Ilmu Nasikh dan Mansukh, salah satu kajian Ulum al-Quran,
lahir sebagai konsekuensi dari turunnya al-Quran secara berangsur-angsur
yang seringkali terlihat bertentangan satu dengan lainnya. Pembahasan
tentangnya pun telah melahirkan pro dan kontra diantara ulama.
Pendapat yang menyatakan ada atau mungkin terjadinya secara akal dan syara’ dengan yang menyatakan akan kemustahilannya bagaikan dua kutub magnet yang mustahil disatukan. Ulama yang sebenarnya kurang tertarikpun “terpaksa” urun rembug menyumbangkan pemikirannya, baik sebagai penengah atau pun penguat salah satu “kubu” ulama yang berbeda pendapat. Tak heran jika kajian Nasikh dan Mansukh menjadi terhitung urgen disamping kajian Ulum al-Quran lainnya. Berikut bahasan singkat mengenai Nasikh dan Mansukh.
Pendapat yang menyatakan ada atau mungkin terjadinya secara akal dan syara’ dengan yang menyatakan akan kemustahilannya bagaikan dua kutub magnet yang mustahil disatukan. Ulama yang sebenarnya kurang tertarikpun “terpaksa” urun rembug menyumbangkan pemikirannya, baik sebagai penengah atau pun penguat salah satu “kubu” ulama yang berbeda pendapat. Tak heran jika kajian Nasikh dan Mansukh menjadi terhitung urgen disamping kajian Ulum al-Quran lainnya. Berikut bahasan singkat mengenai Nasikh dan Mansukh.
A. Pengertian Naskh
Secara etimologis naskh berarti: pembatalan, penghapusan, pemindahan dari satu wadah ke wadah yang lain, pengubahan, dsb. Seperti: نسخت الشمس الظل yang berarti menghilangkan dan ان كن نستنسخ ما كمتم تعلمون (الجاشية: 29) yang berarti memindahkan.
Secara terminologis, ulama mutaqoddim (abad I–III H) memperluas arti naskh mencakup: 1) pembatalan hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian, 2) pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian, 3) penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersfat samar, 4) penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang bersyarat. Ulama muta’akhkhirin mempersempit pengertian naskh terbatas pada ketentuan hukum yang datang kemudian, guna membatalkan atau mencabut masa pemberlakuan hukum terdahulu.
Secara etimologis naskh berarti: pembatalan, penghapusan, pemindahan dari satu wadah ke wadah yang lain, pengubahan, dsb. Seperti: نسخت الشمس الظل yang berarti menghilangkan dan ان كن نستنسخ ما كمتم تعلمون (الجاشية: 29) yang berarti memindahkan.
Secara terminologis, ulama mutaqoddim (abad I–III H) memperluas arti naskh mencakup: 1) pembatalan hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian, 2) pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian, 3) penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersfat samar, 4) penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang bersyarat. Ulama muta’akhkhirin mempersempit pengertian naskh terbatas pada ketentuan hukum yang datang kemudian, guna membatalkan atau mencabut masa pemberlakuan hukum terdahulu.
B. Syarat-syarat Naskh
Menurut Manna’ al-Qaththan, syarat-syaratnya ada tiga: 1) hukum yang mansukh adalah hukum syara’, 2) dalil penghapusan hukum tersebut adalah khitab syar’I yang datang lebih kemudian dari khitab yang hukumnya mansukh, 3) khithab yang mansukh hukumnya tidak terikat atau dibatasi dengan waktu tertentu.
Menurut Manna’ al-Qaththan, syarat-syaratnya ada tiga: 1) hukum yang mansukh adalah hukum syara’, 2) dalil penghapusan hukum tersebut adalah khitab syar’I yang datang lebih kemudian dari khitab yang hukumnya mansukh, 3) khithab yang mansukh hukumnya tidak terikat atau dibatasi dengan waktu tertentu.
C. Pendapat Ulama Perihal Nasikh dan Mansukh
Dalam mengomentari persoalan naskh dan mansukh, ulama terbagi menjadi dua kelompok: 1) yang menerima keberadaan ayat-ayat yang dinaskh dan 2) yang menolak. Ulama-ulama yang menilai adanya naskh dan mansukh dalam al-Quran a.l. Imam al-Syafi’iy, al-Nahs (388 H, menyatakan 100 ayat lebih mansukhah dalam al-Quran), al-Suyuthi (911 H, 20 ayat mansukhah), al-Syaukani (1250 H, delapan ayat mansukhah), Ibn Katsir, dan al-Maraghy. Sedangkan ulama yang menolak a.l. Abu Muslim al-Asfahany (322 H), mufasir besar Fakhru al-Razy, Muhammad Abduh (1325 H), Rasyid Ridha (1354 H), Dr. Taufiq Shidqi dan Khudlary.
Adapun hujjah mereka yang menetapkan adanya ayat-ayat mansukhah dalam al-Quran: 1) firman Allah s. al-Baqarah: 106; “Kami tidak menasakhkan satu ayat atau kami menjadikan manusia lupa kepadanya kecuali kami mendatangkan yang lebih baik darinya atau yang sebanding. Apakah kamu tidak mengetahui sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu”; 2) firman Allah s. an-Nahl: 101; “Apabila kami mengganti satu ayat di tempat ayat yang lain dan Tuhan mengetahui apa yang diturunkan-Nya, maka mereka berkata: sesungguhnya engkau hanyalah pembohong”, 3) dengan terdapatnya perlawanan antara lahir beberapa ayat dengan lahir ayat yang lain, contohnya: wasiat dengan ayat mawarits.
Para pendukung naskh mengakui bahwa naskh baru dilakukan apabila: a) terdapat beberapa hukum yang saling bertolak belakang dan tidak dapat dikompromikan, b) harus diketahui secara meyakinkan urutan turunnya ayat-ayat tersebut, sehingga yang lebih dahulu ditetapkan sebagai mansukh dan yang kemudian sebagai nasikh.
Disisi lain, mereka yang menolak adanya nasakh dalam al-Quran beranggapan bahwa pembatalan hukum dari Allah mengakibatkan satu dari dua kemustahilan, yaitu: a) ketidaktahuan; sehingga Dia perlu mengganti atau membatalkan satu hukum dengan hukum yang lain, b) kesia-siaan dan permainan belaka.
Satu hal yang mengherankan bahwa mereka yang mendakwa adanya ayat-ayat mansukh tidak menyertakan satu hadits pun yang shahih yang dapat dipandang menjadi naskh qath’iy lagi tegas menunjuk bahwa ayat ini dinaskh dengan ayat ini. dan mereka tidak mencapai kata sepakat dalam menetapkan bilangan ayat yang didakwa mansukhah.
Dengan demikian, kita cenderung memahami pengertian naskh dengan pergantian atau pemindahan dari suatu wadah ke wadah yang lain. dalam arti bahwa kesemua ayat al-Quran tetap berlaku, tidak ada kontradiksi hanya pergantian hukum bagi masyarakat atau orang tertentu karena kondisi yang berbeda.
Dalam mengomentari persoalan naskh dan mansukh, ulama terbagi menjadi dua kelompok: 1) yang menerima keberadaan ayat-ayat yang dinaskh dan 2) yang menolak. Ulama-ulama yang menilai adanya naskh dan mansukh dalam al-Quran a.l. Imam al-Syafi’iy, al-Nahs (388 H, menyatakan 100 ayat lebih mansukhah dalam al-Quran), al-Suyuthi (911 H, 20 ayat mansukhah), al-Syaukani (1250 H, delapan ayat mansukhah), Ibn Katsir, dan al-Maraghy. Sedangkan ulama yang menolak a.l. Abu Muslim al-Asfahany (322 H), mufasir besar Fakhru al-Razy, Muhammad Abduh (1325 H), Rasyid Ridha (1354 H), Dr. Taufiq Shidqi dan Khudlary.
Adapun hujjah mereka yang menetapkan adanya ayat-ayat mansukhah dalam al-Quran: 1) firman Allah s. al-Baqarah: 106; “Kami tidak menasakhkan satu ayat atau kami menjadikan manusia lupa kepadanya kecuali kami mendatangkan yang lebih baik darinya atau yang sebanding. Apakah kamu tidak mengetahui sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu”; 2) firman Allah s. an-Nahl: 101; “Apabila kami mengganti satu ayat di tempat ayat yang lain dan Tuhan mengetahui apa yang diturunkan-Nya, maka mereka berkata: sesungguhnya engkau hanyalah pembohong”, 3) dengan terdapatnya perlawanan antara lahir beberapa ayat dengan lahir ayat yang lain, contohnya: wasiat dengan ayat mawarits.
Para pendukung naskh mengakui bahwa naskh baru dilakukan apabila: a) terdapat beberapa hukum yang saling bertolak belakang dan tidak dapat dikompromikan, b) harus diketahui secara meyakinkan urutan turunnya ayat-ayat tersebut, sehingga yang lebih dahulu ditetapkan sebagai mansukh dan yang kemudian sebagai nasikh.
Disisi lain, mereka yang menolak adanya nasakh dalam al-Quran beranggapan bahwa pembatalan hukum dari Allah mengakibatkan satu dari dua kemustahilan, yaitu: a) ketidaktahuan; sehingga Dia perlu mengganti atau membatalkan satu hukum dengan hukum yang lain, b) kesia-siaan dan permainan belaka.
Satu hal yang mengherankan bahwa mereka yang mendakwa adanya ayat-ayat mansukh tidak menyertakan satu hadits pun yang shahih yang dapat dipandang menjadi naskh qath’iy lagi tegas menunjuk bahwa ayat ini dinaskh dengan ayat ini. dan mereka tidak mencapai kata sepakat dalam menetapkan bilangan ayat yang didakwa mansukhah.
Dengan demikian, kita cenderung memahami pengertian naskh dengan pergantian atau pemindahan dari suatu wadah ke wadah yang lain. dalam arti bahwa kesemua ayat al-Quran tetap berlaku, tidak ada kontradiksi hanya pergantian hukum bagi masyarakat atau orang tertentu karena kondisi yang berbeda.
D. Urgensi Mempelajari Naskh dan Mansukh
Imam Ali berkata pada seorang Qadhi, “Apakah kamu mengetahui al-nasikh wa al-mansukh?” Qadhi itu menjawab, “tidak”. imam Ali berkata kembali, “Binasalah kamu dan kamu membinasakan”. Para imam pun menjadikan pengetahuan naskh dan mansukh syarat seseorang boleh menafsirkan al-Quran.
Pengetahuan mendalam akan Naskh memudahkan kita menentukan mana yang dahulu dan yang kemudian dari peristiwa-peristiwa yang telah diterangkan al-Quran dan menampakkan kepada kita hikmah Allah dalam mendidik makhluk. Bahkan menerangkan kepada kita bahwasanya al-Quran datang dari Allah, karena Allah-lah yang menghapus mana yang dikehendaki dan menetapkan mana yang dikehendaki tanpa campur tangan seorangpun. ***
Imam Ali berkata pada seorang Qadhi, “Apakah kamu mengetahui al-nasikh wa al-mansukh?” Qadhi itu menjawab, “tidak”. imam Ali berkata kembali, “Binasalah kamu dan kamu membinasakan”. Para imam pun menjadikan pengetahuan naskh dan mansukh syarat seseorang boleh menafsirkan al-Quran.
Pengetahuan mendalam akan Naskh memudahkan kita menentukan mana yang dahulu dan yang kemudian dari peristiwa-peristiwa yang telah diterangkan al-Quran dan menampakkan kepada kita hikmah Allah dalam mendidik makhluk. Bahkan menerangkan kepada kita bahwasanya al-Quran datang dari Allah, karena Allah-lah yang menghapus mana yang dikehendaki dan menetapkan mana yang dikehendaki tanpa campur tangan seorangpun. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar