Islam adalah agama wahyu Allah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad untuk umat Islam. Islam bersumber dari Al Quran dan Hadist
yang menjadi pedoman bagi umat Islam. Hanya saja di dalam Al Quran dan Hadist
tidak dijelaskan secara menyeluruh tentang definisi-definisi tentang berbagai
macam hokum agama.
Oleh karena itu, para ulama melakukan ijtihad, untuk
memenuhi keperluan um,at manusia akan pandangan hidup dalam beribadah kepada
Allah di waktu dan tempat tertentu.
A.
Pengertian
Ijtihad
Ijtihad
berasal dari kata ja-ha-da yang artinya
bersungguh-sungguh, dapat diartikan pula Al-taghah
yaitu daya, kemampuan atau kekuasaan. Menurut Syara’, ijtihad adalah
menggunakan seluruh kesanggupan berfikir untuk menetapkan hukum syara’ dengan
jalan mengeluarkan hukum dari al kitab dan As Sunnah[1].
Secara
harfiyah, Ijtihad adalah suatu ungkapan dari penyerahan daya kemampuan untuk
mewujudkan sesuatu yang dituju[2].
Dari
pengertian ijtihad diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa ijtihad adalah
bersungguh-sungguh dalam mewujudkan sesuatu hukum perkara yang tidak dibahas
dalam Al Quran dan Hadits dengan menggunakan akal sehat dan pertimbangan yang
matang.
B.
Kedudukan
Ijtihad
Dalam
arti luas, ijtihad mencakup beberapa bidang termasuk akidah hukum mu’amalah,
filsafat, politik, akidah, tasawuf dan falsafah.
Dalam
Ilmu Fiqih, Ijtihad Bi Ar-Ra’yu telah ada pada zaman Nabi, beliau sendiri
memberi izin untuk berijtihad kepada Mu’adz Ibnu Jabal ketika dia diutus ke Yaman.
Apabila tidak menemukan ketentuan hukum dalam Al-Quran dan As sunnah, Umar Ibnu
Al Khatab sering menggunakan Ijtihad Bi Al Ra’yu, sehingga beliau dipandang
sebagai pemuka Ar Ra’yu.
Pentingnya
berijtihad bagi pemuka sahabat, hal itu dikarenakan untuk memecahkan berbagai
masalah baru akibat terjadinya akulturasi bangsa dan kebudayaan yang disebabkan
semakin luasnya kekuasaan Islam, meliputi Persia, Syam, Mesir Dan Afrika Utara.
Ijtihad
terkait ketentuan sebagai berikut, yaitu[3]:
1. Ijtihad
merupakan aktifitas pikiran manusia yang relatif, oleh karena itu, ijtihad
tidak dapat melahirkan keputusan yang mutlak absolute.
2. Keputusan
dalam ijtihad hanya berlaku pada satu mujtahid.
3. Ijtihad
hanya berlaku pada satu masa/tempat.
4. Ibadah
yang hanya diatus Allah dan Rasulullah seperti ibadah mahdhah, ijtihad tidak
berlaku dalam penambahan ibadah ini.
5. keputusan
mujtahid tidak boleh bertentangan dengan Al Quran dan As Sunnah.
6. Faktor
motivasi akibat kemaslahatan umum, kemanfaatan bersama, dll hendaknya
dipertimbangkan dalam proses ijtihad.
C.
Dasar
Ijtihad
Dasar ijtihad yang bersumber dari Al Quran dan
Hadist yaitu sebagai berikut:
1. Firman
Allah dalam surat An Nisa’ ayat 59 yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah
dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu”.
2. Rasulullah
SAW bersabda, yang artinya: “Bila seorang
hakim akan memutuskan suatu perkara dan dia melakukan ijtihad terlebih dahulu,
kemudian hasilnya benar maka hakim tersebut mendpatkan dua pahala, yaitu pahala
berijtihad dan hasil kebenarannya. Dan jika hasilnya salah maka dia mendapatkan
satu pahala, yaitu pahala berijtihad”.
3. Firman
Allah dalam surat Al Anfal ayat 1, yang artinya: “Mereka menanyakan kepadamu tentang pemberian harta rampasan perang,
katakanlah kepada mereka, rampasan perang itu keputusan Allah dan Rasul-Nya,
sebab itu bertaqwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan diantara sesamamu
dan taatilah Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman.”
D.
Syarat
Mujtahid
Menjadi
seorang mujtahid harus mempunyai kriteria-kriteria, yaitu[4]:
1. Mengetahui
hukum-hukum dalam hadist, mengetahui atas ayat-ayat hukum dalam Al Quran dan
Hadist secara etimologi, yaitu memahami makna-makna harfiah kata perkara atau
susunan kata, dan memahami secara epistemologi Al Quran dan Hadist itu, yaitu
memiliki penegetahuan akan berragam kuasa dari sebuah hukum, variabel-variabel
penetetapan hukum dan metode-metode penalaran logis dari sederet lafal,
macam-macam petunjuk atas makna, berupa umum, khusus, mustarok (polisemi),
mujmat (general), mufassar (interpretable), dll[5].
2. Mengetahui
objek ijma’ mujtahid generasi terdahulu, hal ini akan menetapkan suatu hukum
yang tidak menyalahi garis konsensus pendahuluannya.
3. Mengetahui
qiyas baik dari segi tata cara, penerapan, ilat-ilat hukum maupun metode
penggaliannya karena qiyas adalah wujud nyata dari Aktitifas mujtahid.
4. Mengetahui
syarat-syarat penerapan berbagai bentuk argumentasi, hal ihwal pendefinisian,
metode penyimpulan sehingga memiliki pengetahuan tata cara penalaran.
5. Memiliki
cakrawala yang luas dalam penggunaan Bahasa Arab.
6. Mengetahui
Nasikh (Sumber Hukum) dan Mansukh (Sumber yang Disalin).
7. Mengetahui
kepribadian para periwayat.
Selain
syarat tersebut, ada juga beberpa syarat lainnya yang tidak kalah pentingnya
untuk seorang mujtahid, yaitu[6]:
1. Memiliki
pengetahuan usul fiqih dan tujuan syariat.
Usul
fiqih merupakan ilmu yang mencakup tentang hukum Islam, hal ini menjadi bagian
terpenting dari ijtihad yang pada dasar luarnya adalah dari Qoidah Islam,
karena Islam itu luas. Islam terbagi menjadi tiga versi, yaitu: syariat
(fiqih), thoriqoh dan hakekat.
Seperti
buah, syariat adalah kulit, toriqoh adalah daging, sedangkan hakikat adalah
buahnya[7].
Syariat
diibaratkan perahu, toriqoh diibaratkan lautan, sedangkan hakekat adalah batu
mutiara yang berharga, sedangkan seorang mujtahid yang ingin mendapatkan
hakikat (buahnya islam), dia harus mengarungi lautan (toriqoh). untuk
mengarungi lautan dibutuhkan perahu/kapal yang kuat (syariat), yang berupa
yaitu ilmu fiqih yang matang. Karena banyak mujtahid yang tersesat dan
menciptakan ajaran baru yang menyesatkan sebab benteng syariat yang mereka
miliki itu lemah.
2. Memiliki
pemahaman yang luas tentang teologi (ilmu kalam).
E.
Macam-Macam
Metode Ijtihad
Macam-macam
metode untuk berijtihad, yaitu:
1. Qiyas,
yaitu membandingkan/menimbang/mengubur sesuatu yang belum ada di masa lalu
tetapi ada dimasa sekarang dengan sesuatu yang lain yang sudah ada di masa
lalu. Contohnya seperti kegunaan beras untuk bezakat, sehingga untuk mengetahui
takaran beras 2.5 kg untuk zakat perlu adanya perbandingan dengan sesuatu yang
telah ada di masa lalu seperti gandum.
2. Ijma’
yaitu mufakat dalam musyawarah para ahli.
3. Istihsan
yaitu menganggap baik sesuatu barang menurut ahli hukum.
4. Mashalihul
Mursalah yaitu keputusan yang berdasarkan kegunaan dan manfaatnya sesuai syari’at
Islam.
5. Sudud
dariah, yaitu memutuskan suatu perkara yang hukumnya mubah menjadi makhruh,
atau mubah menjadi haram untuk kepentingan kemaslahatan umat
6. Istishab,
yaitu menetapkan suatu perkara sampai ada alas an yang bisa mengubahnya
7. Urf,
yaitu menetapkan suatu adat istiadat yang tidah menyalahi ketentuan dalam
Alqur’an.
F.
Wilayah
Ijtihad
Wilayah Ijtihad menurut cara pandang Ulama menyangkut
masalah fiqhiyah, namun akhirnya mengembang pada berbagai aspek keislaman y ng
mencakup aqidah, filsafat, tasawuf dan fiqih itu sendiri. Dalam kaitan wilayah
ijtihad, Ustadz Muhammad Al Madani menyatakan bahwa masalah hukum terbagi
menjadi dua[8],
yaitu:
1. Masalah
Qoth’iyah, yaitu masalah yang sudah berketetapan hukum pasti baik aqli maupun
naqli. Masalah aqli dibagi menjadi tiga:
a. Aqidah,
yaitu masalah yang menentukan akan keimanan.
b. Amali,
yaitu amal ibadah yang telah ditentukan oleh nash.
c. Kaidah-kaidah
yang bersumber dari nash yang qoth’i.
2. Masalah
Zhanniyah, yaitu masalah hukum yang belum jelas dalil nashnya di antaranya:
a. Hasil
analisa para teolog, yaitu masalah yang tidak berkaitan dengan keimanan
seseorang.
b. Aspek
amaliyah yang zhonni, yaitu masalah yang belum ditentukan kadar kriterianya
dalam nash.
c. Sebagaian
kaidah-kaidah zhonni, yaitu masalah qiyas.
Pembagian
tersebut disimpulkan bahwa wilayah ijtihad hanya sebatas pada masalah yang
hokumnya ditentukan oleh dalil zhonni, yang kemudian terkenal dengan masalah
fiqih yang belum disinggung baik oleh Al Quran, As Sunnah dan Ijma’.
G.
Analisis
Dari
pokok pembahasan di atas, dapat kita ketahui bahwa pentingnya ber-Ijtihad.
Ijtihad bertujuan untuk mengetahui dan memecahkan hukum islam yang belum ada
dalil nas dalam Alqur’an maupun Assunah pada zaman sekarang ini.
Selang
berkembangnya ilmu pengetahuan, maka segala problematika kehidupan pun akan
akan semakin rumit. Dari sinilah penting adanya para Mujtahid-mujtahid yang sesuai
syarat ketentuan dalam ber-Ijtihad.
BAB
III KESIMPULAN
Dari Pembahasan makalah di atas, kita dapat menarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Ijtihad
adalah menggunakan seluruh kesanggupan berfikir untuk menetapkan hukum syara’
dengan jalan mengeluarkan hukum dari al kitab dan As Sunnah.
2. Ijtihad
mencakup beberapa bidang termasuk akidah hukum mu’amalah, filsafat, politik,
akidah, tasawuf dan falsafah.
3. Seorang
mujtahid harus mempunyai kriteria-kriteria, seperti: mengetahui hukum-hukum
dalam Al Quran dan hadist, mengetahui objek ijma’ mujtahid generasi terdahulu,
mengetahui qiyas mengetahui syarat-syarat penerapan berbagai bentuk argumentasi, memiliki cakrawala yang luas
dalam penggunaan Bahasa Arab, mengetahui nasikh dan mansukh, serta mengetahui
kepribadian para periwayat.
4.
Macam-macam
metode berijtihad yaitu: qiyas, ijma’, Istihsan, Mashalihul Mursalah, Sudud
dariah, Istishab dan Urf.
5.
Wilayah
ijtihad hanya sebatas hukum yang ditunjukan oleh dalil zhonni.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi.
2005. Tajussholihin. Kudus: Menara Kudus.
Mahfudh,
Sahal. 2004. Kilas Balik Teoritis Fiqih Islam. Kediri: Forum Karya
Ilmiah Madrasah Hidayatul Mubtadien.
Mas’ud
bin Umar Al-Taftaani. Syarh Al Talwih ‘ala Al Taudlih. Mesir: Maktabat
Al Shabih, TT.
Muhaimin,
dkk. 1994. Dimensi-Dimensi Studi Islam.
Surabaya: Karya Abitama.
Putrashared.blogspot.com/2011/10/ringkasan-materi-kuliah-ijtihad.html
[2]Mahfudh, Sahal. 2004. Kilas
Balik Teoritis Fiqih Islam. Kediri: Forum Madrasah Hidayatul Mubtadi.
hlm.314
[3]Ibid 1.
[4]Mahfud, Sahal. 2004. Kilas
Balik Teoritis Fiqih Islam. Kediri: Forum Karya Ilmiah. Hlm.317-322
[5]
Mas’ud bin Umar
Al-Taftaani. Syarh Al Talwih ‘ala Al Taudlih. Mesir:Maktabat Al Shabih,
TT. Juz II, Hlm.235.
[6]
Ibid 4.
[7]
Ahmadi. 2005. Tajussholihin.
Kudus: Menara Kudus. Hlm.5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar