1. Pendahuluan.
Gagasan, pandangan, dan kajian tentang masalah apa pun pada saat ini cenderung menggunakan berbagai pendekatan. Hal ini dimaksudkan agar pemecahan masalah itu didasari oleh pengetahuan yang holistik, sehingga pemecahannya bisa lebih tuntas, tidak terkecuali juga dalam memecahkan masalah-masalah dalam bidang pendidikan (Sudomo. 1989).
Pendidikan sebagai fenomena hidup berkaitan erat dengan bidang-bidang lainnya, seperti politik, ekonomi, hukum, sosial, dan budaya, termasuk kependudukan dan ketenagakerjaan (John, 1983., Suryadi dan Tilaar. 1993., Pidarta, 1997.). Hubungan fungsional antara pendidikan dengan faktor eksternal itu demikian eratnya, dengan demikian faktor eksternal itu seharusnya merupakan sumber aspirasi yang paling utama dalam melaksanakan perubahan dan pembaharuan sistem pendidikan. Dengan kata lain, berjalannya suatu sistem pendidikan tidak boleh lepas dari perubahan-perubahan yang terjadi dalam berbagai bidang kehidupan tersebut.
Demikian pula, misalnya, bidang ekonomi tidak dipertentangkan dengan pendidikan oleh para ahli, tetapi justru pendidikan dipandang sebagai sumber daya kemajuan ekonomi suatu masyarakat, begitu juga sebaliknya, kemajuan pendidikan memerlukan dukungan ekonomi yang kuat (Sudomo.1989). Bahkan pendidikan itu dalam bidang ekonomi dianggap sebagai human cavital (Cohn. 1979., Becker 1975., Psacharopoulus. 1987., John , dkk. 1975., Bloug. 1970), di samping juga sebagai investasi yang essensial bagi pertumbuhan ekonomi (Vembriarto, 1993).
Faktor biaya memegang peranan yang sangat penting dalam pembangunan pendidikan. Penyadaran akan pentingnya biaya pendidikan itu tidak saja dirasakan pada saat presiden atau pemerintah menetapkan besarnya biaya pembangunan pendidikan pada setiap tahun dalam APBN, tetapi sebenarnya pemikiran-pemikiran seperti itu akan muncul pada saat memikirkan bagaimana meningkatkan pembangunan bidang pendidikan, terutama yang terkait dengan masalah mutu, pemerataan, efisiensi dan relevansi pendidikan. Semua pemikiran ini akan selalu dikaitkan dengan aspek biaya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kuatnya keadaan ekonomi suatu negara akan berpengaruh secara langsung atau tidak langsung terhadap pengalokasian sumber biaya pendidikan maupun terhadap kebijakan yang akan diambil dan dilaksanakan oleh suatu negara dalam bidang pendidikannya, seperti: Australia, Perancis, Jepang dan Swedia (Hough.1984). Demikian juga negara-negara di Asia yang selama beberapa tahun belakangan ini telah menginvestasikan sejumlah dana yang cukup besar untuk sektor pendidikan (Ramelan. 1997). Dengan demikian, maka biaya pendidikan merupakan faktor masukan yang sangat penting dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan, dan menjalankan fungsi pendidikan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Melihat sangat pentingnya peranan biaya pendidikan dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan di satu sisi, sedangkan di sisi yang lain masih banyaknya orang yang belum mengenal dan memahami kompleksitas biaya pendidikan, maka tulisan ini akan menyajikan beberapa aspek dari kompleksitas biaya pendidikan. Pertanyaan-pertanyaan yang dibahas antara lain: apakah biaya pendidikan; apakah yang menjadi dasar hukum pengadaan biaya pendidikan; siapakah yang menanggung biaya pendidikan; bagaimanakah jenis-jenis biaya pendidikan, bagaimanakah manfaat biaya dalam meningkatkan mutu pendidikan.
2. Biaya Pendidikan dan Beberapa Aspek Permasalahannya
Biaya didefinisikan sebagai nilai besar dana yang diperkirakan perlu disediakan pada proyek kegiatan tertentu (Gaffar.1987). Sehubungan dengan pengertian biaya tersebut, maka pembahasan biaya pendidikan akan mengacu kepada dimensi penerimaan dan dimensi alokasi dana. Dimensi penerimaan terkait dengan beberapa sumber biaya pendidikan dari pemerintah, masyarakat, dan orang tua murid. Dimensi alokasi menyangkut dimensi pendistribusian anggaran untuk menunjang berbagai program dan kegiatan pendidikan.
Penerimaan biaya pendidikan di negara kita sebagai konsekuensi logis dari pelaksanaan pendidikan sesuai dengan amanat yang terdapat pada pembukaan UUD 1945, demikian pula batang tubuhnya, khususnya dalam pasal 31, yang kemudian secara lebih jelas diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 yang mengatur tentang sistem pendidikan nasional, terutama dalam pasal 36 dalam ayat 1, 2 dan 3 adalah sebagai berikut:
Pada ayat 1 disebutkan biaya penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah menjadi tanggungjawab pemerintah, pada ayat 2 disebutkan biaya penyelenggaraan kegiatan pendidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat menjadi tanggungjawab badan/perorangan yang meyelenggarakan satuan pendidikan. Kemudian pada ayat 3 disebutkan bahwa pemerintah dapat memberi bantuan kepada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Berdasarkan uraian sumber biaya pendidikan seperti yang dikutipkan di atas, maka dapat diketahui bahwa biaya pendidikan di Indonesia bersumber dari pemerintah, badan-badan tertentu, dan perorangan sebab, pada dasarnya, pendidikan dilihat dari segi pelaksanaannya dan pembiayaannya, merupakan tanggungjawab bersama antara keluarga, masyarakat, dan pemerintah.
Dalam sistem penyelenggaraan pendidikan yang merupakan tanggungjawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah ini, disebutkan bahwa biaya pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah menjadi tanggungjawab pemerintah, ini bukan berarti bahwa peserta didik bebas dari kewajiban membayar biaya pendidikan, tetapi justru ikut menanggung biaya yang jumlahnya ditetapkan menurut kemampuan orang tua atau wali peserta didik.
Namun demikian, pada jenjang pendidikan yang dikenai ketentuan wajib belajar, pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, biaya penyelenggaraannya merupakan tanggungjawab pemerintah, sehingga peserta didik seharusnya tidak dikenai kewajiban untuk ikut menanggung biayanya. Jadi, sesuai dengan ketentuan wajib belajar, peserta didik untuk di tingkat sekolah dasar dan sekolah menengah pertama seharusnya tidak dikenai biaya-biaya yang lainnya. Ini sesuai dengan Undang-Undang no. 2 tahun 1989 bahwa ketentuan wajib belajar di negara kita sampai pada sekolah menengah tingkat pertama. Dalam hubungan ini, setiap warganegara Indonesia wajib menyelesaikan pendidikannya sampai pada tingkat sekolah menengah pertama.
Pandangan bahwa pendidikan merupakan tanggungjawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah itu, sesungguhnya tidak hanya menyangkut masalah biaya saja, tetapi termasuk aspek yang lainnya, seperti keluarga memasukkan anak ke lembaga pendidikan, membayar biaya pendidikan, memberikan dorongan, menciptakan iklim yang kondusif bagi perkembangan jiwa raga. Demikian juga iklim tentang kondusif. Yang dimaksudkan adalah keluarga seharusnya memberikan istirahat yang cukup, rekreasi, memenuhi segala alat kebutuhan belajar, bimbingan belajar dan berprilaku yang baik kepada anak-anakmya (Rambing.1992., Surahmat.1992). Demikian pula tentang masyarakat. Yang dimaksudkan dalam hubungan ini adalah bisa perusahaan swasta, koperasi, yayasan sosial/pendidikan. Organisasi masyarakat memberikan bantuan untuk suatu pembangunan prasarana pendidikan, bantuan alat belajar, menyelenggarakan pendidikan, berbagai gagasan dalam media massa, berbagai kursus, bimbingan organisasi kemasyarakatan. Kemudian, pemerintah menyiapkan biaya rutin dan biaya pembangunan sektor pendidikan, pegawai negeri, kurikulum, peraturan-peraturan, kebijaksanaan dalam pembinaan, dan lain-lain.
Kemudian sisi lain dari biaya adalah dimensi alokasi, yaitu pendistribusian dana untuk menunjang program pendidikan. Dalam proses pelaksanan pendidikan dikenal biaya langsung dan tidak langsung (Anwar. 1990.). Ada juga yang mengklasifikasikan biaya pendidikan itu menjadi: direct and indirect cost, social cost and private cost, monetary and nonmonetary cost (Thomas. 1971).
Biaya langsung pendidikan adalah pengorbanan yang secara langsung berproses dalam produksi pendidikan dan meningkatkan mutu pendidikan, seperti gaji guru dan pegawai, pembelian buku, bahan-bahan perlengkapan seperti bangku kuliah, pembelian tanah, bangunan, laboratorium, dan hal-hal lain yang menyangkut penyelenggaraan pendidikan. Biaya langsung ini terwujud dalam pengeluaran uang yang manfaatnya benar-benar dirasakan oleh murid atau siswa. Biaya langsung ini ada dua macam, yaitu biaya langsung standar apabila biaya itu inheren dengan hasil, kuantitatif dapat dihitung, dan tidak dapat dihindarkan. Kemudian biaya langsung yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut, yang disebut dengan biaya penunjang, seperti belanja barang, inventaris kantor, langganan listrik, gas, air, kendaraan dan perjalanan dinas. Kemudian biaya tidak langsung adalah biaya yang menunjang siswa untuk dapat hadir di sekolah, yang di dalamnya mencakup biaya hidup, transpotasi dan lain-lainnya yang sulit dihitung karena tidak ada catatan resmi, sehingga biasanya tidak turut dihitung dalam perencanaan oleh para administrator.
Tentang biaya pendidikan ini, terutama pada tingkat pendidikan dasar dan menengah, juga telah diatur dalam Peraturan Pemerintah no. 28 tahun 1990 tentang pendidikan dasar, khususnya dalam pasal 26 ayat 2, dan dalam Peraturan Pemerintah no. 29 tahun 1990 tentang pendidikan menengah khususnya pasal 28 ayat 2, yang pada pokoknya mengatur bahwa pembiayaan itu menyangkut alokasi yang meliputi: (1) gaji guru, tenaga kependidikan lainnya, tenaga administrasi, (2) biaya pengadaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana, (3) biaya perluasan dan pengembangan, dan (4) biaya penyelenggaraan pendidikan.
Jenis biaya pendidikan lainnya yang disebut dengan social cost dan private cost dapat dijelaskan sebagai berikut. Social cost adalah biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat secara langsung yang bisa berupa uang sekolah, uang buku, dan biaya yang lainnya, dan yang tidak langsung bisa berupa pajak dan restribusi. Private cost adalah biaya yang dikeluarkan langsung oleh keluarga untuk membiayai sekolah anaknya, seperti uang sekolah, pembelian buku, dan biaya insidental lainnya.
Jenis biaya pendidikan yang terakhir adalah monetary cost dan nonmonetary cost. Monetary cost adalah biaya langsung dan tidak langsung yang dibayar oleh masyarakat dan individu, sedangkan nonmonetary cost adalah nilai pengorbanan yang tidak diwujudkan dengan pengeluaran uang seperti biaya yang diperhitungkan ketika seorang siswa tidak mengambil kesempatan waktu senggangnya untuk bersenang-senang, tetapi digunakan untuk belajar atau membaca buku.
Dari uraian di atas, nyatalah bahwa biaya pendidikan itu memiliki pengertian yang sangat luas, mencakup hampir segala pengeluaran yang bersangkutan dengan penyelenggaraan pendidikan. Tampaknya pengertian biaya pendidikan itu menurut pasal 36 (1), (2), (3) Undang-Undang no. 2 tahun 1989, adalah sebagai bagian dari sumberdaya pendidikan. Jadi, lebih jelasnya, menurut Undang-Undang no: 2 tahun 1989 ini, sumberdaya pendidikan itu mencakup: buku pelajaran, sumber belajar, dan biaya penyelenggaraan pendidikan.
3. Biaya Sebagai Masukan dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan
Upaya meningkatkan mutu pendidikan merupakan prioritas dalam pelaksanaan pembangunan pendidikan nasional di samping prioritas yang lainnya, yaitu penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, pendidikan untuk memacu penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan peningkatan relevansi melalui kebijaksanaan keterkaitan dan kesepadanan (Mendikbud RI. 1996).
Ada dua hal penting yang dapat dikemukakan berkenaan dengan upaya peningkatan mutu pendidikan, yaitu: (1) program-program peningkatan mutu pendidikan seharusnya merupakan bagian rencana induk yang lebih besar dan jangka panjang didasarkan pada suatu konsepsi yang jelas dapat dipahami oleh seluruh jajaran Depdiknas dan pihak-pihak yang berkepentingan, (2) dalam pelaksanaan peningkatan mutu pendidikan seharusnya diperhatikan situasi empiris dan kendala-kendala yang diperkirakan timbul, sehingga bersifat inovatif dan tidak mengulangi usaha yang sampai saat ini belum membawa keberhasilan. Oleh karena itu, program-program peningkatan mutu pendidkan supaya bersifat realistis dan tetap berdasarkan pada suatu konsep yang benar dan kuat.
Dalam rangka meningkatkan mutu semua jenis dan jenjang pendidikan, maka perhatian dipusatkan pada tiga faktor utama (Depdikbud. 1996), yaitu: (1) kecukupan sumberdaya pendidikan untuk menunjang proses pendidikan dalam arti kecukupan adalah tersedianya jumlah dan mutu guru, maupun tenaga kependidikan lainnya, buku teks, perpustakaan dan sarana prasarana belajar, (2) mutu proses pendidikan itu sendiri dalam arti kurikulum dan pelaksanaan pengajaran untuk mendorong para siswa belajar yang lebih efektif, dan (3) mutu output dari proses pendidikan dalam arti keterampilan dan pengetahuan yang diperoleh oleh siswa.
Bertitik tolak dari kutipan di atas, secara jelas disadari oleh Diknas bahwa faktor utama penentu mutu pendidikan berkaitan erat dengan masalah biaya. Jadi, pembahasan masalah-masalah sumberdaya pendidikan, sarana dan prasarana itu tidak lepas dari masalah biaya. Dalam hubungan ini, semakin besar jumlah biaya pendidikan itu akan lebih dimungkinkan untuk dapat meningkatkan mutu pendidikan. Oleh karena itu, apabila kita ingin meningkatkan mutu supaya lebih tinggi, maka dana pendidikan itu haruslah berlipat ganda. Ini sesuai dengan kenyataan, seperti misalnya pada perguruan swasta yang berkualitas baik, biasanya adalah perguruan swasta yang relatif tinggi biayanya, namun masih dalam batas kewajaran, mengingat biaya pendidikan di Indonesia dapat dikategorikan paling rendah di ASEAN (Suryadi dan Tilaar. 1993).
Hal lain yang menyadarkan bahwa faktor biaya pendidikan adalah penting dan strategis dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan adalah adanya kecendrungan pada setiap tahun anggaran biaya pendidikan secara nasional dalam APBN selalu meningkat beberapa tahun belakangan ini, bahkan peningkatan biaya pendidikan secara signifikan juga telah dilakukan pada tahun anggaran 2001/2002. Peningkatan pembiayaan pendidikan oleh pemerintah tersebut jelas tampak dari peningkatan biaya pendidikan pada setiap pelita. Kenaikan anggaran oleh pemerintah tersebut juga diikuti oleh adanya perubahan prioritas pada masing-masing program yang ada. Kalau, pada pelita III-IV persentase pembiayaan pendidikan untuk program sekolah dasar mendominasi anggaran pendidikan, yaitu sekitar 31,9 % dan 33,3 %, maka pada pelita V keadaan tersebut menurun menjadi 8,5 % dari seluruh biaya untuk sektor pendidikan. Penurunan pembiayaan untuk program sekolah dasar diikuti oleh naiknya persentase biaya untuk pembiayaan program di tingkat sekolah lanjutan atas dan pendidikan tinggi. Persentase pembiayaan untuk program pembinaan di sekolah lanjutan atas pada pelita III adalah 16,7 % dan pada pelita V menjadi 32 %, sedangkan untuk program pendidikan tinggi pada pelita III adalah sebesar 19,6 % dan meningkat pada pelita V menjadi 34 %.
Demikian pula sebenarnya kalau melihat peningkatan pembiayaan pendidikan itu tidak saja dilakukan oleh pemerintah, tetapi juga dilakukan oleh penduduk yang dapat dilihat dari jumlah pengeluarannya yang juga meningkat. Kalau setiap penduduk pada tahun 1980 persentase pengeluaran rumah tangganya untuk pendidikan adalah 1,64 % maka untuk tahun berikutnya tahun 1981 menjadi 2,01 %, tahun 1984 menjadi 2,17 %, tahun 1987 menjadi 2,74 %, dan pada tahun 1990 menjadi 2,81 % (Mundiharno. 1993).
Peningkatan persentase biaya pendidikan oleh setiap rumah tangga ini, sebenarnya dapat dimaknai, bahwa: (1) perhatian masyarakat terhadap pentingnya pendidikan secara merata makin meningkat, (2) bahwa peningkatan kesadaran akan pentingnya pendidikan tersebut berlangsung seiring dengan meningkatnya pendapatan masyarakat. Makin besar pendapatan masyarakat biasanya diikuti dengan perubahan struktur pengeluaran rumah tangga dari dominasi pengeluaran untuk konsumsi pangan menjadi semakin besarnya pengeluaran rumah tangga untuk pengeluaran non pangan, termasuk meningkatnya atau makin besarnya proporsi pengeluaran rumah tangga untuk membiayai pendidikan.
Dari sisi yang lain sebenarnya meningkatnya angka-angka pembiyaan pendidikan baik yang dikeluarkan oleh pemerintah maupun oleh masyarakat dapat dimaknai bahwa pembiayaan pendidikan untuk masa yang akan datang tampaknya dapat lebih melibatkan peranserta masyarakat secara lebih sistematis dan terprogram. Hal ini perlu dilakukan karena: (1) beban keuangan pemerintah yang relatif semakin berat dalam membiayai pembangunan, (2) menguatnya sektor swasta dalam perekonomian nasional, (3) makin meningkatnya pendapatan masyarakat, dan (4) sesuai dengan pelaksanaan otonomi daerah, yang telah dilaksanakan sejak tahun 2001.
4. Penutup
Dari hasil pembahasan dapat ditarik suatu simpulan sebagai berikut: (a) Biaya pendidikan adalah nilai besar dana yang diperkirakan perlu disediakan pada proyek kegiatan pembangunan dalam pendidikan. (b) Biaya penyelenggaraan pendidikan di negara kita memiliki dasar hukum yang kuat, yaitu diatur dalam Undang-Undang no. 2 tahun 1989, khususnya dalam pasal 36 (1), (2) dan (3). (c) Biaya pendidikan di negara kita merupakan tanggungjawab bersama antara pemerintah, masyarakat, dan keluarga atau orang tua murid. (d) Biaya pendidikan itu dapat dikelompokkan menjadi (1) gaji guru, tenaga kependidikan yang lainnya, dan tenaga administrasi, (2) biaya pengadaan, pemeliharaan sarana dan prasarana, dan (3) biaya perluasan, pengembangan, dan biaya penyelenggaraan pendidikan. (e) Biaya pendidikan yang dikeluarkan oleh pemerintah, masyarakat maupun keluarga dari tahun ke tahun cendrung meningkat. Dengan adanya peningkatan biaya tersebut, di satu sisi akan dapat dilakukan peningkatan distribusi pembiayaan terhadap semua faktor pendidikan, seperti: (1) peningkatan gaji guru, tenaga kependidikan lainnya, dan tenaga administrasi, (2) pengadaan, pemeliharaan sarana dan prasarana, dan (3) perluasan, pengembangan, dan penyelenggaraan pendidikan. Demikian juga di sisi yang lain, adanya peningkatan distribusi biaya pada semua faktor pendidikan tersebut, baik langsung maupun secara tidak langsung, akan dapat berpengaruh terhadap peningkatan mutu pendidikan.
Bertitik tolak pada berbagai simpulan yang telah diuraikan di atas, dapat disampaikan saran sebagai berikut: (a) Para perencana dalam membuat rencana biaya pendidikan hendaknya cermat, berpikir sungguh-sungguh, sebab penentuan biaya pendidikan itu tidak hanya tergantung pada tingkat pendapatan masyarakat dan pemerintah, tetapi juga tergantung pada ketepatan dalam mengalkulasikan biaya itu sendiri. (b) Para perencana dalam membuat rencana biaya pendidikan hendaknya jangan sampai menggunakan suatu landasan berpikir maupun memiliki anggapan yang memandang bahwa pembangunan di bidang pendidikan itu kurang penting karena tidak segera mendatangkan hasil. Pandangan semacam ini sangat keliru karena pendidikan itu justru memerlukan biaya yang sangat besar, sekalipun hasilnya baru akan dapat dinikmati dalam jangka waktu yang relatif lama.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, I. M. (1990). Transformasi biaya pendidikan dalam layanan pendidikan pada perguruan tinggi (profil tenaga edukatif dalam layanan proses belajar mengajar studi kasus pada IKIP Bandung). Disertasi diajukan kepada panitia ujian promosi IKIP Bandung untuk memenuhi sebagian dari syarat memperoleh gelar Doktor ilmu pendidikan bidang Administrasi Pendidikan.
Blaug, Mark. (1976). An introduction to the economics of education. England: Penguin Books Ltd.
Becker, Gary S. (1993). Human capital. Chicago and London: The University of Chicago Press.
Gaffar, Mohamad Fakri. (1987). Perencanaan pendidikan teori dan metodologi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi.
Hough, J.R. (1984). Educational policy, an international survey. New York: ST. Martin’Press.
Johns, R.L., Edgar L.M.., dan Kern A (1983). The economics & financing of education. New Jersey: Prentice-Jall, Inc Engliwood Cliffs.
Ki Suratmat. (1991). Perwujudan dan tanggungjawab bersama dalam pendidikan antar keluarga, masyarakat dan pemerintah. Makalah yang disajikan dalam konvensi nasional pendidikan Indonesia II, Medan, 4-8 Februari 1992.
Mendikbud RI. (1996). Visi dan strategi pembangunan pendidikan untuk tahun 2020 tuntutan terhadap kualitas. Ceramah yang disampaikan pada konvensi nasional pendidikan Indonesia III, Ujung Pandang, 4-7 Maret 1996.
Psacharopoulos, George. (1987). Economics of education reseach and studies. Oxpord: Pergamon Press.
Rambing, M.M. (1991). Perwujudan dan tanggungjawab bersama dalam pendidikan antara keluarga, masyarakat dan pemerintah. Makalah yang disajikan dalam konvensi nasional pendidikan Indonesia II, Medan, 4-8 Februari 1992.
Ramelan, R. (1997). Strategi peningkatan sumber daya pendidikan dan kebudayaan. Pengarahan pada rapat kerja nasional Depdikbud 1997.
Soedomo, M. (1989). Landasan pendidikan. Malang: Penyelenggaraan Pendidikan Pascasarjana proyek peningkatan perguruan tinggi IKIP.
Suryadi, A. dan H.A.R. Tilaar. (1993). Analisis kebijakan pendidikan suatu pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Thomas, J.A. (1971). The productive school, a system analysis approach to education administration. New York: Jhon Willey & Sons, Inc.
Tjiptoherijanto, H.P. dan Mundiharno. (1993). Porsi pembiayaan pendidikan. Dimuat dalam harian Suara Karya, Rabu 16 Juni 1993, halaman V, Kolom 4-9.
Vembriarto. (1993). Pengantar perencanaan pendidikan. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana.
---. (1995). Undang-undang sistem pendidikan nasional (undang-undang no. 2 tahun 1989) dan peraturan pelaksanaannya. Jakarta: Sinar Grafika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar