Keberhasilan
Islam menembus dan mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia, serta
menjadikan dirinya sebagai suatu agama mayoritas bangsa ini merupakan prestasi
yang menakjubkan. Hal ini mengingat, bahwa secara geografis jarak antara
Indonesia dan Jazirah Arab sebagai tempat kelahiran Islam cukup jauh. Apalagi
jika diperhatikan bahwa sejak proses penyebaran Islam di kepulauan nusantara
yang waktu itu dikuasai kerajaan Hindu-Budha,
belum dapat ditemukan suatu organisani dakwah yang boleh dikatakan mapan
dalam merencanakan proyek besar ini, yakni memperkenalkan Islam kepada
masyarakan luas.
Proses tersebarnya Islam kala itu
semata-mata mengandalkan kemampuan dan ketekunan tenaga da’i pedagang
atau guru sufi. Karena itu dapat dipahami jika proses penyebaran Islam
di Indonesia membutuhkan proses cukup panjang, rumit dan waktu berabad-abad.
Dalam kasus masyarakat Jawa,
penyebaran Islam tidak bisa dilepaskan dari peran Walisongo, yaitu suatu
gerakan dakwah Islam yang beranggotakan sembilan orang saleh. Jika ada seorang
anggota Walisongo meninggal dunia, atau kembali ke negeri seberang, maka akan
diganti dengan anggota baru. Songo atau sembilan adalah angka paling
tinggi, gerakan dakwah ini sengaja
dinamakan Walisongo untuk menarik simpati masyarakat yang waktu itu masih belum
terdidik dengan baik, dan juga belum mengerti hakikat agama Islam (Rahimsyah,
1998: 5).
Pergantian
ini terjadi seperti ketika Syaikh Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik yang
merupakan sesepuh Walisongo meninggal dunia, sehingga wali tertua waktu itu
pindah ke Sunan Ampel. Sebagai pengganti Sunan Gresik, Raden Patah atau Sunan
Kota Praja Demak Bintoro direkrut ke dalam anggota Walisongo (Rahimsyah, 1998:
5).
Demikian juga setelah Syekh Siti
Jenar dihukum mati. Sunan Kalijogo diutus dewan wali untuk mengajak Ki
Pandhanaran (Sunan Bayat) menjadi anggota dewan wali menggantikan posisi Syekh
Siti Jenar (Rahimsyah, 1998: 57). Akan tetapi harus dicatat pula di sini, bahwa
status keanggotaan Sunan Bayat sebagai kelompok Walisongo masih menjadi
kontroversi sejarah.
Dalam perkembangan Islam di Jawa,
Walisongo memainkan peran cukup dominan. Mereka diterima secara luas dalam
masyarakat Jawa karena pandai menggunakan daya lentur ajaran Islam dengan tetap
meneguhkan tradisi-tradisi setempat, terutama ajaran mistikisme yang berasal
dari ajaran Hindu, yang memang mempunyai banyak persamaan dengan ajaran
mistikisme Islam (Fachry Ali, 1992: 35). Tragisnya, watak inilah yang justru
menjadi faktor dominan bagi penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di pulau
Jawa.
Sebagai indikasi diterimanya kehadiran Walisongo dalam kehidupan
keagamaan masyarakat Jawa adalah adanya pengaruh mereka yang cukup signifikan
dalam kehidupan masyarakat. Pengaruh itu tidak saja terungkap dalam bidang
keagamaan, tetapi juga mencakup bidang lain, seperti ekonomi dan kekuasaan. Hal
ini terbukti dengan masuknya beberapa kesultanan Jawa ke dalam agama Islam,
seperti: Pajang, Mataram, Cirebon dan lain sebagainya.
Sinkretisme Islam dalam
masyarakat Jawa
Proses penyebaran Islam di Jawa
dalam perkembangannya ternyata banyak terjadi suatu proses sinkretisme cukup
tajam antara Islam dan ajaran-ajaran Hindu, serta tradisi-tradisi setempat. Hal
ini terjadi karena waktu Islam masuk ke tanah Jawa, pengaruh-pengaruh
Hindu-Budha masih kuat di pegang teguh mayarakat. Sikap masyarakat Jawa ini
bisa dipahami, karena pengaruh-pengaruh kejayaan Majapahit masih kuat di alam
pikiran masyarakat, serta kenyataan bahwa
secara geografis, Indonesia terletak sangat jauh dari daerah asal Islam.
Karena itu, sulit terbayangkan bahwa dari jarak yang sedemikian jauh, kemurnian
Islam masih dapat dipertahankan hingga sampai ke Indonesia. Selain itu ada
realitas historis bahwa Islam hadir di Indonesia tidak dibawa langsung oleh
pemeluk Islam asal Jazirah Arab, melainkan melalui pedagang dari Persia dan
India, semakin menunjukkan adanya sinkretisme Islam sejak pertama kali hadir di
Indonesia (Fachry Ali, 1992: 37).
Sampai saat ini Islam sinkretis
masih berkembang pesat di Jawa dan menjadi problem sangat rumit. Islam telah
menjadi agama yang dianut dengan kuat masyarakat Jawa di satu sisi, namun di
sisi lain kepercayaan-kepercayaan tradisional juga masih membayangi perilaku
masyarakat sehari-hari. Ironisnya, masyarakat Jawa sendiri yang pada umumnya
sudah memeluk Islam, tidak begitu menyadari bahwa kepercayaan-kepercayaan
tradisional ini seringkali mengganggu eksistensi keimanan dan pemahaman mereka
terhadap syari’at-syari’at Islam yang fundamental. Hal ini terjadi, diantaranya,
karena data-data sejarah tentang Jawa seringkali di campuradukkan dengan
legenda dan mitologi yang berkembang.
Lihat
saja soal kepercayaan tentang adanya ratu pantai selatan, yang dengan penuh takzim
dipanggil dengan Nyai Roro Kidul Atau Ratu Kidul. Pantai Parang Kusumo diyakini
konon tempat pertemuan legendaris antara Panembahan Senopati (Raja Mataram
Islam pertama) dengan Ratu kidul. Di sekitar Pantai Parangtritis dan
Parangkusumo sampai dewasa ini masih dijumpai praktik-praktik masyarakat Jawa
yang melakukan wisata bukan dalam arti rekreasi, tetapi untuk mengharapkan
memperoleh titah dhawuh. Biasanya, lewat seorang perantara, beberapa
wisatawan ini berharap menerima berbagai
berkah untuk dirinya dan keluarganya. Perjalanan tersebut mereka anggap
sebagai suatu pengalaman mistis, yang
mungkin hanya sekali seumur hidup, untuk mendapatkan pertanda dari laut. Berupa
suatu titah dhawuh dari Ratu Kidul, satu kenaikan puncak dalam status
spiritual (John Pemberton, 2003: 406). Ratu Kidul dipercaya bisa dipanggil,
seakan-akan dia terkubur, dibingkai dalam struktur pemujaan yang tidak lagi
mampu mengakui potensi sarana-sarana kekuatan lain.
Legenda
kekuatan dan keperkasaan Ratu Kidul ini sampai sekarang masih luas
diperbincangkan di hampir semua lapisan masyarakat Jawa di berbagai kalangan,
termasuk di antaranya kalangan masyarakat Islam santri, atau yang telah
terdidik ajaran Islam secara teratur. Bahkan cerita-cerita yang berlebihan
seperti hasil bidikan kamera yang diambil di Parangtritis, setelah dicetak
ternyata gambar yang muncul berubah dari obyek pemotretan menjadi penampakan
wujud Ratu Kidul, masih beredar secara luas di dalam masyarakat Jawa.
Setidak-tidaknya hujan turun di tengah terik sinar matahari (udan wewe)
diyakini masyarakat sekitar Yogyakarta dan Surakarta sebagai pertanda Ratu
Kidul sedang melakukan kirab atau pawai.
Lain
lagi di Surakarta. Pada malam satu Sura, tahun baru kalender Jawa temuan Aji
Saka (kebetulan pula tahun baru Hijriah), Keraton memperingati datangnya tahun
baru Jawa dengan kirab pusaka tahunan. Sebuah upacara yang keramat.
Pusaka-pusaka simpanan keraton yang paling keramat, berupa keris dan tombak
diarak. Menurut perhitungan kalender Jawa, malam ini adalah malam paling sakral
sepanjang tahun. Tepat pada tengah malam, pintu-pintu keraton dibuka dan
keluarlah barisan panjang terdiri dari payung-payung upacara, pelita-pelita
minyak yang kuno, sesaji-sesaji bunga dan kepulan asap dupa. Kemudian para abdi
dalem mengiringi anggota-anggota keluarga kerajaan yang ditugasi membawa
senjata-senjata pusaka. Yang berjalan pelan-pelan di muka barisan adalah Kiai
Slamet, kerbau putih (kebo bule) keraton yang dikeramatkan.
Sepanjang
perjalanan kerumunan penonton dengan diam menunggu arak-arakan lewat. Sebagian
penonton melakukan gerakan penghormatan ketika pusaka-pusaka tersebut lewat.
Para perempuan tua di antara kerumunan tersebut berusaha meraup berkah dengan
menciduk kotoran (tahi) Kiai Slamet, karena kotoran kerbau tersebut
dipercaya memiliki kekuatan yang bisa menyembuhkan penyakit, memberi kesuburan
pada tanaman dan penglaris barang dagangan.
وَلاَ تَسُبُّ الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللهِ
فَيَسُبُّوْا اللهَ عَدْوُا بِغَيْرِ عِلْمٍ , كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ
عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا
كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ
“Dan janganlah kalian memaki sembahan-sembahan yang mereka
sembah selain Allah, sehingga mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui
batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik
pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah tempat kembali mereka, lalu
Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan” (Surat
al-An’aam: 108)
Tidak. Mereka
tidak menyembah kebo. Mereka kaum muslimin, menyembah Allah juga, hanya
mereka ingin “yang lebih jelas”, yang mudah “dipegang”. Dan Kiai Slamet gampang
dipegang-pegang.
Cerita-cerita
seputar kesaktian Kiai Slamet serta pusaka-pusaka keraton tersebut beredar luas
di Surakarta. Sebenarnya upacara ini baru muncul tahun 1971 dan diselenggarakan
oleh para sesepuh keraton atas usul dari Soedjono Humardhani, pada waktu itu ia
menjabat sebagai Inspektur Jenderal Pembangunan dan merupakan kawan dekat
keluarga Presiden Soeharto (John Pemberton, 2003: 221). Kirab Pusaka berkembang
menjadi ramai sejak itu. Tetapi ketika ditanyakan kepada penduduk setempat
tentang asal muasal Kirab Pusaka ini, jawabannya, bahwa arak-arakan ini telah
berlangsung “sejak zaman kuno”.
Lebih
jauh lagi, ke desa-desa. Kepercayaan dan keyakinan yang aneh-aneh dan rumit banyak
dijumpai di hampir seluruh desa di Jawa. Terutama yang penulis ketahui di Jawa
tengah. Bahkan di beberapa desa pesisir utara yang notabene dianggap basis
Islam santri, kepercayaan ini masih saja dianut penduduknya. Di desa-desa masih
banyak kita jumpai acara sedekah bumi (atau sedekah laut bagi yang wilayahnya
di pinggiran pantai). Meskipun praktik-praktik semacam ini sudah terpinggirkan,
namun pengaruh eksistensinya masih sangat terasa.
Sedekah
bumi adalah bentuk upacara yang dipersembahkan kepada dhanyang sebagai
penjaga (sing mbau rekso) desa. Upacara ini biasanya berbentuk kirim
sesaji atau menyelenggarakan slametan di dekat tempat-tempat angker dan
menyeramkan yang ada di desa tersebut. Umumnya berbentuk sumur tua, pohon besar
dan tanah pekuburan. Masyarakat desa setempat mempercayai bahwa tempat-tempat
tersebut dihuni oleh dhanyang (biasanya dipanggil dengan sebutan yang
sangat familiar sebagai mbah (kakek/nenek). Dhanyang dalam presepsi
masyarakat Jawa adalah berbentuk roh halus yang mengisyaratkan kebaikan. Di
desa satu dan di desa lain, cerita tentang penampakan dhanyang sangat
beragam, ada yang berupa macan putih, kuda, nenek-nenek tua bongkok,
kakek-kakek atau yang lainnya. Jika dhanyang ini melakukan penampakan, maka
diyakini sebagai firasat akan terjadi sesuatu di desa setempat. Dhanyang ini
merupakan kebalikan dari hantu-hantu jahat yang mengerikan dan menyengsarakan
manusia. Karena dhanyang ini merupakan roh halus, maka tiap tahun harus diberi
persembahan, agar desa setempat, dan bahkan “Negara Indonesia”, selalu mendapat
perlindungan dan rasa aman.
Selain
cerita-cerita di atas, masih banyak lagi mitos-mitos yang berkembang di dalam
masyarakat Jawa. Meskipun terjadi absurditas, irasional dan alasan yang
terkesan mengada-ada, sejauh ini mitos-mitos tersebut masih berkembang.
Misalnya saja di seputar perkawinan, masyarakat
Jawa (terutama daerah-daerah yang
masih dibawah pengaruh kerajaan) menganggap pantangan menyelenggarakan
resepsi perkawinan di bulan Asyuraa’ atau Suro, karena bulan ini diyakini
sebagai bulan bala’.
Anak
laki-laki pertama tidak boleh nikah
dengan anak perempuan nomer tiga, atau sebaliknya. Yang lahir pada pasaran
Wage tidak boleh nikah dengan yang lahir pada pasaran Pahing. Selain
yang disebutkan, masih banyak lagi mitos-mitos Jawa yang rumit dan
berbelit-belit, sehingga justru menyulitkan hidup masyarakat Jawa secara umum.
Tradisi-tradisi
di atas, sebagian memang sudah mulai pudar dalam kepercayaan masyarakat, namun
masih banyak pula yang masih tertanam kuat dalam diri mereka.
Situasi
sinkretisme Islam dalam masyarakat Jawa yang kurang menggembirakan ini, niscaya
membutuhkan suatu transformasi kongkrit ke arah penyempurnaan Iman dan
Islam. Masyarakat harus di antarkan
kepada iman yang mampu melepaskan dari “tirani tradisi”, sehingga pemahaman
kepada Islam menjadi sempurna, sebagaimana digariskan oleh Al-Qur’an dan
Sunnah. Karena larangan mencampur antara yang hak dan yang bathil, terutama
dalam hal akidah, merupakan ajaran yang fundamental dalam Islam.
Firman Allah dalam Surat
Az-Zumar:
إِنَّا أنْزَلْنَآ إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ
اللهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّيْنَ .
أَلاَ ِللهِ الِّيْنُ الْخَالِصُ , وَالَّذِيْنَ اتَّخَذُوْا
مِنْ دُوْنِ اللهِ أَوْلِيَآءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلاَّ لِيُقَرِّبُنَّا زُلْفَى ,
إِنَّ اللهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِىْ مَا هُمْ فِيْهِ يَخْتَلِفُوْنَ , إِنَّ اللهَ لاَ يَهْدِىْ مَنْ هُوَ كَاذِبٌ
كَفَّارٌ
“Sesungguhnya
Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al-Qur’an) dengan (membawa) kebenaran. Maka
sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya.
Ingatlah ! Hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih
(dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata):
“Kami tidak menyembah mereka supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan
sedekat-dekatnya”. Sesungguhnya Allah
akan memutuskan di antara mereka tentang sesuatu yang mereka perselisihkan.
Sesungguhnya Allah tidak memeberi petunjuk kepada orang-orang yang pendusta dan
sangat ingkar” (Surat Az-Zumar: 2, 3).
Memang upaya
ini memerlukan kerja keras dan kesabaran. Bagaimanapun perasaan orang Jawa yang
dikenal halus dan banyak unggah-ungguh harus diperhitungkan, jika tidak
ingin justru mereka bersikap antipati terhadap Islam sebagai agamanya.
Dan
di antara langkah-langkah yang telah lama diyakini paling efektif untuk
melakukan perubahan menuju penyempurnaan ajaran Islam oleh kalangan
intelektual, adalah dengan meletakkan pendidikan sebagai proses dalam
pembaharuan kebudayaan (Abdurrahman wahid, 1984:7). Pendidikan harus
ditempatkan sebagai wahana terpenting untuk mencapai kemerdekaan manusia dari
mitos-mitos yang tidak beralasan dan melepaskan menusia dari belenggu “tradisi”
yang menyesatkan. Dalam kaitannya dengan tarbiyyah islamiyyah, maka pendidikan
harus mampu mengarahkan pemeluk Islam untuk melepaskan diri dari
kepercayaan-keperacayan dan mitos yang dapat mengganggu keimanan dan
pengabdiannya kepada Allah.
Dalam makalah
ini penulis sengaja memakai istilah tarbiyah islamiyyah, bukan pendidikan
Islam. Menurut presepsi penulis, tarbiyah mempunyai dimensi yang sangat luas
dari sekedar pendidikan, meskipun secara harfiyah tarbiyah dapat diterjemahkan
dengan pendidikan. Akan tetapi, kita sudah terlalu lama terjebak dengan term
pendidikan yang terlalu formalistik.
Presepsi
penulis ini didasarkan bahwa kata tarbiyyah berakar dari kata Ar-Rabb, yang
dapat berarti memperbaiki, mengurusi, mengatur, menjaga dan memperhatikan. Kata
Ar-Rab ketika ditujukan kepada Allah “Rabbul-‘aalamiin”, artinya adalah Tuhan
segala alam, raja dan pemiliknya, Tuhan yang ditaati dan Tuhan yang memberbaiki
alam (Tim BPA UNS, 2003: 137).
Menurut DR.
Ali Abdul Halim Mahmud, tarbiyah juga memiliki pengertian, “Cara ideal dalam
berinteraksi dengan fitrah manusia, baik secara langsung (dengan kata-kata)
ataupun secara tidak langsung (dengan keteladanan), untuk memproses perubahan
dalam diri manusia menuju kondisi yang lebuh baik” (Tim BPA UNS, 2003: 137).
Sementara
para ahli pendidikan Islam menyatakan bahwa tarbiyah islamiyyah adalah proses
menyadarkan manusia agar dapat mewujudkan penghambaan diri kepada Allah swt,
baik secara mandiri maupun kolektif.
Jadi tarbiyah
islamiyah merupakan proses penyiapan menumbuhkan dan membentuk manusia yang
saleh dalam setiap aspeknya (jasmani, ruhani dan akal), sehingga tercipta suatu
keseimbangan dalam potensi, tujuan , ucapan dan tindakannya dengan tanpa
menghilangkan setiap potensi yang dimiliki manusia, karena hakekat tarbiyah
islamiyah adalah kesatuan antara ilmu, iman dan amal.
Dalam rangka
menyiapkan masyarakat Jawa untuk menuju kepada hakikat iman dan pemurnian
ajaran Islam, maka proyek tarbiyah islamiyah harus mengacu kepada cara-cara
yang diajarkan Al-Qur’an dan keteladanan Nabi Muhammad saw dalam melakukan
perubahan di Tanah Arab, dari masyarakat yang percaya terhadap mitos
berhala-berhala menuju masyarakat yang penuh dengan kemurnian iman dan Islam.
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي
رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ
الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada
diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagi kalian, (yaitu) bagi orang
yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan ia banyak
berdzikir kepada Allah”. (Surat Al-Ahzab: 21)
Pertama-tama yang harus menjadi bidang garapan
tarbiyahi islamiyah adalah meluruskan pengertian iman kepada Allah. Iman yang
dibelakangnya tidak ada kesesatan dan kebatilan. Iman bahwa Allah Maha Agung,
tiada tuhan selain Dia. Tiada daya dan tiada kekuatan kecuali dari Allah swt.
Di dunia ini semuanya tunduk kepada Allah.
Allah telah
memberi kehormatan yang sedemikian besarnya kepada manusia, sehingga sejak
penciptaannya, Allah telah menetapkannya sebagai khalifahNya di muka bumi. Dan
kala itu pula Allah mengutus kepada para malaikat untuk hormat kepada Adam.
Selanjutnya
dalam rangka membentuk presepsi yang benar tentang eksistensi manusia di bumi
ini, tarbiyah islamiyyah harus tegas dalam meluruskan presepsi-presepsi tentang
takhayul yang secara nyata merusak akidah umat Islam. Takhayul-takhayul ini
sudah saatnya dihentikan dan dienyahkan dalam alam pikiran masyarakat Jawa,
karena selain mengganggu akidah, ia mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam
mengganggu cara pandang dan cara berfikir masyarakat Jawa tentang hidup. Bayangkan saja jika setiap generasi
masyarakat selalu mempertahankan “tradisi” yang pada kenyataannya menjadi
penghalang bangsa Indonesia untuk menuju cita-citanya yang bermartabat,
bermoral, dan dilandasi iman yang tulus kepada Allah ta’aalaa. Untuk
itu, tirani-tirani takhayul yang menjadi “hantu” masyarakat Jawa ini harus
secepatnya dilakukan pemecahan dengan memakai pentujuk, ajaran dan tuntunan
Allah dan RasulNya.
Berikut ini
salah satu alternatif tarbiyah Islamiyah dalam rangka membentuk pesepsi manusia
tentang hakekat dunia dan penghuninya.
Alam yang
tak terlihat
Tidak
diragukan lagi bahwa di dunia ini manusia tidak sendirian, ada makhluk-makluk
Allah yang lain yang menyertainya. Dan ternyata di antara makhluk-makhluk lain
ini ada juga yang berakal seperi manusia.
Tentang
makhluk-makhluk yang berakal ini, Al-qur’an menyebutkannya ada dua macam:
Pertama,
para malaikat. Malaikat termasuk makhluk Allah yang berakal. Mereka diciptakan
Allah dari cahaya, tidak bisa diindera dan tidak pula bertubuh, meskipun Allah
menganugerahinya dapat menjelma kepada bentuk tertentu, saat melakukan
tugas-tugas tertentu. Sebagaimana kisah kedua tamu Nabi Ibrahim yang sebenarnya
adalah para malaikat. Malaikat tidak berwujud materi, tidak makan dan minum.
Tidak nikah dan beranak-pinak. Tidak pula berjenis kelamin, laki-laki atau
perempuan.. Mereka mempunyai fitrah selalu taat dan berbakti kepada Allah, selalu
bertasbih, berzikir dan beribadah kepada Allah. Percaya kepada malaikat
merupakan kewajiban Islam dan dianggap bagian dari rukun Iman.
Di antara
kabar kembira yang dibawa Nabi Muhammad saw berkaitan dengan para malaikat adalah sebuah hadits dari Shafwaan bin
‘Assaal ra, yaitu sabda beliau saw:
مَا مِنْ خَارِجٍ خَرَجَ مِنْ بَيْتِهِ
فِىْ طَلَبِ الْعِلْمِ إِلاَّ وَضَعَتْ لَهُ الْمَلاَئِكَةُ أَجْنِحَهَا رِضًا
بِمَا يَصْنَعُ . رواه الترمذى
“Tidak ada orang yang keluar dari
rumahnya untuk menuntut ilmu (agama), kecuali para malaikat meletakkan sayap-sayapnya
buat orang tersebut karena suka dengan apa yang dikerjakannya”. (Riwayat
Tirmidzy)
Kedua,
jin. Al-Qur’an menyebutkan bahwa jin terbuat dari api. Al-Qur’an menyebutkan
pula bahwa makhluk jenis jin ini mukallaf seperti manusia, firman Allah SWT:
وَمَاخَلَقْتُ الْجِنَّ وَ الْإِنْسَ
إِلاَّ لِيَعْبُدُوْنِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan agar mereka menyambahku” (Surat Adz-Dzaariyaat: 56)
Seperti
manusia, dari golongan jin ini ada yang beriman dan ada yang kafir, ada yang taat
kepada Allah dan ada pula yang durhaka. Sekelompok jin pernah ada yang
mendengarkan Rasulullah saw membaca Al-Qur’an, setelah mendengarkan kebenaran
yang dibaca oleh beliau, golongan jin ini dengan serta merta menyatakan iman.
Lalu mereka berdakwah kepada agama Islam sekembalinya ke tempat tinggal mereka.
Allah menceritakan peristiwa ini dalam surat Al-Jin. Firman Allah SWT:
قُلْ أُوْحِيَ إِلَيَّ أَنَّهُ
اسْتَمَعَ نَفَرٌ مِنَ الْجِنِّ فَقَالُوْا إِنَّا سَمِعْنَا قُرْآنًا عَجَبًا ,
يَهْدِيْ إِلَى الرُّشْدِ فَآمَنَّا بِهِ وَلَنْ نُشْرِكَ بِرَبِّنَا أَحَدًا .
“Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Telah
diwahyukan kepadaku bahwasanya; sekumpulan jin telah mendengarkan (Al-Qur’an),
lalu mereka berkata: Sesungguhnya kami telah mendengarkan Al-Qur’an yang
menakjubkan, yang memberi petunjuk kepada jalan yang benar, lalu kami beriman
keadanya. Dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan seorangpun dengan
Tuhan kami”. (Surat Al-Jinn: 1,2)
Dalam Surat
ini pula Allah SWT menceritakan pengakuan keberadaan para Jin tentang diri
mereka:
وَأَنَّا مِنَّا الصَّالِحُوْنَ
وَمِنَّا دُوْنَ ذَلِكَ كُنَّا طَرَئِقَ قِدَدًا
“Dan sesungguhnya di antara kami ada
orang-orang yang saleh dan di antara kami ada (pula) yang tidak demikian
halnya. Adalah kami menempuh jalan yang berbeda-beda”. (Surat Al-Jinn: 11).
Pengakuan jin
selanjutnya.
وَأَنَّا مِنَّا الْمُسْلِمُوْنَ
وَمِنَّا الْقَاسِطُوْنَ فَمَنْ أَسْلَمَ فَأُوْلَئِكَ تَحَرَّوْا رَشَدًا ,
وَأَمَّا الْقَاسِطُوْنَ فَكَانُوْ لِجَهَنَّمَ حَطَبًا.
“Dan di antara kami ada orang-orang yang
taat dan ada (pula) orang-orang yang menyimpang dari kebenaran. Barangsiapa
yang taat, maka mereka itu benar-benar telah memilih jalan yang lurus. Adapun
orang-orang yang menyimpang dari kebenaran, maka mereka menjadi kayu bakar bagi
neraka Jahanam”. (Surat Al-Jinn: 14).
Demikianlah,
seperti manusia, jin ada yang taat kepada Allah dan ada pula yang durhaka. Jin
yang selalu berada di jalan kekafiran dan kemaksiatan, dinamakan: Setan,
pemimpin mereka dinamakan: Iblis –Semoga Allah melaknatinya-.
Firman Allah
SWT:
وَإذْ قُلْنَا لِلْمَلاَئِكَةِ
اسْجُدُوْا لِأَدَمَ فَسَجَدُوْآ إِلاَّ إِبْلِيْسَ , كَانَ مِنَ الْجِنِّ
فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ أَفَتَتَّخِذُوْنَهُ وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَآءَ
مِنْ دُوْنِيْ وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ بِئْسَ لِلظَّالِمِيْنَ بَدَلاً
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman
kepada malaikat: “Sujudlah kalian kepada Adam”, maka sujudlah mereka kecuali
iblis, dia adalah dari golongan jin, maka ia mendurhakai perintah Tuhannya.
Patutkah kamu mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin selain daripada-Ku,
sedang mereka adalah musuhmu? Amat buruk iblis itu sebagai pengganti (Allah)
bagi orang-orang yang zalim”. (Surat Al-Kahfi: 50)
Ayat tentang
penolakan jin kafir -yang bernama iblis- untuk hormat kepada Adam banyak
diulang beritanya oleh Al-Qur’an. Dengan kesombongan, mereka merasa lebih
tinggi kedudukannya karena terbuat dari api, sementara manusia terbuat dari
tanah liat. Mereka kemudian membuat tipu daya agar Adam terhempas dari surga
sehingga Adam dan keturunannya menghuni bumi dunia ini, sebagaimana cerita yang
kita dengar.
Dalam
perkembangannya cerita tentang jin kafir ini menjadi berlebihan, seperti
beberapa fenomena yang terjadi dalam masyarakat Jawa. Dalam presepsi masyarakat
Jawa, seolah-olah ada yang maha kuat selain Allah yang harus dihormati,
ditakuti, diberi persembahan sesaji dan lain sebagainya.
Karena itu
benarlah apa yang dikatakan sebagian jin muslim yang diceritakan Allah dalam
firmanNya:
وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ
الْإِنْسِ يَعُوْذُوْنَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوْهُمْ رَهَقًا
“Dan bahwasanya ada beberapa orang
laki-laki dari golongan manusia meminta perlindungan kepada laki-laki dari
golongan jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan”
(Surat Al-jin: 6)
Uraian-uraian
tentang makhluk berakal yang ada di sekitar kita ini, setidaknya dapat
memberikan persepsi yang benar terhadap substansi alam yang kita huni pada
dasarnya tidak diserahkan kepada siapapun selain manusia. Manusialah yang
diberi amanah dan kekuasaan oleh Allah untuk mengelola alam ini untuk
kesejahteraan hidupnya. Sementara Jin, setan dan iblis tidak berhak apa-apa di
alam ini, karena mereka bukan khalifah Allah di bumi.
Ketakutan
manusia terhadap makhluk halus sebagaimana fenomena yang kami paparkan di atas
tidak perlu terjadi. Hanya Allah tempat berserah diri, menyembah, mohon perlidungan dan mohon
pertolongan.
Demikian
tarbiah islamiyyah memberi pencerahan terhadap akal manusia terhadap eksistensi
dirinya. Akal yang terbebas dari belenggu khayalan, angan-angan dan ilusi yang
menjadi tirani kemanusiaan. Akal yang hanya menyandarkan iman yang hakiki,
yaitu tunduk kepada Allah Yang Maha Besar dan Maha Kuasa.
Akan tetapi
tarbiyah islamiyah tidak berhenti pada pencerahan akal. Persepsi yang benar
terhadap eksistensi diri manusia ini harus selalu dirawat dan dipelihara. Tidak
jarang kebenaran persepsi yang telah didapatkan akal, tereliminasi oleh hati
yang mati. Hati yang sama sekali tidak mengikatkan diri kepada Allah SWT.
Akal yang
lurus harus disertai dengan hati yang dikelola dengan baik. Dan untuk mencapai
kepada harapan tersebut, sebagaimana yang dituturkan Said Hawa, manusia harus
terus-menerus mendidik jiwanya untuk selalu dekat kepada Allah.
Langkah
menuju pada pendidikan ruhani, oleh Said Hawa dirumuskan sebagai berikut:
a.
Selalu mendirikan shalat dengan
berjamaah.
b.
Aktif menjalankan semua shalat
sunah rawatib.
c.
Istiqamah melakukan shalat Dzuha,
shalat malam dan witir.
d.
Menyempatkan diri melakukan shalat
tasbih.
e.
Membuat program agar bisa
mengkhatamkan bacaan Al-Qur’an dalam waktu tertentu.
f.
Menyibukkan diri untuk selalu
berdzikir kepada Allah dengan beristighfar, membaca shalawat untuk Nabi
Muhammad saw dan dzikir-dzikir lain.
g.
Membaca zikir-zikir yang sudah
tersusun, seperti wirid setelah salat, wirid di waktu pagi dan di sore hari dan
lainnya. Jika ternyata terasa bosan pada suatu kali, berusaha untuk menyibukkan
untuk amalan-amalan lain.
h.
Berpuasa sunah dengan mengurangi
makan, mengurangi bicara yang tidak perlu dan pergaulan yang tidak bermanfaat
(Said Hawaa, 1995: 99).
Mungkin
sebagian orang merasa rumusan Said Hawa ini sia-sia, karena hanya akan menyita
waktu dan membuat orang malas bekerja. Akan tetapi dalam suatu kaidah fikih
yang diajarkan kepada kita ialah:
مَا لاَيُدْرَكُ كُلُّهُ لاَيُتْرَكُ
جُلُّهُ
(Sesuatu yang tidak dapat dicapai
seluruhnya, tidak harus ditinggalkan semuanya).
Perjuangan
untuk mendapatkan iman yang menyelamatkan kita di dunia dan membebaskan dari
api neraka memang berat. Apalagi perjuangan untuk mendapatkan iman setinggi
gunung, sedalam dan seluas samudera. Iman yang membebaskan manusia dari
khurafat, takhayul dan persangkaan-persangkaan yang membelenggu jiwa, hati dan
akal manusia.
Iman yang
mengantarkan pada ikrar yang senantiasa dibaca setiap shalat:
إِنَّ صَلاَتِىْ وَنُسُكِىْ
وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِىْ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
(Sesungguhnya shalatku, ibadahku,
hidupku dan matiku hanya untuk Allah Tuhan seluruh alam)
Demikianlah
solusi alternatif dari tarbiyah islamiyyah yang insyaallah dapat mengantarkan
masyarakat Jawa, dan Indonesia umumnya, dari lembah Islam sinkretis menuju
purifikasi Islam yang hanya berserah diri kepada Allah.
Mudah-mudahan bangsa Indonesia mendapat pencerahan dari
cahayaNya.
DAFTAR
PUSTAKA
- Al-Qur’an Al-Kariim.
- AR, MB Rahimsyah . 1999. Kisah Walisongo, Penyebar Agama Islam di Tanah Jawa. Surabaya: Mitra Umat.
- Ali, Fakri dan Effendi, Bakhtiar. 1992. Merambah Jalan Baru Islam. Bandung: Mizan.
- Pemberton, John. 2003. “Jawa”. Yogyakarta: Mata Bangsa.
- Wahid, Abdurrahman. 1984. Pembebasan melalui pendidikan : Punyakah keabsahan, Kata Pengantar Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan. Jakarta: Gramedia.
- Freire, Paulo, DR. Prof. 1984. Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan. Jakarta: Gramedia.
- UNS, Tim BPA . 2003. Di Bawah Naungan Cahaya Ilahi. Surakarta: Nurulhuda Press.
- Al-Qardlawiy, Yusuf, Dr. 1997. As-Sunnah Mashdaran lil Ma’rifah wal Hadlarah. Kairo: Daar El-Shurouq.
- Hawaa, said. 1995. Taribiyatunaa Ar-Ruuhiyyah. Kairo: Daar El-Salaam
- ‘Alawiy, Assayyid. 1337 H. Fathul Qariib Al-Mujiib. Saudi Arabia: Daar El-Saqaaf.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar