Bab I
Pendahuluan
Allah SWT telah berulang kali menyinggung mengenai fenomena alam
dengan firman-firman-Nya dalam Al-Quran, antara lain dalam surah Yunus
ayat 5 : “Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya
dan ditetapkannya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan
bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitugan (waktu).
Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia
menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang
mengerti.“
Ayat-ayat Al-Quran yang demikian itu sudah semestinya menjadi
pendorong bagi manusia, khususnya kaum muslimin untuk memperhatikan
serta mempelajari benda-benda langit agar menambah keyakinan akan
kebenaran dan kebesaran kekuasaaan Allah. Di samping itu agar dapat
dimanfaatkan oleh manusia untuk menata kehidupannya sehari-hari.
Dengan mengggunakan ilmu falak, awal dan akhir waktu-waktu shalat
dapat ditentukan dengan akurat. Begitu pula dalam penentuan awal bulan
Ramadhan sebagai hari pertama dimulainya kewajiban berpuasa serta
penentuan awal bulan Syawwal sebagai hari Idul Fitri yang mana penentuan
keduanya sering menjadi kontroversi di kalangan umat Islam di
Indonesia. Ilmu falak menjadi sangat menonjol dan berperan.
Di khazanah Islam, ilmu falak lah yang dapat merealisasikan hal-hal
yang berkaitan dengan ibadah. Dengan penerapan metode hisab dan rukyah
dapat memudahkan umat Islam dalam menentukan awal dan akhir bulan
Ramadhan. Sehingga umat Islam dapat mempersiapkan diri secara lahir dan
bathin untuk menyambut bulan mulia tersebut.
Semoga dengan makalah yang kami buat dengan judul “Peranan Ilmu Falak
Terhadap Penentuan Awal dan Akhir Ramadhan Serta Idul Adha” dapat
menambah keilmuan dan wawasan baru bagi teman-teman khususnya dan
umumnya bagi kaum muslimin dan muslimat.
Bab II
Pembahasan
- Pengertian bulan qomariyah.
Bulan Qamariah adalah perhitungan waktu yang didasarkan pada
peredaran bulan mengelilingi bumi dan peredaran kedua benda langit itu
dalam mengelilingi matahari. Umur bulan qamariah didasarkan kepada waktu
yang berselang antara dua ijtima’. Rata-rata perjalanannya selama 29
hari 12 jam 44 menit 2,8 detik. Jangka waktu itu disebut bulan sinodis
atau syahr iqtironi[1]
- Gerakan peredaran bulan.
Fase bulan berawal dari satu atau dua hari sejak terjadinya ijtima’ di mana bulan mula-mula berbentuk sabit (hilal atau crescent), kemudian pada sekitar hari ke-7 tampak berbentuk setengah lingkaran (tarbi awwal atau first quarter). Setelah
itu, rupa bulan dari hari ke hari nampak semakin membesar lalu pada
hari ke-14 atau ke-15 nampak dalam bentuk lingkaran penuh yang disebut
bulan purnama (badr atau full moon). Saat bulan
purnama, posisi bulan dan matahari dalam keadaan saling berhadapan.
Bagian bulan yang terkena sinar matahari seluruhnya menghadap bumi.
Posisi seperti ini disebut istiqbal atau oposisi. Setelah itu bulan menjadi semakin mengecil lalu pada hari ke-21 atau ke-22 nampak berbentuk setengah lingkaran kembali (tarbi tsani atau last quarter). Kemudian dari hari ke hari semakin mengecil dan akhirnya pada hari ke-29 rupa bulan tidak nampak lagi dan kembali ke posisi ijtima’. Begitulah prose perputaran bulan seterusnya. Perode siklus perputaran ini adalah selama satu bulan sinodis.[2]
Bulan sebagai satu-satunya satelit bumi yang memiliki diameter 3.480
km beredar mengelilingi bumi pada jarak rata-rata 348.421 km.
Sebagaimanaa bumi, bulan pun memiliki dua sistem peredaran, yaitu :
Ø Rotasi Bulan
Rotasi bulan adalah perputaran bulan pada porosnya dari arah barat ke
timur. Sekali berotasi memakan waktu sama dengan satu kali revolusinya
terhadap bumi. Sehingga permukaan bulan yang menghadap ke bumi relative
sama.
Ø Revolusi Bulan
Revolusi Bulan adalah peredaran bulan mengelilingi bumi dari arah
barat ke timur. Satu kali revolusi bulan memerlukan waktu 27 hari 7 jam
43 menit 12 detik. Periode waktu ini disebut satu bulan sideris (syahr nujum).
Namun, pada waktu ini belum terjadi ijtima’, sehingga waktu yang
diperlukan bulan dari ijtima’ ke ijtima’ berikutnya adalah selama 29
hari 12 jam 44 menit 03 detik. Periode inilah yang disebut satu bulan
sinodis.
Bidang yang dipakai bulan dalam mengelilingi bumi disebut falakul qomar yang
memotong bidang ekliptika sebesar 05˚08΄ 52΄΄. Dengan demikian, bidang
edar bulan tidak berimpit dengan bidang edar bumi. Jika kedua bidang
edar tersebut berimpit, maka setiap bulan akan terjadi kemungkinan dua
kali gerhana, yaitu gerhana matahari pada awal bulan dan gerhana bulan
pada pertengahan bulan.[3]
- Dalil hukum Syar’i.
a. Surah Yasin ayat 39 :
وَالقَمَرُ قَدَّرْنهُ مَنَازِلَ حَتَّى عَادَ كَالعُرْرجُوْنِ القَدِيْمِ (يس : 39 )
Artinya:“Dan telah kami tetapkan bagi bulan
manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang
terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua.”
Ayat tersebut menerangkan mengenai manzil-manzil (tempat-tempat
persinggahan) bagi perjalanan bulan dijadikan 28 manzil. Bulan setiap
malam singgah pada manzil-manzil tersebut satu per satu kemudian tidak
nampak lagi selama 2 malam atau 1 malam saja apabila umurnya tidak genap
30 hari dan bila bulan berada pada manzilnya yang terakhir, maka ia
tampak tipis dan melengkung.
Bulan berjalan pada manzil-manzilnya sampai manzil yang terakhir
sehingga ia pun nampak tipis dan melengkung dan berwarna kuning. Di
samping menjadi seperti tandan tempat bergantungnya gugusan-gugusan buah
kurma. Bila umurnya genap 1 tahun.
b. Surah Yunus ayat 5:
هُوَ اللّذِى جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالقَمَرُ نُوْرًا
وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوْا عَدَدَ السِّّنِيْنَ وَالحِسَابَ مَا
خَلَقَ اللّهُ ذَالِكَ إِلاَّ بِالحَقِّ يُفَصِّلُ الأيَِاتِ لِلقَوْمً
يَعْلَمُوْنَ ( يونس : 5 )
Artinya: “Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan
bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi
perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan
perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian melainkan
dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada
orang-orang yang mengetahui.”
Ayat ini menjelaskan mengenai manzil bulan sebagai sarana mengetahui
bilangan tahun dan hisab dan sesungguhnya Allah yang telah menciptakan
langit dan bumi. Dia lah yang telah menjadikan matahari bersinar di
waktu siang dan bercahaya di waktu malam.
Allah telah menentukan tempat-tempat persinggahan pada setiap malam.
Rembulan itu singgah pada salah satunya tanpa melampaui dan tanpa
berlambat dari padanya. Tempat-tempat persinggahan itu ada 28 banyaknya.
Rembulan itu bisa dilihat dengan mata kepala pada tempat-tempat
persinggahan tersebut. Sedang pada 1 atau 2 malam lainnya ia tertutup
tidak dapat dilihat.
Dengan adanya sifat kedua benda angkasa seperti itu yang telah
ditentukan tempat-tempat persinggahannya. Sebagaimana tersebut
dimaksudkan supaya kita dapat mengetahui perhitungan waktu, perhitungan
bulan atau hari agar kita dapat menetapkan ibadah dan muamalat, baik
yang berkaitan dengan harta atau kemajuan lainnya.
Syari’ menjadikan puasa, haji, dan iddah thalaq berdasarkan
perhitungan yang didasarkan pada peredaran rembulan. Yakni penghitungan
yang bisa diketahui oleh siapa saja dengan cukup menyaksikannya. Khusus
untuk ibadah puasa dan haji, ada hikmah yang lain yaitu bahwanya
keduanya harus dijalankan pada musim tertentu dalam tahun itu.
Hadits Rasulullah riwayat Imamm Muslim dan Ibnu Umar.
أَنَّ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيِْهِ وَسَلَّمَ
ذَكَرَ رَمَضَانَ فَضَرَرَ بِيَدَيْهِ فَقَالَ الشَّهْرَ هَكَذَا وَ
هَكَذَا وَ هَكَذَا ثُمَّ عَقَدَ إبْهَامُهُ فِى الثَّالِثَةِ فَصُوْمُوْا
لِرُؤْيَتِهِ فَأَْفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ اُغْمِيَ عَلَيْكُمْ
فَاقْدُرُوْا لَهُ ثَلاَثِيْنَ ( رواه مسلم و إبن عمر )
Artinya: “Bahwasanya Rasulullah SAW menuturkan tentang bulan
Ramadhan, beliau berisyarat dengan tangannya seraya berkata sebulan itu
sekian, sekian dan sekian (dengan menekuk ibu jarinya pada kali yang
ketiga), kemudian beliau berkata: “Berpuasalah kalian karena terlihat
hilal (ramadhan)dan berbukalah kalian karena terlihat hilal (syawal), jika tertutup atas kalian maka taqdirkanlah bulan itu 30 hari.”(HR. Muslim dari Ibnu Umar).
- Peranan ilmu Falakh.
Peranan ilmu falak begitu penting dalam pada penentuan Hari Besar
Islam, terutama bulan Ramadhan. Karena bulan Ramadhan adalah bulan yang
dinanti umat Islam sebagai bulan yang penuh dengan maghfiroh, rohmah dan
barokah.
Rasulullah telah memberikan tuntunan kepada kita kapan mulai berpuasa
Ramadhan dan kapan harus mengakhirinya. Meskipun demikian, dalam
realita pemahaman hadits tersebut terdapat perbedaaan interpretasi. Ada
yang memahami “rukyah” harus benar-benar melihat hilal dan ada pula yang
memahaminya cukup dengan memperhitungkanhisab. Dalam dua pemahaman tersebut terdapat perbedaan-perbedaan yang intern.Namun, dikarenakan hal ini merupakan ijtihadiyah dan bukan merupakan masalah qath’isehingga wajar manakala muncul perbedaan semacam itu.[4]
Dalam perbedaan pemahaman tersebut kadang terjadi konflik di mana
masing-masing ormas yang berbeda pemahaman tersebut saling
mempertahankan ego serta prinsip terhadap penentuan awal dan akhir
Ramadhan dan bulan lainnnya. Bahkan hal tersebut terbawa dalam politik.
Pada dasarnya pemerintah telah berusaha untuk menyatukan keduanya
dengan aliran hisab imkanur rukyah. Kemunculan aliran imkanur rukyah
produk pemerintah selama ini tidaklah menyatukan keduanya justru
menambah rumit. Meskipun pemerintah telah memfasilitasi untuk
penyatuannya dengan membuat sidang isbat yang diikuti seluruh pihak yang
terkait dari ormas-ormas Islam.
Maka kiranya saat ini memang saat yang tepat untuk melakukan
pengujian validitas hisab dan rukyah. Karena pada dasarnya status hisab
dan rukyah dalam penetapan bulan qamariyah untuk saling melengkapi di
mana hisab menjadi sebuah hipotesis yang membutuhkan verifikasi rukyah
di lapangan. Sehingga dengan itu dapat ditemukan prinsip penetapan yang
kompromitas, objektif dan ilmiah yang dapat diterima seluruh pihak dan
bukan prinsip penetapan yang bernuasnsa politis.[5]
- Penentuan awal dan akhir bulan
Syara’ telah memberikan pedoman dalam menentukan waktu bulan
qamariyah sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an dan hadits. Adapun
pedoman tersebut terbagi menjadi dua bagian, yaitu :
a) Cara rukyah bil fi’li dan istikmal
Rukyah merupakan kegiatan melihat hilal bil fi’li, yaitu melihat
hilal dengan mata, baik tanpa alat maupun dengan alat. Adapun hukum
rukyah ialah fardu kifayah berdasarkan pendapat ulama 4 madzhab di mana
diwajibkan bagi kaum muslimin sebagai fardu kifayah untuk mencari hilal
pada saat terbenamnya matahari tanggal 29 Sya’ban dan Ramadhan sehingga
jelas perkara mengenai berpuasa dan berbuka mereka.
Imam Ar-Ramli mengatakan :
وَإِنَّمَا يَجِبُ بِإِكْمَالِ شَعْبَانَ ثَلاََثِيْنَ يَوْمًا أَوْ رُؤْيَةِ الهِلاَلِ لَيْلَةَ الثَّلاَثِيْنَ مِنْهُ
Artinya : “Wajib berpuasa hanya karena istikmal Sya’ban 30 hari atau ru’yatul hilal pada malam ke-30 nya.”[6]
Untuk dapat diterimanya suatu hasil rukyah harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
- Pelaku rukyat itu adil dalam pelaksanaan
- Pelaku rukyat mengucapka syahadat yaitu
(أَشْهَدُ أَنِّى رَأَيْتُ الهِلاَلِ)
- Ketika bersyahadat, pelaku rukyat harus didampingi oleh 2 saksi
Jika ketika pelaksanaan rukyah pada tanggal 29, hilal tidak dapat
dapat dilihat. Maka bilangan hari dalam satu bulan qamariyah
disempurnakan menjadi 30 hari yang disebut dengan istikmal.
Kelebihan metode rukyah adalah dianggapnya metode ini sebagai metode
ilmiah yang akurat. Hal ini terbukti dengan berkembangya illmu falak
pada zaman keemasan Islam. Para ahli terdahulu melakukan pengamatan
secara serius dan berkelanjutan yang pada akhirnya menghasilkan zig-zag (tabel-tabel astronomi) yang terkenal dan hingga kini menjadi rujukan.
Sedangkan kekurangannya adalah sulitnya melakukan pengamatan terhadap
hilal dikarenakan kecerahan atau kekuatan cahaya hilal pada fase
pertama yang tidak mencapai 1% dibanding cahaya bulan purnama dan
kendala cuaca di mana banyak partikel di udara yang dapat menghambat
pandangan mata terhadap hilal seperti kabur, debu dan asap serta
kualitas perukyat dalam mengamati hilal karena penglihatan hilal itu
sangat dipengaruhi oleh pengalaman, teori atau persepsi sebelumnya
mengenai hilal. Sehingga diperlukannnya kualitas penglihatan yang bagus
bagi para perukyat agar dapat melakukan rukyat secara efektif dan
objektif.
b) Cara perhitungan astronomi (hisab)
Kata hisab berasal dari bahasa arab al-hisab yang secara
harfiah berarti perhitungan atau pemeriksaaan. Dalam bidang fikih, hisab
digunakan dalam arti perhitungan waktu dan arah tempat guna kepentingan
pelaksanaan ibadah dan waktu gerhana serta penetapan arah kiblat agar
dapat melaksanakan shalat dengan arah yang tepat ke ka’bah.
Para ulama tidak berikhtilaf dalam penggunaan hisab untuk menentukan
masuknya waktu shalat dan penentuan arah kiblat. Akan tetapi mereka
berbeda pendapat dalam kebolehan menggunakan hisab untuk menetapkan
masuknya bulan Ramadhan dan Syawal. Sebagian fukaha menyatakan tidak
boleh menggunakan hisab untuk menentukan mulai puasa Ramadhan dan Idul
Fitri. Untuk itu harus dilakukan rukyat dan larangan puasa Ramadhan dan
Idul Fitri sebelum adanya rukyah.
Sebagian lainnya mendukung dan membenarkan penggunakan hisab untuk
menentukan masuknya bulan-bulan ibadah bahkan menganggap bahwa
penggunaan hisab lebih utama karena lebih menjamin okurasi dan
ketepatan. Mereka berpendapat bahwa hadits yang menunjukkan perintah
Nabi saw agar melakukan rukyat itu adalah perintah yang disertai illat,
yaitu keadaaan umat yang ummi. Sehingga apabila keadaaan itu telah
hilang maka perintah tersebut tidak berlaku lagi.[7]
Adapun kelebihan metode hisab adalah dapat ditentukannnya posisi
bulan tanpa ada hambatan dari faktor cuaca dan dapat diketahui kapan
terjadinya ijtima’ serta dapat dibuatnya kalender hijriah
tahunan secara jelas dan pasti. Sedangkan kekurangannya adalah
dikarenakan banyaknya macam sistem perhitungan ini dapat menimbulkan
terjadi perhitungan dengan hasil yang berbeda.
Perhitungan awal bulan qamariyah dengan cara hisab dibagi menjadi dua macam, yaitu :
Ø Hisab ‘Urfi, yaitu cara penentuan awal bulan dengan
perhitungan yang didasarkan pada rata-rata peredaran bulan dan bumi
dalam mengelilingi matahari. Dalamhisab ‘urfi ini, setahun
ditetapkan 12 bulan, tiap bulan ganjil berumur 30 hari sedangkan bulan
genap berumur 29 hari kecuali bulan dzulhijjah pada tahun kabisat
berumur 30 hari. Tahun kabisat terjadi 11 kali dalam 30 tahun. Para
ulama sepakat bahwa sistem hisab ‘urfi tidak dapat dipergunakan dalam waktu yang berhubungan dengan ibadah kecuali perhitungan waktu (haol) dalam zakat. Dalam hal ini hisab ‘urfi dapat digunakan, sebab jumlah hari dalam setahun sama dengan jumlah hari yang diperhitungkan oleh hisab hakiki yaitu 354 dalam tahun biasa (basithoh).
Salah satu kelemahan hisab ini adalah penetapannya secara tetap atas
umur tiap-tiap bulan. Padahal Rasulullah saw menyebutkan bahwa umur
bulan terkadang 30 hari dan terkadang 29 hari sesuai dengan gerak bulan
sebenarnya di langit.[8]
Ø Hisab Hakiki, yaitu penentuan awal bulan qamariyah dengan perhitungan yang didasarkan kepada peredaran bulan dan bumi yang sebenarnya.
Pada garis besarnya ada 2 sistem yang dipegang para ahli hisab dalam menentukan awal bulan qamariyah, yaitu :
v Sistem Ijtima’ (sebelum ghurubisy syamsi). Kelompok yang
berpegang pada hisab ini menetapkan bahwa jika ijtima’ terjadi sebelum
matahari terbenam, maka sejak matahari terbenam itulah awal bulan baru
sudah mulai masuk.
v Sistem Posisi Hilal (saat ghurubisy syamsi). Kelompok
yang berpegang pada hisab ini menetapkan jika pada saat matahari
terbenam posisi hilal sudah berada di atas ufuk, maka sejak matahari
terbenam itulah awal bulan baru dimulai.
Bab III
Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan singkat di atas dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
- Bulan qamariah adalah perhitungan waktu yang didasarkan pada peredaran bulan mengelilingi bumi dan peredaran kedua benda langit itu dalam mengelilingi matahari.
- Secara garis besar, fase bulan memiliki 4 posisi utama yaitu hilal, tarbi awwal, badr dan tarbi tsani, serta bulan memiliki 2 sistem peredaran yaitu rotasi dan revolusi.
- Ilmu falak memiliki peranan penting dalam penentuan bulan qamariyah. Namun, di samping itu masih ada perselisihan dalam penggunaan metode penetapannya.
- Al-Qur’an dan Hadits sebagai landasan normatif agama Islam memberikan penjelasan mengenai bagaimana bulan berada pada beberapa manzil serta rupanya dan hikmah yang terkandung di dalamnya.
- Pada dasarnya pedoman penetapan awal bulan qamariyah adalah dengan hisab dan rukyah, Dalam penggunaan metode rukyah tidak ada perbedaan yang signifikan sedangkan dalam hisab terdapat perbedaan dalam metode-metode perhitungannnya.
Bab IV
Penutup
Demikianlah makalah yang kami buat, semoga dapat memberi manfaat
khususnya bagi kami sebagai penyusun dan umumnya bagi kita semua.Kami
pun menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam makalah ini.Oleh
karena itu, kami mengharapkan saran dan kritik yang konstruktif dari
berbagai pihak demi perbaikan selanjutnya.Hanya kepada Allah kita
memohon taufik.
DAFTAR PUSTAKA
Azhari,Susiknan, Ilmu Falak, Yogyakarta : Suara Muhammadiyah, 2007.
BHR DEMENAG, Almanak HIsab Rukyat, Proyek Pembinaan Badan Penelitian Agama Islam.
Izzudin, Ahamad, Ilmu Falak Praktis, Semarang: Komala Grafika, 2006.
Khazin, Muhyiddin, Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta: Buana Pustaka, 2004.
Pedoman Rukyat dan Hisab NU, Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama, 2006.
Tim Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Pedoman Hisab Muhammadiyah, Yogyakarta: Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, 2009
[2] Ibid,hal 102.
[3] Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta: Buana Pustaka, 2004, hal. 133-135
[4] Ahmad Izzudin, Ilmu Falak Praktis, Semarang: Komala Grafika, 2006, hal. 123
[5] Ibid.hal,125
[6] Nihayatul Muhtaj, jilid III dari Pedoman Rukyat NU, Lajnah Falakiyah PB Nahdlatul Ulama, 2006, hal. 147
[7] Tim Majelis Tarjih dan Tajdid PP MUhammadiyah, Pedoman Hisab Muhammadiyah, Yogyakarta : Majelis Tarjih dan Tajdid PP Uhammadiyah, 2009,hal 16
[8] Ibid hal. 20
Tidak ada komentar:
Posting Komentar