Terdapat dua istilah yang digunakan Al-Qur’an yang berkonotasi belajar,
yaitu ta’allama dan darasa. Ta’allama berasal dari kata ‘alima
yang telah mendapat tambahan dua huruf (imbuhan), yaitu ta’ dan huruf
yang sejenis dengan lam fi’ilnya yang dilambangkan dengan tasydid
sehingga menjadi ta’allama. ‘Allama berarti mengetahui, dari kata
‘alima juga terbentuk kata al-‘ilmu (ilmu). Penambahan huruf pada
suatu kata dasar, dalam kaedah Bahasa Arab, dapat merubah makna kata tersebut
yang dinamakan dengan istilah fawa’id al-baab. Penambahan ta’ dan
tasydid dalam kata ‘alima sehingga menjadi ta’allama juga
membuat perubahan, yaitu mutawwa’ah; yang berarti adanya bekas suatu
perbuatan. Maka ta’allama secara harfiah dapat diartikan kepada
“menerima ilmu sebagai akibat dari suatu pengajaran”. Dengan demikian,
‘belajar’ sebagai terjemahan dari ta’allama dapat didefinisikan kepada
perolehan ilmu sebagai akibat dari aktivitas pembelajaran. Atau dengan
perkataan lain, belajar merupakan suatu aktivitas yang dilakukan seseorang
dimana aktivitas itu membuatnya memperoleh ilmu.
Dalam Al- Qur’an kata ‘allama terulang dua kali. Keduanya digunakan
dalam perbincangan tentang sihir, yaitu:
وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُو الشَّيَاطِينُ عَلَى
مُلْكِ سُلَيْمَانَ ۖ وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا
يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنْزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ
هَارُوتَ وَمَارُوتَ ۚ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولَا إِنَّمَا
نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ ۖ فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ
بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ ۚ وَمَا هُمْ بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ
إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ ۚ
وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ ۚ
وَلَبِئْسَ مَا شَرَوْا بِهِ أَنْفُسَهُمْ ۚ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
Artinya: Dan mereka
mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan
mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), Padahal Sulaiman tidak
kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan lah yang kafir
(mengerjakan sihir). mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang
diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil Yaitu Harut dan Marut,
sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum
mengatakan: "Sesungguhnya Kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah
kamu kafir". Maka mereka mempelajari dari kedua Malaikat itu apa yang
dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan
isterinya. dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya
kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah. dan mereka mempelajari sesuatu
yang tidak memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, Sesungguhnya
mereka telah meyakini bahwa Barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan
sihir itu, Tiadalah baginya Keuntungan di akhirat, dan Amat jahatlah perbuatan
mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui. Q.S. Al-Baqarah (2): 102.
Berdasarkan pengertian ta’allama (belajar) di atas, maka ayat ini
dapat diartikan kepada “bahwa orang Yahudi menerima ilmu sihir dari Harut dan
Marut sebagai hasil pekerjaan keduanya. Dan ilmu yang mereka dapatkan itu tidak
bermanfaat buat mereka, bahkan memberi madharat”. Mereka melakukan berbagai
aktivitas sesuai dengan bimbingan atau arahan guru sihir, dimana berdasarkan
aktivitas dan mengikuti arahan itu memperoleh apa yang mereka cari. Tetapi pada akhirnya pengetahuan yang telah
mereka peroleh sesungguhnya tidak berguna bagi diri mereka sendiri, malahan
dapat mencederai mereka.
Ungkapan Al-Qur’an “wa yata’allamuna ma yadlurruhum wa la yanfa’uhum”
menggambarkan bahwa objek yang dipelajari mestilah sesuatu yang berguna atau
bermanfaat bagi kehidupan manusia. Sesuatu
yang tidak berguna bahkan dapat mencederai manusia tidak pantas dipelajari. Oleh
karena itu, Al-Qur’an melarang manusia mempelajari ilmu sihir, karena ilmu ini
tidak dapat mendatangkan manfaat bahkan sebaliknya; ia dapat memadharatkan
manusia. Maka ilmu yang pantas dipelajari adalah ilmu yang berdampak positif
terhadap manusia, bahkan dalam menjalani kehidupan ataupun di balik kehidupan
ini.
Kata darasa secara harfiah selalu diartikan kepada
‘mempelajari’, seperti yang terlihat
dalam firman Allah:
وَكَذَلِكَ نُصَرِّفُ الْآيَاتِ
وَلِيَقُولُوا دَرَسْتَ وَلِنُبَيِّنَهُ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Artinya: Demikianlah Kami
mengulang-ulangi ayat-ayat Kami supaya (orang-orang yang beriman mendapat
petunjuk) dan supaya orang-orang musyrik mengatakan: "Kamu telah
mempelajari ayat-ayat itu (dari ahli Kitab)", dan supaya Kami menjelaskan
Al Quran itu kepada orang-orang yang mengetahui. Q.S. Al-An’Am (6) : 105.
Kata darasta dalam ayat ini berarti ‘kamu telah mempelajari’. Al-Isfahani
secara harfiah memaknai kata darasa itu dengan ‘meninggalkan bekas’, seperti
yang terlihat dalam makna ungkapan darasa al-daaru yang semakna dengan baqiya
atsruha (rumah itu masih ada bekasnya). Maka ungkapan darastu al-‘ilma
sama artinya dengan tanawaltu atsruhu bi al-hifdzi (saya menerima
bekasnya dengan menghafal). Berangkat dari makna harfiah ini, maka belajar
dapat didefinisikan kepada suatu kegiatan pencarian ilmu, dimana hasilnya
berbekas dan berpengaruh terhadap orang yang mencarinya. Artinya, belajar tidak
hanya sekedar aktivitas tetapi ia mesti mendatangkan pengaruh atau perubahan
pada orang yang belajar tersebut.
Kata darasa dalam Al-Qur’an terulang 6 kali; lima dalam bentuk kata
kerja dan yang lainnya dalam bentuk masdar. Lima yang dalam bentuk kata
kerja itu, dua di antaranya menggunakan fi’il madli dan tiga lainnya
menggunakan fi’il mudlari’. Kata tersebut terdapat dalam surah Al-An’am
ayat 105, seperti yang telah dijelaskan di atas. Selain itu, kata darasa juga
terdapat dalam beberapa surah dan ayat berikut, yaitu:
1. surah Al-A’raf (7): 169.
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ وَرِثُوا
الْكِتَابَ يَأْخُذُونَ عَرَضَ هَذَا الْأَدْنَى وَيَقُولُونَ سَيُغْفَرُ لَنَا
وَإِنْ يَأْتِهِمْ عَرَضٌ مِثْلُهُ يَأْخُذُوهُ ۚ أَلَمْ يُؤْخَذْ عَلَيْهِمْ
مِيثَاقُ الْكِتَابِ أَنْ لَا يَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلَّا الْحَقَّ وَدَرَسُوا
مَا فِيهِ ۗ وَالدَّارُ الْآخِرَةُ خَيْرٌ لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ ۗ أَفَلَا
تَعْقِلُونَ
Arinya: Maka datanglah
sesudah mereka generasi (yang jahat) yang mewarisi Taurat, yang mengambil harta
benda dunia yang rendah ini, dan berkata: "Kami akan diberi ampun".
dan kelak jika datang kepada mereka harta benda dunia sebanyak itu (pula),
niscaya mereka akan mengambilnya (juga). Bukankah Perjanjian Taurat sudah
diambil dari mereka, Yaitu bahwa mereka tidak akan mengatakan terhadap Allah
kecuali yang benar, Padahal mereka telah mempelajari apa yang tersebut di
dalamnya?. dan kampung akhirat itu lebih bagi mereka yang bertakwa. Maka Apakah
kamu sekalian tidak mengerti? Q.S. Al-A’raf (7): 169.
Ayat ini memperbincangkan kejahatan umat terdahulu setelah wafatnya nabi
yang diutus Allah kepada mereka. Umat-umat tersebut mewarisi kitab dari nabi,
mereka mempelajarinya tapi tidak mengamalkan isinya, bahkan menfatwakan dan
mengajarkan sesuatu yang bertentangan dengan isi al-kitab yang mereka pelajari
itu, untuk mendapatkan kesenangan duniawi. Mereka berharap agar kesalahan yang
mereka perbuat itu akan diampuni oleh Allah, tetapi lagi-lagi mereka
terus-menerus melakukannya. Padahal meraih kebahagiaan akhirat, dengan cara
mengamalkan pesan-pesan Tuhan yang terdapat dalam Al-Kitab itu lebih baik dan
lebih menguntungkan mereka. Tetapi memang tidak semua ahlul kitab seperti itu.
Ada juga mereka yang taat dan mengamalkan isi taurat yang telah mereka warisi
tersebut, seperti yang tergambar dalam ayat sebelumnya (168) surat yang sama.
Dalam ayat ini terdapat kata darasuu maa fiihi yang dapat diartikan
kepada “mereka telah mempelajari isi al-Kitab”. Maka maksudnya, orang-orang
Ahlul Kitab telah mempelajari kitab Allah yang diturunkan kepada mereka, maka
seharusnya kegiatan belajar itu berbekas dalam diri mereka, dengan mengimani
dan mengamalkan pesan-pesan Tuhan yang termuat dalam Kitab tersebut, serta
berpengaruh terhadap mereka dalam bentuk bertambahnya pengetahuan dan perubahan
perilaku sehingga mereka mengakui kerasulan Muhammad saw. Tetapi justru yang
sebaliknya; hal-hal yang dipelajari dari Al-Kitab tidak mendatangkan pengaruh
apa-apa dan tidak berbekas dalam jiwa mereka. Ini menggambarkan belajar yang
tidak efektif. Hal itu disebabkan oleh fanatisme dan tertutupnya jiwa menerima
kebenaran atau ada kepentingan lain yang membuat mereka menolaknya. Dalam ayat
tersebut digambarkan hal yang membuat tidak efektifnya kegiatan belajar mereka,
yaitu “ya’khudzuuna al- adnaa (mereka mengambil harta benda dunia yang
rendah ini). Artinya mereka memandang harta benda dunia lebih penting dari
segalanya sehingga pesan-pesan ilahi yang mereka pelajari dalam al-Kitab tidak
mendatangkan efek positif terhadap sikap dan jiwa mereka. Bahkan, mereka berani
mengubah kitab suci yang mereka warisi itu untuk mendapatkan kedudukan dan
kehormatan.
Berdasarkan perbincangan ayat di atas, maka dapat ditegaskan di sini bahwa
hal-hal yang dapat menghalangi peserta didik menguasai pelajaran, baik secara
kognitif, afektif maupun psikomotor. Faktor yang dapat menghalangi penguasaan
tersebut meliputi faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah
faktor yang berkaitan dengan hal-hal yang berada dalam diri peserta didik,
seperti motivasi dan minatnya terhadap mata pelajaran yang dipelajari. Demikian
pula tujuan belajar; apakah tujuannya benar-benar menimba ilmu atau ada tujuan
lain, dimana belajar dijadikan sebagai ‘kambing hitam’, termasuk pula
pergeseran pandangan terhadap belajar dari mencari ilmu berubah menjadi mencari
ijazah atau gelar.
Sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang berada di luar diri peserta
didik itu sendiri. Hal itu meliputi godaan atau rangsangan yang ada di
lingkungan sekitar peserta didik, yaitu teman, masyarakat, media masa, dan
keluarga. Banyak hal yang muncul di media masa, lingkungan keluarga,
masyarakat, dan teman yang tidak mendukung bahkan menghambat kegiatan belajar
atau menggoda siswa untuk tidak belajar sehingga materi pelajaran tidak
dikuasai atau mereka mungkin saja sudah menguasai pengetahuanya, tetapi hal-hal
tersebut menghambat mereka mengamalkannya. Maka itulah sebabnya, banyak orang
yang sudah berilmu tetapi sikap dan perilakunya bertentangan dengan pengetahuannya
itu.
Maka untuk efektifnya proses belajar, faktor-faktor tersebut mesti
dihindari. Peserta didik harus fokus pada materi dan tujuan belajar. Mereka
mesti membuka diri terhadap kebenaran atau objek yang dipelajari. Karena jika
tidak demikian, maka jiwanya akan ditutupi oleh subjektifitas dan fanatismenya
sehingga pada akhirnya membuat proses belajar tidak mencapai tujuan yang
diharapkan. niat mereka perlu diluruskan, bahwa belajar benar-benar mencari
ilmu untuk menguatkan akal agar mendapat hhidayah dari Allah, sehingga ilmu
yang diperoleh berpengaruh positif terhadap perilaku.
Selain itu, lingkungan seperti teman serta lingkungan sekitar siswa lainnya
mestilah dijaga agar benar-benar bersih dari hal-hal yang dapat menggagalkan
pendidikan. Nabi Muhammad mengajarkan agar bersahabatlah dengan orang-orang
baik, agar kebaikan yang ada padanya berpengaruh pula kepada sahabat.
2. surah Ali ‘Imran (3); 79 dan 80:
مَا كَانَ لِبَشَرٍ
أَنْ يُؤْتِيَهُ اللَّهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ
لِلنَّاسِ كُونُوا عِبَادًا لِي مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَكِنْ كُونُوا
رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ
تَدْرُسُونَ
وَلَا
يَأْمُرَكُمْ أَنْ تَتَّخِذُوا الْمَلَائِكَةَ وَالنَّبِيِّينَ أَرْبَابًا ۗ
أَيَأْمُرُكُمْ بِالْكُفْرِ بَعْدَ إِذْ أَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
Artinya: Tidak wajar
bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, Hikmah dan
kenabian, lalu Dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi
penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." akan tetapi (dia berkata):
"Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani[208], karena kamu selalu
mengajarkan Al kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.
Dan (tidak wajar pula
baginya) menyuruhmu menjadikan Malaikat dan Para Nabi sebagai tuhan. Apakah
(patut) Dia menyuruhmu berbuat kekafiran di waktu kamu sudah (menganut agama)
Islam?".
Dalam ayat ini terdapat ungkapan kuunu rabbaniyyina bima kuntum
tu’allimuuna al-Kitab wa bimaa kuntum tadrusuun (karena kamu selalu
mengajarkan al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya). Penggalan ayat
tersebut menggambarkan ajakan atau dakwah nabi terdahulu terhadap ummatnya agar
mereka menjadi rabbani, yaitu orang-orang yang sempurna ilmu dan
takwanya kepada Allah swt. dimana kesempurnaan ilmu dan takwa itu merupakan
efek dari pengajaran al-Kitab di satu sisi dan mempelajarinya di sisi lain. Ini
artinya, belajar semestinya meninggalkan bekas pada diri atau jiwa peserta
didik dalam bentuk kesempurnaan iman dan takwa.
Maka dengan demikian ditegaskan, bahwa ayat ini secara tidak langsung
membicarakan dua hal yang berkaitan dengan belajar; pertama konsep belajar
seperti terlihat dalam istilah ‘tadrusuuna’. Dan kedua tujuan belajar
dan mengajar, yaitu “terbentuknya insan rabbani”. Para nabi telah mengajar
umatnya dan umat pun telah mempelajari
pesan-pesan ilahi yang disampaikan para nabi tersebut. Maka umat diharapkan
menjadi insan rabbani.
3. surah Al-Qalam (68); 34-38
إِنَّ
لِلْمُتَّقِينَ عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتِ النَّعِيمِ ﴿068:034﴾
أَفَنَجْعَلُ
الْمُسْلِمِينَ كَالْمُجْرِمِينَ ﴿068:035﴾
مَا لَكُمْ كَيْفَ تَحْكُمُونَ
﴿068:036﴾ أَمْ لَكُمْ كِتَابٌ فِيهِ
تَدْرُسُونَ ﴿068:037﴾
إِنَّ
لَكُمْ فِيهِ لَمَا تَخَيَّرُونَ ﴿068:038﴾
Artinya: Sesungguhnya
bagi orang-orang yang bertakwa (disediakan) syurga-syurga yang penuh kenikmatan
di sisi Tuhannya. Maka Apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama
dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)? atau Adakah kamu (berbuat
demikian): Bagaimanakah kamu mengambil keputusan? atau Adakah kamu mempunyai
sebuah kitab (yang diturunkan Allah) yang kamu membacanya?, bahwa di dalamnya
kamu benar-benar boleh memilih apa yang kamu sukai untukmu.
Ayat 36 dan 37 di atas diungkapkan dengan uslub (gaya bahasa) bertanya,
yaitu ‘Adakah kamu (berbuat demikian): bagaimanakah kamu mengambil keputusan?”
dan “Atau adakah kamu mempunyai sebuah kitab (yang diturunkan Allah) yang kamu
mempelajarinya?. Hal ini secara implisit menggambarkan bahwa perilaku merupakan
efek dari apa yang dipelajari. Artinya, seolah-olah orang-orang kafir itu telah
menerima al-Kitab lalu mereka mempelajari, dan hasilnya mereka dibolehkan
memilih apa-apa yang mereka sukai. Kemudian mereka pun mengamalkan hal-hal yang
mereka sukai itu, seperti yang terlihat pada sikap dan perilaku mereka. Padahal
mereka belum mendapatkan al-Kitab. Sikap dan perilaku mereka hanyalah efek dari
apa yang mereka pelajari dari nenek moyang mereka. Hal itu juga tergambar dalam
ayat berikut.
4. surah Saba’(34); 43-44:
وَإِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ آيَاتُنَا
بَيِّنَاتٍ قَالُوا مَا هَذَا إِلَّا رَجُلٌ يُرِيدُ أَنْ يَصُدَّكُمْ عَمَّا
كَانَ يَعْبُدُ آبَاؤُكُمْ وَقَالُوا مَا هَذَا إِلَّا إِفْكٌ مُفْتَرًى ۚ وَقَالَ
الَّذِينَ كَفَرُوا لِلْحَقِّ لَمَّا جَاءَهُمْ إِنْ هَذَا إِلَّا سِحْرٌ مُبِينٌ
﴿034:043﴾ وَمَا آتَيْنَاهُمْ مِنْ كُتُبٍ
يَدْرُسُونَهَا ۖ وَمَا أَرْسَلْنَا إِلَيْهِمْ قَبْلَكَ مِنْ نَذِيرٍ﴿034:044﴾
Artinya: Dan apabila
dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang terang, mereka berkata: "Orang
ini tiada lain hanyalah seorang laki-laki yang ingin menghalangi kamu dari apa
yang disembah oleh bapak-bapakmu", dan mereka berkata: "(Al Quran)
ini tidak lain hanyalah kebohongan yang diada-adakan saja". dan
orang-orang kafir berkata terhadap kebenaran tatkala kebenaran itu datang
kepada mereka: "Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata".
Dan Kami tidak pernah
memberikan kepada mereka Kitab-Kitab yang mereka baca dan sekali-kali tidak
pernah (pula) mengutus kepada mereka sebelum kamu seorang pemberi peringatanpun.
Orang kafir menolak ajaran yang disampaikan Rasul, mereka menganggapnya
sebagai dongeng dan sihir. Mereka sangat fanatik dengan kepercayaan nenek
moyang. Seakan-akan hal itu telah mereka pelajari dari al-Kitab atau dari rasul
yang diutus kepada mereka. Padahal mereka tidak pernah diberi al-Kitab dan juga
tidak pernah diutus seorang rasul, yang memberikan peringatan. Pernyataan
ayat-ayat ini secara implisit meggambarkan begitu eratnya kaitan perilaku
dengan belajar.
Berdasarkan konsep ta’allama dan darasa di atas, maka hakikat
belajar itu adalah pencarian dan perolehan ilmu, di mana iaa mendatangkan
pengaruh atau perubahan kepada sipelajar.
Ayat 105 surah al-An’am yang lalu juga menggambarkan bahwa untuk
mendapatkan hasil belajar yang maksimal ia mesti diulang-ulang. Hal itu
tergambar dalam penggalan ayat “wa kadzaalika nusharrifu al-aayaat”
(demikianlah Kami mengulang-ulang ayat-ayat) supaya orang-orang yang beriman
mendapat petunjuk. Allah mengajar manusia melalui kitab suci-Nya, pengajaran
Allah itu selalu diulang-ulang. Pengulangan itu tidak hanya dilakukakan oleh
guru, tetapi yang paling penting lagi dilakukan oleh peserta didik.
Perbincangan di atas menggambarkan beberapa konsep belajar dan bagaimana
seharusnya efek dari belajar tersebut. Selain itu, dalam al-Qur’’an diterangkan
pula bentuk aktifitas belajar, yaitu membaca (qara’a), dan memperhatikan
(ra’a), menalar (nadzhara), mendengarkan (sami’a), dan mengingat atau menghafal
(dzakara). Melakukan segala aktivitas belajar ini dapat menghasilkan penguasaan terhadap
pelajaran tersebut, baik penguasaan secara kognitif maupun afektif. Dalam
istilah al-Qur’an disebut dengan tadzakkar yang berarti menjadi ingat atau
menguasai materi ajar atau sadar sebagai makhluk Tuhan sebagai efek dari
membaca, memperhatikan, menalar, mendengarkan, dan meghafal. Jadi, belajar
mestinya mendatangkan efek kepada pelajar dalam bentuk kesadaran diri sebagai
hamba Allah dan menyadari bahwa segala yang ada ini mempunyai penuh
ketergantungan kepada Allah. Al-Qur’an menegaskan:
وَهُوَ الَّذِي يُرْسِلُ الرِّيَاحَ بُشْرًا
بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهِ ۖ حَتَّى إِذَا أَقَلَّتْ سَحَابًا ثِقَالًا سُقْنَاهُ
لِبَلَدٍ مَيِّتٍ فَأَنْزَلْنَا بِهِ الْمَاءَ فَأَخْرَجْنَا بِهِ مِنْ كُلِّ
الثَّمَرَاتِ ۚ كَذَلِكَ نُخْرِجُ الْمَوْتَى لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
﴿007:057﴾
Artinya: Dan Dialah
yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan
rahmat-Nya (hujan); hingga apabila angin itu telah membawa awan mendung, Kami
halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu, Maka
Kami keluarkan dengan sebab hujan itu pelbagai macam buah-buahan. seperti
Itulah Kami membangkitkan orang-orang yang telah mati, Mudah-mudahan kamu
mengambil pelajaran. Q.S. Al-A’raf (7): 57.
Secara umum ayat ini menegaskan, bahwa mempelajari fenomena alam yang
meliputi proses turunnya hujan dan tumbuhannya sebagai dalil yang menunjukkan
kepada kemahabesaran dan kekuasaan Allah, yang kemudian dianalogikan dengan
kekuasaan-Nya yang lain yaitu membangkitkan manusia, dapat membentuk pribadi
yang sadar akan kekuasaan-Nya itu (tadzakkar). Artinya, fenomena alam
semestinya dapat dijadikan i’tibar oleh manusia dan mengantarkannya kepada
keimanan yang kokoh dalam bentuk kesadaran diri sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
Dan kesadaran diri itu merupakan hasil yang ingin dicapai melalui mempelajari
fenomena alam tersebut. (Wallahu A’lam)
terimaksih sudah membantu:)
BalasHapus