A. Pendahuluan
Keberhasilan menanamkan nilai-nilai rohaniah (keimanan dan ketakwaan pada Allah swt.) dalam diri peserta didik, terkait dengan satu faktor dari sistem pendidikan, yaitu metode pendidikan yang dipergunakan pendidik dalam menyampaikan pesan-pesan ilahiyah, sebab dengan metode yang tepat, materi pelajaran akan dengan mudah dikuasai peserta didik. Dalam pendidikan Islam, perlu dipergunakan metode pendidikan yang dapat melakukan pendekatan menyeluruh terhadap manusia, meliputi dimensi jasmani dan rohani (lahiriah dan batiniah), walaupun tidak ada satu jenis metode pendidikan yang paling sesuai mencapai tujuan dengan semua keadaan. Sebaik apapun tujuan pendidikan, jika tidak didukung oleh metode yang tepat, tujuan tersebut sangat sulit untuk dapat tercapai dengan baik. Sebuah metode akan mempengaruhi sampai tidaknya suatu informasi secara lengkap atau tidak. Bahkan sering disebutkan cara atau metode kadang lebih penting daripada materi itu sendiri. Oleh sebab itu pemilihan metode pendidikan harus dilakukan secara cermat, disesuaikan dengan berbagai faktor terkait, sehingga hasil pendidikan dapat memuaskan. (Anwar, 2003: 42) Rasul saw. sejak awal sudah mencontohkan dalam mengimplementasikan metode pendidikan yang tepat terhadap para sahabatnya. Strategi pembelajaran yang beliau lakukan sangat akurat dalam menyampaikan ajaran Islam. Rasul saw. sangat memperhatikan situasi, kondisi dan karakter seseorang, sehingga nilai-nilai Islami dapat ditransfer dengan baik. Rasulullah saw. juga sangat memahami naluri dan kondisi setiap orang, sehingga beliau mampu menjadikan mereka suka cita, baik meterial maupun spiritual, beliau senantiasa mengajak orang untuk mendekati Allah swt. dan syari’at-Nya. Makalah ini akan menyajikan hadis-hadis Nabi saw. tentang metode pendidikan dalam lingkup makro dan mikro, yang dilaksanakan Rasulullah. Hadis-hadis yang berimplikasikan pada metode pendidikan dalam lingkup makro, meliputi; metode keteladanan, metode lemah lembut/kasih sayang, metode deduktif, metode perumpamaan, metode kiasan, metode memberi kemudahan, metode perbandingan. Metode pendidikan dalam lingkup mikro terdiri dari; metode tanya jawab, metode pengulangan, metode demonstrasi, metode eksperimen, metode pemecahan masalah, metode diskusi, metode pujian/memberi kegembiraan, metode pemberian hukuman.
Keberhasilan menanamkan nilai-nilai rohaniah (keimanan dan ketakwaan pada Allah swt.) dalam diri peserta didik, terkait dengan satu faktor dari sistem pendidikan, yaitu metode pendidikan yang dipergunakan pendidik dalam menyampaikan pesan-pesan ilahiyah, sebab dengan metode yang tepat, materi pelajaran akan dengan mudah dikuasai peserta didik. Dalam pendidikan Islam, perlu dipergunakan metode pendidikan yang dapat melakukan pendekatan menyeluruh terhadap manusia, meliputi dimensi jasmani dan rohani (lahiriah dan batiniah), walaupun tidak ada satu jenis metode pendidikan yang paling sesuai mencapai tujuan dengan semua keadaan. Sebaik apapun tujuan pendidikan, jika tidak didukung oleh metode yang tepat, tujuan tersebut sangat sulit untuk dapat tercapai dengan baik. Sebuah metode akan mempengaruhi sampai tidaknya suatu informasi secara lengkap atau tidak. Bahkan sering disebutkan cara atau metode kadang lebih penting daripada materi itu sendiri. Oleh sebab itu pemilihan metode pendidikan harus dilakukan secara cermat, disesuaikan dengan berbagai faktor terkait, sehingga hasil pendidikan dapat memuaskan. (Anwar, 2003: 42) Rasul saw. sejak awal sudah mencontohkan dalam mengimplementasikan metode pendidikan yang tepat terhadap para sahabatnya. Strategi pembelajaran yang beliau lakukan sangat akurat dalam menyampaikan ajaran Islam. Rasul saw. sangat memperhatikan situasi, kondisi dan karakter seseorang, sehingga nilai-nilai Islami dapat ditransfer dengan baik. Rasulullah saw. juga sangat memahami naluri dan kondisi setiap orang, sehingga beliau mampu menjadikan mereka suka cita, baik meterial maupun spiritual, beliau senantiasa mengajak orang untuk mendekati Allah swt. dan syari’at-Nya. Makalah ini akan menyajikan hadis-hadis Nabi saw. tentang metode pendidikan dalam lingkup makro dan mikro, yang dilaksanakan Rasulullah. Hadis-hadis yang berimplikasikan pada metode pendidikan dalam lingkup makro, meliputi; metode keteladanan, metode lemah lembut/kasih sayang, metode deduktif, metode perumpamaan, metode kiasan, metode memberi kemudahan, metode perbandingan. Metode pendidikan dalam lingkup mikro terdiri dari; metode tanya jawab, metode pengulangan, metode demonstrasi, metode eksperimen, metode pemecahan masalah, metode diskusi, metode pujian/memberi kegembiraan, metode pemberian hukuman.
B. Pembahasan
1. Pengertian Metode Pendidikan.
Satu dari berbagai komponen penting untuk mencapai tujuan pendidikan
adalah ketepatan menentukan metode. Sebab dengan metode yang tepat,
materi pendidikan dapat diterima dengan baik. Metode diibaratkan sebagai
alat yang dapat digunakan dalam suatu proses pencapaian tujuan. Tanpa
metode, suatu materi pelajaran tidak akan dapat berproses secara efektif
dan efisien dalam kegiatan pembelajaran menuju tujuan pendidikan.
Secara etimologi kata metode berasal dari bahasa Yunani yaitu meta yang
berarti ”yang dilalui” dan hodos yang berarti ”jalan”, yakni jalan yang
harus dilalui. Jadi secara harfiah metode adalah cara yang tepat untuk
melakukan sesuatu.(Poerwakatja, 1982: 56). Sedangkan dalam bahasa
Inggeris, disebut dengan method yang mengandung makna metode dalam
bahasa Indonesia.(Wojowasito, 1980:113). Dalam bahasa Arab, metode
disebut dengan tharīqah yang berarti jalan atau cara.(Louwis, t.t.:
465). Demikian pula menurut Yunus, tharīqah adalah perjalanan hidup,
hal, mazhab dan metode.(Munawwir, 1997: 849). Secara terminologi, para
ahli memberikan definisi yang beragam tentang metode, di antaranya
pengertian yang dikemukakan Surakhmad (1998: 96), bahwa metode adalah
cara yang di dalam fungsinya merupakan alat untuk mencapai tujuan.
Menurut Yusuf (1995: 2), metodologi adalah ilmu yang mengkaji atau
membahas tentang bermacam-macam metode mengajar, keunggulannya,
kelemahannya, kesesuaian dengan bahan pelajaran dan bagaimana
penggunaannya. Poerwakatja (1982: 386), mengemukakan; metode
pembelajaran berarti jalan ke arah suatu tujuan yang mengatur secara
praktis bahan pelajaran, cara mengajarkannya dan cara mengelolanya.
Berdasarkan definisi yang dikemukakan para ahli mengenai pengertian
metode pendidikan, beberapa hal yang mesti ada dalam metode yaitu:
a. Melaksanakan aktivitas pembelajaran dengan penuh kesadaran dan
tanggung jawab;
b. Aktivitas tersebut memiliki cara yang baik dan tujuan tertentu;
c. Tujuan harus dicapai secara efektif.
Ada istilah lain dalam pendidikan yang mengandung makna berdekatan
dengan metode, yaitu pendekatan dan teknik/strategi, sebagai berikut:
a. Pendekatan (al-madkhal/approach).
Pendekatan yaitu sekumpulan pemahaman mengenai bahan pelajaran yang
mengandung prinsip-prinsip filosofis. Jadi pendekatan merupakan
kebenaran umum yang bersifat mutlak. Misalkan asumsi yang berhubungan
dengan pembelajaran bahasa, bahwa aspek menyimak dan percakapan harus
diajarkan terlebih dahulu sebelum aspek membaca dan menulis atau
sebaliknya, sehingga dari asumsi tersebut pendidik dapat menentukan
metode yang tepat.(Sumardi, t.t: 91-94).
b. Teknik/strategi.
Teknik penyajian bahan pelajaran adalah penyajian yang dikuasai pendidik
dalam mengajar atau menyajikan bahan pelajaran kepada peserta didik di
dalam kelas, agar bahan pelajaran dapat dipahami dan digunakan dengan
baik. Teknik adalah pelaksanaan pengajaran di dalam kelas, yaitu
penggunaan metode yang didasarkan atas pendekatan terhadap materi
pelajaran. Jadi teknik harus sejalan dengan metode dan pendekatan.
Misalkan dalam mengatasi masalah peserta didik yang tidak dapat
menyebutkan bunyi suatu huruf dengan tepat, pendidik memintakan peserta
didik untuk menirukan ucapannya.
c. Metode
.
Metode adalah rencana menyeluruh yang berkenaan dengan penyajian
bahan/materi pelajaran secara sistematis dan metodologis serta
didasarkan atas suatu pendekatan, sehingga perbedaan pendekatan
mengakibatkan perbedaan penggunaan metode. Jika metode tersebut
dikaitkan dengan pendidikan Islam, dapat membawa arti metode sebagai
jalan pembinaan pengetahuan, sikap dan tingkah laku sehingga terlihat
dalam pribadi subjek dan obyek pendidikan, yaitu pribadi Islami. Selain
itu, metode dapat membawa arti sebagai cara untuk memahami, menggali dan
mengembangkan ajaran Islam, sehingga terus berkembang sesuai dengan
perkembangan zaman.(Nata, 2001: 91).
Metode, merupakan alat yang dipergunakan untuk mencapai tujuan
pendidikan. Alat ini mempunyai dua fungsi ganda, yaitu polipragmatis dan
monopragmatis. Polipragmatis, bilamana metode mengandung kegunaan yang
serba ganda, misalnya suatu metode tertentu pada suatu situasi kondisi
tertentu dapat digunakan membangun dan memperbaiki. Kegunaannya dapat
tergantung pada si pemakai atau pada corak, bentuk dan kemampuan dari
metode sebagai alat. Sebaliknya monopragmatis, bilamana metode
mengandung satu macam kegunaan untuk satu macam tujuan. Penggunaannya
mengandung implikasi bersifat konsisten, sistematis dan kebermaknaan
menurut kondisi sasarannya. Mengingat sasaran metode adalah manusia,
maka pendidik dituntut untuk berhati-hati dalam penerapannya.
Metode pendidikan yang tidak tepat guna akan menjadi penghalang
kelancaran jalannya proses pembelajaran, sehingga banyak tenaga dan
waktu terbuang sia-sia. Oleh karena itu, metode yang diterapkan oleh
seorang guru baru berdaya guna dan berhasil guna, jika mampu
dipergunakan untuk mencapai tujuan pendidikan yang ditetapkan. Dalam
pendidikan Islam, metode yang tepat guna adalah metode yang mengandung
nilai nilai instrinsik dan ekstrinsik, sejalan dengan materi pelajaran
dan secara fungsional dapat dipakai untuk merealisasikan nilai-nilai
ideal yang terkandung dalam tujuan pendidikan Islam. (Arifin, 1996:
197). Nahlawi (1996: 204), mengatakan metode pendidikan Islam adalah
metode dialog, metode kisah Qur’ani dan Nabawi, metode perumpamaan
Qur’ani dan Nabawi, metode keteladanan, metode aplikasi dan pengamalan,
metode ibrah dan nasihat serta metode tarģîb dan tarhîb.
Berdasarkan rumusan-rumusan di atas, dapat dipahami bahwa metode
pendidikan Islam adalah berbagai cara yang digunakan oleh pendidik
muslim, sebagai jalan pembinaan pengetahuan, sikap dan tingkah laku,
sehingga nilai-nilai Islami dapat terlihat dalam pribadi peserta didik
(subjek dan obyek pendidikan).
2. Hadis-hadis Tentang Metode Pendidikan dalam Lingkup Makro
a. Metode Keteladanan.
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ
عَامِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَمْرِو بْنِ سُلَيْمٍ
الزُّرَقِيِّ عَنْ أَبِي قَتَادَةَ الْأَنْصَارِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي وَهُوَ حَامِلٌ
أُمَامَةَ بِنْتَ زَيْنَبَ بِنْتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَلِأَبِي الْعَاصِ بْنِ رَبِيعَةَ بْنِ عَبْدِ شَمْسٍ فَإِذَا
سَجَدَ وَضَعَهَا وَإِذَا قَامَ حَمَلَهَا.
Artinya: Hadis dari Abdullah ibn Yusuf, katanya Malik memberitakan pada
kami dari Amir ibn Abdullah ibn Zabair dari ‘Amar ibn Sulmi az-Zarâqi
dari Abi Qatadah al-Anshâri, bahwa Rasulullah saw. salat sambil membawa
Umâmah binti Zainab binti Rasulullah saw. dari (pernikahannya) dengan
Abu al-Ash ibn Rabi’ah ibn Abdu Syams. Bila sujud, beliau menaruhnya dan
bila berdiri beliau menggendongnya. (al-Bukhari, 1987, I: 193)
Hadis di atas tergolong syarîf marfû’ dengan kualitas perawi yang
sebagian terdiri dari şiqah mutqinũn, ra’su mutqinũn, şiqah dan perawi
bernama Qatadah adalah sahabat Rasulullah saw. (CD Room, Kutub
at-Tis’ah).
Menurut al-Asqalâni, ketika itu orang-orang Arab sangat membenci anak
perempuan. Rasulullah saw. memberitahukan pada mereka tentang kemuliaan
kedudukan anak perempuan. Rasulullah saw. memberitahukannya dengan
tindakan, yaitu dengan menggendong Umamah (cucu Rasulullah saw.) di
pundaknya ketika salat. Makna yang dapat dipahami bahwa perilaku
tersebut dilakukan Rasulullah saw. untuk menentang kebiasaan orang Arab
yang membenci anak perempuan. Rasulullah saw. menyelisihi kebiasaan
mereka, bahkan dalam salat sekalipun. (Al-Asqalani, 1379H: 591-592).
Hamd, mengatakan bahwa pendidik itu besar di mata anak didiknya, apa
yang dilihat dari gurunya akan ditirunya, karena anak didik akan meniru
dan meneladani apa yang dilihat dari gurunya, maka wajiblah guru
memberikan teladan yang baik. (al-Hamd, 2002: 27).
Memperhatikan kutipan di atas dapat dipahami bahwa keteladanan mempunyai
arti penting dalam mendidik, keteladanan menjadi titik sentral dalam
mendidik, kalau pendidiknya baik, ada kemungkinan anak didiknya juga
baik, karena murid meniru gurunya. Sebaliknya jika guru berperangai
buruk, ada kemungkinan anak didiknya juga berperangai buruk.
Rasulullah saw. merepresentasikan dan mengekspresikan apa yang ingin
diajarkan melalui tindakannya dan kemudian menerjemahkan tindakannya ke
dalam kata-kata. Bagaimana memuja Allah swt., bagaimana bersikap
sederhana, bagaimana duduk dalam salat dan do’a, bagaimana makan,
bagaimana tertawa, dan lain sebagainya, menjadi acuan bagi para sahabat,
sekaligus merupakan materi pendidikan yang tidak langsung.
Mendidik dengan contoh (keteladanan) adalah satu metode pembelajaran
yang dianggap besar pengaruhnya. Segala yang dicontohkan oleh Rasulullah
saw. dalam kehidupannya, merupakan cerminan kandungan Alquran secara
utuh, sebagaimana firman Allah swt. berikut:
لقد كان لكم في رسول الله أسوة حسنة لمن كان يرجو الله واليوم الآخر وذكر
الله كثيرا.
Artinya: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan
yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. 33: 21).
Al-Baidhawi (Juz 5: 9), memberi makna uswatun hasanah pada ayat di atas
adalah perbuatan baik yang dapat dicontoh. Dengan demikian, keteladanan
menjadi penting dalam pendidikan, keteladanan akan menjadi metode yang
ampuh dalam membina perkembangan anak didik. Keteladanan sempurna,
adalah keteladanan Rasulullah saw., yang dapat menjadi acuan bagi
pendidik sebagai teladan utama, sehingga diharapkan anak didik mempunyai
figur pendidik yang dapat dijadikan panutan.
Dengan demikian, keteladanan menjadi penting dalam pendidikan,
keteladanan akan menjadi metode yang ampuh dalam membina perkembangan
anak didik. Keteladanan sempurna, adalah keteladanan Rasulullah saw.,
yang dapat menjadi acuan bagi pendidik sebagai teladan utama, sehingga
diharapkan anak didik mempunyai figur pendidik yang dapat dijadikan
panutan.
b. Metode lemah lembut/kasih sayang.
حَدَّثَنَا أَبُو جَعْفَرٍ مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ وَأَبُو بَكْرِ بْنُ
أَبِي شَيْبَةَ وَتَقَارَبَا فِي لَفْظِ الْحَدِيثِ قَالَ حَدَّثَنَا
إِسْمَعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ حَجَّاجٍ الصَّوَّافِ عَنْ يَحْيَى
بْنِ أَبِي كَثِيرٍ عَنْ هِلَالِ بْنِ أَبِي مَيْمُونَةَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ
يَسَارٍ عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ الْحَكَمِ السُّلَمِيِّ قَالَ بَيْنَا
أَنَا أُصَلِّي مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِذْ عَطَسَ رَجُلٌ مِنْ الْقَوْمِ فَقُلْتُ يَرْحَمُكَ اللَّهُ فَرَمَانِي
الْقَوْمُ بِأَبْصَارِهِمْ فَقُلْتُ وَا ثُكْلَ أُمِّيَاهْ مَا شَأْنُكُمْ
تَنْظُرُونَ إِلَيَّ فَجَعَلُوا يَضْرِبُونَ بِأَيْدِيهِمْ عَلَى
أَفْخَاذِهِمْ فَلَمَّا رَأَيْتُهُمْ يُصَمِّتُونَنِي لَكِنِّي سَكَتُّ
فَلَمَّا صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَبِأَبِي هُوَ وَأُمِّي مَا رَأَيْتُ مُعَلِّمًا قَبْلَهُ وَلَا بَعْدَهُ
أَحْسَنَ تَعْلِيمًا مِنْهُ فَوَاللَّهِ مَا كَهَرَنِي وَلَا ضَرَبَنِي
وَلَا شَتَمَنِي قَالَ إِنَّ هَذِهِ الصَّلَاةَ لَا يَصْلُحُ فِيهَا شَيْءٌ
مِنْ كَلَامِ النَّاسِ إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ
وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ….
Artinya: Hadis dari Abu Ja’far Muhammad ibn Shabah dan Abu Bakr ibn Abi
Syaibah, hadis Ismail ibn Ibrahim dari Hajjâj as-Shawwâf dari Yahya ibn
Abi Kaşir dari Hilâl ibn Abi Maimũnah dari ‘Atha’ ibn Yasâr dari
Mu’awiyah ibn Hakam as-Silmiy, Katanya: Ketika saya salat bersama
Rasulullah saw., seorang dari jama’ah bersin maka aku katakan
yarhamukallâh. Orang-orang mencela saya dengan pandangan mereka, saya
berkata: Celaka, kenapa kalian memandangiku? Mereka memukul paha dengan
tangan mereka, ketika saya memandang mereka, mereka menyuruh saya diam
dan saya diam. Setelah Rasul saw. selesai salat (aku bersumpah) demi
Ayah dan Ibuku (sebagai tebusannya), saya tidak pernah melihat guru
sebelumnya dan sesudahnya yang lebih baik pengajarannya daripada beliau.
Demi Allah beliau tidak membentak, memukul dan mencela saya. Rasulullah
saw. (hanya) bersabda: Sesungguhnya salat ini tidak boleh di dalamnya
sesuatu dari pembicaraan manusia. Ia hanya tasbîh, takbîr dan membaca
Alquran. (Muslim, t.t, I: 381).
Hadis di atas tergolong syarîf marfũ’ dengan kualitas perawi yang
sebagian tergolong şiqah dan şiqah şubut. An-Nawâwi, dalam syarahnya
mengatakan hadis ini menunjukkan keagungan perangai Rasulullah saw.,
dengan memiliki sikap lemah lembut dan mengasihi orang yang bodoh (belum
mengetahui tata cara salat). Ini juga perintah agar pendidik
berperilaku sebagaimana Rasulullah saw. dalam mendidik.(an-Nawawi,
1401H, V: 20-21).
Pentingnya metode lemah lembut dalam pendidikan, karena materi pelajaran
yang disampaikan pendidik dapat membentuk kepribadian peserta didik.
Dengan sikap lemah lembut yang ditampilkan pendidik, peserta didik akan
terdorong untuk akrab dengan pendidik dalam upaya pembentukan
kepribadian.
c. Metode deduktif.
حَدَََّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ بُنْدَارٌ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى
عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي خُبَيْبُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
عَنْ حَفْصِ بْنِ عَاصِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ فِي
ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ الْإِمَامُ الْعَادِلُ وَشَابٌّ
نَشَأَ فِي عِبَادَةِ رَبِّهِ وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي
الْمَسَاجِدِ وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ
وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ وَرَجُلٌ طَلَبَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ
وَجَمَالٍ فَقَالَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ أَخْفَى
حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ وَرَجُلٌ ذَكَرَ
اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ.
Artinya: Hadis Muhammad ibn Basysyar ibn Dar, katanya hadis Yahya dari
Abdullah katanya hadis dari Khubâib ibn Abdurrahman dari Hafs ibn ‘Aśim
dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah saw.bersabda: Tujuh orang yang akan
dinaungi oleh Allah di naungan-Nya yang tidak ada naungan kecuali
naungan Allah; pemimpin yang adil, pemuda yang tumbuh dalam keadaan taat
kepada Allah; seorang yang hatinya terikat dengan mesjid, dua orang
yang saling mencintai karena Allah (mereka bertemu dan berpisah karena
Allah), seorang yang diajak oleh wanita terpandang dan cantik namun ia
berkata ’saya takut kepada Allah’, seorang yang menyembunyikan
sadekahnya sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diberikan
oleh tangan kanannya dan orang yang mengingat Allah dalam kesendirian
hingga air matanya mengalir. (al-Bukhari, t.t, I: 234).
Hadis di atas tergolong syarîf marfu’ dengan kualitas perawi yang
sebagian tergolong şiqah dan şiqah mutqin, sedangkan Abu Hurairah adalah
sahabat Rasulullah saw. Menurut Abi Jamrah, metode deduktif
(memberitahukan secara global) suatu materi pelajaran, akan memunculkan
keingintahuan pelajar tentang isi materi pelajaran, sehingga lebih
mengena di hati dan memberi manfaat yang lebih besar. (an-Andalusi,
1979, I: 97).
d. Metode perumpamaan
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَاللَّفْظُ لَهُ أَخْبَرَنَا
عَبْدُ الْوَهَّابِ يَعْنِي الثَّقَفِيَّ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ عَنْ
نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ مَثَلُ الْمُنَافِقِ كَمَثَلِ الشَّاةِ الْعَائِرَةِ
بَيْنَ الْغَنَمَيْنِ تَعِيرُ إِلَى هَذِهِ مَرَّةً وَإِلَى هَذِهِ مَرَّةً
.
Artinya; Hadis dari Muhammad ibn Mutsanna dan lafaz darinya, hadis dari
Abdul Wahhâb yakni as- Śaqafi, hadis Abdullah dari Nâfi’ dari ibn Umar,
Nabi saw. bersabda: Perumpamaan orang munafik dalam keraguan mereka
adalah seperti kambing yang kebingungan di tengah kambing-kambing yang
lain. Ia bolak balik ke sana ke sini. (Muslim, IV: 2146)
Hadis di atas tergolong syarîf marfu’ dengan kualitas perawi yang
sebagian tergolong şiqah dan şiqah şubut, şiqah hâfiz, sedangkan ibn
Umar adalah sahabat Rasulullah saw. Menurut ath-Thîby (1417H, XI: 2634),
orang-orang munafik, karena mengikut hawa nafsu untuk memenuhi
syahwatnya, diumpamakan seperti kambing jantan yang berada di antara dua
kambing betina. Tidak tetap pada satu betina, tetapi berbolak balik
pada ke duanya. Hal tersebut diumpamakan seperti orang munafik yang
tidak konsisten dengan satu komitmen.
Perumpamaan dilakukan oleh Rasul saw. sebagai satu metode pembelajaran
untuk memberikan pemahaman kepada sahabat, sehingga materi pelajaran
dapat dicerna dengan baik. Matode ini dilakukan dengan cara menyerupakan
sesuatu dengan sesuatu yang lain, mendekatkan sesuatu yang abstrak
dengan yang lebih konkrit. Perumpamaan yang digunakan oleh Rasulullah
saw. sebagai satu metode pembelajaran selalu syarat dengan makna,
sehinga benar-benar dapat membawa sesuatu yang abstrak kepada yang
konkrit atau menjadikan sesuatu yang masih samar dalam makna menjadi
sesuatu yang sangat jelas.
e. Metode kiasan.
حَدَّثَنَا يَحْيَى قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ مَنْصُورِ بْنِ
صَفِيَّةَ عَنْ أُمِّهِ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ امْرَأَةً سَأَلَتْ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ غُسْلِهَا مِنْ
الْمَحِيضِ فَأَمَرَهَا كَيْفَ تَغْتَسِلُ قَالَ خُذِي فِرْصَةً مِنْ
مَسْكٍ فَتَطَهَّرِي بِهَا قَالَتْ كَيْفَ أَتَطَهَّرُ قَالَ تَطَهَّرِي
بِهَا قَالَتْ كَيْفَ قَالَ سُبْحَانَ اللَّهِ تَطَهَّرِي فَاجْتَبَذْتُهَا
إِلَيَّ فَقُلْتُ تَتَبَّعِي بِهَا أَثَرَ الدَّمِ….
Artinya: Hadis Yahya, katanya hadis ‘Uyainah dari Mansyur ibn Shafiyyah
dari Ibunya dari Aisyah, seorang wanita bertanya pada Nabi saw. tentang
bersuci dari haid. Aisyah menyebutkan bahwa Rasul saw. mengajarkannya
bagaimana cara mandi. Kemudian kamu mengambil secarik kain dan
memberinya minyak wangi dan bersuci dengannya. Ia bertanya, bagaimana
aku bersuci dengannya? Sabda Rasul saw. Kamu bersuci dengannya.
Subhânallah, beliau menutup wajahnya. Aisyah mengatakan telusurilah
bekas darah (haid) dengan kain itu. (al-Bukhari, I: 119)
Hadis di atas tergolong syarîf marfu’ dengan kualitas perawi yang
sebagian tergolong şiqah dan şiqah hâfiz, sedangkan Aisyah adalah istri
Rasulullah saw. Ibn Hajar, memberi komentar terhadap hadis ini dengan
mengatakan ini adalah dalil tentang disunnahkannya menggunkan
kiasan/sindiran pada hal-hal yang berkenaan dengan aurat dan bimbingan
untuk masalah-masalah yang dianggap aib. (al-Asqalani, I: 415-416).
Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, mengatakan cara mempergunakan kiasan dalam
pembelajaran, yaitu:
1) Rayuan dalam nasehat, seperti memuji kebaikan anak didik, dengan
tujuan agar lebih meningkatkan kualitas akhlaknya, dengan mengabaikan
membicarakan keburukannya.
2) Menyebutkan tokoh-tokoh agung umat Islam masa lalu, sehingga
membangkitkan semangat mereka untuk mengikuti jejak mereka.
3) Membangkitkan semangat dan kehormatan anak didik.
4) Sengaja menyampaikan nasehat di tengah anak didik.
5) Menyampaikan nasehat secara tidak langsung/ melalui kiasan.
6) Memuji di hadapan orang yang berbuat kesalahan, orang yang mengatakan
sesuatu yang berbeda dengan perbuatannya. Merupakan cara mendorong
seseorang untuk berbuat kebajikan dan meninggalkan keburukan.
f. Metode memberi kemudahan.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ
قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ حَدَّثَنِي أَبُو التَّيَّاحِ عَنْ
أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ يَسِّرُوا وَلا تُعَسِّرُوا وَبَشِّرُوا وَلا تُنَفِّرُوا وكان يحب
التخفيف والتسري على الناس.
Artinya: Hadis Muhammad ibn Basysyar katanya hadis Yahya ibn Sâ’id
katanya hadis Syu’bah katanya hadis Abu Tayyâh dari Anas ibn Malik dari
Nabi saw. Rasulullah saw. bersabda: Mudahkanlah dan jangan mempersulit.
Rasulullah saw. suka memberikan keringanan kepada manusia.(al-Bukhari,
I: 38)
Hadis di atas tergolong syarîf marfu’ dengan kualitas perawi yang
sebagian tergolong şiqah dan şiqah hâfiz, Anas adalah sahabat Rasul saw.
Ibnu Hajar al-Asqalâni mengomentari hadis tersebut dengan mengatakan
pentingnya memberikan kemudahan bagi pelajar yang memiliki kesungguhan
dalam belajar, (al-Asqalani, I: 62) dalam arti mengajarkan ilmu
pengetahuan harus mempertimbangkan kemampuan si pelajar.
Sebagai pendidik, Rasulullah saw. tidak pernah mempersulit, dengan
harapan para sahabat memiliki motivasi yang kuat untuk tetap
meningkatkan aktivitas belajar .
g. Metode perbandingan.
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ
بْنُ إِدْرِيسَ ح و حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبِي
وَمُحَمَّدُ بْنُ بِشْرٍ ح و حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى أَخْبَرَنَا
مُوسَى بْنُ أَعْيَنَ ح و حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ حَدَّثَنَا
أَبُو أُسَامَةَ كُلُّهُمْ عَنْ إِسْمَعِيلَ بْنِ أَبِي خَالِدٍ ح و
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمٍ وَاللَّفْظُ لَهُ حَدَّثَنَا يَحْيَى
بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ حَدَّثَنَا قَيْسٌ قَالَ سَمِعْتُ
مُسْتَوْرِدًا أَخَا بَنِي فِهْرٍ يَقُولُا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاللَّهِ مَا الدُّنْيَا فِي الْآخِرَةِ
إِلَّا مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ هَذِهِ وَأَشَارَ
يَحْيَى بِالسَّبَّابَةِ فِي الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَ تَرْجِعُ وَفِي
حَدِيثِهِمْ جَمِيعًا غَيْرَ يَحْيَى سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ ذَلِكَ وَفِي حَدِيثِ أَبِي أُسَامَةَ
عَنْ الْمُسْتَوْرِدِ بْنِ شَدَّادٍ أَخِي بَنِي فِهْرٍ وَفِي حَدِيثِهِ
أَيْضًا قَالَ وَأَشَارَ إِسْمَعِيلُ بِالْإِبْهَامِ.
Artinya: Hadis Abu Bakr ibn Abi Syaibah, hadis Abdullah ibn Idris, Hadis
ibn Numair, hadis Abi Muhammad ibn Bisyr, hadis Yahya ibn Yahya, khabar
dari Musa ibn A’yân, hadis Muhammad ibn Rafi’, hadis Abu Usamah dari
Ismail ibn Abi Khalid, hadis Muhammad ibn Hatim dan lafaz darinya, hadis
Yahya ibn Sa’id, hadis Ismâil, hadis Qâis katanya aku mendengar
Mustaurid saudara dari bani Fihrin katanya, Rasul saw. bersabda: Demi
Allah tidaklah dunia dibandingkan dengan akhirat kecuali seperti seorang
yang menaruh jarinya ini, beliau menunjuk kepada telunjuknya di laut,
kemudian perhatikan apa yang tersisa di telunjuknya. (Muslim, IV: 3193)
Hadis di atas tergolong syarif marfu’ dengan kualitas perawi yang
sebagian tergolong şiqah dan şiqah hafiz, şiqah şubut dan śaduq. Imam
an-Nawâwi memberi komentar pada hadis ini, dengan ungkapan” akhirat
dibandingkan dengan dunia, dalam hal waktunya dunia itu singkat dan
kenikmatannya yang sirna, sedangkan akhirat serba abadi, sebagaimana
perbandingan antara air yang lengket pada jari dibanding dengan sisanya
di lautan. (an-Nawawi, XVII: 192-193)
Makna hadis di atas yaitu pentingnya metode perbandingan dalam
pendidikan, sehingga potensi jasmaniah dan rohaniah si pembelajar dapat
memahami hal-hal yang memiliki perbedaan antara suatu permasalahan
dengan lainnya.
3. Hadis-hadis Tentang Metode Pendidikan dalam Lingkup Mikro
a. Metode tanya jawab
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا لَيْثٌ ح وَقَالَ
قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا بَكْرٌ يَعْنِي ابْنَ مُضَرَ كِلَاهُمَا عَنْ ابْنِ
الْهَادِ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ
عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَفِي حَدِيثِ بَكْرٍ أَنَّهُ سَمِعَ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ أَرَأَيْتُمْ
لَوْ أَنَّ نَهْرًا بِبَابِ أَحَدِكُمْ يَغْتَسِلُ مِنْهُ كُلَّ يَوْمٍ
خَمْسَ مَرَّاتٍ هَلْ يَبْقَى مِنْ دَرَنِهِ شَيْءٌ قَالُوا لَا يَبْقَى
مِنْ دَرَنِهِ شَيْءٌ قَالَ فَذَلِكَ مَثَلُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ
يَمْحُو اللَّهُ بِهِنَّ الْخَطَايَا.
Artinya: Hadis Qutaibah ibn Sa’id, hadis Lâis kata Qutaibah hadis Bakr
yaitu ibn Mudhar dari ibn Hâd dari Muhammad ibn Ibrahim dari Abi Salmah
ibn Abdurrahmân dari Abu Hurairah r.a. Rasulullah saw. bersabda;
Bagaimana pendapat kalian seandainya ada sungai di depan pintu salah
seorang di antara kalian. Ia mandi di sana lima kali sehari. Bagaimana
pendapat kalian? Apakah masih akan tersisa kotorannya? Mereka menjawab,
tidak akan tersisa kotorannya sedikitpun. Beliau bersabda; Begitulah
perumpamaan salat lima waktu, dengannya Allah menghapus dosa-dosa.
(Muslim, I: 462-463)
Hadis di atas tergolong syarîf marfu’ dengan kualitas perawi yang
sebagian tergolong şiqah dan şiqah şubut, sedangkan Abu Hurairah adalah
sahabat Rasulullah saw. Metode bertanya ini untuk mengajak si pendengar
agar fokus dengan pembahasan. Misalnya kata; ”bagaimana pendapat
kalian?” adalah pertanyaan yang diajukan untuk meminta informasi.
Maksudnya beritahukan padaku, apakah masih tersisa?. Menurut at-Thiiby,
sebagaimana dikutip al-Asqalâni, menjelaskan lafaz ”لو” dalam hadis
tersebut memberi makna perumpamaan. (al-Asqalani, I: 462).
Metode tanya jawab, apakah pembicaraan antara dua orang atau lebih,
dalam pembicaraan tersebut mempunyai tujuan dan topik tertentu. Metode
dialog berusaha menghubungkan pemikiran seseorang dengan orang lain,
serta mempunyai manfaat bagi pelaku dan pendengarnya.(an-Nahlawi, 1996:
205). Uraian tersebut memberi makna bahwa dialog dilakukan oleh
seseorang dengan orang lain, baik mendengar langsung atau melalui
bacaan. Nahlawi, mengatakan pembaca dialog akan mendapat keuntungan
berdasarkan karakteristik dialog, yaitu topik dialog disajikan dengan
pola dinamis sehingga materi tidak membosankan, pembaca tertuntun untuk
mengikuti dialog hingga selesai. Melalui dialog, perasaan dan emosi akan
terbangkitkan, topik pembicaraan disajikan bersifat realistik dan
manusiawi. Dalam Alquran banyak memberi informasi tentang dialog, di
antara bentuk-bentuk dialog tersebut adalah dialog khitâbi, ta’abbudi,
deskritif, naratif, argumentatif serta dialog nabawiyah. Metode tanya
jawab, sering dilakukan oleh Rasul saw. dalam mendidik akhlak para
sahabat. Dialog akan memberi kesempatan kepada peserta didik untuk
bertanya tentang sesuatu yang tidak mereka pahami. Pada dasarnya metode
tanya jawab adalah tindak lanjut dari penyajian ceramah yang disampaikan
pendidik. Dalam hal penggunaan metode ini, Rasulullah saw. menanyakan
kepada para sahabat tentang penguasaan terhadap suatu masalah.
b. Metode Pengulangan.
حَدَّثَنَا مُسَدَّدُ بْنُ مُسَرْهَدٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ بَهْزِ بْنِ
حَكِيمٍ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ أَبِيهِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ وَيْلٌ لِلَّذِي
يُحَدِّثُ فَيَكْذِبُ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ.
Artinya: Hadis Musaddad ibn Musarhad hadis Yahya dari Bahzâ ibn Hâkim,
katanya hadis dari ayahnya katanya ia mendengar Rasulullah saw bersabda:
Celakalah bagi orang yang berbicara dan berdusta agar orang-orang
tertawa. Kecelakaan baginya, kecelakaan baginya. (As-Sijistani, t.t, II:
716).
Hadis di atas tergolong syarîf marfu’ dengan kualitas perawi yang
sebagian tergolong şiqah dan şiqah hafiz, şiqah sadũq. Rasulullah saw.
mengulang tiga kali perkataan ”celakalah”, ini menunjukkan bahwa
pembelajaran harus dilaksanakan dengan baik dan benar, sehingga materi
pelajaran dapat dipahami dan tidak tergolong pada orang yang merugi.
Satu proses yang penting dalam pembelajaran adalah pengulangan/latihan
atau praktek yang diulang-ulang. Baik latihan mental dimana seseorang
membayangkan dirinya melakukan perbuatan tertentu maupun latihan motorik
yaitu melakukan perbuatan secara nyata merupakan alat-alat bantu
ingatan yang penting. Latihan mental, mengaktifkan orang yang belajar
untuk membayangkan kejadian-kejadian yang sudah tidak ada untuk
berikutnya bayangan-bayangan ini membimbing latihan motorik. Proses
pengulangan juga dipengaruhi oleh taraf perkembangan seseorang.
Kemampuan melukiskan tingkah laku dan kecakapan membuat model menjadi
kode verbal atau kode visual mempermudah pengulangan. Metode pengulangan
dilakukan Rasulullah saw. ketika menjelaskan sesuatu yang penting untuk
diingat para sahabat.
c. Metode demonstrasi
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ
الْوَهَّابِ قَالَ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ قَالَ
حَدَّثَنَا مَالِكٌ أَتَيْنَا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَنَحْنُ شَبَبَةٌ مُتَقَارِبُونَ فَأَقَمْنَا عِنْدَهُ
عِشْرِينَ يَوْمًا وَلَيْلَةً وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَحِيمًا رَفِيقًا فَلَمَّا ظَنَّ أَنَّا قَدْ
اشْتَهَيْنَا أَهْلَنَا أَوْ قَدْ اشْتَقْنَا سَأَلَنَا عَمَّنْ تَرَكْنَا
بَعْدَنَا فَأَخْبَرْنَاهُ قَالَ ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ فَأَقِيمُوا
فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ وَذَكَرَ أَشْيَاءَ أَحْفَظُهَا أَوْ
لا أَحْفَظُهَا وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي.
Artinya: Hadis dari Muhammad ibn Muşanna, katanya hadis dari Abdul
Wahhâb katanya Ayyũb dari Abi Qilâbah katanya hadis dari Mâlik. Kami
mendatangi Rasulullah saw. dan kami pemuda yang sebaya. Kami tinggal
bersama beliau selama (dua puluh malam) 20 malam. Rasulullah saw adalah
seorang yang penyayang dan memiliki sifat lembut. Ketika beliau menduga
kami ingin pulang dan rindu pada keluarga, beliau menanyakan tentang
orang-orang yang kami tinggalkan dan kami memberitahukannya. Beliau
bersabda; kembalilah bersama keluargamu dan tinggallah bersama mereka,
ajarilah mereka dan suruhlah mereka. Beliau menyebutkan hal-hal yang
saya hapal dan yang saya tidak hapal. Dan salatlah sebagaimana kalian
melihat aku salat. (al-Bukhari, I: 226)
Hadis di atas tergolong syarîf marfu’ dengan kualitas perawi yang
sebagian tergolong şiqah dan şiqah kaşir, şiqah şubut. Hadis ini sangat
jelas menunjukkan tata cara salat Rasulullah saw. kepada sahabat,
sehingga para sahabat dipesankan oleh Rasulullah saw. agar salat seperti
yang dicontohkan olehnya.
Menurut teori belajar sosial, hal yang amat penting dalam pembelajaran
ialah kemampuan individu untuk mengambil intisari informasi dari tingkah
laku orang lain, memutuskan tingkah laku mana yang akan diambil untuk
dilaksanakan. Dalam pandangan paham belajar sosial, sebagaimana
dikemukakan Grendler (1991: 369), orang tidak dominan didorong oleh
tenaga dari dalam dan tidak oleh stimulus-stimulus yang berasal dari
lingkungan. Tetapi sebagai interaksi timbal balik yang terus-menerus
yang terjadi antara faktor-faktor penentu pribadi dan lingkungannya.
Metode demonstrasi dimaksudkan sebagai suatu kegiatan memperlihatkan
suatu gerakan atau proses kerja sesuatu. Pekerjaannya dapat saja
dilakukan oleh pendidik atau orang lain yang diminta mempraktekkan
sesuatu pekerjaan. Metode demonstrasi dilakukan bertujuan agar pesan
yang disampaikan dapat dikerjakan dengan baik dan benar.
Metode demonstrasi dapat dipergunakan dalam organisasi pelajaran yang
bertujuan memudahkan informasi dari model (model hidup, model simbolik,
deskripsi verbal) kepada anak didik sebagai pengamat. Sebagai contoh
dipakai mata pelajaran Pikih kelas II pada madrasah Tsanawiyah yang
membahas pelaksanaan shalat Zuhur. Kompetensi Dasar (KD) dari pokok
bahasan tersebut adalah: “Siswa dapat melaksanaan ibadah shalat Zuhur
setelah mengamati dan mempraktekkan berdasarkan model yang ditentukan”.
Untuk mencapai tujuan pembelajaran, dibutuhkan beberapa kemampuan yang
harus dikuasai anak didik dalam indikator pencapaian, yaitu :
1) Kemampuan gerakan (melakukan posisi berdiri tegak menghadap kiblat,
mengangkat tangan sejajar dengan telinga ketika takbiratul ihram,
membungkuk dengan memegang lutut ketika ruku’, melakukan i’tidal,
melakukan sujud dengan kening menempel di sajadah, melakukan duduk di
antara dua sujud, melakukan duduk tahyat akhir yang agak berbeda dengan
duduk di antara dua sujud, melakukan salam dengan menoleh ke kanan dan
kiri.
2) Kemampuan membaca bacaan salat (bacaan surat al-Fatihah, bacaan ayat
Alquran, bacaan ruku’, bacaan berdiri i’tidâl, bacaan sujud, bacaan
duduk antara dua sujud, bacaan tahyat awal dan akhir.
3) Menganalisis tingkah laku yang dimodelkan. Tingkah laku yang
dimodelkan sesuai dengan bahan pelajaran adalah ‘motorik” meliputi
keterampilan dalam gerakan salat dan kemampuan membaca bacaan shalat.
4) Menunjukkan model. Gerakan dalam salat dilakukan berdasarkan
urut-urutannya (prosedural) dan bacaan dalam salat diucapkan dengan baik
dan benar berdasarkan tata cara membaca Alquran (ilmu tajwid).
5) Memberikan kesempatan pada siswa untuk mempraktekkan dengan umpan
balik yang dapat dilihat, tiap anak didik mempraktekkan kembali gerakan
shalat Zuhur yang ditunjukkan oleh model seiring dengan aba-aba prosedur
yang diberikan guru. Demikian pula dengan bacaan salat dapat
dipraktekkan anak didik.
6) Memberikan reinforcement dan motivasi. Guru memberikan penguatan pada
anak didik yang telah berhasil melakukan gerakan dengan baik dan benar
dan mengarahkan serta memperbaiki gerakan dan bacaan anak didik yang
belum sesuai.
d. Metode eksperimen
حَدَّثَنَا آدَمُ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا الْحَكَمُ عَنْ
ذَرٍّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى عَنْ أَبِيهِ
قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَقَالَ إِنِّي
أَجْنَبْتُ فَلَمْ أُصِبْ الْمَاءَ فَقَالَ عَمَّارُ بْنُ يَاسِرٍ لِعُمَرَ
بْنِ الْخَطَّابِ أَمَا تَذْكُرُ أَنَّا كُنَّا فِي سَفَرٍ أَنَا وَأَنْتَ
فَأَمَّا أَنْتَ فَلَمْ تُصَلِّ وَأَمَّا أَنَا فَتَمَعَّكْتُ فَصَلَّيْتُ
فَذَكَرْتُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكَ
هَكَذَا فَضَرَبَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
بِكَفَّيْهِ الْأَرْضَ وَنَفَخَ فِيهِمَا ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ ….
Artinya: Hadis Adam, katanya hadis Syu’bah ibn Abdurrahmân ibn Abzâ dari
ayahnya, katanya seorang laki-laki datang kepada Umar ibn Khattâb, maka
katanya saya sedang janabat dan tidak menemukan air, kata Ammar ibn
Yasir kepada Umar ibn Khattâb, tidakkah anda ingat ketika saya dan anda
dalam sebuah perjalanan, ketika itu anda belum salat, sedangkan saya
berguling-guling di tanah, kemudian saya salat. Saya menceritakannya
kepada Rasul saw. kemudian Rasulullah saw. bersabda: ”Sebenarnya anda
cukup begini”. Rasul memukulkan kedua telapak tangannya ke tanah dan
meniupnya kemudian mengusapkan keduanya pada wajah.(al-Bukhari, I: 129)
Hadis di atas tergolong syarîf marfu’ dengan kualitas perawi yang
sebagian tergolong şiqah dan şiqah hafiz, şiqah şubut. Menurut
al-Asqalani, hadis ini mengajarkan sahabat tentang tata cara tayammum
dengan perbuatan. (Al-Asqalani, I: 444) Sahabat Rasulullah saw.
melakukan upaya pensucian diri dengan berguling di tanah ketika mereka
tidak menemukan air untuk mandi janabat. Pada akhirnya Rasulullah saw.
memperbaiki ekperimen mereka dengan mencontohkan tata cara bersuci
menggunakan debu.
e. Metode pemecahan masalah.
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ جَعْفَرٍ
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِنْ الشَّجَرِ شَجَرَةً
لَا يَسْقُطُ وَرَقُهَا وَإِنَّهَا مَثَلُ الْمُسْلِمِ فَحَدِّثُونِي مَا
هِيَ فَوَقَعَ النَّاسُ فِي شَجَرِ الْبَوَادِي قَالَ عَبْدُ اللَّهِ
وَوَقَعَ فِي نَفْسِي أَنَّهَا النَّخْلَةُ فَاسْتَحْيَيْتُ ثُمَّ قَالُوا
حَدِّثْنَا مَا هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ هِيَ النَّخْلَةُ.
Artinya: Hadis Quthaibah ibn Sâ’id, hadis Ismâil ibn Ja’far dari
Abdullah ibn Dinar dari Umar, sabda Rasulullah saw. Sesungguhnya di
antara pepohonan itu ada sebuah pohon yang tidak akan gugur daunnya dan
pohon dapat diumpamakan sebagai seorang muslim, karena keseluruhan dari
pohon itu dapat dimanfaatkan oleh manusia. Cobalah kalian beritahukan
kepadaku, pohon apakah itu? Orang-orang mengatakan pohon Bawâdi.
Abdullah berkata; Dalam hati saya ia adalah pohon kurma, tapi saya malu
(mengungkapkannya). Para sahabat berkata; beritahukan kami wahai
Rasulullah!. Sabda Rasul saw; itulah pohon kurma.(al-Bukhari, I: 34).
Hadis di atas tergolong syarîf marfū’ dengan kualitas perawi yang
sebagian tergolong şiqah şubut, dan şiqah, sedangkan ibn Umar ra. adalah
sahabat Rasulullah saw. Al-Asqalâni (I:147), menyebutkan dengan metode
perumpamaan tersebut dapat menambah pemahaman, menggambarkannya agar
melekat dalam ingatan serta mengasah pemikiran untuk memandang
permasalahan yang terjadi. (al-Asqalani, I: 147). Metode tanya jawab
berusaha menghubungkan pemikiran seseorang dengan orang lain, serta
mempunyai manfaat bagi pelaku dan pendengarnya, melalui dialog, perasaan
dan emosi pembaca akan terbangkitkan, jika topik pembicaraan disajikan
bersifat realistik dan manusiawi. (an-Nahlawi, t.t.: 205) Uraian
tersebut memberi makna bahwa dialog dilakukan oleh seseorang dengan
orang lain, baik mendengar langsung atau melalui bacaan.
f. Metode diskusi
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ وَعَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ قَالَا
حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ وَهُوَ ابْنُ جَعْفَرٍ عَنْ الْعَلَاءِ عَنْ
أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ قَالُوا الْمُفْلِسُ
فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ
مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ
وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ
دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ
حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا
عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي
النَّارِ.
Artinya: Hadis Qutaibah ibn Sâ’id dan Ali ibn Hujr, katanya hadis Ismail
dan dia ibn Ja’far dari ‘Alâ’ dari ayahnya dari Abu Hurairah ra.
bahwasnya Rasulullah saw. bersabda: Tahukah kalian siapa orang yang
muflis (bangkrut)?, jawab mereka; orang yang tidak memiliki dirham dan
harta. Rasul bersabda; Sesungguhnya orang yang muflis dari ummatku
adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan (pahala) salat, puasa
dan zakat,. Dia datang tapi telah mencaci ini, menuduh ini, memakan
harta orang ini, menumpahkan darah (membunuh) ini dan memukul orang ini.
Maka orang itu diberi pahala miliknya. Jika kebaikannya telah habis
sebelum ia bisa menebus kesalahannya, maka dosa-dosa mereka diambil dan
dicampakkan kepadanya, kemudian ia dicampakkan ke neraka.(Muslim, t.t,
IV: 1997)
Hadis di atas tergolong syarîf marfū’ dengan kualitas perawi yang
sebagian tergolong şiqah dan şiqah şubut, şiqah hâfiz, sedangkan Abu
Hurairah ra. adalah sahabat Rasulullah saw. Menurut an-Nawâwi,
Penjelasan hadis di atas yaitu Rasulullah saw. memulai pembelajaran
dengan bertanya dan jawaban sahabat ternyata salah, maka Rasulullah saw.
menjelaskan bahwa bangkrut dimaksud bukanlah menurut bahasa. Tetapi
bangkrut yang dimaksudkan adalah peristiwa di akhirat tentang pertukaran
amal kebaikan dengan kesalahan. (an-Nawawi, t.t, XVI: 136).
g. Metode pujian/memberi kegembiraan.
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي
سُلَيْمَانُ عَنْ عَمْرِو بْنِ أَبِي عَمْرٍو عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي
سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ قَالَ قِيلَ يَا
رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِكَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقَدْ ظَنَنْتُ
يَا أَبَا هُرَيْرَةَ أَنْ لَا يَسْأَلُنِي عَنْ هَذَا الْحَدِيثِ أَحَدٌ
أَوَّلُ مِنْكَ لِمَا رَأَيْتُ مِنْ حِرْصِكَ عَلَى الْحَدِيثِ أَسْعَدُ
النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا
اللَّهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ أَوْ نَفْسِهِ.
Artinya: Hadis Abdul Aziz ibn Abdillah katanya menyampaikan padaku
Sulaiman dari Umar ibn Abi Umar dari Sâ’id ibn Abi Sa’id al-Makbârî dari
Abu Hurairah, ia berkata: Ya Rasulullah, siapakah yang paling bahagia
mendapat syafa’atmu pada hari kiamat?, Rasulullah saw bersabda: Saya
sudah menyangka, wahai Abu Hurairah, bahwa tidak ada yang bertanya
tentang hadis ini seorangpun yang mendahului mu, karena saya melihat
semangatmu untuk hadis. Orang yang paling bahagia dengan syafaatku ada
hari Kiamat adalah orang yang mengucapkan ”Lâilaha illa Allah” dengan
ikhlas dari hatinya atau dari dirinya.(al-Bukhari, t.t, I: 49)
Hadis di atas tergolong syarîf marfu’ dengan kualitas perawi yang
sebagian tergolong şiqah dan şiqah şubut. sedangkan Abu Hurairah adalah
sahabat Rasul saw. Ibn Abi Jamrah mengatakan hadis ini menjadi dalil
bahwa sunnah hukumnya memberikan kegembiraan kepada anak didik sebelum
pembelajaran dimulai. Sebagaimana Rasulullah saw. mendahulukan sabdanya;
’saya telah menyangka’, selain itu ‘karena saya telah melihat
semangatmu untuk hadis’. Oleh sebab itu perlu memberikan suasana
kegembiraan dalam pembelajaran. (Andalusi, t.t :133-134)
h. Metode pemberian hukuman.
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ صَالِحٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ
أَخْبَرَنِي عَمْرٌو عَنْ بَكْرِ بْنِ سَوَادَةَ الْجُذَامِيِّ عَنْ
صَالِحِ بْنِ خَيْوَانَ عَنْ أَبِي سَهْلَةَ السَّائِبِ بْنِ خَلَّادٍ
قَالَ أَحْمَدُ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَنَّ رَجُلًا أَمَّ قَوْمًا فَبَصَقَ فِي الْقِبْلَةِ وَرَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْظُرُ فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ فَرَغَ لَا يُصَلِّي
لَكُمْ….
Artinya: Hadis Ahmad ibn Shalih, hadis Abdullah ibn Wahhab, Umar
memberitakan padaku dari Bakr ibn Suadah al-Juzâmi dari Shâlih ibn
Khaiwân dari Abi Sahlah as-Sâ’ib ibn Khallâd, kata Ahmad dari kalangan
sahabat Nabi saw. bahwa ada seorang yang menjadi imam salat bagi
sekelompok orang, kemudian dia meludah ke arah kiblat dan Rasulullah
saw. melihat, setelah selesai salat Rasulullah saw. bersabda ”jangan
lagi dia menjadi imam salat bagi kalian”… (Sijistani, t.t, I: 183).
Hadis di atas tergolong syarîf marfū’ dengan kualitas perawi yang
sebagian tergolong şiqah hâfiz, şiqah dan şiqah azaly. memberikan
hukuman (marah) karena orang tersebut tidak layak menjadi imam.
Seakan-akan larangan tersebut disampaikan beliau tampa kehadiran imam
yang meludah ke arah kiblat ketika salat. (Abadi, t.t, II: 105-106).
Dengan demikian Rasulullah saw. memberi hukuman mental kepada seseorang
yang berbuat tidak santun dalam beribadah dan dalam lingkungan sosial.
Sanksi dalam pendidikan mempunyai arti penting, pendidikan yang terlalu
lunak akan membentuk pelajar kurang disiplin dan tidak mempunyai
keteguhan hati. Sanksi tersebut dapat dilakukan dengan tahapan sebagai
berikut, dengan teguran, kemudian diasingkan dan terakhir dipukul dalam
arti tidak untuk menyakiti tetapi untuk mendidik. Kemudian dalam
menerapkan sanksi fisik hendaknya dihindari kalau tidak memungkinkan,
hindari memukul wajah, memukul sekedarnya saja dengan tujuan mendidik,
bukan balas dendam. Alternatif lain yang mungkin dapat dilakukan adalah;
1) Memberi nasehat dan petunjuk.
2) Ekspresi cemberut.
3) Pembentakan.
4) Tidak menghiraukan murid.
5) Pencelaan disesuaikan dengan tempat dan waktu yang sesuai.
6) Jongkok.
7) Memberi pekerjaan rumah/tugas.
8) Menggantungkan cambuk sebagai simbol pertakut.
9) Alternatif terakhir adalah pukulan ringan. (al-Syalhub, Terj. Abu
Haekal, 2005: 59-60).
Hal yang menjadi prinsip dalam memberikan sanksi adalah tahapan dari
yang paling ringan, sebab tujuannya adalah pengembangan potensi baik
yang ada dalam diri anak didik.
C. Penutup
Metode pendidikan adalah cara yang dipergunakan pendidik dalam
menyampaikan bahan pelajaran kepada peserta didik, sehingga dengan
metode yang tepat dan sesuai, bahan pelajaran dapat dikuasai dengan baik
oleh peserta didik. Beberapa metode pendidikan yang dikemukakan dalam
makalah ini (masih banyak yang belum), terdiri dari metode keteladanan,
metode lemah lembut/kasih sayang, metode deduktif, metode perumpamaan,
metode kiasan, metode memberi kemudahan, metode perbandingan, metode
tanya jawab, metode pengulangan, metode demonstrasi, metode eksperimen,
metode pemecahan masalah, metode diskusi, metode pujian/memberi
kegembiraan, metode pemberian hukuman dapat dilaksanakan pendidik dalam
penanaman nilai-nilai pada ranah afektif dan pengembangan pola pikir
pada ranah kognitif serta latihan berperilaku terpuji pada ranah
psikomotorik.
.
DAFTAR BACAAN
Andalūsi, Imâm Ibn Abi Jamrah. Bahjât an-Nufūs wa Tahallihâ Bima’rifati mâ Lahâ wa mâ Alaihi (Syârah Mukhtasar Shahih al-Bukhâri) Jam’u an Nihâyah fi bad’i al-Khairi wa an-Nihâyah. Beirut: Dârul Jiil, 1979. Anwar, Qomari. Pendidikan Sebagai Karakter Budaya Bangsa. Jakarta: UHAMKA Press, 2003. Arifin, M. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1996.
Asqalâni, Ahmad ibn Ali ibn Hajar Abu al-Fâdhil. Fâthul Bâri Syarah Shahih al-Bukhâri. Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1379
H. Bukhâri, Abu Abdullah bin Muhammad Ismâil. Al-Jâmi’ al-Shahĩh al-Mukhtasar, Juz 1. Beirut: Dâr Ibnu Kaşir al-Yamâmah, 198.
Grendler, Bell E. Margaret. Belajar dan Membelajarkan, terj. Munandir. Jakarta: Rajawali, 1991. Hamd, Ibrahim, Muhammad. Maal Muallimîn, terj. Ahmad Syaikhu. Jakarta: Dârul Haq, 2002. Lathîb, Muhammad Syamsy al-Hâq al-’Azhîm ‘Abadi. ‘Aunu al-Ma’būd Syarh Sunan Abi Dâud. Beirut: Dâr al-Kutub al-’Ilmiyah, cet 1, 1401 H. Munawwir, Warson Ahmad. Al-Munawwir Kamus Arab Indonesia. Surabaya: Pustaka Progressif, 1997. Nahlawi, Abdurrahman. Ushulut Tarbiyyah Islamiyyah Wa Asâlibiha fî Baiti wal Madrasati wal Mujtama’ terj. Shihabuddin. Jakarta: Gema Insani Press:1996. Naisabūri, Abu al-Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi. Shahih Muslim, Juz 1. Saudi Arabia : Idâratul Buhūş Ilmiah wa Ifta’ wa ad-Dakwah wa al-Irsyâd, 1400 H. Nata, Abudin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001. Nawâwi, Abu Zakaria Yahya ibn Syaraf ibn Maria. Syarah an-Nawāwi ‘ala Shahih Muslim. Beirut: Dâr al-Fikri, 1401 H. Poerwakatja, Soegarda. Ensiklopedia Pendidikan. Jakarta: Gunung Agung, 1982. Sijistâni, Abu Dâud Sulaiman ibn al-Asy’aş. Sunan Abu Dâud. Beirut: Dâr al-Kutub al-’Ilmiyah, cet 1, 1401 H. Sumardi, Muljanto. Pedoman Pengajaran Bahasa Arab Pada Perguruan Tinggi Agama Islam/IAIN. Jakarta: Departemen Agama RI, Proyek Pengembangan Sistem Pendidikan Agama, t.t. Surakhmad,Winarno. Pengantar Interaksi Belajar Mengajar. Bandung: Tarsito, 1998. Syalhub, Fuad bin Abdul Azizi. Al-Muallim al-Awwal shalallaahu alaihi Wa Sallam Qudwah Likulli Muallim wa Muallimah, terj. Abu Haekal. Jakarta: Zikrul Hakim, 2005. Thîby, Syarafuddin. Syaharh ath-Thîby alâ Misykat al-Mashâbih, juz 11. Makkah: Maktabah Nizar Musthafa al-Bâz, 1417 H. Wojowasito, S. W. Wasito Tito. Kamus Lengkap Inggeris-Indonesia, Indonesia-Inggeris. Bandung: Hasta, 1980. Yasū‘iy, Ma‘lūf, Louwis. Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A‘lam, Cetakan XXVI. Beirut: al- Masyriq, t.t. Yusuf, Tayar Anwar, Syaiful. Metodologi Pengajaran Agama dan Bahasa Arab. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.
Andalūsi, Imâm Ibn Abi Jamrah. Bahjât an-Nufūs wa Tahallihâ Bima’rifati mâ Lahâ wa mâ Alaihi (Syârah Mukhtasar Shahih al-Bukhâri) Jam’u an Nihâyah fi bad’i al-Khairi wa an-Nihâyah. Beirut: Dârul Jiil, 1979. Anwar, Qomari. Pendidikan Sebagai Karakter Budaya Bangsa. Jakarta: UHAMKA Press, 2003. Arifin, M. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1996.
Asqalâni, Ahmad ibn Ali ibn Hajar Abu al-Fâdhil. Fâthul Bâri Syarah Shahih al-Bukhâri. Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1379
H. Bukhâri, Abu Abdullah bin Muhammad Ismâil. Al-Jâmi’ al-Shahĩh al-Mukhtasar, Juz 1. Beirut: Dâr Ibnu Kaşir al-Yamâmah, 198.
Grendler, Bell E. Margaret. Belajar dan Membelajarkan, terj. Munandir. Jakarta: Rajawali, 1991. Hamd, Ibrahim, Muhammad. Maal Muallimîn, terj. Ahmad Syaikhu. Jakarta: Dârul Haq, 2002. Lathîb, Muhammad Syamsy al-Hâq al-’Azhîm ‘Abadi. ‘Aunu al-Ma’būd Syarh Sunan Abi Dâud. Beirut: Dâr al-Kutub al-’Ilmiyah, cet 1, 1401 H. Munawwir, Warson Ahmad. Al-Munawwir Kamus Arab Indonesia. Surabaya: Pustaka Progressif, 1997. Nahlawi, Abdurrahman. Ushulut Tarbiyyah Islamiyyah Wa Asâlibiha fî Baiti wal Madrasati wal Mujtama’ terj. Shihabuddin. Jakarta: Gema Insani Press:1996. Naisabūri, Abu al-Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi. Shahih Muslim, Juz 1. Saudi Arabia : Idâratul Buhūş Ilmiah wa Ifta’ wa ad-Dakwah wa al-Irsyâd, 1400 H. Nata, Abudin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001. Nawâwi, Abu Zakaria Yahya ibn Syaraf ibn Maria. Syarah an-Nawāwi ‘ala Shahih Muslim. Beirut: Dâr al-Fikri, 1401 H. Poerwakatja, Soegarda. Ensiklopedia Pendidikan. Jakarta: Gunung Agung, 1982. Sijistâni, Abu Dâud Sulaiman ibn al-Asy’aş. Sunan Abu Dâud. Beirut: Dâr al-Kutub al-’Ilmiyah, cet 1, 1401 H. Sumardi, Muljanto. Pedoman Pengajaran Bahasa Arab Pada Perguruan Tinggi Agama Islam/IAIN. Jakarta: Departemen Agama RI, Proyek Pengembangan Sistem Pendidikan Agama, t.t. Surakhmad,Winarno. Pengantar Interaksi Belajar Mengajar. Bandung: Tarsito, 1998. Syalhub, Fuad bin Abdul Azizi. Al-Muallim al-Awwal shalallaahu alaihi Wa Sallam Qudwah Likulli Muallim wa Muallimah, terj. Abu Haekal. Jakarta: Zikrul Hakim, 2005. Thîby, Syarafuddin. Syaharh ath-Thîby alâ Misykat al-Mashâbih, juz 11. Makkah: Maktabah Nizar Musthafa al-Bâz, 1417 H. Wojowasito, S. W. Wasito Tito. Kamus Lengkap Inggeris-Indonesia, Indonesia-Inggeris. Bandung: Hasta, 1980. Yasū‘iy, Ma‘lūf, Louwis. Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A‘lam, Cetakan XXVI. Beirut: al- Masyriq, t.t. Yusuf, Tayar Anwar, Syaiful. Metodologi Pengajaran Agama dan Bahasa Arab. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar