menyebutkan diri
dengan apa yang dilakukan oleh para ulama salaf dalam pesantren mereka,
yaitu pengkajian al-Qur’an dan tafsirnya. Beliau mengajukan bahwa ayat
al-Qur’an itu ditafsirkan oleh sebagian yang lain oleh sebagian yang
lain atau oleh hadits dan atsar para sahabat. Beliau lebih
menekankan pada pesantrennya untuk menetapkan pengetahuan di bidang
bahasa arab, sastra dan ilmu bahasanya agar mereka dapat memahami
al-Qur’an dan hadits dengan mudah.
Adapun
ilmu-ilmu lainnya yang tersebar dimasa Imam Ahad adalah tentang
perbincangan masalah akidah. Sebagian para pemikir dan fuqaha juga
pernah mambahas tentang Jabr dan ikhtiar. Sementara yang lainnya
lagi berpendapat bahwa tindakan-tindakan dan sifat Allah yang dapat
ditangkap dengan panca indra haruslah ditakwilkan dari maknanya yang
lain. Mereka memperpanjang dan membicarakan semua itu dengan ilmu kalam.[9]
5. Metode Istinbat Hukum
Telah
kita kenal bahwasanya Ahmad bin Hambal dikenal luas sebagai pembela
hadits Nabi yang gigih. Hal ini dapat dilihat dari cara-cara yang
digunakannya dalam memutuskan hukum. Ia tidak suka menggunakan akal,
kecuali dalam keadaan sangat terpaksa atau sangat perlu dan sebatas
tidak ditentukan hadits yang menjelaskannya.
Ibn Hanbal sangat
berhati-hati tentang riwayat hadits, karena hadits sebagai dasar tidak
akan didapatkan faedahnya tanpa memiliki riwayatnya. Dalam hal ini
beliau berkata-kata “Barangsiapa yang tidak mengumpulkan hadits dengan
riwayatnya serta pembedaan pendapat mengenainya, tidak boleh memberikan
penilaian tentang hadits tersebut dan berfatwa berdasarkannya”.[10]
Kemudian,
tentang dasar-dasar yang dipakai Ahmad bin Hanbal dalam memutuskan
hukum, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan gurunya, Imam Syafi’i, yang
didasarkan atas lima hal :
íNash al-Qur’an dan Hadits Marfu’
Selama ada teks ini, Ahmad pasti akan memutuskannya berdasarkan teks tersbut, meskipun ada dasar lain.
íFatwa para sahabat Nabi
Apabila
beliau tidak mendapatkan suatu nash terang, baik dari al-Qur’an maupun
sunnah, barulah menggunakan fatwa dari sahabat yang dirasa tidak ada
fatwa lain yang menandinginya. Katanya “itu bukanlah ijma’”. Fatwa
sahabat didahulukan daripada akal atau qiyas.
íApabila
terjadi perbedaan pendapat dikalangan sahabat, maka beliau Mengambil
pendapat yang lebih dekat dengan bunyi teks al-Qur’an atau hadits dan
tidak akan mencari yang lainnya. Akan tetapi bila semuanya tidak jelas,
maka beliau tidak akan mengambil kesimpulan apapun.
íHadits Mursal dan Hadits Dha’if
Jalan
ini diambil bila tidak dijumpai hadits lain yang setingkat. Hadits
dha’if menurutnya ialah “yang tidak batil” atau “tidak munkar”, atau yang didalamnya tidak terdapat perawi yang muttaham,
karena beliau memadang bahwa hadits dho’if yang bertingkatan tidak
sampai ketingkat shahit, tetapi termasuk dalam hadits hasan itu lebih
kuat dan lebih baik daripada qiyas.
íQiyas
Beliau
menggunakan qiyas bila sudah dalam keadaan terpaksa karena tidak
didapatkan dalam hadits mursal ataupun dha’if dan juga fatwa para
sahabat.[11]
Tentang
ijma’, pendirian Imam Hanbali ini sebenarnya tiak berbeda dengan
pendirian Imam Syafi’i, karena Imam Syafi’i sendiri pernah berkata
“Barang apa yang belum diketahui ada perselisihan di dalamnya itu belum
atau bukan ijma’ namanya”. Sedangkan Imam hanbali berpendapat bahwa
ijma’ tidak diakui keberadaannya setelah periode sahabat. Beliau
berkata, “apa yang dituduh oleh seseorang tentang ijma’ adalah dusta”.
Beliau bukannya tidak mengakui ijma’ setelah periode sahabat, tetapi
tidak memungkinkan akan terjadinya. Karena itu beliau lebih berpegang pada qiyas setelah teks al-Qur’an, sunnah dan atsar sahabat.
Kemudian
pendirian Imam Hanbali terdapat ra’yi dan ahli ra’yi dalam hukum
keagamaan, tidak berbeda dengan para imam ahli hadits seperti Imam
Maliki, Imam Syafi’i, dan lainnya, yakni hukum agama tidak selayaknya
dan tidak pada tempatnya jika hanya bersandar atas pendapat dari buah
fikiran orang yang tidak pada tempatnya jika hanya bersandar atas dalil
atau alasan dari al-Qur’an ataupun sunnah.[12]
Imam
Hanbali bukan seorang yang fanatik akan pendapt yang sampai padanya.
Sehinga beliau sering melarang penulis fiqih yang diajarkannya, karena
seringnya berubah pandangan. Beliau khawatir bila fiqih dibukukan, maka
hukum-hukum syariat akan beku dan taklid akan merajalela sepanjang masa.
Sedang fiqih seyogyanya selalu mengalami pembaharuan sesuai dengan
tuntutan zaman.
6. Sekilas Tentang Mazhab Hanbali
Untuk
sekedar diketahui, bahwa mazhab Imam Hanbali ini mazhab yang kurang
berkembang di dunia Islam. Mula mazhabnya hanya berkermbang di Bagdad,
tempat kediaman Imam Hanbali. Hingga abad IV H, mazhab inipun belum
merambah di negara Mesir, tetapi baru sampai pada perbatasan Irak. Dan
baru pada akhir abad VI Hijriah, mazhab Hanbali terdengar beritanya di
Mesir. Kemudian, dengan usaha gigih oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayim,
mazhab ini menjadi lebih berkembang lagi dan di abad 12 H dengan
kesungguhan Muhammad ibn Abdil Wahhab Mazhab
Hanbali menjadi mazhab penduduk Najed. Dan sekarang resmi di
pemerintahan Saudi Arabia dan memiliki pengikut terbesar di Jazirah
Arab, Palestina, Syria, Irak.[13]
III. KESIMPULAN
Dari
apa yang telah dipaparkan di atas, maka kita dapat mengetahui
bahwasanya Ahmad Ibnu Hanbal merupakan seorang ilmuwan hukum yang
relatif paling tektual dalam memahami al-Qur’an dan sunah. Akan
kecintaan beliau kepada sunnah dan hadits Nabi, sehingga tidak heran
bila ada suatu golongan yang menyebutnya sebagai ilmuwan hadits daripada
ilmuwan fiqih. Sebagai pembela hadits Nabi yang sangat gigih dapat
dilihat dari cara-cara yang digunakan dalam memutuskan hukum, yakni
tidak menggunakan akal kecuali dalam keadaan sangat terpaksa.
Fatwa-fatwa Ahmad bin hanbal didasarkan atas 5 hal :
ë Nash Al-Qur’an dan Hadits Marfu’
ë Fatwa para sahabat
ë Bila ada perselisihan diambil yang paling dekat dengan nash al-Qur’an atau hadits
ë Hadits Mursal dan hadits Dha’if
ë Qiyas
DAFTAR PUSTAKA
Khalil, K.H. Munawar, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, Bulan Bintang, Jakarta, 1983.
Asy-Syarqawi Abdurrahman, Kehidupan, Pemikiran dan Perjuangan Lima Imam Mazhab Terkemuka, Al-Bayan, Bandung, 1994.
Mushtofa Al-Maraghi Abdullah, Pakar-Pakar Fiqh Sepajang Sejarah, LKPSM, Yogyakarta, 2001.
Munawir Imam, Mengenal Pribadi 30 Pendekar dan Pemikir Islam Dari Masa ke Masa, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1985.
Ash-Shiddieqy, Hasbi, Prof. Dr. TM, Pengantar Ilmu Fiqih, Bulan Bintang, Jakarta, 1978.
[1] Abdurrahman Asy-Syarqawi, 5 Imam Mazhab Terkemuka, al-Bayan, Bandung, 1994, hlm 148.
[2] Ibid, hlm. 140.
[3] Ibid, 142.
[4] K.H. Munawar Khalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, Bulan Bintang, Jakarta, 1983, hlm. 290.
[5] Abdurrahman asy-Syarqawi, Op. Cit, hlm. 153-154.
[6] Ibid.
[7] K.H. Munawar Khalil, Op.Cit, hlm. 265.
[8] Abdullah Mustofa al-Maraghi, Pakar-Pakar Fiqih Sepanjang Sejarah, LKPSM, Yogyakarta, 2001, hlm. 105-106.
[9] Abdurrahman asy-Syarqawi, Op. Cit, hlm. 168-169.
[10] Imam Munawir, Mengenal pribadi 30 pendekar dan pemikiran Islam Dari masa Ke Masa, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1985, hlm. 295-296.
[11] Abdullah Mustofa al-Maraghi, Op.Cit, hlm. 108.
[12] K.H. Munawar, Khalil, Op.Cit, hlm. 291.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar