A. Prinsip
Belajar
Secara umum belajar dapat
dikatakan sebagai aktivitas pencarian ilmu yang tentu saja berdasarkan konsep
belajar di atas mesti berpengaruh terhadap si pelajar. Pengaruh itu meliputi
cara pandang, pikiran dan perilakunya. Belajar sebagai suatu aktivitas dalam
mencari ilmu mesti didasarkan atas prinsip-prinsip tertentu yang meliputi
ketauhidan, keikhlasan, kebenaran dan tujuan yang jelas; prinsip yang terakhir
ini berkait pula dengan tiga prinsip sebelumnya. Dan pengaruh yang diharapkan
terjadi pada sipelajar tidak dapat dipisahkan dari keempat prinsip tersebut.
Tauhid merupakan dasar pertama dan utama, dimana kegiatan belajar mesti
dibangun di atasnya. Banyak ayat Al-Qur’an yang menggambarkan hal tersebut.
Perbincangan kitab suci ini tentang ilmu pengetahuan dan fenomena alam, sebagai
objek yang dipelajari, mengarahkan manusia kepada tauhid. Atau dengan kata
lain, belajar mesti berangkat dari ketauhidan dan juga berorientasi kepadanya.
Dalam surah Al-Anbiya’ ayat 30 dan 31 ditegaskan:
أَوَلَمْ يَرَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّ
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَاهُمَا ۖ وَجَعَلْنَا مِنَ
الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ ۖ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ ﴿021:030﴾
وَجَعَلْنَا
فِي الْأَرْضِ رَوَاسِيَ أَنْ تَمِيدَ بِهِمْ وَجَعَلْنَا فِيهَا فِجَاجًا سُبُلًا
لَعَلَّهُمْ يَهْتَدُونَ ﴿021:031﴾
Artinya: Dan Apakah
orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya
dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. dan dari
air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka Mengapakah mereka tiada juga
beriman?
Dan telah Kami
jadikan di bumi ini gunung-gunung yang kokoh supaya bumi itu (tidak) goncang
bersama mereka dan telah Kami jadikan (pula) di bumi itu jalan-jalan yang luas,
agar mereka mendapat petunjuk.
Ayat ini mengajak manusia mempelajari bumi, langit dan segala isinya. Hal
itu tergambar dalam kata tanya (istifham) yang terdapat di awal ayat 30, yaitu awalam
yara. Ada beberapa fenomena alam yang diperbincangkan dalam kedua ayat di
atas. Pertama bumi dan langit dulunya merupakan satu kesatuan, kemudian Allah
memisahkan keduanya maka terjadilah alam dan segala isinya. Kedua segala
makhluk hidup berasal dari air. Ketiga di bumi terdapat gunung yang berfungsi
mengokohkannya. Dan keempat di bumi juga terdapat jalan-jalan yang lapang.
Ayat pertama dimulai dengan pertanyaan apakah orang kafir tidak
memperhatikan dan ayat kedua dimulai dengan pertanyaan, yaitu Allah menciptakan
gunung-gunung. Pertanyaan itu memancing manusia agar belajar dengan cara melakukan
penalaran terhadap fenomena alam, yang berorientasi kepada keimanan. Kemudian
dilanjutkan dengan pernyataan, bahwa Dia lah menciptakan makhluk hidup dari air
kemudian menjadikan bumi dan gunung di atasnya sebagai bahan memperkuat bumi
tersebut agar tidak goyah. selain itu terdapat pula ungkapan la’allahum
yahtaduun, yang secara harfiah dapat diartikan kepada harapan tetapi karena
iini pernyataan Al-Qur’an ia berarti suatu kepastian (tahqiiq).
Pertanyaan, pernyataan, dan atau harapan ini menggambarkan bahwa mempelajari
fenomena alam mesti berangkat dari keimanan dan berorientasi memperkuat
keimanan itu, dimana pada akhirnya pelajar yang mengkaji fenomena alam tersebut
memperoleh petunjuk.
Penekanan Al-Qur’an mengenai prinsip keimanan dalam belajar, secara lebih
tegas, dapat dilihat dalam ayat yang pertama turun, yaitu:
اقْرَأْ
بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ ﴿096:001﴾
Artinya: Bacalah dengan
(menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan.
Q.S. Al-‘Alaq:1
Ayat ini mengajarkan, bahwa membaca sebagai salah satu aktivitas belajar
mesti berangkat dari nama Tuhan Yang telah menciptakan segala sesuatu. Dengan
demikian, belajar mesti berangkat dari keimanan dan berorientasi untuk
memperkuatnya. Penguasaan ilmu adalah sebagai model yang dapat menambah dan
memperkokoh keimanan tersebut. Dan hasilnya adalah tunduk dan patuh kepada Sang
Khalik.
Ketauhidan yang dijadikan prinsip utama dalam belajar lebih jauh
menggambarkan keikhlasan dan tujuan pencarian ilmu. Ikhlas dan belajar berarti
bersih dari tujuan dan kepentingan duniawi. Maka mendapatkan lapangan pekerjaan
seharusnya tidak dijadikan sebagai tujuan utama dalam belajar. Ia mesti
dipandang sebagai akibat penguasaan ilmu pengetahuan. Zarnuji menegaskan
belajar tidak boleh diniatkan untuk mencari kemegahan duniawi dan popularitas.
Tetapi belajar diniatkan atau dimaksudkan untuk mencari ridho Allah,
menghilangkan kebodohan dari dirinya, dan atau menghidupkan api Islam. sebab
agama tidak akan hidup tanpa ilmu[1]
Berdasarkan prinsip ini, maka dapat ditegaskan bahwa mempelajari segala
macam ilmu merupakan usaha menguatkan aqidah tauhid; bertambahnya ilmu sebagai
efek dari belajar maka bertambah pula keyakinan kepada Sang Maha Pencipta atau
Pemberi ilmu itu. Al-Qur’an menegaskan:
إِنَّ
فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ
لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ ﴿003:190﴾
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا
وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ
وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ
النَّارِ ﴿003:191﴾
Artinya: Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,
(yaitu) orang-orang
yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan
mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya
Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau,
Maka peliharalah Kami dari siksa neraka. Q.S. Ali ‘Imran (3):190-191
Produk yang ingin dilahirkan oleh pendidikan Islam adalah sosok intelektual
yang berkepribadian, berdzikir, dan berfikir, sehingga dia menyadari dirinya
dan alam lingkungannya sebagai suatu sistem yang menggambarkan fenomena
kebesaran Tuhan. Untuk melahirkan produk seperti itu, maka belajar mesti
dibangun atas prinsip iman dan akidah tauhid. (Wallahu A’lam)
[1] Ibrahim bin
Isma’il Al-Zarnuji. Ta’lim
al-Muta’allim Tariiq al-Ta’allum, Semarang, Toha Putra, t.th., hlm. 10.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar