BAB I
PENDAHULUAN
- A. Latar Belakang
Alus sunnah adalah kepercayaan ahlus salaf sama dengan kepercayaan
para pendahulu yang bersandar kepada rasulullah saw. Sahabatnya dan
orang-orang yang mengikuti mereka dengan setia baik sampai hari kiamat.
Membahas Ahlus Sunnah wal Jamaah akan membutuhkan curahan perhatian dan
konsentrasi penuh, apabila ingin memahaminya secara detail dan sempurna.
Karena pembahasan tentang aswaja dapat berorientasi terhadap berbagai
macam tinjauan, perumusan dan pemahaman, sesuai dari sudut mana
memandangnya.Tinjauan pertama, aswaja diartikan sebagai suatu kajian
ilmiah yang bisa dipelajari lewat literatur-literatur. Kedua, aswaja
merupakan suatu keyakinan yang bertempat jauh di lubuk hati, yang
mewarnai perilaku hidup seseorang. Ketiga, aswaja bisa dipandang sebagai
wadah bagi berkumpulnya individu yang mengarah kepada satu misi yang
disepakati. Dan masih banyak lagi rumusan pengertian dan pemahaman
aswaja menurut titik pandang tertentu yang selama ini terus berkembang
di kalangan masyarakat.[1]
Ahlussunah terbagi menjadi dua yaitu :
- Salaf
Salaf artinya ulama terdahulu. Salaf terkadang dimaksudkan untuk
merujuk generasi sahabat, tabi’i dan tabi’ tabi’in para pemuka abad ke-3
H dan para pengikutnya pada abad ke-4 H yang terdiri atas para
muhadditsin dan lainnya.
- Khalaf
Kata khalaf biasanya digunakan untuk merujuk poara ulama yang
terlahir setelah abad ke-3 H dengan karakteristik yang berteolak
belakang dengan apa yang dimiliki salaf. Diantaranya tentang penakwilan
sifat-sifat tuhan serupa dengan makhluk pada pengertian yang sesuai
dengan ketinggian dan kesucian-Nya .
- B. Rumusan Masalah
- Siapakah yang termasuk golongan Ahlussunnah?
- Siapa Al-Asy’ari?
- Bagaimana doktrin-doktrin teologi Al-Asy’ari?
- C. Tujuan Pembahasan
- Mengetahui dan memahami ahlussunnah.
- Mengetahui sejarah ringkas Al-Asy’ari.
- Mengetahui doktrin-doktrin teologi Al-Asy’ari.
BAB II
ILMU KALAM MENURUT
AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH
- A. Pengertian Ahlussunnah
Kata Khalaf bisanya digunakan untuk merujuk para ulama yang lahir
setelah abad 3 H dengan karakteristik yang bertolak belakang dengan apa
yang dimiliki salaf. Menurut Siradjuddin Abbas, Ahlussunnah ialah
penganut sunnah Nabi Muhammad saw. Sedangkan Wal jama’ah ialah penganut
I’tiqad sebagai I’tiqad jama’ah sahabat-sahabat Nabi Muhammad saw.[2]
Syekh Abdul Jeilani menyebutkan bahwa :
Sunnah : Segala sesuatu yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Al-Jamaah
: Apa yang disepakati oleh para jamaah sahabat nabi pada masa khalifah
yang empat. Menurut Abdul Hadi awing, ahlussunnah adalah yang mengakui
Nabi Muhammad sebagai Rasulullah,dan mengakui kekhalifahan
khulafaurrasyidin.[3]
Rosulullah saw bersabda:
“Telah terpecah umat yahudi menjadi 71 firqoh, begitu pula umat
Nashara. Sedangkan umatku akan terpecah menjadi 73 firqoh.” HR.Tirmidzi.
Dan Rosulullah saw juga bersabda:
“Demi Tuhan yang memegang jiwa Muhammad ditangan-Nya, akan berfirqoh umatku sebanyak 73 firqoh. Yang satu masuk surge dan 72 firqoh yang lainnya masuk neraka.” HR.Jmam Thabrani
Dari beberapa definisi diatas, maka ungkapan Ahlussunnah atau yang
sering disebut Sunni ini dapat dibedakan menjadi dua pengertian, yaitu
umum dan khusus. Sunni dalam pengertian umum adalah lawan dari kelompok
syi’ah. Adapun Sunni dalam pengertian khusus adalah lawan dari kelompok
mu’tazilah. Pengertian Sunni secara khusus inilah yang akan kami pakai
dalam pembahasan selanjutnya,yang mana term Ahlussunnah banyak dipakai
setelah munculnya aliran Asy’ariyyah dan Maturidiyyah.
- B. Al-ASY’ARI
Nama lengkapnya adalah Al-Hasan Ali bin Isma’il bin Ishaq bin Salim
bin Isma’il bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa
Al-Asy’ari atau yang sering disebut dengan Syekh Abu Hasan ‘Ali
al-asy’ari. Beliau dilahirkan di Bashrah Irak pada tahun 260 H/873 M,
dan wafat ketika hijrah di Baghdad pada tahun 324 H/935 M. Pada waktu
kecilnya, ia berguru pada seorang tokoh mu’tazilah terkenal yang bernama
Al-Jubbai. Aliran ini terus diikutinya sampai ia berumur 40 tahun, dan
tidak sedikit dari hidupnya digunakan untuk mengarang buku
ke-mu’tazilahan.
Menurut suatu riwayat, ketika ia berumur 40 tahun, ia mengasingkan
dirinya dirumahnya selama 15 hari. Setelah itu ia pergi ke masjid besar
Bashrah dan melontarkan kata-kata sebagai berikut:”Saya tidak lagi
mengikuti paham aliran mu’tazilah dan saya harus menunjukkan
keburukan-keburukan dan kelemahan-kelemahannya.” Boleh jadi, ia telah
lama mengadakan peninjauan terhadap paham mu’tazilah, dan tempo 15 hari
tersebut merupakan puncaknya, sebab sebelumnya ia banyak mengadakan
perdebatan-perdebatan dengan gurunya tentang dasar-dasar paham aliran
mu’tazilah.[4]
Diantara perdebatan-perdebatan itu ialah mengenai soal al-ashlah atau
keharusan mengerjakan yang terbaik bagi tuhan sebagaimana yang telah
maktub dibawah ini:
Al-Asy’ari : Bagaimana pendapat tuan tentang mikmin, kafir, dan anak kecil yang mati?
Al-Jubbai : Mukmin mendapatkan tingkatan yang tertinggi surga,
kafir masuk neraka, dan anak kecil tergolong orang yang selamat.
Al-Asy’ : Kalau anak kecil tersebut ingin mencapai tingkatan tertinggi, dapatkah ia?
Al-Jubbai : Tidak dapat, karena akan dikatakan kepadanya “Mukmin
tersebut mendapat tingkatan tertinggi karena ia menjalankan ketaatan,
sedangkan engkau tidak.”
Al-Asy’ari : Jika anak kecil tersebut menjawab “Itu bukan salah
saya, kalau sekiranya Tuhan menghidupkan aku sampai besar, tentu aku
akan mengerjakan ketaatan sebagaimana yang telah dilakukan mukmin
tersebut”
Al-Jubbai : Tuhan akan berkata “Aku lebih tahu tentang engkau.
Kalau engkau hidup sampai besar, maka engkau akan mendurhakai Aku, dan
Aku akan menyiksamu. Maka dari itu Aku matikan engkau sebelum dewasa”.
Al-Asy’ari : Kalau kafir berkata: “Ya Tuhan, Engkau maha mengetahui
keberadaanku dan juga keberadaan anak kecil itu, tapi mengapa Engkau
tidak mengambil tindakan terhadapku sebagaimana tindakanMu terhadap anak
kecil itu?”.
Kemudian Al-Jubbai langsung diam dan tak kuasa menjawab lagi. Selain
sebab diatas, Al Asy’ari meninggalkan aliran mu’tazilah juga karena
adanya perpecahan perpecahan yang dialami kaum muslimin yang bisa
menghancurkan mereka kalau aliran mu’tazilah tidak segera diakhiri. Ia
juga sangat menghawatirkan al-Qur’an dan Hadis menjadi korban
paham-paham mu’tazilah yang menurutnya tidak dibenarkan, karena
didasarkan atas pemujaan akal fikiran, sebagaimana juga dikhawatirkan
menjadi korban sikap ahli hadis anthropomorphist yang hanya memegangi
nas-nas saja. Oleh karena itu, Asy’ari mengambil jalan tengah antara
golongan rasionalis dan golongan textualis yang ternyata jalan tersebut
lebih diterima oleh mayoritas kaum muslimin.
Suatu unsur utama bagi kemajuan aliran Asy’ariyyah ialah karena
aliran ini mempunyai tokoh-tokoh kenamaan. Tokoh-tokoh tersebut antara
lain; al-Baqillani, ibnu Faurak, ibnu ishak al-isfaraini, Abdul kahir
al-Baghdadi, imam al-haramain al-juwaini, abdul mudzaffar al-isfaraini,
Al-Ghazali, ibnu Tumart, as-Syihritsani, ar-Razi, Al-Iji, al-Sanusi.
Pemikiran Al-Asy’ari yang terpenting adalah :
- Tuhan dan sifat-sifat-Nya.
Al-Asy’ari menyatakan bahwa Allah mempunyai sifat-sifat yang tidak
identik dengan zat-Nya. Sifat Tuhan berbeda dengan sifat makhluk. Ia
juga menyatakan bahwa orang yang meyakini keberadaan sifat-sifat Tuhan
itu bukan termasuk musyrik, karena sekalipun dengan sebutan yang
berbeda, akan tetapi sifat tersebut menyatu dengan zat, sebagaimana yang
telah diungkapkan oleh Al-Asy’ari:
فَيَثْبُتُ هذه الصِّفَاتُ قَائِمَةً بِالذَاتِ لَا هِيَ هُوَ وَلَا هِيَ غَيْرُهُ
“Sifat itu tetap bertempat pada zat, sifat itu bukan zat, dan bukan pula lain dari zat”.
- Kebebasan Dalam Berkehendak
Menurut Asy’ariyah, kehendak Allah itu maha meliputi. Allah juga maha
berkuasa, maka Dia berhak untuk tidak menjalankan janji-janji maupun
ancamannya. Perbuatan manusia diciptakan oleh Allah, dan manusia hanya
memperoleh perbuatan tersebut. Pernyataan ini disandarkan pada, QS.
Al-Hadid:22
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan pada dirimu
sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab di Lauhul Mahfuzh sebelum
Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”
- Kriteria Baik dan Buruk
Al-Asy’ari mengatakatan bahwa baik dan buruk harus berdasarkan pada
keterangan syari’ah atau petunjuk wahyu. Oleh sebab itu, hakikat
perbuatan manusia bersumber dari kekuasaan Allah yang bersamaan dengan
kemampuan dan kehendak manusia yang keberadaanya itu sesuai dengan
terjadinya perbuatan itu sendiri. Apabila manusia bertindak sesuai
dengan aturan Allah yang terdapat dalam al-Qur’an, maka ia berakhlak.
Dan jika tidak sesuai, maka ia bias dinilai tidak berakhlak.
- Qodimnya Al-Qur’an
Al-Asy’ariyah meyakini bahwa kalam Allah (al-Qur’an) bukan makhluk.
Pendapat ini disandarkan pada QS.Ar-Rum:25 “Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah berdirinya langit dan bumi dengan iradat-Nya.
kemudian apabila Dia memanggil kamu sekali panggil dari bumi, seketika
itu (juga) kamu keluar (dari kubur)”. Menurut Asy’ariyah, Perintah Allah
adalah firman-Nya. Bila Allah memerintahkan keduanya untuk berdiri,
lantas keduanya berdiri dan tidak terjatuh karena berdirinya keduanya
itu adalah atas perintah Allah.
- Melihat Allah
Al-Asy’ari mengatakan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat tetapi
tidak dapat digambarkan atau dilihat dengan cara dan arah tertentu.
Kemungkinan ru’yat dapat terjadi manakala Allah sendiri yang menyebabkan
dapat dilihat atau bilamana Ia menciptakan kemampuan penglihatan
manusia untuk melihat-Nya.
- Keadilan
Pada dasarnya, Al-Asy’ari sependapat dengan mu’tazilah bahwa Allah
itu adil. Mereka berbeda pendapat dalam memaknai keadilan. Menurut
mu’tazilah, Allah harus seimbang dalam memberikan pahala amal perbuatan
manusia. Sedangkan menurut al-Asy’ari, Allah tidak memiliki keharusan
apapun karena ia adalah Penguasa Mutlak.
- Kedudukan Orang Berdosa
Al-Asy’ari mengatakan bahwa Mukmin yang berbuat dosa besar adalah
mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain
kufur. Oleh karena itu, mukmin yang fasik itu berada pada kehendak
Allah. Jika Allah berkehendak, Dia akan mengampuni dan memasukkannya
kedalam surga. Dan jika berkehendak lagi, maka Allah akan menyiksa
kefasikannya kemudian memasukkannya ke surga.[5]
C. AL-MATURIDI
a. Riwayat Singkat Al-Maturidi
Abu Mansur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud Al-Maturidi dilahirkan di
Samarkand (daerah Uzbekistan, sovyet) pada pertengahan kedua dari abad
kesembilan masehi atau pertengahan abad ketiga hijrah, tahun
kelahirannya tidak diketahui secara pasti hanya diperkirakan tahun 333
H/944 M. dan wafat tahun 268 H. tidak banyak diketahui riwayat hidupnya.
Ia mencari ilmu pada pertiga akhir dari abad ketiga hijrah, dimana
aliran mu’tazilah mulai mengalami kemunduran. Diantara gurunya adalah
Nashr bin yahya al-Balakhi(wafat 268H). Pada masa al-Maturidi, terjadi
perdebatan antara aliran fiqh hanafiyah dan fiqh syafi’iyyah. Dan dalam
masalah fiqh, maturidi mengikuti madzhab hanafi.
Ia adalah pengikut abu hanifah, faham-faham teologinya banyak persamaan dengan faham-faham Abu Hanifah. Sistim pemikiran teologi yang ditimbulkan Abu Manshur termasuk dalam golongan Ahlussunnah wal Jama’ah dan dikenal dengan nama al-Maturidiyyah.
Kebanyakan ulama’ maturidiyyah terdiri dari orang pengikut aliran fiqh hanafiyyah, seperti; Fachruddin al-Bazdawi, at-Taftazani, an-Nasafi, Ibnul Hummam, dan lain-lain.
Ia adalah pengikut abu hanifah, faham-faham teologinya banyak persamaan dengan faham-faham Abu Hanifah. Sistim pemikiran teologi yang ditimbulkan Abu Manshur termasuk dalam golongan Ahlussunnah wal Jama’ah dan dikenal dengan nama al-Maturidiyyah.
Kebanyakan ulama’ maturidiyyah terdiri dari orang pengikut aliran fiqh hanafiyyah, seperti; Fachruddin al-Bazdawi, at-Taftazani, an-Nasafi, Ibnul Hummam, dan lain-lain.
b. Doktrin-doktrin Teologi Al-Maturidi
- Tuhan dan Sifat-Sifat-Nya
Al-Maturidi sependapat dengan Al-Asy’ari bahwa Tuhan mempunyai
sifat-sifat sama’, bashar, dan sebagainya. Akan tetapi menurut Maturidi,
sifat tersebut tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula lain
dari esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan tidak berwujud tersendiri dari dzat,
melainkan dzat yang tanpa terpisah.
- Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan
Al-Maturidi mengatakan bahwa segala perbuatan yang baik maupun yang
buruk adalah ciptaan Tuhan, tetapi menurut Al-Maturidi bukan berarti
Tuhan berbuat berkehendak dengan sewenang-wenang serta sekehendak-Nya
semata, tapi sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya
sendiri.
- Melihat Tuhan
Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan, sesuai
dengan firman Allah Surah Al-Qiyamah ayat 22 dan 23. Tuhan kelak
diakhirat dapat dilihat dengan mata, karena Tuhan memiliki wujud
walaupun ia immaterial. Namun melihat Tuhan, kelak diakhirat tidak dalam
bentuknya(bila kaifa), karena keadaan diakhirat tidak sama dengan di
dunia.
- Pengutusan Rasul
Menurut Al-Maturidi, akal tidak selamanya mampu mengetahui kewajiban
yang dibebankan kepada manusia. Akal memerlukan bimbingan wahyu untuk
mengetahui kewajiban-kewajiban tersebut. Jadi, pengutusan Rasul
berfungsi sebagai sumber informasi. Tanpa mengikuti ajaran wahyu,
berarti manusia telah membebankan sesuatu yang berada diluar kemampuanya
kepada akalnya.
- Kalam Allah
Al-Maturidi membedakan antara kalam yang tersusun dengan huruf dan
bersuara dengan kalam nafsi. Menurutnya, kalam nafsi adalah sifat qadim
bagi Allah. Sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan kata-kata
adalah baharu(hadis). Akan tetapi secara tidak langsung, Al-Maturidi
sependapat dengan Al-Asy’ari bahwa Al-Qur’an bersifat Qadim dan bukan
makhluk.
- Pelaku Dosa Besar
Al-Maturidi mengatakan bahwa orang yang melakukan dosa besar tidak
kafir dan tidak kekal dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat,
karena Allah telah berjanji pada manusia akan memberikan balasan sesuai
dengan perbuatannya. Kalau yang kekal di dalam neraka itu adalah untuk
orang yang berbuat dosa syirik. Menurutnya, iman cukup dengan tasdiq dan
iqrar saja. Sedangkan amal merupakan bentuk penyempurnaan iman.[6]
BAB III
PENUTUP
- A. Kesimpulan
Ahlussunnah (Sunni) dapat dibedakan menjadi 2 pengertian, yaitu umum
dan khusus. Sunni dalam pengertian umum adalah lawan dari kelompok
syi’ah. Adapun Sunni dalam pengertian khusus adalah lawan dari kelompok
mu’tazilah.
Ajaran Ahlusunnah meliputi:
a. Bahwa sesungguhnya mereka tidak meniadakan sifat-sifat Allah yang
telah disifatkan oleh-Nya, dan tidak mengajukan pertanyaan “bagaimana
itu” dan tidak menyamakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat
makhluk-Nya.
b. Bahwa mereka beri’tikad (berkeyakinan) bahwa Allah SWT tidak ada
yang melebihi, tidak dapat disaingi dan tidak bisa diukur dengan
makhluk-Nya.
c. Dan Alus sunnah mereka tidak menyimpang dari apa yang dibawa para Rasul dari hadirat Tuhan seru sekalian alam.
d. Pendapat dalam penetapan sifat terhadap Allah SWT, bagi Ahlus
sunnah, seperti pendapat mereka tentang dzat Allah yang berbeda dari
makhluk-Nya.
e. Sifat-sifat Allah dalam al-Quran banyak sekali, begitu pula dalam
sunnah rasul Saw, kesempurnaan-Nya tidak terbatas dan hakikat-Nya tidak
bisa dicapai oleh akal manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas Siradjuddin, I’tiqad ahlussunnah wal jama’ah, Jakarta, pustaka tarbiyyah, 2004,
Sahidin Ahmad, Aliran-Aliran Dalam Islam, Jawa Barat, Salamadani, 2009,
Hanafi. A, Pengantar Theology Islam, Jakarta, pustaka al-husna, 1992,
M Afrizal, Ibn Rusyd Tujuh, Perdebatan Utama Dalam Aliran Islam, Jakarta, Erlangga, 2006,
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta, UIP, 1986,
Balukia Syakir, Ahlus Sunnah wal Jamaah, Bandung : Sinar Baru, 1992.
[1] Balukia Syakir, Ahlus Sunnah wal Jamaah, Bandung : Sinar Baru, 1992.
[2] Abbas Siradjuddin, I’tiqad ahlussunnah wal jama’ah, Jakarta, pustaka tarbiyyah, 2004,
[4] Sahidin Ahmad, Aliran-Aliran Dalam Islam, Jawa Barat, Salamadani, 2009,
[6] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta, UIP, 1986
Tidak ada komentar:
Posting Komentar