Telah dijelaskan pada tulisan sebelumnya bahwa aksiologi adalah ilmu
pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai yang ditinjau dari sudut
kefilsafatan (Kattsoff, 1992:327) atau studi tentang hakikat tertinggi,
realitas, dan arti dari nilai-nilai (Sarwan, 1984:22). Penerapan
aksiologi sebagai nilai-nilai dalam dunia pendidikan dapat dikemukakan
sebagai berikut:
1. Aliran filsafat progressivisme telah memberikan sumbangan yang besar
terhadap dunia pendidikan karena meletakkan dasar-dasar kemerdekaan, dan
kebebasan kepada anak didik, (Hamdani, 1993:146). Oleh karena itu,
filsafat ini tidak menyetujui pendidikan yang otoriter. Sebab pendidikan
otoriter akan mematikan potensi pebelajar untuk mengembangkan
potensinya.
Untuk itu pendidikan sebagai alat untuk memproses dan merekonstruksi
kebudayaan baru yang memberikan warna dan corak dari kreasi yang
dihasilkan dari situasi yang tercipta secara edukatif.
Setiap pebelajar mempunyai akal dan kecerdasan sebagai potensi yang
dimilikinya yang berbeda dengan makhluk-makhluk lain. Potensi tersebut
bersifat kreatif dan dinamis untuk memecahkan problema-problema yang
dihadapinya.
Sekolah yang ideal adalah sekolah yang pelaksanaan pendidikannya
terintegrasi dengan lingkungannya. Sekolah adalah bagian dari
masyarakat, sehingga harus diupayakan pelestarian karakteristik
lingkungan sekolah atau daerah tempat sekolah itu berada dengan prinsip learning by doing (belajar dengan berbuat). Tegasnya, sekolah bukan hanya berfungsi sebagai transfer of knowledge (pemindahan pengetahuan), melainkan juga sebagai transfer of value (pendidikan nilai-nilai) sehingga anak menjadi terampil dan berintelektual.
2. Aliran essensialisme berpandangan bahwa pendidikan harus berpijak
pada nilai-nilai budaya yang telah ada sejak awal peradaban manusia.
Kebudayaan yang diwariskan kepada kita telah teruji oleh seluruh zaman,
kondisi, dan sejarah. Kesalahan kebudayaan modern sekarang menurut
aliran ini ialah cenderung menyimpang dari nilai-nilai yang diwariskan
itu (Sahabuddin, 1997:191).
Esessialisme memandang bahwa seorang pebelajar memulai proses
pendidikannya dengan memahami dirinya sendiri, kemudian bergerak keluar
untuk memahami dunia objektif. Dari mikrokosmos menuju makrokosmos.
Dengan landasan pemikiran tersebut, maka belajar dapat didefinisikan
sebagai jiwa yang berkembang pada dirinya sendiri.
3. Aliran perenialisme berpandangan bahwa pendidikan sangat dipengaruhi
oleh pandangan tokoh-tokoh seperti Plato, Aristoteles, dan Thomas
Aquinas. Menurut Plato manusia secara kodrati memiliki tiga potensi
yaitu nafsu, kemauan, dan pikiran. Pendidikan hendaknya berorientasi
pada potensi itu dan kepada masyarakat, agar kebutuhan yang ada pada
setiap lapisan masyarakat dapat terpenuhi. Sedangkan Aristoteles lebih
menekankan pada dunia kenyataan. Tujuan pendidikan adalah kebahagian
untuk mencapai tujuan itu, maka aspek jasmani, emosi dan intelektual
harus dikembangkan secara seimbang.
Menurut Robert Hutchkins dalam (Jalaluddin, 1997:96) bahwa manusia adalah animal rasionale,
maka tujuan pendidikan adalah mengembangkan akal budi agar seseorang
dapat hidup penuh kebijaksanaan demi kebaikan hidup itu sendiri.
4. Aliran rekonstruksionisme ingin merombak kebudayaan lama dan
membangun kebudayaan baru melalui lembaga dan proses pendidikan.
Perubahan ini dapat terwujud bila melalui usaha kerja sama semua umat
manusia atau bangsa-bangsa. Masa depan umat manusia adalah suatu dunia
yang diatur dan diperintah oleh rakyat secara demokratis, bukan dunia
yang dikuasai oleh suatu golongan. Cita-cita demokrasi yang sebenarnya
bukan hanya dalam teori melainkan harus menjadi kenyataan, dan
terlaksana dalam praktik. Hanya dengan demikian dapat pula diwujudkan
satu dunia yang dengan potensi-potensi teknologi mampu meningkatkan
kesehatan, kesejahteraan, kemakmuran, keamanan, dan jaminan hukum bagi
masyarakat, tanpa membedakan warna kulit, nasionalitas, kepercayaan, dan
agama. (Sahabuddin, 1987:194).
Pendidikan bertujuan untuk mewariskan nilai-nilai yang dipandang penting
untuk pembinaan kepribadian seseorang. Implikasi dan nilai-nilai
(aksiologi) di dalam pendidikan harus diintegrasikan secara utuh dalam
kehidupan pendidikan secara praktis dan tidak dapat dipisahkan dengan
nilai-nilai yang meliputi kecerdasan, nilai-nilai ilmiah, nilai moral,
dan nilai agama. Hal ini tersimpul di dalam tujuan pendidikan, yakin
membawa kepribadian secara sempurna. Pengertian sempurna disini
ditentukan oleh masing-masing pribadi, masyarakat, bangsa sesuai situasi
dan kondisi.
Kepustakaan:
Ali, Hamdani. 1993. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Kota Kembang
Jalaluddin dan Abdullah Idi. 1997. Filsafat Pendidikan. Jakarta: Baya Madya Pratama
Kasttoff, Louis O. 1992. Element of Philosophy diterjemahkan oleh Soejono Soemargono dengan judul Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana
Sahabuddin. 1997. Filsafat Pendidikan suatu Pengantar ke dalam Pemikiran, Pemahaman, dan Pengamalan Pendidikan Bersendikan Filsafat. Ujung Pandang. Program Pascasarjana IKIP
Sarwan, HB. 1994. Filsafat Agama. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Ali, Hamdani. 1993. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Kota Kembang
Jalaluddin dan Abdullah Idi. 1997. Filsafat Pendidikan. Jakarta: Baya Madya Pratama
Kasttoff, Louis O. 1992. Element of Philosophy diterjemahkan oleh Soejono Soemargono dengan judul Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana
Sahabuddin. 1997. Filsafat Pendidikan suatu Pengantar ke dalam Pemikiran, Pemahaman, dan Pengamalan Pendidikan Bersendikan Filsafat. Ujung Pandang. Program Pascasarjana IKIP
Sarwan, HB. 1994. Filsafat Agama. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar