PENGANTAR
Konsepsi adalah salah satu keistimewaan
manusia yang diberikan oleh Allah. Menusia diberi kemampuan untuk
menginterpretasikan setiap gerak-gerik, langkah, dan kejadian yang mereka alami
sesuai dengan kondisi dan suasana batin yang mereka rasakan. Penyesuaian hasil
interpretasi itu kemudian disempurnakan menjadi konsep-konsep yang siap
diaplikasikan dalam kehidupan mereka di lapangan. Proses pembelajaran seperti
inilah yang membuat manusia—secara langsung maupun tidak langsung—semakin paham
akan seluk-beluk kehidupan, sehingga mereka mampu mengukuhkan eksistensi mereka
di muka bumi sebagai pengelola dan pemberdaya secara utuh dan berkesinambungan.[1]
Kemampuan manusia melakukan konsepsi yang
diperoleh dari hasil observasi secara langsung dan tidak langsung terhadap
kehidupan, menjadikan mereka sebagai makhluk terbaik yang diciptakan Allah (ahsan
al-taqwîm). Ide-ide dan pikiran inilah yang membedakan manusia dengan makhluk
Allah yang lainnya. Berawal dari prakonsepsi, dilanjutkan dengan konsepsi, kemudian
lahir sebuah konsep, dan diakhiri dengan aktualisasi konsep tersebut dengan
tindakan-tindakan konkret.
Dalam aplikasinya, setidaknya ada dua
orientasi yang terlihat kontradiktif dari tindakan-tindakan tersebut. Pertama,
orientasi natural, yaitu yang didasarkan pada fitrah dan nurani manusia. Karena
faktanya, Tuhan telah menciptakan fitrah dan naluri tersebut secara sama dan
merata dalam diri manusia. Sehingga agama yang diturunkan pun bersesuaian
dengan fitrah tersebut,[2]
baik dalam konteks perseorangan maupun komunal; baik dalam konteks keyakinan
(tauhid), peribadatan, maupun interaksi sosial sesama manusia. Karena itu, orientasi
ini juga bisa disebut sebagai orientasi religius.
Kedua, orientasi artifisial, yaitu yang
didasarkan pada kepentingan-kepentingan pribadi maupun publik belaka. Karena
beragamnya kepentingan manusia, maka paling tidak hal tersebut menjadikan
seseorang mencari berbagai macam cara untuk meraih obsesinya, tanpa
memperhatikan norma-norma kehidupan, berikut hak-hak dan kewajibannya yang ada
di dalamnya. Dampak dari hal tersebut adalah merebaknya sikap apatis dan
hipokritis di tengah-tengah masyarakat. Pada ujungnya, terjadilah dikotomi
interaksi sosial perubahan paradigma manusia, dari naturalis menjadi
pragmatis-oportunis.
Jika dengan konsep buatannya saja manusia bisa
menunjukkan eksistensinya sebagai khalifah di muka bumi ini, maka bagaimana
halnya jika konsep tersebut datang dari Allah, Tuhan yang menciptakan alam
semesta? Inilah yang menjadi titik tolak pembahasan makalah singkat ini. Konsep
yang dibawa oleh para nabi dan utusan ini adalah bentuk konkret dari kasih
sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya.
sebagai panduan hidup yang menuntun mereka kepada kesejahteraan dunia dan
kebahagiaan di akhirat. Tugas Rasulullah dalam hal ini begitu jelas, beliau
hanya diutus sebagai rahmatan li al-âlamîn, itu saja.[3]
Distorsi Konsepsi Masyarakat
Madani, antara Islam dan Barat
Jika dirinci, ada dua hal yang menjadi misi diutusnya
Rasulullah: pertama, mengajak manusia untuk beribadah hanya kepada Allah, sesuai dengan fitrahnya; kedua, mengatur
tatanan hidup dan sistem sosial kemasyarakatan. Kedua hal tersebut telah
dilaksanakan oleh Rasulullah secara
berimbang, meskipun dengan tahapan yang berbeda. Misi pertama telah ditanamkan sejak
di Mekah sebagai fondasi untuk membangun misi kedua. Sedangkan misi yang kedua,
baru bisa diterapkan secara sempurna pada periode Madinah, setelah Rasulullah hijrah dari Mekah ke Madinah.
Adapun dalam perihal ajaran, Rasulullah pun mengajarkan kepada umatnya dua konsep
relasi yang saling melengkapi, dan sama sekali tidak bisa dipisahkan
antarkeduanya. Pertama, relasi vertikal, yaitu relasi manusia dengan
Tuhan yang termanifestasi dalam bentuk amalan ritual keagamaan berupa ketaatan
manusia dalam menjalankan perintah maupun menjauhi larangan Tuhan. Kedua,
relasi horizontal, yaitu relasi manusia terhadap sesamanya yang termanifestasi
dalam bentuk interaksi sosial-kemasyarakatan dengan memperhatikan nilai-nilai
dan norma-norma yang berlaku. Kedua konsep tersebut benar-benar diaplikasikan
oleh Rasulullah ketika ia berada di Mekah
maupun Madinah.
Dalam periode Madinah, konsep ini terlihat
lebih jelas dibanding periode Mekah. Rasulullah telah menjadikan Madinah—dengan
kondisi yang begitu plural, berikut dengan berbagai aliran kepercayaan yang ada
di dalamanya—sebagai basis untuk meletakkan fondasi keislaman dan
kemasyarakatan secara inklusif. Dalam hal ini, Rasulullah berhasil membentuk masyarakat yang menjunjung
tinggi nilai, norma, dan hukum yang ditopang oleh penguasaan iman, ilmu dan
peradaban. Konsep inilah yang belakangan ini diistilahkan sebagai konsep
masyarakat madani.[4]
Dengan demikian, istilah masyarakat madani
memiliki korelasi yang begitu erat dengan masyarakat Madinah pada masa
Rasulullah. Dari sini, kita bisa mengambil sebuah pendapat bahwa konsep
masyarakat madani tidak hanya berkutat pada perwujudan kondisi masyarakat atau
warga negara yang berperadaban secara materi (duniawi) saja. Akan tetapi,
konsep masyarakat madani—sebagaimana kondisi masyarakat Madinah pada masa
Rasulullah—adalah perwujudan suatu masyarakat yang memiliki basis keimanan dan keislaman
yang kuat, yang kemudian dimanifestasikan dalam nilai-nilai dan norma-norma
yang dijunjung tinggi oleh seluruh elemen masyarakat. Kondisi seperti ini harus
pula disertai dengan geliat intelektual yang tinggi, sehingga menghasilkan
komunitas yang berintegritas tinggi dan berperadaban
luas. Dalam hal ini bisa disimpulkan bahwa masyarakat madani yang dibangun oleh
Rasulullah di Madinah adalah masyarakat yang menjadikan akhirat (spirit
keagamaan) sebagai fondasi, dan dunia (materi) sebagai bangunannya.
Jika demikian halnya, maka konsep masyarakat
madani berbeda dengan konsep civil society (masyarakat sipil) yang baru
dicetuskan oleh Barat pada abad ke 17.[5]
Konsep civil society—yang kini menjadi wacana baku ilmu-ilmu sosial—pada
dasarnya dipahami sebagai antitesis dari 'masyarakat politik' atau negara
militer. Pemikiran ini dapat dilacak dari pendapatnya Hobbes, Locke,
Montesquieu, Hegel, Marx, Gramsci, dan lain-lain. Pemikiran tersebut tumbuh dan
berkembang sebagai bentuk koreksi radikal terhadap eksistensi negara yang
cenderung menjadi alat kapitalisme. Substansi pembahasannya terletak pada
penggugatan hegemoni negara dalam melanggengkan kekuatan kelompok kapitalis,
yang terlihat dengan marginalisasi peranan masyarakat pada umumnya.[6]
Selain itu, konsep ini juga dicetuskan dalam upaya mereduksi kekuasaan para
raja yang berkuasan atas dasar legitimasi agama.[7]
Karena itu, konsep civil society yang
dipropagandakan di Barat lebih kental terlihat sebagai upaya marginalisasi
peranan agama dalam segala aspek kehidupan. Nilai dan norma agama pun direduksi
sedemikian rupa, sehingga pada akhirnya memunculkan paham dikotomi antara
negara dan agama, atau yang lebih populer disebut sekularisme.
Pada tahap selanjutnya, kata civil society
yang sebenarnya memiliki terjemahan 'masyarakat sipil', pada akhirnya
diterjemahkan menjadi 'masyarakat madani'. Di sinilah awal mula adanya tumpang-tindih
antara konsep masyarakat madani yang telah diterapkan pada masa Rasulullah dengan konsep civil society yang
dipropagandakan Barat. Pada akhirnya, keduanya terlihat seperti satu kesatuan
yang begitu utuh. Bahkan mirisnya, hal tersebut diamini oleh beberapa kalangan
intelektual Muslim Indonesia seperti Nurcholis Madjid, Dawam Raharjo, dan
lain-lain. Mereka berpendapat bahwa substansi masyarakat madani dan civil
society adalah sama, karena kata 'madani' menunjuk pada makna peradaban dan
kebudayaan, begitu juga kata 'civil' yang merujuk pada pola kehidupan
yang teratur dalam lingkungan masyarakat.[8]
Jika demikian adanya, maka masyarakat madani merupakan bentuk islamisasi dan
nasionalisasi konsep civil society yang didengungkan Barat.
Berbeda halnya jika substansi dan
karakteristik masyarakat madinah pada masa Rasulullah—yang kemudian
diintegralkan menjadi masyarakat madani—dikomparasikan dengan substansi dan
karakteristik civil society. Ranah distingsinya pun begitu mendasar,
ibarat air dan minyak. Sebab keduanya memiliki orientasinya masing-masing,
sehingga tidak mungkin mengintegrasikan dua hal yang sangat berbeda. Jika
masyarakat madani menitikberatkan orientasinya pada pencapaian kesejahteraan
masyarakat dan kemajuan ilmu pengetahuan yang berbasiskan agama (al-Qur'an dan
Hadis), maka civil society berorientasi pada kesejahteraan masyarakat
dan kemajuan ilmu pengetahuan yang berbasiskan kepentingan. Dalam hal ini,
nilai-nilai dan norma yang ada pada masyarakat madani tentu tidak bisa
disamakan dengan nilai dan norma dalam civil society. Jika kemajuan
peradaban, menurut civil society, adalah kemajuan yang bersifat materi (al-taqaddum
al-mâddy) an sich, maka kemajuan peradaban menurut masyarakat madani tidak
hanya bersifat materi, melainkan diiringi pula dengan kemajuan
spiritual-keagamaan (al-taqaddum al-maʻnawy wa al-rûhy).[9]
Dengan demikian, masyarakat madani
yang pernah diterapkan oleh Rasulullah di
madinah tidak mungkin disamakan dengan civil society yang tumbuh dan
berkembang di Barat. Selain keduanya memiliki substansi dan karakteristik yang berbeda,
orientasi yang dituju oleh masing-masing pihak juga berbeda.
PEMBAHASAN
Konsepsi Islam dalam Membangun Masyarakat Madani
Konsepsi Islam dalam Membangun Masyarakat Madani
Istilah masyarakat madani, menurut sebagian
kalangan, pertama kali dicetuskan oleh Naquib al-Attas, guru besar sejarah dan
peradaban Islam dari Malaysia.[10]
Jika ditelusuri lebih jauh, istilah itu sejatinya berasal dari bahasa Arab dan
merupakan terjemahan dari al-mujtama al-madany. Jika demikian, besar kemungkinan
bahwa istilah yang dicetuskan oleh Naquib al-Attas diadopsi dari karakteristik
masyarakat Islam yang telah diaktualisasikan oleh Rasulullah di Madinah, yang kemudian disandingkan dengan
konteks kekinian.
Istilah tersebut kemudian diperkenalkan di
Indonesia oleh Anwar Ibrahim—yang saat itu menjabat sebagai Deputi Perdana
Menteri Malaysia—pada Festival Istiqlal September 1995. Dalam ceramahnya, Anwar
Ibrahim menjelaskan secara spesifik terkait karakteristik masyarakat madani
dalam kehidupan kontemporer, seperti multietnik, kesalingan, dan kesedian untuk
saling menghargai dan memahami.[11]
Inilah yang kemudian mendorong beberapa kalangan intelektual Muslim Indonesia
untuk menelurkan karya-karyanya terkait wacana masyarakat madani. Sebut saja di
antaranya adalah Azyumardi Azra dalam bukunya "Menuju Masyarakat
madani" (1999) dan Lukman Soetrisno dalam bukunya "Memberdayakan
Rakyat dalam Masyarakat Madani" (2000).
Kemudian di dalam ranah pemikiran Islam
belakangan ini, substansi, karakteristik, dan orientasi masyarakat madani yang
sesungguhnya seperti kehilangan jejak, Menguat dugaan, hal ini memang sengaja
dilakukan oleh beberapa kalangan untuk mereduksi nilai-nilai Islam yang ideal.
Setidaknya integrasi konsep masyarakat madani terhadap konsep civil society
mengindikasikan kalau diskursus tersebut mengalami pembiasan esensi dan proses
integrasinya pun cenderung kompulsif. Inilah kemudian yang menjadi alas an
utama betapa perlunya menghadirkan kembali dan menarasikan secara utuh, ide-ide
dalam masyarakat madani yang pernah diaktualkan Rasulullah di Madinah dalam
pembahasan ini. Sehingga tidak ada lagi tumpang-tindih konsepsi yang
mengaburkan cara pandang dan pemahaman khalayak terhadap diskursus ini.
Sosio-Historis Masyarakat Madinah pada Masa
Rasulullah
Dengan kondisi geografis yang cukup subur,
jauh sebelumnya lahir masyarakat madani, Madinah telah ditempati oleh masyarakat
plural yang terdiri dari beragam suku dan aliran kepercayaan. Daerah tersebut
dulunya bernama Yatsrib, yang kemudian diganti menjadi Madînah al-Rasûl—atau
yang lebih popular disebut Madinah saja—setelah Rasulullah tiba di sana.[12]
Setidaknya ada delapan suku yang eksis ketika Rasulullah tiba di Madinah.[13]
Selain itu, pada masing-masing suku terdapat beragam aliran kepercayaan;
seperti penganut agama Islam, penganut agama Yahudi, dan penganut paganisme.
Dengan kondisi yang amat plural, dari sini akan terlihat jelas bagaimana
Rasulullah merancang sebuah konsep yang sangat ideal dalam rangka membangun
masyarakat madani.
Hal yang perlu diperhatikan dalam hal ini
adalah bagaimana Rasulullah—yang baru tiba di Madinah, berikut sambutan
masyarakat Madinah yang begitu antusias dengan kedatangan Rasul—langsung
melakukan konsolidasi dengan penduduk setempat. Dalam hal ini, Rasulullah sebagai seorang pemimpin, melihat secara jelas
tiga tipologi masyarakat Madinah dalam perspektif keyakinan dan aliran
kepercayaannya.[14]
Pertama, penganut agama Islam yang terdiri dari kaum Muhajirin dan
Anshar. Merupakan sesuatu yang baru bagi kaum muslimin, jika di Mekah, hak-hak
dan kebebasan kebebasan kaum muslimin dalam beribadah dan berinteraksi sosial
dipasung sedemikian rupa, berikut ketiadaan basis dan kekuatan untuk melakukan
konsolidasi dan proses islamisasi. Maka keadaan di Madinah berbalik 180° dari
keadaan di Mekah, kini mereka memiliki basis dan kekuatan yang mumpuni—di
samping melakukan konsolidasi dan proses islamisasi—untuk menggerakkan dan mengelola
berbagai sektor kehidupan bermasyarakat dan bernegara; seperti sektor ekonomi,
politik, pemerintahan, pertahanan, dan lain-lain.
Kedua, penganut agama Yahudi, yang
terdiri dari tiga kabilah besar, yaitu Bani Qaynuqa, Bani Nadhir, dan Bani
Qurayzha. Ketiga kabilah inilah yang dulu menghegemoni konstelasi politik dan
perekonomian di Madinah, hal tersebut disebabkan karena keahlian dan produktivitas
mereka dalam bercocok tanam dan memandai besi.[15]
Sementara kabilah-kabilah Arab yang lain masih hidup dalam keadaan nomadik,
atau karena keterbelakangan mereka dalam hal tersebut. Adapun imbasnya adalah
pengaruh mereka yang begitu besar dalam memainkan peranannya yang cenderung
destruktif dan provokatif terhadap kabilah-kabilah selain mereka. Hal tersebut
berlangsung dalam tempo yang sangat lama, hingga akhirnya Rasulullah tiba di
Madinah dan secara perlahan mereduksi pengaruh kaum Yahudi yang oportunistis
tersebut dengan prinsip-prinsip agung Islam yang konstruktif dan solutif.
Ketiga, penganut paganisme, dalam hal ini
yang dimaksud adalah komunitas masyarakat Madinah yang masih menyembah berhala
seperti halnya penduduk Mekah. Di dalam buku-buku sejarah, komunitas ini
disebut kaum musyrik. Mereka inilah yang masih mendapati keraguan dalam diri
mereka untuk mempercayai dan meyakini kebenaran ajaran yang dibawa oleh
Rasulullah. Namun pada akhirnya komunitas tersebut masuk Islam secara
berbondong-bondong terutama pascaperang Badar.
Setelah membaca dan memahami karakter ketiga golongan
tersebut, barulah Rasulullah melakukan
konsepsi—yang tidak lain merupakan wahyu—yang dilanjutkan dengan aktualisasi
konkret terhadap konsep tersebut. Jika orientasi dakwah Rasulullah di Mekah
adalah memperkokoh akar keimanan para pengikutnya, maka orientasi Rasulullah di
Madinah adalah membangun tatanan keislaman yang meliputi penyampaian dan
penegakan syariat Tuhan secara utuh, dan tatanan kemasyarakatan yang meliputi
pembangungan masyarakat yang memegang teguh prinsip-prinsip agung Islam,
berikut nilai dan norma yang ada pada al-Qurʼan dan petunjuk Nabi. Sementara
terkait dengan penganut kepercayaan lain, seperti kaum Yahudi dan kaum
Musyrikin, Nabi membuat sebuah piagam kebersamaan untuk memperkokoh stabilitas
sosial-politik antarwarga Madinah. Piagam inilah yang kemudian disebut sebagai
Piagam Madinah.
Tiga Karakteristik Masyarakat Madani
Jika dicermati secara komprehensif, maka di
dalam ajaran Islam terdapat karakteristik-karakteristik universal baik dalam
konteks relasi vertikal, maupun relasi horizontal. Dalam hal ini Yusuf al-Qaradhawi
mencatat, ada tujuh karakteristik universal tersebut, yang kemudian ia jelaskan
secara spesifik di dalam bukunya al-Khashâ'ish al-ʻAmmah li al-Islâm.
Ketujuh karakteristik tersebut antara lain; ketuhanan (al-rabbâniyah),
kemanusiaan (al-insâniyyah), komprehensifitas (al-syumûliyah), kemoderatan
(al-wasathiyah), realitas (al-wâqi`iyah), kejelasan (al-wudhûh),
dan kohesi antara stabilitas dan fleksibelitas (al-jam’ bayna al-tsabât wa
al-murûnah).
Ketujuh karakteristik inilah yang kemudian
menjadi paradigma integral setiap Muslim dari masa ke masa. Dari ketujuh
karakteristik tersebut, ada dua karakteristik fundamental yang menjadi tolak
ukur pembangunan masyarakat madani, yaitu humanisme (al-insâniyyah) dan
kemoderatan (al-wasathiyyah). lima karakteristik yang lain—kecuali al-rabbâniyyah—setidaknya
bisa diintegrasikan ke dalam kategori toleran (al-samâhah).
Karena al-rabbâniyah, menurut al-Qaradhawi, merupakan tujuan dan muara
dari masyarakat madani itu sendiri.[16]
Pengintegrasian karakteristik-karakteristik tersebut tidak lain merupakan upaya
untuk menyederhanakan konsep masyarakat madani yang dibahas dalam makalah ini,
sebab Islam sendiri—menurut Umar Abdul Aziz Quraysy—merupakan agama yang sangat
toleran, baik di dalam masalah akidah, ibadah, muamalah, maupun akhlaknya.[17]
Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa
Rasulullah mengajarkan tiga
karakteristik keislaman yang menjadi fondasi pembangunan masyarakat madani,
yaitu Islam yang humanis, Islam yang moderat, dan Islam yang toleran.
1.
Islam yang
Humanis
Yang dimaksud dengan Islam yang humanis di
sini adalah bahwa substansi ajaran Islam yang diajarkan Rasulullah, sepenuhnya
kompatibel dengan fitrah manusia. Allah berfirman,
"Maka hadapkalah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, tetaplah di
atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia sesuai dengan fitrah tersebut.
Tidak ada perubahan terhadap fitrah Allah, akan tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahuinya."[18]
Karena itu, dalam aktualisasinya, ajaran Islam
yang disampaikan oleh Rasulullah dengan
mudah diterima oleh nurani dan nalar manusia. Dengan kata lain, ajaran Islam
sejatinya adalah ajaran yang memanusiakan manusia dengan sebenar-benarnya.
Muhammad Athiyah al-Abrasyi mengatakan
bahwa manusia—berdasarkan fitrahnya—memiliki tendensi untuk melakukan hal-hal
yang bersifat konstruktif dan destruktif sekaligus. Dalam hal ini, lingkungan
memberikan pengaruh yang begitu kuat dalam membentuk karakter dan kepribadian
seseorang. Islam, sebagai agama paripurna, diturunkan tiada lain untuk
mengarahkan manusia kepada hal yang bersifat konstruktif dan mendatangkan kebaikan,
baik di dunia maupun di akhirat. Dalam permasalahan ini, manusia diberikan
kebebasan untuk memilih jalannya sendiri tatkala telah dijelaskan, mana yang
baik dan mana yang buruk; mana yang terpuji dan mana yang tercela.[19]
Jika kaum kapitalis lebih menjadikan manusia
sebagai sosok egois dan pragmatis, sehingga cenderung mendiskreditkan
aspek-aspek sosial dengan mengatasnamakan kebebasan personal; kaum sosialis melakukan
sebaliknya, yaitu cenderung mengebiri hak-hak personal dengan mengatasnamakan
kepentingan sosial. Di sinilah Islam dengan karateristiknya yang spesial,
memiliki cara tersendiri dalam upaya untuk mengatur tatanan kehidupan manusia.[20]
Islam berhasil mengatur hak-hak personal dan hak-hak sosial secara seimbang,
sehingga melahirkan nilai-nilai persaudaraan, kesetaraan, dan kebebasan
universal.[21]
Hal lain yang perlu ditekankan pada poin ini adalah
bagaimana Islam menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan berdasarkan naluri dan
tabiat manusia itu sendiri. Secara naluriah, setiap manusia memiliki keinginan
untuk hidup aman, damai, dan sejahtera dalam konteks personal maupun komunal. Manusia
juga telah diberikan berbagai kelebihan yang tidak dimiliki oleh
makhluk-makhluk Allah lainnya.[22]
Dengan keistimewaan-keistimewaan tersebut, manusia dianggap sebagai makhluk
yang paling sempurna. Kesepurnaan itu akan berimplikasi pada kesempurnaan tatanan
hidup bermasyarakat jika manusia mengikuti instruksi-instruksi Allah sebagaimana
yang dijelaskan dalam Surat al-Isrâ’ ayat 23-34.[23]
2.
Islam yang
Moderat
Yang dimaksud dengan Islam yang moderat adalah
keseimbangan ajaran Islam dalam berbagai dimensi kehidupan manusia, baik pada
dimensi vertikal (al-wasathiyah al-dîniyah) maupun horizontal (al-tawâzun
al-ijtimâʻiy). Kemoderatan inilah yang membedakan substansi ajaran Islam
yang diajarkan Rasulullah dengan ajaran-ajaran
lainnya, baik sebelum Rasulullah diutus
maupun sesudahnya. Secara etimologis, kata 'moderat' merupakan terjemahan dari al-wasathiyah
yang memiliki sinonim al-tawâzun (keseimbangan) dan al-iʻtidal (proporsional).[24]
Dalam hal ini Allah menjelaskan
karakteristik umat Rasulullah sebagai umat yang moderat.[25]
Dalam catatan sejarahnya, karakteristik ini
teraplikasikan secara sempurna pada diri Rasulullah. Sesuai Hadis yang
diriwayatkan Abu Hurairah, Rasulullah pernah
mengatakan dalam penggalan doanya, "Ya Allah, perbaikilah agamaku sebab ia
adalah penjaga urusanku. Perbaikilah pula duniaku karena di sinilah tempat hidupku.
Dan perbaikilah pula akhiratku kerena di sanalah tempat kembaliku."[26]
Jadi, kemoderatan merupakan salah satu karakteristik
fundamental Islam sebagai agama paripurna. Kemoderatan inilah yang sesungguhnya
sangat kompatibel dengan naluri dan fitrah kemanusiaan. Kemoderatan ini juga
yang membuat Islam dengan mudah diterima akal sehat dan nalar manusia. Diakui
atau tidak, nilai-nilai kemoderatan inilah yang menjadi lambang supremasi universalitas
ajaran Islam sebagai agama penutup, yang mengabolisikan ajaran Yahudi yang
memiliki tendensi ekstremis dengan membunuh para Nabi dan Rasul yang Allah utus
kepada mereka,[27]
sedangkan ajaran Nasrani memiliki tendensi eksesif dengan menuhankan Nabi Isa
al-Masih dan lain-lain.[28]
Dari kemoderatan inilah konsepsi-konsepsi
kemasyarakatan yang asasi diturunkan menjadi konsep yang utuh dalam membangun
masyarakat Madinah yang solid dan memegang teguh nilai-nilai dan norma
keislaman. Konsep-konsep kemasyarakatan tersebut adalah keamanan, keadilan,
konsistensi, kesolidan, superioritas, dan kesentralan.[29]
Konsep integral inilah yang kemudian merasuk ke alam bawah sadar setiap
masyarakat madinah yang diiringi dengan aktualisasi konsep tersebut secara
multidimensi, sehingga lambat laun konsep tersebut menjadi identitas eternal
keislaman yang diajarkan Rasulullah di Madinah dan menjadi masyarakat
percontohan bagi siapa saja yang datang setelahnya.
Dalam hal ini Sayyid Quthb dalam bukunya al-Salâm
al-ʻÂlamy wa al-Islâmy mengamini bahwa keseimbangan sosial
(al-tawâzun al-ijtimâʻiy) merupakan fondasi utama guna mewujudkan keadilan
sosial (al-ʻadâlah al-ijtimâʻiyah) di tengah-tengah masyarakat. Nilai
keseimbangan sosial ini dalam tahapannya menjadi tolak ukur untuk mewujudkan
ketenteraman dan kedamaian di dalam kehidupan bermasyarakat dalam konteks
pembangunan masyarakat madani.[30]
3.
Islam yang
Toleran
Kata toleran merupakan terjemahan dari al-samâhah
atau al-tasâmuh yang merupakan sinonim dari kata al-tasâhul
atau al-luyûnah yang berarti keloggaran, kemudahan, fleksibelitas, dan
toleransi itu sendiri.[31]
Kata 'toleran' di dalam ajaran Islam memiliki dua pengertian, yaitu yang
berkaitan dengan panganut agama Islam sendiri (Muslim), dan berkaitan dengan penganut
agama lain (Nonmuslim).
Jika dikaitkan dengan kaum Muslimin, maka
toleran yang dimaksud adalah kelonggaran, kemudahan, dan fleksibelitas ajaran
Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Sebab
pada hakikatnya, ajaran Islam telah dijadikan mudah dan fleksibel untuk
dipahami maupun diaktualkan. Sehingga Islam sebagai rahmatan li al-ʻâlamîn
benar-benar dimanifestasikan di dalam konteks masyarakat Madinah pada masa
Rasulullah.
Untuk itu, sebagai konsekuensi logis dari
Islam sebagai rahmatan li al-ʻâlamîn yang shâlih li
kulli zamân wa makân, maka substansi ajaran Islam harus benar-benar mudah
dipahami dan fleksibel untuk diaplikasikan. Sehingga di dalam perjalanannya,
banyak didapati teks-teks al-Qur’an dan Hadis yang menyinggung masalah
tersebut. Allah berfirman, "Allah tidak membebani seseorang hamba,
melainkan pembebanan tersebut sesuai dengan kesanggupannya."[32]
Demikian juga teks al-Qur'an yang mengatakan, "Allah hanya menghendaki
kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesukaran sedikit pun."[33]
Maka tatkala ajaran Islam memiliki konsekuensi untuk kompatibel dengan fitrah
dan kondisi manusia, Allah pun mengetahui sifat lemah pada diri manusia
sehingga Ia mengatakan, "Allah hanya menghendaki keringanan untuk
kalian, dan manusia telah diciptakan dalam keadaan lemah."[34]
Adapun teks-teks dari Hadis mengenai
keringanan dan kemudahan tersebut dapat dilihat tatkala Nabi hendak mengutus Muʻadz
dan Abu Musa ke negeri Yaman, dalam hal ini Nabi berpesan, "Permudahlah,
jangan mempersulit."[35]
Masih dalam konteks yang sama, Nabi bahkan mengafirmasi bahwa ajaran agama
Islam memang penuh dengan kemudahan dan fleksibelitas.[36]
Di samping itu, Aisyah pernah bercerita tentang tabiat sang Nabi yang senang
dengan kemudahan dan fleksibelitas, ia mengatakan, "Tidak pernah Nabi
diberi pilihan kecuali ia memilih yang paling mudah di antaranya, asalkan tidak
ada larangan untuk hal tersebut."[37]
Inilah bentuk kemudahan dan fleksibelitas
ajaran Islam, dan tentu masih banyak teks-teks al-Qur’an dan Hadis yang menjadi
bukti eternal betapa ajaran Islam sangat mencintai kemudahan, kasih sayang, dan
kedamaian bagi para pemeluknya, maupun terhadap mereka yang berbeda agama, sebagai
upaya mewujudkan tatanan kehidupan masyarakat yang memegang teguh nilai-nilai
dan norma keislaman. Sehingga ajaran Islam yang mengarahkan kepada kekerasan
dan sikap kompulsif tidak akan didapati sedikit pun, kecuali pada dua hal; pertama,
ketika berhadapan dengan musuh di dalam peperangan, bahkan Allah memerintahkan
untuk bersikap keras, berani, dan pantang mundur.[38]
Hal tersebut diperintahkan sebagai bentuk konsekuensi dari keadaan yang tidak
memungkinkan untuk bersikap lunak dan lemah lembut, agar totalitas berperang
benar-benar tejaga, untuk meraup kemenangan yang gemilang. Kedua, sikap
kompulsif dalam menegakkan dan mengaktualkan hukuman syariat tatkala dilanggar.
Dalam hal ini Allah tidak menghendaki adanya rasa iba hati dan belas kasih,
sehingga hukuman tersebut urung diaktualkan.[39]
Sikap kompulsif ini tiada lain merupakan upaya untuk menghindari penyebab
terganggunya konstelasi kehidupan bermasyarakat yang bermartabat dan menjunjung
tinggi nilai-nilai dan norma kemanusiaan.
Pada tataran aplikasi realnya, jika kita
cermati hukum-hukum Islam seperti salat, zakat, puasa, haji, dan lain-lain,
kita akan mendapati kemudahan dan fleksibelitas di sana. Kita juga akan
mendapati berbagai indikasi augmentatif yang—secara tidak langsung—mengukuhkan
eksistensi setiap anggota masyarakat sebagai khalifah di muka bumi, baik aspek
personal maupun sosial, seperti peningkatan mutu kepribadian seseorang, baik
yang berbentuk konkret maupun abstrak; atau perintah untuk membangkitkan
kepekaan sosial yang dibangun atas dasar persaudaraan, egalitarianisme, dan
solidaritas.[40]
Karena itu, dalam perjalanan sejarahnya syariat Islam tidak pernah menghambat
laju peradaban. Islam justru selalu mendorong umat manusia untuk melakukan
inovasi demi kemaslahatan manusia banyak.[41]
Islamlah yang senantiasa menyeru umat manusia untuk tekun menuntut ilmu dan
melakukan berbagai kegiatan ilmiah guna menunjang eksistensi mereka di dunia
ini.[42]
Sedangkan jika kata toleran dikatikan dengan
Nonmuslim, maka yang dimaksud adalah nilai-nilai toleransi yang dipahami oleh
khalayak pada umumnya. Dalam hal ini, ajaran Islam sangat menghargai perbedaan keyakinan.
Mereka yang berbeda keyakinan akan mendapatkan hak-hak dan kewajiban yang sama
sebagai warga negara. Dengan kata lain, Islam benar-benar menjamin keselamatan
dan keamanan jiwa raga mereka, selama mereka mematuhi ketentuan-ketentuan yang
telah disepakati bersama. Darah mereka haram ditumpahkan sebagaimana darah kaum
Muslimin. Allah berfirman, "Janganlah
kalian membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan ketentuan yang
sesuai."[43]
Rasulullah juga bersabda, "Barang
siapa yang membunuh dzimmi (Nonmuslim yang hidup di daerah kaum Muslimin
dengan ketentuan yang telah disepakati) tanpa alasan yang jelas, maka Allah
mengharamkan baginya masuk surga."[44]
Umar Abdul Aziz Quraisyi menjelaskan bahwa sikap
toleran Islam terhadap penganut agama lain dibangun atas empat dasar: pertama,
dasar nilai-nilai keluruhan sebagai sesama manusia, meskipun dari beragam
agama, etnis, dan kebudayaan[45];
kedua, dasar pemikiran bahwa perbedaan agama merupakan kehendak Allah semata;[46]
ketiga, dasar pemikiran bahwa kaum Muslim tidak berhak sedikit pun untuk
menjustifikasi kecelakaan mereka yang berlainan keyakinan selama di dunia,
karena hal itu merupakan hak prerogatif Allah di akhirat kelak; sedangkan keempat
adalah pemikiran bahwa Allah memerintahkan
manusia untuk berbuat adil dan berakhlak mulia, meskipun terhadap mereka yang
berlainan agama.[47]
SIMPULAN
Dengan demikian, ketiga karakteristik Islam
yang diaktualkan oleh Rasulullah pada
masyarakat Madinah benar-benar menjadi manifestasi Islam sebagai rahmatan
li al-ʻâlamîn. Dari ketiga karakteristik inilah prinsip-prinsip agung Islam
diturunkan, dan dijadikan sebagai dasar konstitusi untuk membangun masyarakat
madani dalam perspektif Islam. Pada akhirnya, masing-masing karakteristik
tersebut memiliki keistimewaan dan peran tersendiri dalam upaya untuk membangun
tatanan masyarakat madani. Jika karakter yang pertama dan kedua berfungsi untuk
menyolidkan barisan intern kaum Muslimin, maka karakteristik yang ketiga, selain
mengukuhkan, juga berfungsi untuk merangkul segenap pemeluk agama lain untuk
sama-sama membangun tatanan masyakarat yang menjunjung nilai-nilai peradaban
dan kemajuan, dengan orientasi kulminatik yaitu orientasi rabbani.
Sehingga titik akhir dari diskursus ini adalah bahwasanya karakteristik
masyarakat Madinah yang paling fundamental adalah masyarakat yang memegang
teguh prinsip agung Islam.
Selanjutnya apa yang yang telah dipaparkan
dalam diskursus ini hanyalah secuil dari apa yang semestinya harus dinarasikan
guna mengungkap hakikat Islam yang telah lama luput atau memang sengaja
dibiaskan agar jejaknya hilang dimakan zaman. Berbagai cara dilakukan untuk
mengaburkan konsep Tuhan yang Maha Sempurna untuk mengatur tatanan umat
manusia, dengan memutarbalikkan konsepsi Tuhan dengan konsep buatan manusia
yang dicetuskan di Barat maupun yang lain. Bahkan tidak hanya itu, berbagai
tuduhan dan pelecehan dilemparkan kepada konsepsi Tuhan (dalam konteks akidah,
syariat, dan muamalahnya) sebagai upaya untuk meredupkan riak-riaknya di
berbagai belahan bumi. Apalagi khalayak semakin dipersulit untuk mendapatkan
penjelasan yang sebenarnya mengenai konsep Tuhan tersebut, dengan berpangkunya
khalayak pada cendekiawan-cendekiawan muslim imitatif dan hegemoni media-media
massa yang—di dalam pemberitaannya—memiliki tendensi untuk mereduksi
nilai-nilai dan norma kehidupan.
Lantas bagaimanakah seyogianya seorang muslim
bersikap dalam menghadapi tuduhan miring terhadap agamanya tersebut? Mengenai
hal ini, Umar Abdul Aziz Quraysyi mengatakan bahwa satu-satunya cara adalah
menjelaskan kepada khalayak hakikat Islam yang sesungguhnya dan mengklarifikasi
semua hal yang selama ini dianggap tabu mengenai Islam. Allah berfirman kepada
Nabi, "Kami menurunkan al-Qur'an kepadamu agar kamu menjelaskan kepada
manusia apa yang telah diturunkan kepada
mereka dan supaya mereka berpikir."[48]
Adapun mengenai sikap defensif, maka hal tersebut tidak dibenarkan oleh wahyu
maupun nalar manusia. Sebab konsepsi Tuhan sama sekali tidak butuh pada
pembelaan manusia. Bahkan hal tersebut bisa mereduksi esensi akidah jika
terbesit dalam keyakinan, kalau konsepsi Tuhan butuh pembelaan terhadap apa
yang dilontarkan manusia.[49]
Jadi inilah upaya penulis dalam rangka ikut serta menjelaskan hakikat Islam
kepada khalayak mengenai konsepsi masyarakat madani. Akhirnya penulis hanya
bisa meminjam perkataan Nabi Syuʻayb yang diabadikan oleh Allah di dalam surat
Hûd ayat 88, "Aku tidak bermaksud kecuali mendatangkan kebaikan
semampuku. Dan tidak ada taufik bagiku kecuali dengan pertolongan Allah. Hanya
kepada-Nya aku bertawakkal dan kembali."
(Artikel ini dimuat di Jurnal HIMMAH PPMI Mesir volume 7, nomor 2, Agustus 2012)
DAFTAR PUTAKA
- Al-Abrasyi, Muhammad Athiyah. 2002. ʻAzhamah al-Islâm. Kairo: Maktabah al-Usrah.
- Al-ʻArabiyah. Majma’ al-Lughah. 2010. al-Muʻjam al-Wasîth. Kairo: Maktabah al-Syurûq al-Dawliyah.
- Al-Fayruzabadi, Muhammad. 2010. al-Qâmûs al-Muhîth. Kairo: Mu’assasah al-Mukhtâr.
- Al-Mabarkafury, Shafy al-Rahman. 2008. al-Rahîq al-Makhtûm. Kairo: Dâr al-Wafâ.
- Al-Qaradhawi, Yusuf. 2008. al-Khashâ’ish al-ʻAmmah li al-Islâm. Kairo: Maktabah Wahbah.
- ________. 2007. al-Dîn wa al-Siyâsah; Ta'shîl wa Radd Syubhât. Kairo: Dâr al-Syurûq.
- Al-Sirjany, Raghib. 2010. Fann al-Taʻâmul al-Nabawy maʻa ghayri al-Muslimîn. Kairo: Dâr Aqlâm.
- Amin, Ahmad. 2009. Fajr al-Islâm. Kairo: Dâr al-Syurûq.
- Anon. 2012. "Masyarakat Madani". http://rully-indrawan.tripod.com/rully01.htm (dikunjungi 19 Maret 2012).
- Anon. 2012. Kamus Besar Bahasa Indonesia Offline. http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi (dikunjungi 19 Maret 2012).
- Basya, Ahmad Fuʼad. 2005. "Muqaddimah Nazhariyyah al-Hadhârah fi al-Islâm" dalam Mawsûʻah al-Hadhârah al-Islâmiyyah. Kairo: Wizârah al-Awqâf.
- Hidayat, Mansur. 2008. "Ormas Keagamaan dalam Pemberdayaan Politik Masyarakat Madani" dalam Jurnal Komunitas, Vol. 4 (1) 2008, hal. 10-13.
- ʻImarah, Muhammad. 2010. al-Samâhah al-Islâmiyah wa Huqûq al-Insân. Kairo: Dâr al-Salâm.
- Jamaluddin, Muhammad. 2011. "Konsep Negara Ideal dalam Persperktif Islam" dalam Jurnal Himmah PPMI Mesir, Vol. 6 (1), hal. 3-22.
- Katsir, Ibnu. 2003. Tafsîr al-Qur’ân al-ʻAzhîm. Kairo: Dâr al-Hadîts.
- Khaldun, Ibnu. 2008. Muqaddimah Ibn Khaldûn. Kairo: Dâr al-ʻAqîdah.
- Quraysyi, Umar Abdul Aziz. 2011. Samâhah al-Islâm. Kairo: Dâr al-Salaf al-Shâlih.
- Quthb, Sayyid. 2010. al-Salâm al-ʻÂlamy wa al-Islâmy. Kairo: Dâr al-Syurûq.
- Thanthawi, Muhammad Sayyid. tt. Tafsîr al-Wasîth li al-Qur’ân al-Karîm. Kairo: Dar al-Saʻâdah.
[1]
Sesuai dengan beberapa ayat di dalam
al-Qur'an, di antaranya surat al-Baqarah ayat 30.
[2]
Sebagaimana firman Allah dalam al-Qur'an surat
al-Rûm ayat 30.
[3]
Sebagaimana firman Allah dalam
surat al-Anbiyâʼ ayat 107.
[4]
Kamus Besar Bahasa Indonesia.
[5] Muhammad Jamaluddin, Konsep Negara Ideal
dalam Perspektif Islam, (Jurnal HIMMAH, vol. 7, no. 1, Februari 2012), hal.
15.
[6]
"Masyarakat
Madani", http://rully-indrawan.tripod.com/rully01.htm (dikunjungi 19 Maret 2012).
[7]
Muhammad Jamaluddin, Loc.Cit.,
16.
[8]
Mansur Hidayat, Ormas Keagamaan
dalam Pemberdayaan Politik Masyarakat Madani, (Jurnal Komunitas, vol. 4,
no. 1, Juni 2008), hal. 10-13.
[9]
Ahmad Fu'ad Basya,
Muqaddimah Nazhariyyah al-Hadhârah fi al-Islâm (ed), Mawsûʻah al-Hadhârah
al-Islâmiyyah, (Kairo: Wizârah al-Awqâf, 2005), hal. 15.
[10]
Mansur Hidayat, Loc.Cit.,
10.
[11]
Ibid, 12.
[12]
Shafy al-Rahman
al-Mabarkafury, al-Rahîq al-Makhtûm, (Kairo: Dâr al-Wafâ, cet.
XXI, 2010), hal. 162. Lihat juga Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldûn,
(Kairo: Dâr al-`Aqîdah, 2008), hal. 387.
[13]
Kedelapan suku tersebut merupakan
kesimpulan dari suku-suku yang disebutkan di dalam Traktat Madinah. Untuk lebih
jelasnya, silakan merujuk Muhammad ʻImarah, al-Samâhah
al-Islâmiyah wa Huqûq al-Insân, (Kairo: Dâr al-Salâm, 2010), hal.
67-71.
[14]
Shafy al-Rahman
al-Mabarkafury, Op.Cit., 169-171.
[15]
Ahmad Amin, Fajr al-Islâm
(ed), (Kairo: Dâr al-Syurûq, 2009), hal. 50.
[16]
Yusuf al-Qaradhawi, al-Khashâ’ish
al-ʻAmmah li al-Islâm, (Kairo: Maktabah Wahbah, cet. VII, 2008), hal. 52.
[17] Untuk lebih jelasnya lihat Umar Abdul Aziz
Quraysyi, Samâhah al-Islâm, (Kairo: Dâr al-Salaf al-Shâlih,
cet. VI, 2011), hal. 34-37.
[18]
(Q.S.
al-Rûm: 30).
[19]
Muhammad Athiyah al-Abrasyi,
ʻAzhamah al-Islâm, (Kairo: Maktabah al-Usrah, 2002), vol. 1, hal. 21-22.
[20]
Yusuf al-Qaradhawi, Op.Cit.,
70.
[21]
Ibid, 81.
[22]
Di antara kelebihan yang diberikan
Allah kepada manusia adalah perihal manusia sebagai makhluk yang mulia dan
paling sempurna, dijadikan sebagai Khalifah di muka bumi, diberikan izin untuk
mengeksploitasi bumi seisinya, diberikan berbagai macam kenikmatan baik yang
konkret maupun yang abstrak, diutusnya para Rasul kepada manusia, berikut
kitab-kitab suci yang mengirinya, dikaruniai akal, dan lain-lain. Untuk lebih
jelasnya, silakan lihat Yusuf al-Qaradhawi, al-Dîn wa al-Siyâsah; Ta'shîl wa
Radd Syubhât (ed), (Kairo: Dâr al-Syurûq, 2007), hal.190.
[23]
Ayat ini menginstruksikan kepada manusia untuk
menggabungkan antara relasi vertikal dan relasi horizontal. Jika karakteristik
tersebut telah diaplikasikan secara sempurna oleh setiap masyarakat, maka akan
tumbuh masyarakat paripurna yang yang diidamkan-idamkan oleh setiap manusia (al-mujtama
al-kâmil al-mansyûd). Lihat, Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Op.Cit.,
38-41.
[24] Majma’ al-Lughah al-ʻArabiyah,
al-Muʻjam al-Wasîth, (Kairo: Maktabah al-Syurûq al-Dawliyah, cet.
V, 2010), hal. 1074. Lihat juga Yusuf al-Qaradhawi, al-Khashâʼish al-ʻAmmah
li al-Islâm, hal. 115. Begitu juga al-Fayruzabady, al-Qâmûs al-Muhîth,
(Kairo: Mu'assasah al-Mukhtâr, cet. II, 2010), hal. 640.
[25]
Sebagaimana Allah berfirman kepada umat Islam, "Dan
demikianlah Kami telah menjadikan kalian—wahai umat Islam—sebagai umat yang
moderat agar kalian menjadi saksi atas perbuatan manusia, demikian pula
Rasulullah menjadi saksi atas perbuatan kalian." (QS. al-Baqarah ayat
143).
[26]
Shahîh Muslim no.
2720.
[27]
Sebagaimana Allah menceritakan di
dalam berbagai ayat perihal kaum Yahudi yang membunuh para Nabi dan Rasul yang
diutus kepada mereka, di antaranya surat al-Baqarah ayat 61.
[28]
Sesuai dengan interpretasi para
ulama terhadap surat al-Mâ’idah ayat 116. Lihat Ibnu Katsir, Tafsîr
al-Qur’ân al-ʻAzhîm, (Kairo: Dâr al-Hadîts, 2003), vol. 2, hal. 151. Begitu
juga Muhammad Sayyid Thanthawy, Tafsîr al-Wasîth li al-Qurʼân
al-Karîm, (Kairo: Dâr al-Saʻâdah, tt), vol. 4, hal. 348.
[29]
Yusuf al-Qaradhawi, al-Khashâʼish
al-ʻAmmah li al-Islâm, Op.Cit., 119-122.
[30]
Sayyid Quthb, al-Salâm al-ʻÂlamy
wa al-Islâmy, (Kairo: Dâr al-Syurûq, cet. XV, 2010), hal. 129.
[31]
al-Fayruzabady, Op.Cit.,
197. Lihat juga Majma` al-Lughah al-ʻArabiyah, Op.Cit., 465.
[32]
(Q.S.
al-Baqarah: 286).
[33]
(Q.S.
al-Baqarah: 185).
[34]
(Q.S.
al-Nisâʼ: 28).
[35]
Shahîh al-Bukhâri no.
6124.
[36]
Ibid, no. 39.
[37]
Ibid, no. 6126.
[38] Lihat substansi firman Allah pada surat
al-Tawbah ayat 153.
[39]
Lihat substansi firman Allah dalam
surat al-Nûr ayat 2.
[40]
Umar Abdul Aziz Quraysy, Op.Cit.,
34.
[41] Lihat misalnya surat al-Tawbah ayat 105.
Begitu juga seruan agar terus bekerja guna menyeimbangkan kehidupan dunia dan
akhirat dalam surat al-Qashash ayat 77 dan surat al-Jumuʻah ayat 10.
[42]
Lihat misalnya surat al-Mujâdilah
ayat 11, al-Zumar ayat 9, dan al-Anʻâm ayat 50.
[43]
(Q.S.
al-Anʻâm: 151).
[44]
Raghib al-Sirjany, Fann al-Taʻâmul
al-Nabawy maʻa Ghayri al-Muslimîn, (Kairo: Dâr Aqlâm, cet. II, 2010), hal.
22.
[45]
Lihat surat al-Isrâ' ayat 70.
[46]
(Q.S.
Yûnus: 99).
[47]
Umar Abdul Aziz Quraysyi, Op.Cit.,
109-111.
[48]
(Q.S.
al-Nahl: 44).
[49]
Umar Abdul Aziz Quraysyi (ed), Op.Cit.,
133.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar