BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT. Robb yang menguasai
alam semesta, Robb yang telah mencurahkan rahmad-Nya serta kasih
sayang-Nya kepada umat manusia. Sehingga Islam masih mampu menjadi
sebuah pondasi yang kuat dalam pribadi manusia. Sholawat dan Salam kita
haturkan kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW. Juga beserta para
shohabatnya yang selalu memperjuangkan Islam. Semoga kita di akhir kelak
mendapat syafaatnya. Amin……
Sensasi memang membuat orang terkenal dan hanya untuk itu banyak
orang mengorbankan kehormatannya. Demikianlah jaringan iblis senantiasa
berusaha menjerat anak manusia kepada kesesatan dan penyimpangan dengan
melemparkan senjata pamungkasnya yaitu syubhat dan syahwat. Dewasa ini
ada sekelompok orang yang mengaku islam bebas menggembar-gemborkan isu
kesamaan gender dengan segala cara dan didukung dana besar dari orang
kafir. Mereka sengaja ingin mengaburkan dan meliberalisasikan Islam
sehingga menjadi agama yang jauh dari tuntunan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dan dekat dengan tuntunan musuh-musuh Islam. Di antara
program memuluskan konsep persamaan gender ini adalah upaya
menyetarakan laki-laki dan perempuan dalam ibadah dan ketentuan Islam
yang sudah jelas dibedakan, seperti hak waris, hak kebebasan
berapresiasi dan bekerja di lapangan kerja laki-laki dan lainnya.
Shalat berjamaah merupakan salah satu syiar Islam. Ia dapat menjadi
media pemersatu hati kaum Muslimin. Berkumpulnya kaum Muslimin di rumah
Allah untuk menunaikan ibadah dipimpin oleh seorang imam, yang tentunya
membutuhkan aturan secara lengkap dan jelas. Semua itu diperlukan,
karena sebagai kebutuhan, sehingga kaum Muslimin mengetahui aturan yang
jelas saat berinteraksi dalam beribadah di tempat yang satu. Begitu juga
saat melakukan shalat berjamaah, hendaklah setiap kaum Muslimin
mengetahui tentang hal itu, sehingga tidak terjadi pelanggaran terhadap
syariat.Maka dari itu makalah ini akan membahas Imamah yang sesuai
dengan ajaran agama Islam.
1.2 Rumusan Masalah
- Siapa yang lebih berhak menjadi Imam
- Siapakah yang sah menjadi Imam
- Bagaimana posisi Imam dan Makmum
- Apa keutamaan Imam dalam sholat
1.3 Tujuan Masalah
- Mengetahui orang yang lebih berhak menjadi Imam
- Mengetahui siapa saja yang sah menjadi Imam
- Mengerti posisi Imam dan Makmum
- Mengerti keutamaan Imam dalam sholat
BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian
Imamah merupakan Mashdar dari kata Ammannaasa yang
berarti menjadi Imam bagi orang-orang. Mereka mengikutinya dalam
Sholatnya. Maksudnya, seseorang yang maju kedepan orang-orang yang akan
Sholat untuk mereka ikuti dalam sholat mereka. Jadi Imam dalam sholat
berarti orang yang maju dihadapan jamaah sholat mereka mengikuti gerakan
Sholatnya.
Kata-kata Imam bila dijama’ (pluralnya) adalah Aimmah. Imam dalam
sholat adalah orang yang berdiri didepan orang-orang yang sholatdan
mereka mengikutinya dalam gerakan-gerakan sholat. Seorang Imam dalam
sholat akan ditauladani dalam kebaikan. Ini berdasarkan keumuman firman
Allah SWT. Ketika menyebutkan tanda-tanda Ibadurrahman (hamba-hamba
Allah), dimana mereka mengatakan dalam do’a mereka :
“Dan orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugerahakanlah kepada
kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyejuk hati kami,
dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa”. (Al-Furqan:74)
Maksudnya jadikan kami sebagai imam yang ditauladani dalam kebaikan.
Ada juga yang mengatakan: Jadikan kami sebagai petunjuk bagi mereka,
penyeru mereka kepada kebaikan. Mereka mereka kepada Allah supaya
menjadikan mereka sebagai Imam ketaqwaan yang dicontohkan oleh
orang-orang yang bertaqwa.
B. YANG BERHAK MENJADI IMAM
Jika di suatu masjid terdapat imam rawatibnya, maka yang lebih berhak
menjadi imam adalah imam rawatib yang ditunjuk oleh penguasa atau
pengurus masjid. Kalau tidak ada, maka yang didahulukan ialah orang yang
lebih banyak memiliki hafalan al Qur’an dan lebih memahami hukum Islam.
Apabila di kalangan para jamaah setara, maka didahulukan yang lebih
pandai dan lebih mengetahui tentang sunnah-sunnah Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Apabila juga setara, maka didahulukan orang yang
lebih dahulu berhijrah. Apabila sama juga, maka didahulukan yang lebih
tua usianya.[1]
Ini semua berdasarkan pada beberapa hadits di bawah ini:
1). Hadits Abu Sa’id al Khudri :
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانُوا
ثَلَاثَةً فَلْيَؤُمَّهُمْ أَحَدُهُمْ وَأَحَقُّهُمْ بِالْإِمَامَةِ
أَقْرَؤُهُمْ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Apabila mereka
tiga orang, maka hendaklah seorang dari mereka menjadi imam shalat
mereka, dan yang paling berhak menjadi imam adalah yang paling baik
bacaan al Qur`annya” [HR Muslim 672]
2). Hadits Abu Mas’ud al Anshari, ia menyatakan :
قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَؤُمُّ
الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ وَأَقْدَمُهُمْ قِرَاءَةً
فَإِنْ كَانَتْ قِرَاءَتُهُمْ سَوَاءً فَلْيَؤُمَّهُمْ أَقْدَمُهُمْ
هِجْرَةً فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَلْيَؤُمَّهُمْ
أَكْبَرُهُمْ سِنًّا وَلَا تَؤُمَّنَّ الرَّجُلَ فِي أَهْلِهِ وَلَا فِي
سُلْطَانِهِ وَلَا تَجْلِسْ عَلَى تَكْرِمَتِهِ فِي بَيْتِهِ إِلَّا أَنْ
يَأْذَنَ لَكَ أَوْ بِإِذْنِهِ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada kami:
“Hendaknya yang menjadi imam shalat suatu kaum adalah yang paling hafal
al Qur`an dan paling baik bacaannya. Apabila dalam bacaan mereka sama,
maka yang berhak menjadi imam adalah yang paling dahulu hijrahnya.
Apabila mereka sama dalam hijrah, maka yang berhak menjadi imam adalah
yang paling tua. Janganlah kalian menjadi imam atas seseorang pada
keluarga dan kekuasaannya, dan jangan juga menduduki permadani di
rumahnya, kecuali ia mengizinkanmu atau dengan izinnya” [HR Muslim dalam
Shahih-nya, kitab al Masaajid wa Mawadhi’ Shalat, Bab Man Ahaqqu bil
Imamah, no. 1709]
Namun demikian, hal ini tidak termasuk syarat sahnya shalat
berjamaah, karena seseorang diperbolehkan menjadi imam bagi orang yang
lebih berhak menjadi imam darinya, sebagaimana kisah Nabi. Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat di belakang Abu Bakar
sebagaimana dijelaskan dalam hadits ‘Aisyah, ia berkata :
لَمَّا مَرِضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مَرَضَهُ الَّذِي مَاتَ فِيهِ فَحَضَرَتْ الصَّلَاةُ فَأُذِّنَ فَقَالَ
مُرُوا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ فَقِيلَ لَهُ إِنَّ أَبَا
بَكْرٍ رَجُلٌ أَسِيفٌ إِذَا قَامَ فِي مَقَامِكَ لَمْ يَسْتَطِعْ أَنْ
يُصَلِّيَ بِالنَّاسِ وَأَعَادَ فَأَعَادُوا لَهُ فَأَعَادَ الثَّالِثَةَ
فَقَالَ إِنَّكُنَّ صَوَاحِبُ يُوسُفَ مُرُوا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ
بِالنَّاسِ فَخَرَجَ أَبُو بَكْرٍ فَصَلَّى فَوَجَدَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ نَفْسِهِ خِفَّةً فَخَرَجَ يُهَادَى
بَيْنَ رَجُلَيْنِ كَأَنِّي أَنْظُرُ رِجْلَيْهِ تَخُطَّانِ مِنْ الْوَجَعِ
فَأَرَادَ أَبُو بَكْرٍ أَنْ يَتَأَخَّرَ فَأَوْمَأَ إِلَيْهِ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ مَكَانَكَ ثُمَّ أُتِيَ بِهِ
حَتَّى جَلَسَ إِلَى جَنْبِهِ
“Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sakit di akhir
hayatnya, lalu datanglah waktu shalat dan Bilal telah beradzan, maka
beliau berkata: “Perintahkan Abu Bakar agar mengimami shalat,” lalu ada
yang berkata kepada beliau : “Sungguh Abu Bakr seorang yang lembut hati.
Apabila menggantikan kedudukanmu, ia tidak dapat mengimami orang
banyak”. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulangi lagi
(perintahnya) dan merekapun mengulangi (pernyataan tersebut), lalu
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulanginya yang ketiga dan
berkata: “Kalian ini seperti wanita-wanita dalam kisah Yusuf[2].
Perintahkan Abu Bakar agar mengimami orang shalat,” lalu Abu Bakar
berangkat dan mengimami shalat. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam merasakan sakitnya agak ringan, lalu beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam keluar dengan bersandar pada dua orang, seakan-akan aku
melihat kakinya gontai (tidak mantap dalam melangkah) karena rasa sakit.
Lalu Abu Bakar ingin mundur, maka beliau memberikan isyarat untuk tetap
di tempatnya, kemudian mendatanginya dan duduk di sebelah Abu Bakar”
[HR al Bukhari, kitab al Adzan, hadits 2641]
Hadits ini, secara jelas menunjukkan bolehnya seseorang mengimami orang yang lebih berhak menjadi imam darinya. Wallahu a’lam.
C. YANG SAH MENJADI IMAM
Semua orang yang sah shalatnya, ia dapat menjadi imam atau sah
menjadi imam dalam shalat. Namun ada orang-orang yang dianggap oleh
sebagian orang tidak pantas menjadi imam, padahal mereka sah menjadi
imam, di antaranya:
1). Orang buta.
Orang buta memiliki kedudukan yang sama dengan orang yang melihat.
Dia dapat dijadikan imam dalam shalat. Hal ini didasarkan pada hadits
Mahmud bin ar Rabi’ :
أَنَّ عِتْبَانَ بْنَ مَالِكٍ كَانَ يَؤُمُّ قَوْمَهُ وَهُوَ أَعْمَى
“Sesungguhnya ‘Itbaan bin Malik, dahulu mengimami shalat kaumnya” [Muttafaqun ‘alaihi]
Dan pernyataan Aisyah :
اسْتُخْلِفَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُوْمٍ عَلَى الْمَدِيْنَةِ يُصَلِّيْ بِالنَّاسِ
“Ibnu Umi Maktum dijadikan pengganti (Rasulullah) di Madinah
mengimami shalat penduduknya” [HR Ibnu Hibban dan Abu Ya’la. Dikatakan
penulis kitab Shahih Fiqhus Sunnah, bahwa hadits ini shahih li ghairihi]
2). Hamba sahaya atau yang telah dimerdekakan.
Keabsahannya didasarkan kepada pernyataan Ibnu Umar yang berbunyi:
لَمَّا قَدِمَ الْمُهَاجِرُونَ الْأَوَّلُونَ الْعُصْبَةَ مَوْضِعٌ
بِقُبَاءٍ قَبْلَ مَقْدَمِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ كَانَ يَؤُمُّهُمْ سَالِمٌ مَوْلَى أَبِي حُذَيْفَةَ وَكَانَ
أَكْثَرَهُمْ قُرْآنًا
“Ketika kaum Muhajirun yang awal-awal datang ke al ‘Ushbah, suatu
tempat di Quba’; sebelum kedatangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, yang menjadi imam shalat mereka adalah Saalim maula Abu
Hudzaifah, dan dialah yang terbanyak hafalan al Qur`annya” [HR al
Bukhari dalam Shahih-nya, kitab al Adzan, Bab Imamatul al ‘Abdi wal
Maula, no. 651]
3). Anak kecil yang mumayyiz.
Hal ini didasarkan pada pernyataan Amru bin Salamah yang berbunyi:
فَلَمَّا كَانَتْ وَقْعَةُ أَهْلِ الْفَتْحِ بَادَرَ كُلُّ قَوْمٍ
بِإِسْلَامِهِمْ وَبَدَرَ أَبِي وَ قَوْمِي بِإِسْلَامِهِمْ فَلَمَّا
قَدِمَ قَالَ جِئْتُكُمْ وَاللَّهِ مِنْ عِنْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَقًّا فَقَالَ صَلُّوا صَلَاةَ كَذَا فِي حِينِ كَذَا
وَصَلُّوا صَلَاةَ كَذَا فِي حِينِ كَذَا فَإِذَا حَضَرَتْ الصَّلَاةُ
فَلْيُؤَذِّنْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْثَرُكُمْ قُرْآنًا
فَنَظَرُوا فَلَمْ يَكُنْ أَحَدٌ أَكْثَرَ قُرْآنًا مِنِّي لِمَا كُنْتُ
أَتَلَقَّى مِنْ الرُّكْبَانِ فَقَدَّمُونِي بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَأَنَا
ابْنُ سِتٍّ أَوْ سَبْعِ سِنِينَ
“Ketika terjadi penaklukan penduduk kota Makkah, maka setiap kaum
bersegera masuk Islam dan bapak dan kaumku segera masuk Islam. Ketika
dating, ia berkata: “Demi Allah, aku membawa kepada kalian dari sisi
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebuah kebenaran,” lalu ia
berkata,”Lakukanlah shalat ini, pada waktu ini, dan shalat itu pada
waktu itu. Apabila datang waktu shalat, hendaklah salah seorang kalian
beradzan, dan yang mengimami shalat kalian adalah yang paling banyak
hafalan al-Qur’annya.” Lalu mereka melihat, dan tidak mendapati
seorangpun yang lebih banyak hafalannya dariku, karena aku sering
menemui orang yang datang. Maka mereka menunjukku sebagai imam shalat,
padahal usiaku baru enam atau tujuh tahun” [HR al Bukhari]
4). Orang fasiq yang tidak keluar dari Islam.
Hal ini didasarkan pada dalil Naqli dan Aqli. Diantaranya:
a. Keumuman sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ
“Hendaknya yang menjadi imam shalat suatu kaum adalah yang paling
hafal al- Qur`an” [HR Muslim dalam Shahih-nya, kitab al Masaajid wa
Mawadhi’ Shalat, Bab Man Ahaqqu bil Imamah, no. 1709].
Hal ini mencakup fasiq, dan yang lainnya.
b. Kekhususan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada pemimpin zhalim, yang shalat diluar waktunya:
صَلُّوا الصَّلَاةَ لِوَقْتِهَا وَاجْعَلُوا صَلَاتَكُمْ مَعَهُمْ نَافِلَةً
“Shalatlah kalian pada waktunya, dan jadikanlah shalat kalian bersama
mereka sebagai nafilah (sunnah)”. [HR Muslim dalam Shahih-nya, kitab al
Masaajid, Bab Karahiyat Ta’khir ash Shalat, no. 1033]
c. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
يُصَلُّونَ لَكُمْ فَإِنْ أَصَابُوا فَلَكُمْ وَإِنْ أَخْطَئُوا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ
“Mereka mengimami kalian shalat; apabila mereka benar, maka kalian
mendapatkan pahalanya; dan apabila mereka salah, kalian tetap
mendapatkan pahalanya, dan dosanya ditanggung oleh mereka”. [HR al
Bukhari dalam Shahih-nya, kitab al Adzan, Bab Idza lam Yutim al Imam wa
Atamma Man Khalfaha, no. 653]
d. Amalan para sahabat pada zaman al Hajaj bin Yusuf ats Tsaqafi, di
antaranya Ibnu ‘Umar yang shalat di belakang al Hajjaj, sedangkan al
Hajjaj adalah seorang fasiq.
e. Sedangkan dalil aqli, dikatakan, semua yang shalatnya sah, maka
sah juga menjadi imam. Tidak ada dalil yang membedakan antara keabsahan
shalat dengan keabsahan imam. Selama ia masih shalat bagaimana kita
tidak shalat dibelakangnya, karena apabila ia bermaksiat, maka
maksiatnya kembali kepadanya sendiri.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan: “Orang fasiq
dan mubtadi’, shalatnya sah. Apabila ma’mum shalat di belakangnya, maka
shalatnya tidak batal. Namun dimakruhkan oleh orang yang memakruhkan
shalat di belakangnya, karena amar makruf nahi mungkar wajib. Oleh
karena itu, orang yang menampakkan bid’ah atau kefajiran, ia tidak boleh
menjadi imam rawatib bagi kaum Muslimin, karena ia pantas diberi
pelajaran hingga bertaubat. Apabila memungkinkan, (boleh) memboikotnya
hingga ia bertaubat, maka hal itu baik. Apabila sebagian orang tertentu
tidak shalat di belakangnya dan shalat di belakang orang lain memiliki
pengaruh hingga ia bertaubat, atau dipecat, atau orang-orang berhenti
melakukan dosa sepertinya, maka yang seperti ini baik, apabila
meninggalkan shalat di belakangnya memiliki maslahat dan tidak
kehilangan jamaah dan Jum’at. Adapun bila tidak shalat di belakangnya
menyebabkan ma’mum kehilangan Jum’at dan jamaah, maka disini tidak
meninggalkan shalat di belakang mereka, kecuali mubtadi’ yang
menyelisihi para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam”[3].
Demikianlah yang dirajihkan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin ketika menyatakan,
bahwa pendapat yang rajih adalah sah shalat di belakang orang fasiq.
Sehingga, apabila seorang shalat di belakang imam yang mencukur jenggot
atau merokok atau memakan riba atau pezina atau pencuri, maka shalatnya
tetap sah.[4]
5). Orang yang belum diketahui apakah fasiq ataukah tidak.
Dalam permasalahan ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata :
“Seseorang diperbolehkan melakukan shalat lima waktu dan Jum’at serta
yang lainnya, di belakang orang yang belum diketahui kebid’ahan dan
kefasikannya, menurut kesepakatan imam fiqih yang empat dan selain
mereka dari imam-imam kaum Muslimin. Bukan menjadi syarat bagi seorang
ma’mum harus mengetahui i’tikad (keyakinan) imamnya, dan tidak pula
mengujian, hingga menanyakan ‘apa yang engkau yakini?’.”[5]
Dengan demikian, apabila sah shalat di belakang orang fasiq, maka
shalat di belakang orang yang belum jelas kefasikannya lebih pantas
untuk disahkan.
6). Wanita menjadi imam untuk kaum wanita.
Hal ini dilakukan sebagian sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, di antaranya ‘Aisyah dan Ummu Salamah, dan tidak ada seorang
sahabatpun yang mengingkarinya.
D. POSISI IMAM DAN MA’MUM
Agar dapat melaksanakan shalat berjamaah sesuai dengan syariat Islam,
seorang imam maupun ma’mum, tidak lepas dari keadaan berikut ini :
1). Ma’mum sendirian bersama imam (dalam hal ini, imam dengan satu orang ma’mum).
Bila seseorang berma’mum sendirian, maka posisinya berdiri di samping
kanan sejajar dengan imam. Dasarnya adalah, kisah Ibnu Abbas dalam
shalat bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi :
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ فَقُمْتُ فَصَنَعْتُ مِثْلَ مَا صَنَعَ ثُمَّ
ذَهَبْتُ فَقُمْتُ إِلَى جَنْبِهِ فَوَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى
رَأْسِي وَأَخَذَ بِأُذُنِي الْيُمْنَى يَفْتِلُهَا فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ
ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ
رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ أَوْتَرَ
“Ibnu ‘Abbas berkata: “Lalu aku bangun dan berbuat seperti yang
beliau perbuat. Kemudian aku pergi dan tegak di sampingnya, lalu beliau
menempatkan tangan kanannya di kepalaku dan mengambilnya, dan menarik
telinga kananku, lalu shalat dua rakaat, kemudian dua rakaat, kemudian
dua rakaat, kemudian dua rakaat, kemudian dua rakaat, kemudian dua
rakaat, kemudian witir”. [Muttafaqun 'alaihi]
2). Imam bersama dua orang ma’mum.
Apabila imam mendapatkan ma’mum hanya dua orang, maka hendaklah kedua
ma’mum tersebut berdiri di belakang imam membentuk satu barisan. Hal
ini didasarkan pada hadits Jabir yang panjang, yang sebagiannya
berbunyi:
ثُمَّ جِئْتُ حَتَّى قُمْتُ عَنْ يَسَارِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخَذَ بِيَدِي فَأَدَارَنِي حَتَّى
أَقَامَنِي عَنْ يَمِينِهِ ثُمَّ جَاءَ جَبَّارُ بْنُ صَخْرٍ فَتَوَضَّأَ
ثُمَّ جَاءَ فَقَامَ عَنْ يَسَارِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَأَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
بِيَدَيْنَا جَمِيعًا فَدَفَعَنَا حَتَّى أَقَامَنَا خَلْفَهُ
“Kemudian aku datang sampai berdiri di sebelah kiri Rasulullah, lalu
beliau memegang tanganku dan menarikku hingga membuatku berdiri di
sebalah kanannya. Kemudian datang Jabbaar bin Shakhr, lalu ia berwudhu
kemudian datang dan berdiri di sebelah kiri Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memegang tangan kami berdua dan mendorong kami hingga membuat kami
berdiri di belakang beliau” [HR Muslim dalam Shahih-nya, kitab az Zuhud
wal Raqaiq Wa …, no. 5328].
3). Imam bersama lebih dari dua orang ma’mum.
Apabila terdapat lebih dari dua orang ma’mum bersama imam, maka
ma’mum berdiri di belakang imam dalam satu barisan, demikian menurut
kesepakatan ulama.[6]
4). Ma’mum mendapatkan shaf (barisan) shalat sudah penuh, sehingga ia tidak dapat masuk ke shaf.
Dalam keadaan demikian, maka ma’mum jangan shalat sendirian di
belakang shaf (barisan), akan tetapi berusaha maju ke depan hingga
berdiri di samping imam, sebagaimana dilakukan Rasulullah -ketika beliau
sakit- bersama Abu Bakar yang ditunjuk menggantikan mengimami shalat.
Disebutkan dalam sebuah riwayat yang berbunyi:
فَجَلَسَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِذَاءَ
أَبِي بَكْرٍ إِلَى جَنْبِهِ فَكَانَ أَبُو بَكْرٍ يُصَلِّي بِصَلَاةِ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ
بِصَلَاةِ أَبِي بَكْرٍ
“Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk sejajar Abu
Bakar di sampingnya. Waktu itu, Abu Bakar shalat ikut shalat Rasulullah,
dan orang-orang shalat mengikuti shalat Abu Bakar” [Muttafaqun ‘alaihi]
Lajnah ad Daimah lil Buhuts al Islamiyah al Ifta’ (Komite tetap untuk
penelitian Islam dan fatwa Saudi Arabia), ketika menjawab pertanyaan
seputar masalah ini menyatakan, apabila seseorang masuk masjid dan
mendapatkan shalat telah ditegakkan, dan shaf telah penuh, maka
hendaklah ia berusaha masuk dalam barisan. Apabila tidak bisa, maka ia
masuk berdiri bersama imam dan berada di sebelah kanannya. Apabila ini
juga tidak bisa, maka hendaknya menunggu sampai datang orang yang
menemaninya di shaf (baru). Jika tidak ada seorang yang menemaninya,
maka ia shalat sendirian setelah selesai shalat berjamaah.[7]
Penjelasan ini menunjukkan, ma’mum yang dalam keadaan demikian, ia
tidak menarik salah seorang ma’mum lainnyanya sebagaimana banyak terjadi
di kalangan kaum Muslimin dewasa ini.
Untuk itu Komite tetap untuk penelitian Islam dan fatwa Saudi Arabia
berfatwa tentang hal ini: Seorang yang masuk masjid tidak mendapatkan
celah dalam barisan (shof) dan tidak bisa baris disebelah kanan imam dan
shalat hampir selesai, maka menunggu orang lain yang masuk untuk
membuat shof (barisan) dengannya. Apabila tidak mendapatkannya maka
hendaknya shalat dengan jamaah lain. Jika juga tidak ada, maka shalat
sendirian setelah imam salam, dan ia tidak berdosa, dengan dalil firman
Allah :
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” [at-Taghabun/64:16]
Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Apabila aku perintahkan kalian berbuat sesuatu, maka kerjakanlah semampu kalian”.
Hal ini karena shalat adalah ibadah, dan ibadah itu harus tauqifiyah.
Padahal hadits larangan shalat sendirian di belakang shaf (barisan)
shahih dan bersifat umum.
Hadits yang berbunyi:
أَلاَ دَخَلْتَ مَعَهُمْ أَوْ ادْتَرَرْتَ رَجُلاً
Kenapa kamu tidak masuk berbaris dengan mereka atau menarik seorang?
ini adalah hadits dhaif (lemah). Demikian juga, apabila orang itu
menerima ajakan orang yang manariknya, maka shaf menjadi tidak penuh
(ada celahnya), padahal kita diperintahkan untuk menyempurnakan dan
menutup celah shaf dalam shalat.[8]
5). Wanita berma’mum dengan seorang imam laki-laki.
Seorang wanita bila berma’mum kepada seorang laki-laki, maka ia
berdiri di belakang shaf laki-laki, walaupun ia sendirian. Demikian juga
bila shalat sendirian bersama imam laki-laki, maka ia berdiri di
belakangnya, dan tidak di sebelah kanannya. Semua ini berdasarkan
hadits-hadits di bawah ini:
a. Hadits Anas yang berbunyi:
صَلَّيْتُ أَنَا وَيَتِيمٌ فِي بَيْتِنَا خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأُمِّي أُمُّ سُلَيْمٍ خَلْفَنَا
“Aku shalat bersama seorang anak yatim di rumah kami di belakang Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ibuku Ummu Sulaim di belakang kami”
[Muttafaqun ‘alaihi]
b. Hadits Anas yang berbunyi:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى بِهِ
وَبِأُمِّهِ أَوْ خَالَتِهِ قَالَ فَأَقَامَنِي عَنْ يَمِينِهِ وَأَقَامَ
الْمَرْأَةَ خَلْفَنَا
“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami Anas
bin Malik dan ibunya atau bibinya, Anas berkata,”Lalu Rasulullah
menjadikan aku berdiri di sebelah kanannya dan wanita di belakang kami.”
[HR Muslim]
6). Wanita shalat dengan imam wanita.
Apabila seorang wanita shalat berjamaah mengimami sesamanya, maka ia
berdiri di tengahnya dan tidak maju ke depan. Dicontohkan ‘Aisyah dan
Ummu Salamah, dari Rabthah al Hanafiyah, ia berkata :
أَنَّ عَائِشَةَ أَمَّتْهُنَّ وَ قَامَتْ بَيْنَهُنَّ فِيْ صَلاَةٍ مَكْتُوْبَةِ
“Sesungguhnya ‘Aisyah mengimami mereka dan berdiri diantara mereka
dalam satu shalat wajib” [HR Abdurrazaq, Al daraquthni dan Al Baihaqi
dan dihukumi penulis Shohih Fiqih Sunnah hadits shohih Lighoriihi]
Juga Abu Hurairah mengatakan bahwa :
أَنَّ أُمَّ سَلَمَةَ أَمَّتْهُنَّ فَكَانَتْ وَسَطًا
“Sungguh Ummu Salamah mengimami mereka shalat dan berada di
tengah-tengah”. [HR Abdurrazaq, ad Daraquthni dan al Baihaqi, dan hadits
ini dihukumi oleh penulis Shahih Fiqih Sunnah sebagai hadits shahih
lighairiihi]
7). Shaf (barisan) anak kecil.
Anak kecil yang telah mumayyiz, ia tidak berbeda dengan orang yang
sudah baligh, yaitu berdiri di belakang imam. Dengan dalil hadits Anas
yang berbunyi:
صَلَّيْتُ أَنَا وَيَتِيمٌ فِي بَيْتِنَا خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأُمِّي أُمُّ سُلَيْمٍ خَلْفَنَا
“Aku shalat bersama seorang anak yatim dirumah kami dibelakang Nabi n
dan ibuku Ummu Sulain dibelakang kami”. [Muttafaqub ‘alaihi].
Lajnah ad Daimah lil Buhuts al Islamiyah al-Ifta’, Saudi Arabia
mengatakan: “Yang sesuai Sunnah untuk anak-anak, apabila ia telah
mencapai usia tujuh tahun dan lebih, untuk berdiri di belakang imam
sebagaimana orang-orang yang telah baligh. Apabila yang ada hanya satu,
maka ia berdiri di samping kanan imam, karena sudah jelas dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau shalat di rumah Abu Thalhah,
dan menjadikan Anas dan seorang anak yatim di belakangnya, sedangkan
Ummu Sulaim di belakang keduanya. Juga telah ada dalam riwayat lainnya,
bahwa beliau mengimami shalat Anas, dan menjadikannya di sebelah
kanannya”.[9]
Sedangkan Syaikh al Albani mengatakan: “Adapun menjadikan anak-anak
di belakang mereka (barisan dewasa), maka dalam permasalahan ini, aku
belum mendapatkan kecuali hadits ini[10], dan hadits ini lemah, tidak
bisa dijadikan hujjah. Sehingga aku memandang bolehnya anak-anak berdiri
bersama orang dewasa, apabila barisannya belum penuh; dan shalatnya
anak yatim bersama Anas di belakang Rasulullah menjadi hujjah dalam
permasalahan ini”.
Dengan demikian menjadi jelas kesamaan posisi anak-anak dan orang dewasa shalat dalam berjamaah bersama imam.
E. Keutamaan Imam dalam Sholat dan Ilmu
1. Imamah dalam sholat merupakan wilayah syari’at yang memiliki
keutamaan, hal ini didasarkan pada sabda Baginda Rosulullah SAW, dari
Abu Mas’ud r.a ” Yang mengimami suatu kaum adalah orang yang palin baik
bacaannya”
2. Panutan dalam kebaikan, dasarnya adalah firman Allah SWT dalam QS :
Al-Furqoon : 74 ” Dan orang – orang yang berkata ” Ya Tuhan kami ,
Anugrahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai
penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang
bertakwa”. Dan lihat juga QS : Al-Baqoroh : 124 dan As-Sajadah : 24
- Doa Nabi Muhammad SAW, Agar para Imam mendapat bimbingan dari Allah SWT, dengan hadist yang diriwayatkan oleh Abu Huroiroh r.a, Nabi bersabda ” Seorang imam itu bertanggung jawab, dan seorang muadzin bisa dipercaya, Ya Allah , Bimbinglah para Imam dan berikanlah ampunan kepada para mu’adzin.
- Agung dan bahaya bagi yang meremehkannya, dari Abu Huroiroh r.a ” Nabi Bersabda” Para Imam Sholat bersama untuk kalian, maka pahala bagi kalian ( dan bagi mereka ), dan jika mereka salah, maka pahala bagi kalian dan dosa atas mereka .
Tambahan
Sensasi memang membuat orang terkenal dan hanya untuk itu banyak
orang mengorbankan kehormatannya. Demikianlah jaringan iblis senantiasa
berusaha menjerat anak manusia kepada kesesatan dan penyimpangan dengan
melemparkan senjata pamungkasnya yaitu syubhat dan syahwat. Dewasa ini
ada sekelompok orang yang mengaku islam bebas menggembar-gemborkan isu
kesamaan gender dengan segala cara dan didukung dana besar dari orang
kafir. Mereka sengaja ingin mengaburkan dan meliberalisasikan Islam
sehingga menjadi agama yang jauh dari tuntunan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dan dekat dengan tuntunan musuh-musuh Islam. Di antara
program memuluskan konsep persamaan gender ini adalah upaya
menyetarakan laki-laki dan perempuan dalam ibadah dan ketentuan Islam
yang sudah jelas dibedakan, seperti hak waris, hak kebebasan
berapresiasi dan bekerja di lapangan kerja laki-laki dan lainnya.
Pada beberapa waktu lalu juga ada upaya mereka memuluskan konsep ini
dengan mengangkat berita wanita yang dipanggil dengan nama Amina Wadud
yang mengimami sholat Jumat di sebuah gereja Anglikan the Synod House of
Cathedral of St John thi devine di New York yang dipublikasikan di
banyak media cetak dengan dibumbui komentar beberapa “intelektual” dan
“kiai” yang dikesankan hal itu tidak bertentangan dengan syariat islam.
Untuk itulah tampaknya perlu kita komentari komentar mereka tersebut
agar masyarakat Islam tidak tertipu dan terperdaya syubhat mereka.
Walaupun sebenarnya membutuhkan penjabaran yang panjang, namun dalam
kesempatan ini kita coba menyampaikannya dengan ringkas saja.
Untuk mendukung program mereka ini mereka menemukan hadits Ummu
Waroqah yang di riwayatkan imam Abu Daud dalam Sunannya yang berbunyi:
عَنْ أُمِّ وَرَقَةَ بِنْتِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَارِثِ قَالَتْ
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزُورُهَا فِي
بَيْتِهَا وَجَعَلَ لَهَا مُؤَذِّنًا يُؤَذِّنُ لَهَا وَأَمَرَهَا أَنْ
تَؤُمَّ أَهْلَ دَارِهَا قَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ فَأَنَا رَأَيْتُ
مُؤَذِّنَهَا شَيْخًا كَبِيرًا
“Dari Ummu Waroqah bintu Abdillah bin Al Haarits, beliau menyatakan
bahwa Rasulullah mengunjunginya di rumah dan mengangkat untuknya seorang
muazin yang berazan untuknya dan memerintahkannya untuk mengimami
keluarganya di rumah. Abdurrahman berkata, saya melihat muazinnya
seorang lelaki tua.” (HR. Abu Daud Lihat Sunan Abu Daud Kitab Al Sholat
Bab Imamat Al Nisaa’ hadits no. 577 dan 578).
Kata mereka lebih kuat keabsahan sanadnya, tentunya apalagi matannya.
Mereka mengesankan bahwa hadits ini adalah hadits yang absah tanpa
cacat lalu menjadikannya sebagai senjata menyerang ulama dan menghukum
bahwa islam yang kita warisi ini adalah islam politik, dengan terlebih
dahulu menyampaikan pendapat imam Abu Tsaur, Al Muzani dan Ibnu Jarir
Ath Thabari yang mendukung pendapat mereka. Tentu saja dengan dibumbui
komentar untuk menciptakan opini bahwa pendapat mereka ini sejajar
dengan pendapat imam mazhab yang empat, dengan menyatakan: “Perlu
diingatkan di sini Ibnu Jarir Ath Thobari juga seorang mujtahid besar
yang kebesarannya sama dengan mazhab fikih empat lainnya.” Kemudian
mereka mencoba membantah pendapat mayoritas ulama Islam yang melarang
wanita menjadi imam dalam sholat dengan mengemukakan satu dalil yang
lemah yaitu hadits Jabir yang berbunyi:
لَا تَؤُمَّنَّ امْرَأَةٌ رَجُلًا وَلَا يَؤُمَّ أَعْرَابِيٌّ مُهَاجِرًا وَلَا يَؤُمَّ فَاجِرٌ مُؤْمِنًا
“Janganlah sekali-kali perempuan mengimami laki-laki, Arab Badui
mengimami Muhajir (mereka yang ikut hijrah bersama nabi ke Madinah) dan
pendosa mengimami mukmin yang baik.”
Mereka menyatakan, hadits itulah sering dikemukakan di banyak tempat
untuk menopang argumen yang tidak memperbolehkan perempuan mengimami
laki-laki dalam sholat. Lalu bagaimana sebenarnya permasalahan ini?
Hadits yang mereka jadikan penopang argumen mereka dalam membolehkan
wanita mengimami laki-laki dan menyetujui serta memuji tindakan Amina
Wadud di atas, sebenarnya adalah hadits yang masih diperselisihkan
keabsahannya, sebab dalam sanadnya ada perawi yang majhul (tidak jelas
kredibilitasnya) yaitu Abdurrahman bin Kholaad, sebagaimana dijelaskan
Ibnu Hajar Al Asqalaani, seorang ulama besar mazhab Syafi’iyah pengarang
kitab Fathul Bari yang sangat tersohor yang meninggal tahun 852 H.
Demikian juga pada riwayat yang lebih panjang dan lengkap ada dalam
sanadnya Abdurrahman ini dan neneknya Al Walid bin Abdullah bin Jumai’
yang bernama Laila bintu Maalik yang juga majhul. Sehingga banyak juga
yang mendhoifkannya seperti Syaikh Musthofa Al Adawi dalam Jami’ Ahkam
Al Nisa, (1/244). Seandainya pun absah, sebagaimana dinyatakan Syaikh Al
Albani bahwa hadits ini Hasan Lighoirihi (hadits lemah yang dikuatkan
oleh jalan periwayatan lain), namun matannya pun tidak mendukung
pembenaran wanita mengimami sholat Jumat di hadapan laki-laki yang
banyak, sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya
memerintahkannya mengimami sholat di rumahnya untuk keluarga dan orang
yang di rumahnya. Itu pun bisa jadi perintah itu khusus untuknya, sebab
tidak disyariatkan azan dan iqomat pada wanita selain beliau, sehingga
kebolehan mengimami tersebut khusus baginya karena Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhususkan untuknya azan dan iqamat dan
tidak untuk wanita lainnya. (Lihat Al Mughni karya Ibnu Qudamah, tahqiq
Abdullah bin Abdul Muhsin At-Turki dan Abdul Fatah Al Halwu, cetakan
kedua tahun 1412, penerbit Hajar, Kairo, Mesir hal. 3/ 34).
Jadi pernyataan mereka di atas sangat berlebihan, itu semua tidak
lain karena hadits ini sesuai dengan hawa nafsu dan keinginan mereka,
sehingga mereka katakan, Hadits ini lebih shohih daripada hadits pertama
tersebut dari sisi sanad, apalagi matan.
Setelah itu mereka pun mendapatkan adanya ulama yang mendukung
pendapat mereka, lalu tentu saja mereka langsung memuji-mujinya dengan
berlebihan agar tampak benar dan kuat argumen mereka, sehingga mereka
menyatakan bahwa “perlu diingat di sini, Ibnu Jarir At Thobari juga
seorang mujtahid besar yang kebesarannya sama dengan madzhab fikih empat
lainnya.” Subhanallah, satu pujian yang sangat tinggi, namun tampaknya
ada sesuatu di balik pujian yang tinggi ini, yaitu agar pendapat
tersebut juga diakui sebagai pendapat yang kuat. Namun sebenarnya
pendapat ulama tersebut tertuju pada sholat berjamaah biasa di rumahnya,
bukan untuk sholat Jumat yang tentunya berbeda, karena ada khutbah dan
bilangan jamaah yang banyak.
Jadi walaupun mereka paksakan juga hal ini tetap tidak pas, apalagi
bila melihat kepada pendapat mayoritas ulama yang melarang dan
menyatakan tidak sahnya. Namun sayang hawa nafsu dan suguhan program
persamaan gender membuat mereka berusaha mengakal-akali semua ini. Di
antaranya tidak membawakan semua dalil yang digunakan mayoritas ulama
memutuskan larangan tersebut dan hanya membawakan salah satunya saja,
itu pun dipilihkan yang lemah, lalu serta merta menuduh para ulama yang
tidak cocok dengan mereka telah menerima sedemikian rupa tanpa melakukan
analisis kritis terhadap matan atau isi haditsnya. Sebagiannya menuduh
dengan menyatakan, “Uniknya, sisi lemah hadits yang menyatakan bahwa
perempuan tidak boleh menjadi imam itu pun tidak kita ketahui.” Padahal
para ulama sejak dulu telah menjelaskannya, di antaranya Imam Al
Baihaqi, Nawawi (lihat Al Majmu’ Syarhu Al Muhadzdzab 4/255) dan Ibnu
Hajar (lihat At Talkhish Al Habier 2/22).
Sebenarnya bila mereka ini melakukan penelitian ilmiah tentang
masalah ini dengan hati dan pikiran yang jernih, tentulah akan
membawakan dalil-dalil yang shohih dan tegas yang digunakan mayoritas
ulama dalam memutuskan pelarangan ini, sehingga jelas tentunya akan
membuat orang yang membaca atau mendengar akan memilih pendapat yang
melarang dan menyelisihi mereka. Ini tidak mereka inginkan. Tampaknya
mereka berharap dengan disebutkan dalil yang lemah tersebut (hadits
Jabir di atas) akan dapat membuat opini masyarakat tidak menyalahkan
mereka bahkan mendukung program mereka merusak ajaran Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan agama Islam ini. Oleh sebab itu, untuk
menjelaskan permasalahan ini lebih jelas, maka kami bawakan dalil-dalil
wahyu dan dalil akal serta itstimbat (pendalilan) pendapat yang
melarang wanita menjadi iman laki-laki dalam sholat. Di antara
dalil-dalil pendapat ini adalah Pertama, sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam:
مَنْ زَارَ قَوْمًا فَلَا يَؤُمَّهُمْ وَلْيَؤُمَّهُمْ رَجُلٌ مِنْهُمْ رواه أبو داود و الترمذي و صححه الألباني
“Barang siapa yang mengunjungi satu kaum, maka janganlah ia mengimami
mereka sholat dan hendaklah seorang laki-laki dari mereka yang
mengimami mereka.” (HR. Abu Daud kitab Sholat Bab Imamat Al Zaa’ir no.
596 dan At Tirmidzi dalam kitab As Sholat bab Ma Ja’a Fiman Zaara Qauman
Laa Yusholli Bihim no. 356. hadits ini dishohihkan Al Albani dalam
Shohih Al Tirmidzi).
Dalam hadits ini Rasululloh mengkhususkan penyebutan kata ‘Laki-laki’
dan ini menunjukkan bahwa wanita tidak punya hak dalam mengimami kaum
laki-laki.
Kedua, sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ فَإِنْ كَانُوا فِي
الْقِرَاءَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ فَإِنْ كَانُوا فِي
السُّنَّةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً فَإِنْ كَانُوا فِي
الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا وَلَا يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ
الرَّجُلَ فِي سُلْطَانِهِ رواه مسلم
“Hendaklah yang mengimami sholat satu kaum adalah yang paling banyak
hafalan Al Qur’annya, jika mereka dalam hafalan sama banyaknya, maka
dahulukan orang yang paling tahu sunah Rasulullah. Jika mereka juga sama
dalam sunah maka dahulukan yang lebih dahulu berhijrah dan bila sama
maka dahulukan yang lebih dahulu masuk islam dan janganlah seorang
laki-laki mengimami sholat seorang laki-laki lainnya di tempat
kekuasaannya.” (HR. Muslim, Kitab Al Masaajid, Bab Man Ahaqqa Bil Imamah
5/172 dengan Al Minhaj Syarh Sholih Muslim bin Al Hajjaj).
Demikian juga dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengkhususkan kaum laki-laki ketika berbicara tentang tingkatan
hak menjadi imam dalam sholat dan tidak sama sekali memberikan bagian
untuk kaum wanita mengimami laki-laki.
Ketiga, sabda Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً رواه البخاري
“Tidaklah beruntung satu kaum yang mengangkat pemimpinnya seorang
wanita.” (HR. Al Bukhori, Kitab Al Maghozi, Bab Kitab Al Nabi Ila Kisra
wa Qaishar no. 4425).
Bila seorang wanita diangkat menjadi imam sholat, itu sama saja
menyerahkan kepemimpinan kepadanya, padahal perkara sholat termasuk
perkara agama yang terpenting, kalau tidak yang paling penting setelah
syahadatain. Oleh Karena itu Rasulullah sendiri mengambil kepemimpinan
sholat karena pentingnya masalah ini, kemudian menunjuk Abu Bakar
menggantikannya ketika beliau sakit keras. Dengan demikian tidak boleh
seorang wanita menjadi imam sholat jamaah laki-laki Karena keumuman
hadits di atas.
Keempat, sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا
“Sebaik-baiknya barisan kaum laki-laki adalah yang terdepan dan yang
terjelek adalah yang paling akhir sedangkan sebaik-baiknya shof
(baridan) wanita adalah yang paling akhir dan yang terjelek adalah yang
terdepan.” (HR. Muslim 326/1 dan Abu Dawud 678 dan at-Turmudzi 437/1 dan
Ibnu Majah 319/1 dan An Nasai 93/2 dan Ahmad 485 : 247/2)
Hadits ini menunjukkan bahwa wanita tempatnya di belakang shof
(barisan) laki-laki, sedangkan Imam harus berada di depan semua barisan.
Seandainya kita menganggap benarnya pendapat yang mengabsahkan keimaman
mereka dalam sholat, tentulah kita harus membaliknya menjadikannya di
depan barisan kaum laki-laki dan ini jelas-jelas menyelisihi syariat
Islam.
Kelima, Imam Bukhori meriwayatkan bahwa:
وَكَانَتْ عَائِشَةُ يَؤُمُّهَا عَبْدُهَا ذَكْوَانُ مِنْ الْمُصْحَفِ
“Dzakwan pernah mengimami A’isyah dengan membaca mushaf.” (Lihat
Syarhu Al Mumti’ ‘Ala Zaad Al Mustaqni’, Muhammad bin Sholih Al
Utsaimin, tahqiq Kholid bin Ali Al Musyaiqih, cetakan kedua tahun 1416 H
penerbit Muassasah Aasaan, KSA. Hal. 4/313).
Aisyah jelas lebih utama dan lebih faqih serta lebih hafal Al Quran,
namun mendahulukan Dzakwan yang membaca mushhaf ketika menjadi imam.
Tentunya hal ini menunjukkan ketidakbolehan wanita menjadi imam kaum
laki-laki dalam sholat.
Keenam, wanita tidak berazan untuk laki-laki sehingga juga tidak berhak menjadi imam. (Al Mughni hal. 3/33).
Ketujuh, para wanita yang dibina dan berada dalam naungan Nabi di
rumahnya tidak pernah dinukilkan ada yang mengimami laki-laki walaupun
untuk para mahramnya.
Kedelapan, tugas imamah dalam sholat termasuk wewenang penting yang
tidak boleh dilalaikan karena memiliki hubungan erat sekali dengan
keabsahan sholat yang merupakan tanda kebaikan umat dan wanita tentunya
tidak memegangnya sebab mereka itu kurang agama dan akalnya, sebagaimana
dinyatakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kesembilan, wanita yang menjadi imam mesti akan bolos tidak sholat
setiap bulannya karena haidh atau nifas, sehingga akan menelantarkan
jamaah yang ada.
Kesepuluh, kelemahan hadits Ummu Waraqah dan tidak pernah dinukil
adanya seorang wanita yang menjadi imam sholat Jumat di zaman terdahulu.
Ini menunjukkan bahwa ini perkara baru dalam agama. Padahal kata
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Berhati-hatilah dari perkara
baru dalam agama, karena setiap perkara baru adalah bid’ah.
Kesimpulannya
Apa yang dilakukan wanita Amerika tersebut jelas menyelisihi syariat
dan upaya JIL mendukung dan mencoba memasyarakatkannya merupakan upaya
menghancurkan syariat Islam dan mengaburkannya, oleh sebab itu menjadi
kewajiban kita semua untuk menjelaskan kepada masyarakat kesesatan
pendapat ini. Demikian sekelumit ulasan tentang masalah ini,
mudah-mudahan yang sedikit ini dapat membuka cakrawala berpikir kaum
muslimin dan dapat bermanfaat.
BAB III
KESIMPULAN
Allah memberikan nikmat kepada orang yang dikehendaki-Nya untuk menjadi
Imam dalam urusan agama, sebagaimana Allah berfirman
” Dan kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk
dengan perintah kami ketika mereka sabar dan adalah mereka meyakini ayat-ayat
kami” (QS. Sajadah : 24 ).
Maksudnya tatkala mereka bersabar menghadapi perintah-perintah Allah ta’ala dan meninggalkan larangan-larangan-Nya, mereka bersabar ketika belajar,
mengajar dan berdakwah kepada Allah, dan keimanan mereka sampai kepada
taraf keyakinan – yaitu ilmu yang sempurna yang dibarengi dengan amal –
maka mereka menjadi imam-imam yang menunjuki (manusia) kepada kebenarana
sesuai dengan perintah Allah, mengajak mereka kepada kebaikan,
memerintahkan mereka untuk melaksanakan yang ma’ruf dan melarang mereka
dari kemunkaran
________
Footnote
[1]. Shahih Fiqh Sunnah, 1/523.
[2]. Maksudnya diserupakan dengan para wanita dalam kisah Nabi Yusuf, yaitu mereka menyembunyikan hakekat yang ada di hatinnya, dan menampakkan sesuatu yang lain dari kenyataan yang sesungguhnya.
[3]. Majmu’ Fatawa, 23/354.
[4]. Syarhul Mumti’, 4/308.
[5]. Majmu’ Fatawa, 23/351.
[6]. Shahih Fiqh Sunnah, 1/529.
[7]. Fatawa Lajnah Daimah, no. 2601, Jilid 8/6, yang ditanda-tangani Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, Abdurrazaq ‘Afifi, Abdullah bin Ghadhayaan dan Abdullah bin Qu’ud.
[8]. Fatawa lajnah Daimah, no. 8498, Jilid 8/9-10, yang ditanda-tangani Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, Abdurrazaq ‘Afifi dan Abdullah bin Qu’ud.
[9]. Fatawa Lajnah Daimah, no. 1954, Jilid 8/20, yang ditanda-tangani Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, Abdurrazaq ‘Afifi, Abdullah bin Ghadhayaan dan Abdullah bin Qu’ud.
[10]. Hadits ini berbunyi (artinya): Rasulullah menjadikan orang dewasa di depan anak-anak, dan anak-anak di belakang mereka, serta wanita di belakang anak-anak.
Footnote
[1]. Shahih Fiqh Sunnah, 1/523.
[2]. Maksudnya diserupakan dengan para wanita dalam kisah Nabi Yusuf, yaitu mereka menyembunyikan hakekat yang ada di hatinnya, dan menampakkan sesuatu yang lain dari kenyataan yang sesungguhnya.
[3]. Majmu’ Fatawa, 23/354.
[4]. Syarhul Mumti’, 4/308.
[5]. Majmu’ Fatawa, 23/351.
[6]. Shahih Fiqh Sunnah, 1/529.
[7]. Fatawa Lajnah Daimah, no. 2601, Jilid 8/6, yang ditanda-tangani Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, Abdurrazaq ‘Afifi, Abdullah bin Ghadhayaan dan Abdullah bin Qu’ud.
[8]. Fatawa lajnah Daimah, no. 8498, Jilid 8/9-10, yang ditanda-tangani Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, Abdurrazaq ‘Afifi dan Abdullah bin Qu’ud.
[9]. Fatawa Lajnah Daimah, no. 1954, Jilid 8/20, yang ditanda-tangani Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, Abdurrazaq ‘Afifi, Abdullah bin Ghadhayaan dan Abdullah bin Qu’ud.
[10]. Hadits ini berbunyi (artinya): Rasulullah menjadikan orang dewasa di depan anak-anak, dan anak-anak di belakang mereka, serta wanita di belakang anak-anak.
DAFTAR PUSTAKA
- Irsyad as-saari karangan al-qisthlani
- Al-Ikhtiyaraat al-fiqhiyah karangan Ibnu Taimiyah
- Mu’jam Maqayis al-Lughah karangan Ibnu Faris
- Al-Qaamuus al-Fiqhi lughatan wa ishthilaahan karangan Sa’di Abu Habib
- FAUZAN, Saleh bin, Fiqih sehari-hari, Jakarta: Gema Insani Press, 2005
- Abdul Muhsin At Turki, Abdullah dan Abdul Fatah, Al Halwu Al Mughni karya ibnu Qudamah, Kairo, Mesir 1412
- Ali Al-Musyaiqih Kholid bin, Syarhu Al-Mumthi’ ‘Ala Zaad Al Mustaqni’, Muassasah Aasaan, 1416 H
alhamdulillah jd tambahan ilmu
BalasHapus