Dalam kaitannya dengan sumber hukum Islam, terdapat perbedaan yang sangat besar antara al-Qur’an al-karim dengan hadis Nabi saw. Al-Qur’an bersifat qath’iy al-wurud, yang berarti bahwa al-Qur’an diyakini sepenuhnya oleh kaum muslimin tanpa kecuali, sebagai wahyu yang datang dari Allah. Sedangkan petunjuknya (dilalat-nya) sebagian ada yang qath’iy, yang kemudian lazim disebut sebagai ayat-ayat muhkamat, dan sebagaian ada yang dhanny, yang kemudian lebih dikenal dengan ayat-ayat mutasyabihat. Tidak ada kesepakan diantara ulama tentang berapa bagian dari seluruh ayat al-Qur’an yang termasuk dalam kategori ayat-ayat muhkamat, dan bagaimana pula kriteria suatu ayat disebut sebagai ayat muhkamat. Biasanya ayat-ayat qath’iy al-dalalat (muhkamat) diartikan sebagai ayat-ayat yang redaksi lahiriyahnya mengemuka-kan makna tertentu yang jelas dan tidak memberi peluang bagi munculnya interpretasi yang melahirkan pengertian yang berbeda. (Wahab Khallaf, 1972:35) Dengan demikian ijtihad tidak berlaku untuk ayat-ayat seperti ini. Berbeda dengan ayat-ayat mutasyabihat yang dimungkinkan terjadinya interpretasi yang bermacam-macam, sehingga diperlukan ijtihad dalam hal ini (Syathibi, t.t; 36-37).
Sementara itu, hadis Nabi saw. bersifat zhanniy, baik wurud maupun dilalat-nya. Artinya, betapapun juga shahihnya nilai suatu hadis, kepastiannya sebagai betul-betul diucapkan oleh Nabi saw. tetap zdanniy. Sebab setinggi-tinggi kepastian bahwa hadis tersebut disampaikan oleh Nabi, hanya akan sampai pada tingkat “ diduga kuat” disampaikan oleh Nabi. Oleh karena itu, jika meragukan Al- Qur’an sebagai wahyu yang datang dari Allah SWTdapat mengakibatkan seseorang menjadi kafir, maka meragukan hadis sebagai betul-betul diucapkan oleh Nabi tidak sampai berakibat seperti itu. Bahwa Rosulullah saw. adalah utusan Allah yang perintah serta laranganya mesti ditaati, adalah jelas, dan meragukan Muhammad sebagai Rasul Allah, sama kafirnya dengan meragukan Al-Qur’an sebagai wahyu Allah. Tetapi, mempersoalkan apakah suatu hadis dari dan betul-betul disabdakan oleh Nabi saw., adalah persoalan yang lain. Harus ada pembedaan secara jelas antara mengingkari Muhammad sebagai Rasul Allah, dengan meragukan apakah suatu hadis itu betul-betul berasal darinya. Bila mempersoalkan hadis yang berada dalam lingkaran yang kedua tadi dimaksudkan sebagai sebagai sikap kritis terhadap hadis, maka hal itu bukanlah merupakan suatu yang tabu. Sebab, sikap seperti itu sama sekali bukan hal yang baru dikalangan para pemikir Islam. Bahkan, sebagaimana yang akan kita lihat nanti sikap seperti itu sudah dirintis sejak awal oleh para sahabat generasi yang mula-mula.
Sebagi penjelas Al-Qur’an Al-Karim, hadis Nabi saw tentunya muncul sesuai dalam posisinya sebagai pedoman para sahabatnya di zamanya. Sepanjang kondisi dan latar belakang kehidupan para sahabat tersebut berbeda, maka petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh Nabi pun berbeda pula. Sementara itu, para sahabat pun mengintepretasikan hadis Nabi sesuai dengan kapasitas mereka masing-masing, sehingga kesimpulan yang dicapai pun berbeda pula. Bila pemahaman ini diterima, maka konsekuensinya adalah bahwa sebagian hadis Nabi saw. bersifat temporal dan konstektual. Hadis merupakan intepretasi Nabi saw. yang dimaksudkan untuk menjadi menjadi pedoman para sahabat dalam mengamalkan ayat-ayat Al-ýQur’an. Dengan demikian, pengkajian terhadap konteks-konteks hadis, sesungguhnya merupakan aspek yang sangat penting dalam upaya kita menangkap makna suatu hadis, untuk kemudian kita amalakan. Sayangnya, pendekatan konstektual atas hadis Nabi saw. belum begitu memperoleh perhatian dari kaum muslimin.
A. Pemahaman tekstual dan kontekstual hadis
Para sahabat generasi pertama menyandarkan fatwa-fatwa mereka pada nash-nash Al- Qur’an dan hadis Nabi saw. Bila mereka tidak menemukan sandaranya dalam Al- Qur’an dan hadis nabi saw., mereka melakukan Ijtihad dengan membuat analogi-analogi (Qiyas). Dalam medan yang tersebut terkemudian ini, digunakan pendekatan ra’yu (rasio) dengan berpegang pada prinsip-prinsip umum yang terdapat dalam Al-Quran dan hadis. Justifikasi bagi pendekatan rasional ini, lazimnya adalah hadis masyhur yang dirawayatkan dari Mu’adz bin Jabal ketika ia diutus Nabi saw. ke Yaman.
Tiba pada masa sahabat generasi pertama, muncullah sekelompok orang yang memberikan fatwa-fatwa hanya dengan dasar Al-Qur’an dan hadis, tanpa mau melangkah lebih jauh dari itu. Perhatian besar mereka tertuju pada periwayatan hadis-hadis. Mereka adalah kelompok yang bepegang pada arti lahiriyah nash tanpa mencari illat yang terdapat pada masalah-masalah yang mereka hadapi. Pada masa yang relatif masih dekat dengan kehidupan Rosulullah saw. dan persoalan-persoalan belum begitu kompleks, sikap seperti ini dapat dipahami. Sebab, persoalan-persoalan yang timbul masih dapat ditampung oleh hadis-hadis Nabi saw. Tetapi, perkembangan selanjutnya, ketika kehidupan semakin kompleks, pencarian pemecahan dengan semata-mata mengandalakan pada hadis, bisa jadi tidak memadai lagi. Agaknya itu pulalah yang menjadi sebab mengapa hadis-hadis ahad memperoleh kedudukan yang sangat penting dikalangan kelompok in.
Pendekatan rasional mereka jauhi dengan alasan bahwa Al-Qur’an itu mengandung kebenaran yang bersifat mutlak sedangkan kebenaran rasio adalah nisbi. Sesuatu yang nisbi tidak akan mumgkian menjelaskan sesuatu yang mutlak. Karena keenganan mereka menggunakan akal inilah, maka ‘Ali Sami Al- Nassyar memberi julukan Ahl Hasyw kepada mereka, artinya orang yang berpikir gampang-gampangan lantaran mereka tidak mau menggunakan interpretasi rasional. (‘Ali Sami Al-Nasysyar, 1981;249-150)
Disamping mereka terdapat sekelompok orang yang memehami persoalan yang mereka hadapi secara rasional dengan tetap berpegang pada nash Al-Qur’an dan hadis. Berdasar prinsip-prinsip yang ada pada keduanya, mereka memberikan fatwa-fatwa mereka dalam berbagai persoalan. Karena itu, tak jarang mereka “mengorbankan” hadis ahad lantaran dipandang bertentangan dengan Al- Qur’an. Kelompok pertama disebut sebagai ahl Ahl- Hadis, sedangkan kelompok yang kedua disebut sebagai Ahl- AL-Ra’y (Nurcholis Madjid, 1995: 243). Mayoritas ulama Hijaz adalah Ahl Al-Hadis, Sedangkan mayoritas ulama Irak dan negeri-negeri yang jauh dari Hijaz adalah Ahl Al- Ra’y. Istilah Hijaziy dan Iraqiy mengacu pada dikotomi ini (Al-Dehlawiy, t.t.:147). dalam bidang fiqih, Mazhab Ahmad Bin Hanbal termasuk dalam kategori yang pertama, sedangkan mazhab yang lainya, dengan tekanan yang bervariasi, dapat digolongkan pada kelompok kedua. Pendekatan Ahmad bin Hanbal, dalam semua bidang, sangat tekstualis, sementara itu, Faruq Abu Zayd (1978:5 ) menyebut kelompok pertama sebagai al-muhafizhun (kaum ortodoks), sedang kelompok kedua sebagai al-mujaddidun (kaum pembaharu).
Dalam bidang teologi, ahl al-hadits pernah terlibat sengketa cukup sengit dengan kaum mu’tazilah yang diawali dengan peristiwa mihnat yang dilakukan penguasa Abbasyiyah di bawah al-Ma’mun. Dalam peristiwa itu, para ulama ahl al-hadits mendapat tekanan keras dari Mu’tazilah, sehingga beberapa orang ulama terkemuka mereka gugur sebagai syahid. Ahmad bin Hambal sendiri sempat dipenjarakkan dan didera hingga cedera tubuhnya. Mihnah yang dilancarkan oleh Mu’tazilah akhirnya ibarat bumerang yang menghantam diri mereka sendiri.
Melalui khalifah al-Mutawakkil, mihnat dilarang, dan sejak itu Mu’tazilah kehilangan pamornya, untuk kemudian digantikan oleh ahl al-hadits dengan Hanabilat pada barisan paling depan. Kelompok ini kemudian menjadi “penguasa” di tengah para penguasa Abbasyiyah, dan kini giliran mereka menekan kaum Mu’tazilah dan ahl Al-ra’y. Al-Kindy yang dianggap sebagai penganut Mu’tazilah termasuk orang yang mengalami tekanan dari ahl al-hadits (M.M.Sharif, ed. 1961:422).
Pada perkembangan berikutnya, para pengikut Ahmad bin Hambal menyebut diri sebagai penganut Salaf, dan Ibnu Taymiyah disebut-sebut sebagai tokoh kedua sesudah Ahmad bin Hambal yang membangkitkan kembali Salafisme dalam bentuknya yang lebih baru. Dewasa ini, mazhab ini dianut dengan lebih rigid oleh Wahabiyah di Saudi arabia, dan disebarluaskan ke seluruh penjuru dunia islam melalui buku-buku yang mereka cetak dengan dana petro-dollar-nya.
B. Pendekatan kontekstual atas hadis
Ketika para ulama hadis menetapkan lima syarat bagi sahih-nya sebuah hadis, hal itu menunjukkan betapa telitinya mereka dalam menyeleksi hadis Nabi saw. Kelima syarat tersebut diantaranya tiga berkenaan dengan sanad dan dua berkenaan dengan matn. Yang berkaitan dengan sanad, disamping sanad harus bersambung, semua perawinya harus dhabith dan tsiqqat. Sedangkan yang berkaitan dengan matn, adalah keharusan tidak adanya syadz dan ‘illat. Seleksi tersebut dilakukan dengan maksud mencari hadis yang dipandang sahih untuk dapat diamalkan (ma’mul bih) dan menyisihkan yang lain yang tidak dapat diamalkan (ghayr ma’mul bih). Dari seleksi-seleksi tersebut muncullah kategori-kategori hadis shahih, hasan, dha’if, dan seterusnya. Dan ketika kita mempersoalkan suatu hadis, maka yang kita persoalkan semata-mata hanyalah hadis yang tidak mutawatir, sebab, terhadap hadis kategori ini, sudah terdapat kesepakatan bahwa ia ma’mul bih.
Pengujian terhadap syarat yang berkaitan dengan sanad telkah dilakukan sejak awal dengan cara meneliti kredibilitas para perowi, sehingga muncullah cabang ilmu hadis yang disebut dengan al-Jahr wa al-Ta’dil. Yakni persyaratan bagi seorang perowi dalam kaitannya dengan diterima atau tidaknya hadis yang diriwayatkannya. Al-Jahr mengandung pengertian yang berkaitan dengan cacat-cacat seorang perawi yang karena itu hadisnya ditolak, sedangkan al-Ta’dil mengandung pengertian yang berkaitan dengan ‘adalat al-rawiy, yang dengan itu hadisnya diterima.
Di kalangan sunni, al-jahr wa al-Ta’dil dilakukan pada lapisan (thabaqat) tabi’in di bawah sahabat terus ke bawah. Artinya, keadilan para sahabat dalam meriwayatkan hadis tidak perlu dipersoalkan. Ini hendaknya tidak disalahpahami sebagai, bahwa kalangan Sunni menganggap para sahabat adalah orang-orang yang ma’sum (terbebas dari dosa), melainkan sekedar keyakinan bahwa dalam meriwayatkan hadis, mereka (para sahabat) tidak pernah bermaksud membuat pendustaan kepada Nabi atau berkeinginan menikam Nabi Saw., itu pun dalam kedudukannya beliau sebagai Rasul. (Nurcholis, 1984: 41) Sementara itu, kalangan Syi’ah memberlakukan al-jahr wa al-ta’dil pada lapisan di bawah Imam. Sebab, bagi kalangan Syi’ah, para Imam diyakini sebagai ma’shum.
Tarjih dan ta’dil, rasanya sudah selesai dilakukan, dalam pengertian bahwa kredibilitas para perowi telah dibukukan secara baik oleh para ahli hadis. Kita sungguh berutang budi kepada para ulama penyusun kitab-kitab semacam mizan al-I’tidal dan Tahdzib al-tahdzib, karena melalui kitab-kitab semacam itu kita dapat melacak kredibiliitas para perawi hadis. Tetapi, yang berkaitan dengan matn, sungguhpun telah dirintis oleh para sahabat generasi pertama, tampaknya belum dilanjutkan secara sungguh-sungguh. Selama ini, kriteria sahihnya sebuah hadis, masih ditentukan oleh kesahihan sanad-nya. Al-Bukhari sendiri, memaksudkan sahih di situ adalah sahih sanad-nya. Ini terlihat dengan jelas bila kita memperhatikan keseluruhan judul yang diberikan kepada kitab sahihnya, yakni al-Jami’ al-Shahih al-Musnad al-Mukhtashar min ‘Umar Rasulillah (saw) wa Sunanih wa Ayyamih. (Ajjaj al-Khatib, t.t.:313). Dalam judul; tersebut tertera secara jelas kalimat alJami’ al-Shahih al-Musnad (himpunan hadis yang sahih sanadnya). Sayangnya, dewasa ini sepertinya ada anggapan bahwa penyeleksian yang dilakukan al-Bukhari atas hadis-hadis yang dimuat dalam kitabnya, sudah mencakup sanad dan matn. Sehingga melakukan kritik atas hadis, khususnya yang terdapat dalam al-Bukhari, seakan merupakan hal yang tabu.
Demikian, bila pengujian terhadapmatn belum dilakukan, maka kesahihan sanad belum menjamin kesahihan matn. Bahkan yang sahih sanad dan matan-nya pun kadang-kadang dapat pula tidak ma’mul bih. Hadis yang menyatakan bahwa pemimpin itu harus dari kalangan Quraisy (al-a-‘immat min quraisy), adalah hadis yang termasuk kategori seperti itu. Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam shahih-nya, dari ibnu umar (Juz II:265, dan Juz IV:234), dengan kategori shahih. Dilihat dari derajat kesahihannya, hadis tersebut jelas dapat diterima (ma’mul bih). Tetapi, bila pendfekatan kontekstual dilakukan terhadapnya, maka ia dapat tertolak (ghyr ma’mul bih), minimal dengan dua alasan. Alasan pertama, karena ia bertentangan dengan petunjuk al-Qur’an yang menyatakan tidak adanya diskriminasi dalam islam, dan bahwasanya nilai seseorang bukan ditentukan oleh kesukuan , melainkan oleh ketaqwaannya. Untuk masa Rasulullah hingga Abbasiyah mungkin hadis tersebut ma’mul bih Tetapi, ini merupakan alasan kedua, untuk masa sesudahnya, khususnya untuk masa sekarang ini, dan lebih khusus lagi Indonesia, hadis tersebut jelas tidak ma’mul bih.
Dengan demikian hadis diatas, dan hadis-hadis lainnya, harus dikaji secara kontekstual dengan melihat kondisi dan situasi saat ia diucapkan, dan apa pula ‘illat yang terkandung di dalamnya. Berdasar kenyataan seperti itu, muncul pertanyaan, apakah suatu hadis yang dulu ma’mul bih dapat berubah menjadi ghayr ma’mul bih. Dari pendekatan tekstual, jawabannya harus “ya”. Tetapi, dari pendekatan kontekstual, “tidak”. Sebab, selain melihat kondisi dan situasi saat hadis itu diucapkan, pendekatan tersebut menekankan pada ‘illat. Artinya, sepanjang yang dimaksud dengan Quraisy di situ bukan berarti suku, tetapi sifat atau ciri, maka ia dapat tetap ma’mul bih. Pemahaman yang tersebut terakhir ini, antara lain, dilakukan oleh Ibnu Khaldun.
Terdapat banyak hadis yang, dari segi sanad, termasuk kategori sohih, tetapi dari segi matn bertentangan dengan al-Qur’an, maka orang-orang seperti Ahmad amin, Abu Rayyah menolaknya. Bahkan Muhammad al-Ghazali, dalam buku terbarunya, al-Sunnah al-Nabawiyyah Bain ahl al-Fiqh wa ahl-al-Hadits, mengatakan bahwa betapapun sahihnya sanad suatu hadis, sepanjang matan-nya bertentangan dengan al-Qur’an ia tidak ada artinya (M.al-Baqir, 1991:26).
Dalam buku terbarunya itu, Muhammad al-Ghazali mempersoalkan banyak hadis yang dipandangnya bertentangan dengan al-Qur’an dan secara sengit mengecam keras orang-orang yang memahami dan mengamalkannya secara tekstual. Sebagaimana para pendahulunya, Muhammad al-Ghazali menggunakan kaidah tersebut di atas sebagai tolok ukur pengujian kesahihan suatu hadis.
Keasahihan suatu hadis memang tidak dapat ditentukan hanya oleh kesahihan sanad-nya saja. Tetapi matn-nya pun mesti diteliti, guna memastikan apakah ia tidak syadz dan tidak mengandung ‘illat´(cacat)—suatu penelitian sungguhpun cukup sulit dilakukan. Pertama-tama matn-nya harus dibandingkan dengan matn yang senada yang terdapat dalam sanad-sanad lainnya. Bila ternyata ia merupakan satu-satunya hadis yang menggunakan matn yang berbeda, ia jelas merupakan hadis yang syadz. Kemudian, bila kandungan isinya bertentangan dengan al-Qur’an atau hadis-hadis lain yang senada, ia dinyatakan ber-‘illat. Langkah pertama, seperti yang tadi dikemukakan, cukup sulit, yang karena itulah, agaknya, orang orang seperti Ahmad Amin, Abu Rayyah, dan Muhammad al-Ghazali menggunakan langkah kedua, dan sekaligus menjadikannya sebagai salah satu kaidah dalam menentukan kesahihan sebuah hadis. Dengan demikian, kritik matn merupakan bagian yang tak terpisahkan dari studi kontekstual atas hadis.
Kritik atas matn sesungguhnya bukan merupakan hal yang baru. ‘A’isyah, ‘Umar bin al-Khattab, ‘Ali bin Abi Thalib, ‘Utsman bin Affan, dan para sahabat besar lainnya, telah melakukan kritik matan atas hadis-hadis, misalnya, yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Bahkan Mustafa Shadiq al-Rafi’I, sebagaimana yang dikutip Abu Rayyah (1980:177), menyebut bahwa kritik para sahabat atas hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah merupakan kritik atas hadis yang pertama dilakukan dalam Islam.
Dalam melakukan pengujian atau kritik atas hadis yang diriwayatkan oleh seseorang, ‘A’isyah acap kali membandingkan dengan ayat-ayat al-Qur’an. Bila hadis tersebut bertentangan dengan al-Qur’an, ia segera menolaknya. ‘A’isyah menolak hadis yang diriwayatkan oleh ‘Umar dan Ibnu ‘Umar yang mengatakan bahwa, “mayit akan disiksa karena tangisan keluarganya”, lantaran hadis ini dianggapnya bertentangan dengan ayat al-Qur’an yang berbunyi, “wa laa taziruu waaziratu ukhra”.
Mengikuti jejak ‘A’isyah, Muhammad al-Ghazali juga mempersoalkan banyak hadis yang dianggapnya bertentangan dengan al-Qur’an, yang diamalkan secara tekstual oleh sementara kaum Muslimin, khususnya kaum muda. Quraish Shihab, pemberi pengantar edisi Indonesia buku Muhammad al-Ghazali di atas, seakan menganggap kaidah tersebut sebagai kaidah satu-satunya yang digunakan oleh al-Ghazali. Quraish Shihab, mungkin, mengharapkan bahwa dalam menilai matan suatu hadis, hendaknya—disamping membandingkannya dengan al-Qur’an—diterapkan pula kaidah-kaidah ushul fiqh. Sebab, boleh jadi kandungan hadis tersebut merupakan pen-takhsis-an (pengecualian) atas kandungan al-Qur’an, atau rincian atas yang mujmal.
Sikap para ulama di atas, lazimnya segera dituding sebagai inkar al-sunnah. Masih segar dalam ingatan kita betapa buku Abu Rayyah mendapat reaksi keras dari kalangan ulama pada masanya. Sementara itu, buku Muhammad al-Ghazali yang mengalami cetak ulang sampai enam kali itu, sebagaimana yang dikatakan sendiri oleh penulisnya, mendapat reaksi pro kontra. Eloknya, baik Abu Rayyah maupun al-Ghazali, menyatakan bahwa apa yang dilakukan itu merupakan bagian dari pembelaan terhadap hadis. Abu Rayyah, misalnya memberi judul bukunya Adhwa ‘ala al-sunnah al-Muhammadiyyah (sorotan terhadap sunnah Nabi Muhammad), dan di bawahnya dia berikan sub judul yang berbunyi Aw Difa’ ‘an al-hadits (atau pembelaan terhadap hadis).
Pemahaman terhadap hadis Nabi saw., acap kali memang tidak dapat dilakukan hanya dengan menggunakan pendekatan tekstual. Kondisi dan situasi saat hadis tersebut disampaikan oleh nabi, dan juga kondisi para sahabat yang berbeda-beda, mesti pula diperhatikan. Sebab, dalam kehidupan Islam dan kaum Muslimin, posisi Nabi memiliki banyak fungsi: sebagai rasul, panglima perang, suami, sahabat, dan lain-lain. Dengan demikian, hadis-hadis tersebut tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan fungsi-fungsi itu. Menurut mahmud syaltut (1966: 513), mengetahui hal-hal yang dilakukan Nabi dengan mengaitkan pada fungsi beliau tatkala melakukan hal-hal itu sangat besar manfaatnya.
Ketika aqidah umat dipandang belum kuat, Nabi saw., misalnya, melakukan pelarangan atas ziarah kubur melalui hadisnya. Tetapi, ketika aqidah mereka sudah kuat, larangan itu kemudian ia cabut. Rasanya, sikap Nabi saw. yang seperti itu mengisyaratkan kepada kita akan adanya pendekatan kontekstual atas hadis beliau. Namun, ketika yang digunakan adalah pendekatan tekstual, maka hasilnya adalah kesimpulan bahwa di situ terdapat nasikh dan mansukh. Bagi saya, pada kedua hadis tersebut tidak ada nasikh dan mansukh. Sebab, bagi siapa saja yang akidahnya masih lemah, dan dapat musyrik karena ziarah kubur, hadis pertama tetap berlaku baginya. Adapun musyrik itu sendiri, sudah jelas tidak perlu dipersoalkan.
Contoh lain adalah hadis yang berkaitan dengan keharusan berbakti pada ibu tiga kali lipat dibanding kepada ayah. Kalu hadis ini dipahami secara tekstual saja, maka muncul diskriminasi dalam berbakti kepada ibu dan ayah. Kalau yang dijadikan alasan bagi keharusan berbakti kepada ibu tiga kali lipat dari pada kepada ayah adalah karena ibu menentang maut saat melahirkan putranya, maka dalam mencari nafkah pun seorang ayah, banyak sekali menentang maut dalam perjalanannya. Bahkan Nabi sendiri menyetarakan mencari nafkah untuk anak dan istri dengan jihad fi sabiilillah.
Terhadap hadis seperti tersebut di atas, kita mesti melakukan kajian kontekstual dengan mengkaji kondisi dan situasi pada zaman Nabi. Saat itu kaum wanita masih kurang memperoleh hak-haknya, dan bahkan tertindas akibat warisan-warisan jahiliyah yang melekat dalam tradisi bangsa Arab. Untuk mengangkat derajat mereka, maka nabi menyampaikan hadisnya yang seperti itu.
C. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa studi kontekstual atas hadis tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan pemahaman terhadap asbab wurud al-hadits. Kendatipun tidak semua hadis mempunyai sebab murud, namun kajian atasnya akan sangat membantu kita dalam memahami makna dan petunjuk sebuah hadis.
Tehnik lain yang dapat dilakukan dalam pendekatan kontekstual adalah menghimpun sebanyak mungkin hadis yang berada dalam satu tema. Ini mudah dilakukan mengingat kitab-kitab hadis telah memiliki sistematika yang baik, walaupun sebagian besar masih mengikuti bab-bab yang lazim berlaku pada fiqih. Sesudah terhimpun, hadis-hadis iitu dikaji berdasar konteksnya masing-masing, dan bukan di-tarjih berdasar kesahihan sanadnya semata-mata.
Tiba di sini, kajian mendalam terhadap sirah nabawiyah menjadi bagian sangat penting dalam pendekatan kontekstual. Sayangnya, kajian atas hadis nabi saw. selama ini masih dipijakkan pada kitab-kitab hadis dan kurang memberi perhatian pada sirah. Padahal, terdapat beberapa bagian dari sunnah rasul yang sama sekali tidak tercantum dalam kitab kitab hadis. Piagam madinah, misalnya, adalah bagian sunnah Rasul yang sangat penting dalam kaitannya dengan ketatanegaraan yang mengatur banyak aspek, termasuk hubungan dengan komunitas-komunitas non-muslim, hak-hak dan kewajiban mereka. Bila piagam madinah ini dimuat oleh hampir seluruh kitab sirah, maka seluruh kitab hadis yang ada sama sekali tidak memuatnya.
Dengan demikian pendekatan kontekstual atas hadis, berarti memahami hadis berdasar kaitannya dengan peristiwa-peristiwa dan situasi ketika hadis itu diucapkan, dan kepada siapa pula hadis itu ditujukan. Artinya, hadis Nabi saw. hendaknya tidak ditangkap makna dan maksudnya hanya melalui redaksi lahiriyah tanpa mengaitkannya dengan aspek-aspek kontektualnya.
Akhirnya, bagaimanapun juga, pendekatan kontekstual merupakan metode pemahaman hadis yang sudah semestinya dikembangkan oleh kaum muslimin dalam kaitannya dengan pemahaman yang lebih baik terhadap ajaran agama mereka, dan hendaknya hal itu—bila ternyata menyangkut studi kritis atas hadis—tidak dipahami sebagai usaha negatif untuk mengeroposi dasar ajaran Islam yang amat penting, yakni hadis Nabi saw.
Rujukan:
‘Abd al-Wahab Khallaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, al-Majlis al-A’la al-Indunisia li al-Da’wat al-Islamiyyat, Jakarta, 1972.
Abu Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’at, jilid I, editor Abdullah Darraz, al-Maktabat al-Tijariyyat al-Kubra, Mesir, t.t.
Al-Dehlawiy, Hujjatul al-Balighah, Dar al-Ma’arif, Beirut, t.t.
Al-Khatib, Ushul al-Hadits: ‘Ulumuh wa musthalahuhuh, Dar al-Fikr, Mesir, t.t.
Abu Rayyah, Adhwa’ ‘Alkla al-Sunnah al-Muhammadiyyah, Dar Ma’arif, Kairo, cet v, 1980
Faruq Abu Zayd, al-Syari’at al-Islamiyyatbain al-Muhafizhin wa mujaddidin, dar al-Ma’mun, Kairo, 1978
Muhammad al-Ghazali, Studi kritis atas hadis Nabi saw.: antara pemahaman tekstual dan kontekstual, Mizan, Bandung, 1991.
Mahmud Syaltut, Al-Islam Aqidah wa Syari’ah, Dar al-Qalam, Kairo, 1966.
M.M. Syarif (ed), The history of Muslim Philosophy, vol. I, Otto Horrasowitz Wisbaden, 1961
Nurcholis Madjid, Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, Editor Budhi Munawar Rahman, Paramadina, Jakarta, 1995.
____________(editor), Khazanah Pemikiran Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1994.
Shahih Bukhari, Juz II, dan juz IV
Sementara itu, hadis Nabi saw. bersifat zhanniy, baik wurud maupun dilalat-nya. Artinya, betapapun juga shahihnya nilai suatu hadis, kepastiannya sebagai betul-betul diucapkan oleh Nabi saw. tetap zdanniy. Sebab setinggi-tinggi kepastian bahwa hadis tersebut disampaikan oleh Nabi, hanya akan sampai pada tingkat “ diduga kuat” disampaikan oleh Nabi. Oleh karena itu, jika meragukan Al- Qur’an sebagai wahyu yang datang dari Allah SWTdapat mengakibatkan seseorang menjadi kafir, maka meragukan hadis sebagai betul-betul diucapkan oleh Nabi tidak sampai berakibat seperti itu. Bahwa Rosulullah saw. adalah utusan Allah yang perintah serta laranganya mesti ditaati, adalah jelas, dan meragukan Muhammad sebagai Rasul Allah, sama kafirnya dengan meragukan Al-Qur’an sebagai wahyu Allah. Tetapi, mempersoalkan apakah suatu hadis dari dan betul-betul disabdakan oleh Nabi saw., adalah persoalan yang lain. Harus ada pembedaan secara jelas antara mengingkari Muhammad sebagai Rasul Allah, dengan meragukan apakah suatu hadis itu betul-betul berasal darinya. Bila mempersoalkan hadis yang berada dalam lingkaran yang kedua tadi dimaksudkan sebagai sebagai sikap kritis terhadap hadis, maka hal itu bukanlah merupakan suatu yang tabu. Sebab, sikap seperti itu sama sekali bukan hal yang baru dikalangan para pemikir Islam. Bahkan, sebagaimana yang akan kita lihat nanti sikap seperti itu sudah dirintis sejak awal oleh para sahabat generasi yang mula-mula.
Sebagi penjelas Al-Qur’an Al-Karim, hadis Nabi saw tentunya muncul sesuai dalam posisinya sebagai pedoman para sahabatnya di zamanya. Sepanjang kondisi dan latar belakang kehidupan para sahabat tersebut berbeda, maka petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh Nabi pun berbeda pula. Sementara itu, para sahabat pun mengintepretasikan hadis Nabi sesuai dengan kapasitas mereka masing-masing, sehingga kesimpulan yang dicapai pun berbeda pula. Bila pemahaman ini diterima, maka konsekuensinya adalah bahwa sebagian hadis Nabi saw. bersifat temporal dan konstektual. Hadis merupakan intepretasi Nabi saw. yang dimaksudkan untuk menjadi menjadi pedoman para sahabat dalam mengamalkan ayat-ayat Al-ýQur’an. Dengan demikian, pengkajian terhadap konteks-konteks hadis, sesungguhnya merupakan aspek yang sangat penting dalam upaya kita menangkap makna suatu hadis, untuk kemudian kita amalakan. Sayangnya, pendekatan konstektual atas hadis Nabi saw. belum begitu memperoleh perhatian dari kaum muslimin.
A. Pemahaman tekstual dan kontekstual hadis
Para sahabat generasi pertama menyandarkan fatwa-fatwa mereka pada nash-nash Al- Qur’an dan hadis Nabi saw. Bila mereka tidak menemukan sandaranya dalam Al- Qur’an dan hadis nabi saw., mereka melakukan Ijtihad dengan membuat analogi-analogi (Qiyas). Dalam medan yang tersebut terkemudian ini, digunakan pendekatan ra’yu (rasio) dengan berpegang pada prinsip-prinsip umum yang terdapat dalam Al-Quran dan hadis. Justifikasi bagi pendekatan rasional ini, lazimnya adalah hadis masyhur yang dirawayatkan dari Mu’adz bin Jabal ketika ia diutus Nabi saw. ke Yaman.
Tiba pada masa sahabat generasi pertama, muncullah sekelompok orang yang memberikan fatwa-fatwa hanya dengan dasar Al-Qur’an dan hadis, tanpa mau melangkah lebih jauh dari itu. Perhatian besar mereka tertuju pada periwayatan hadis-hadis. Mereka adalah kelompok yang bepegang pada arti lahiriyah nash tanpa mencari illat yang terdapat pada masalah-masalah yang mereka hadapi. Pada masa yang relatif masih dekat dengan kehidupan Rosulullah saw. dan persoalan-persoalan belum begitu kompleks, sikap seperti ini dapat dipahami. Sebab, persoalan-persoalan yang timbul masih dapat ditampung oleh hadis-hadis Nabi saw. Tetapi, perkembangan selanjutnya, ketika kehidupan semakin kompleks, pencarian pemecahan dengan semata-mata mengandalakan pada hadis, bisa jadi tidak memadai lagi. Agaknya itu pulalah yang menjadi sebab mengapa hadis-hadis ahad memperoleh kedudukan yang sangat penting dikalangan kelompok in.
Pendekatan rasional mereka jauhi dengan alasan bahwa Al-Qur’an itu mengandung kebenaran yang bersifat mutlak sedangkan kebenaran rasio adalah nisbi. Sesuatu yang nisbi tidak akan mumgkian menjelaskan sesuatu yang mutlak. Karena keenganan mereka menggunakan akal inilah, maka ‘Ali Sami Al- Nassyar memberi julukan Ahl Hasyw kepada mereka, artinya orang yang berpikir gampang-gampangan lantaran mereka tidak mau menggunakan interpretasi rasional. (‘Ali Sami Al-Nasysyar, 1981;249-150)
Disamping mereka terdapat sekelompok orang yang memehami persoalan yang mereka hadapi secara rasional dengan tetap berpegang pada nash Al-Qur’an dan hadis. Berdasar prinsip-prinsip yang ada pada keduanya, mereka memberikan fatwa-fatwa mereka dalam berbagai persoalan. Karena itu, tak jarang mereka “mengorbankan” hadis ahad lantaran dipandang bertentangan dengan Al- Qur’an. Kelompok pertama disebut sebagai ahl Ahl- Hadis, sedangkan kelompok yang kedua disebut sebagai Ahl- AL-Ra’y (Nurcholis Madjid, 1995: 243). Mayoritas ulama Hijaz adalah Ahl Al-Hadis, Sedangkan mayoritas ulama Irak dan negeri-negeri yang jauh dari Hijaz adalah Ahl Al- Ra’y. Istilah Hijaziy dan Iraqiy mengacu pada dikotomi ini (Al-Dehlawiy, t.t.:147). dalam bidang fiqih, Mazhab Ahmad Bin Hanbal termasuk dalam kategori yang pertama, sedangkan mazhab yang lainya, dengan tekanan yang bervariasi, dapat digolongkan pada kelompok kedua. Pendekatan Ahmad bin Hanbal, dalam semua bidang, sangat tekstualis, sementara itu, Faruq Abu Zayd (1978:5 ) menyebut kelompok pertama sebagai al-muhafizhun (kaum ortodoks), sedang kelompok kedua sebagai al-mujaddidun (kaum pembaharu).
Dalam bidang teologi, ahl al-hadits pernah terlibat sengketa cukup sengit dengan kaum mu’tazilah yang diawali dengan peristiwa mihnat yang dilakukan penguasa Abbasyiyah di bawah al-Ma’mun. Dalam peristiwa itu, para ulama ahl al-hadits mendapat tekanan keras dari Mu’tazilah, sehingga beberapa orang ulama terkemuka mereka gugur sebagai syahid. Ahmad bin Hambal sendiri sempat dipenjarakkan dan didera hingga cedera tubuhnya. Mihnah yang dilancarkan oleh Mu’tazilah akhirnya ibarat bumerang yang menghantam diri mereka sendiri.
Melalui khalifah al-Mutawakkil, mihnat dilarang, dan sejak itu Mu’tazilah kehilangan pamornya, untuk kemudian digantikan oleh ahl al-hadits dengan Hanabilat pada barisan paling depan. Kelompok ini kemudian menjadi “penguasa” di tengah para penguasa Abbasyiyah, dan kini giliran mereka menekan kaum Mu’tazilah dan ahl Al-ra’y. Al-Kindy yang dianggap sebagai penganut Mu’tazilah termasuk orang yang mengalami tekanan dari ahl al-hadits (M.M.Sharif, ed. 1961:422).
Pada perkembangan berikutnya, para pengikut Ahmad bin Hambal menyebut diri sebagai penganut Salaf, dan Ibnu Taymiyah disebut-sebut sebagai tokoh kedua sesudah Ahmad bin Hambal yang membangkitkan kembali Salafisme dalam bentuknya yang lebih baru. Dewasa ini, mazhab ini dianut dengan lebih rigid oleh Wahabiyah di Saudi arabia, dan disebarluaskan ke seluruh penjuru dunia islam melalui buku-buku yang mereka cetak dengan dana petro-dollar-nya.
B. Pendekatan kontekstual atas hadis
Ketika para ulama hadis menetapkan lima syarat bagi sahih-nya sebuah hadis, hal itu menunjukkan betapa telitinya mereka dalam menyeleksi hadis Nabi saw. Kelima syarat tersebut diantaranya tiga berkenaan dengan sanad dan dua berkenaan dengan matn. Yang berkaitan dengan sanad, disamping sanad harus bersambung, semua perawinya harus dhabith dan tsiqqat. Sedangkan yang berkaitan dengan matn, adalah keharusan tidak adanya syadz dan ‘illat. Seleksi tersebut dilakukan dengan maksud mencari hadis yang dipandang sahih untuk dapat diamalkan (ma’mul bih) dan menyisihkan yang lain yang tidak dapat diamalkan (ghayr ma’mul bih). Dari seleksi-seleksi tersebut muncullah kategori-kategori hadis shahih, hasan, dha’if, dan seterusnya. Dan ketika kita mempersoalkan suatu hadis, maka yang kita persoalkan semata-mata hanyalah hadis yang tidak mutawatir, sebab, terhadap hadis kategori ini, sudah terdapat kesepakatan bahwa ia ma’mul bih.
Pengujian terhadap syarat yang berkaitan dengan sanad telkah dilakukan sejak awal dengan cara meneliti kredibilitas para perowi, sehingga muncullah cabang ilmu hadis yang disebut dengan al-Jahr wa al-Ta’dil. Yakni persyaratan bagi seorang perowi dalam kaitannya dengan diterima atau tidaknya hadis yang diriwayatkannya. Al-Jahr mengandung pengertian yang berkaitan dengan cacat-cacat seorang perawi yang karena itu hadisnya ditolak, sedangkan al-Ta’dil mengandung pengertian yang berkaitan dengan ‘adalat al-rawiy, yang dengan itu hadisnya diterima.
Di kalangan sunni, al-jahr wa al-Ta’dil dilakukan pada lapisan (thabaqat) tabi’in di bawah sahabat terus ke bawah. Artinya, keadilan para sahabat dalam meriwayatkan hadis tidak perlu dipersoalkan. Ini hendaknya tidak disalahpahami sebagai, bahwa kalangan Sunni menganggap para sahabat adalah orang-orang yang ma’sum (terbebas dari dosa), melainkan sekedar keyakinan bahwa dalam meriwayatkan hadis, mereka (para sahabat) tidak pernah bermaksud membuat pendustaan kepada Nabi atau berkeinginan menikam Nabi Saw., itu pun dalam kedudukannya beliau sebagai Rasul. (Nurcholis, 1984: 41) Sementara itu, kalangan Syi’ah memberlakukan al-jahr wa al-ta’dil pada lapisan di bawah Imam. Sebab, bagi kalangan Syi’ah, para Imam diyakini sebagai ma’shum.
Tarjih dan ta’dil, rasanya sudah selesai dilakukan, dalam pengertian bahwa kredibilitas para perowi telah dibukukan secara baik oleh para ahli hadis. Kita sungguh berutang budi kepada para ulama penyusun kitab-kitab semacam mizan al-I’tidal dan Tahdzib al-tahdzib, karena melalui kitab-kitab semacam itu kita dapat melacak kredibiliitas para perawi hadis. Tetapi, yang berkaitan dengan matn, sungguhpun telah dirintis oleh para sahabat generasi pertama, tampaknya belum dilanjutkan secara sungguh-sungguh. Selama ini, kriteria sahihnya sebuah hadis, masih ditentukan oleh kesahihan sanad-nya. Al-Bukhari sendiri, memaksudkan sahih di situ adalah sahih sanad-nya. Ini terlihat dengan jelas bila kita memperhatikan keseluruhan judul yang diberikan kepada kitab sahihnya, yakni al-Jami’ al-Shahih al-Musnad al-Mukhtashar min ‘Umar Rasulillah (saw) wa Sunanih wa Ayyamih. (Ajjaj al-Khatib, t.t.:313). Dalam judul; tersebut tertera secara jelas kalimat alJami’ al-Shahih al-Musnad (himpunan hadis yang sahih sanadnya). Sayangnya, dewasa ini sepertinya ada anggapan bahwa penyeleksian yang dilakukan al-Bukhari atas hadis-hadis yang dimuat dalam kitabnya, sudah mencakup sanad dan matn. Sehingga melakukan kritik atas hadis, khususnya yang terdapat dalam al-Bukhari, seakan merupakan hal yang tabu.
Demikian, bila pengujian terhadapmatn belum dilakukan, maka kesahihan sanad belum menjamin kesahihan matn. Bahkan yang sahih sanad dan matan-nya pun kadang-kadang dapat pula tidak ma’mul bih. Hadis yang menyatakan bahwa pemimpin itu harus dari kalangan Quraisy (al-a-‘immat min quraisy), adalah hadis yang termasuk kategori seperti itu. Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam shahih-nya, dari ibnu umar (Juz II:265, dan Juz IV:234), dengan kategori shahih. Dilihat dari derajat kesahihannya, hadis tersebut jelas dapat diterima (ma’mul bih). Tetapi, bila pendfekatan kontekstual dilakukan terhadapnya, maka ia dapat tertolak (ghyr ma’mul bih), minimal dengan dua alasan. Alasan pertama, karena ia bertentangan dengan petunjuk al-Qur’an yang menyatakan tidak adanya diskriminasi dalam islam, dan bahwasanya nilai seseorang bukan ditentukan oleh kesukuan , melainkan oleh ketaqwaannya. Untuk masa Rasulullah hingga Abbasiyah mungkin hadis tersebut ma’mul bih Tetapi, ini merupakan alasan kedua, untuk masa sesudahnya, khususnya untuk masa sekarang ini, dan lebih khusus lagi Indonesia, hadis tersebut jelas tidak ma’mul bih.
Dengan demikian hadis diatas, dan hadis-hadis lainnya, harus dikaji secara kontekstual dengan melihat kondisi dan situasi saat ia diucapkan, dan apa pula ‘illat yang terkandung di dalamnya. Berdasar kenyataan seperti itu, muncul pertanyaan, apakah suatu hadis yang dulu ma’mul bih dapat berubah menjadi ghayr ma’mul bih. Dari pendekatan tekstual, jawabannya harus “ya”. Tetapi, dari pendekatan kontekstual, “tidak”. Sebab, selain melihat kondisi dan situasi saat hadis itu diucapkan, pendekatan tersebut menekankan pada ‘illat. Artinya, sepanjang yang dimaksud dengan Quraisy di situ bukan berarti suku, tetapi sifat atau ciri, maka ia dapat tetap ma’mul bih. Pemahaman yang tersebut terakhir ini, antara lain, dilakukan oleh Ibnu Khaldun.
Terdapat banyak hadis yang, dari segi sanad, termasuk kategori sohih, tetapi dari segi matn bertentangan dengan al-Qur’an, maka orang-orang seperti Ahmad amin, Abu Rayyah menolaknya. Bahkan Muhammad al-Ghazali, dalam buku terbarunya, al-Sunnah al-Nabawiyyah Bain ahl al-Fiqh wa ahl-al-Hadits, mengatakan bahwa betapapun sahihnya sanad suatu hadis, sepanjang matan-nya bertentangan dengan al-Qur’an ia tidak ada artinya (M.al-Baqir, 1991:26).
Dalam buku terbarunya itu, Muhammad al-Ghazali mempersoalkan banyak hadis yang dipandangnya bertentangan dengan al-Qur’an dan secara sengit mengecam keras orang-orang yang memahami dan mengamalkannya secara tekstual. Sebagaimana para pendahulunya, Muhammad al-Ghazali menggunakan kaidah tersebut di atas sebagai tolok ukur pengujian kesahihan suatu hadis.
Keasahihan suatu hadis memang tidak dapat ditentukan hanya oleh kesahihan sanad-nya saja. Tetapi matn-nya pun mesti diteliti, guna memastikan apakah ia tidak syadz dan tidak mengandung ‘illat´(cacat)—suatu penelitian sungguhpun cukup sulit dilakukan. Pertama-tama matn-nya harus dibandingkan dengan matn yang senada yang terdapat dalam sanad-sanad lainnya. Bila ternyata ia merupakan satu-satunya hadis yang menggunakan matn yang berbeda, ia jelas merupakan hadis yang syadz. Kemudian, bila kandungan isinya bertentangan dengan al-Qur’an atau hadis-hadis lain yang senada, ia dinyatakan ber-‘illat. Langkah pertama, seperti yang tadi dikemukakan, cukup sulit, yang karena itulah, agaknya, orang orang seperti Ahmad Amin, Abu Rayyah, dan Muhammad al-Ghazali menggunakan langkah kedua, dan sekaligus menjadikannya sebagai salah satu kaidah dalam menentukan kesahihan sebuah hadis. Dengan demikian, kritik matn merupakan bagian yang tak terpisahkan dari studi kontekstual atas hadis.
Kritik atas matn sesungguhnya bukan merupakan hal yang baru. ‘A’isyah, ‘Umar bin al-Khattab, ‘Ali bin Abi Thalib, ‘Utsman bin Affan, dan para sahabat besar lainnya, telah melakukan kritik matan atas hadis-hadis, misalnya, yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Bahkan Mustafa Shadiq al-Rafi’I, sebagaimana yang dikutip Abu Rayyah (1980:177), menyebut bahwa kritik para sahabat atas hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah merupakan kritik atas hadis yang pertama dilakukan dalam Islam.
Dalam melakukan pengujian atau kritik atas hadis yang diriwayatkan oleh seseorang, ‘A’isyah acap kali membandingkan dengan ayat-ayat al-Qur’an. Bila hadis tersebut bertentangan dengan al-Qur’an, ia segera menolaknya. ‘A’isyah menolak hadis yang diriwayatkan oleh ‘Umar dan Ibnu ‘Umar yang mengatakan bahwa, “mayit akan disiksa karena tangisan keluarganya”, lantaran hadis ini dianggapnya bertentangan dengan ayat al-Qur’an yang berbunyi, “wa laa taziruu waaziratu ukhra”.
Mengikuti jejak ‘A’isyah, Muhammad al-Ghazali juga mempersoalkan banyak hadis yang dianggapnya bertentangan dengan al-Qur’an, yang diamalkan secara tekstual oleh sementara kaum Muslimin, khususnya kaum muda. Quraish Shihab, pemberi pengantar edisi Indonesia buku Muhammad al-Ghazali di atas, seakan menganggap kaidah tersebut sebagai kaidah satu-satunya yang digunakan oleh al-Ghazali. Quraish Shihab, mungkin, mengharapkan bahwa dalam menilai matan suatu hadis, hendaknya—disamping membandingkannya dengan al-Qur’an—diterapkan pula kaidah-kaidah ushul fiqh. Sebab, boleh jadi kandungan hadis tersebut merupakan pen-takhsis-an (pengecualian) atas kandungan al-Qur’an, atau rincian atas yang mujmal.
Sikap para ulama di atas, lazimnya segera dituding sebagai inkar al-sunnah. Masih segar dalam ingatan kita betapa buku Abu Rayyah mendapat reaksi keras dari kalangan ulama pada masanya. Sementara itu, buku Muhammad al-Ghazali yang mengalami cetak ulang sampai enam kali itu, sebagaimana yang dikatakan sendiri oleh penulisnya, mendapat reaksi pro kontra. Eloknya, baik Abu Rayyah maupun al-Ghazali, menyatakan bahwa apa yang dilakukan itu merupakan bagian dari pembelaan terhadap hadis. Abu Rayyah, misalnya memberi judul bukunya Adhwa ‘ala al-sunnah al-Muhammadiyyah (sorotan terhadap sunnah Nabi Muhammad), dan di bawahnya dia berikan sub judul yang berbunyi Aw Difa’ ‘an al-hadits (atau pembelaan terhadap hadis).
Pemahaman terhadap hadis Nabi saw., acap kali memang tidak dapat dilakukan hanya dengan menggunakan pendekatan tekstual. Kondisi dan situasi saat hadis tersebut disampaikan oleh nabi, dan juga kondisi para sahabat yang berbeda-beda, mesti pula diperhatikan. Sebab, dalam kehidupan Islam dan kaum Muslimin, posisi Nabi memiliki banyak fungsi: sebagai rasul, panglima perang, suami, sahabat, dan lain-lain. Dengan demikian, hadis-hadis tersebut tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan fungsi-fungsi itu. Menurut mahmud syaltut (1966: 513), mengetahui hal-hal yang dilakukan Nabi dengan mengaitkan pada fungsi beliau tatkala melakukan hal-hal itu sangat besar manfaatnya.
Ketika aqidah umat dipandang belum kuat, Nabi saw., misalnya, melakukan pelarangan atas ziarah kubur melalui hadisnya. Tetapi, ketika aqidah mereka sudah kuat, larangan itu kemudian ia cabut. Rasanya, sikap Nabi saw. yang seperti itu mengisyaratkan kepada kita akan adanya pendekatan kontekstual atas hadis beliau. Namun, ketika yang digunakan adalah pendekatan tekstual, maka hasilnya adalah kesimpulan bahwa di situ terdapat nasikh dan mansukh. Bagi saya, pada kedua hadis tersebut tidak ada nasikh dan mansukh. Sebab, bagi siapa saja yang akidahnya masih lemah, dan dapat musyrik karena ziarah kubur, hadis pertama tetap berlaku baginya. Adapun musyrik itu sendiri, sudah jelas tidak perlu dipersoalkan.
Contoh lain adalah hadis yang berkaitan dengan keharusan berbakti pada ibu tiga kali lipat dibanding kepada ayah. Kalu hadis ini dipahami secara tekstual saja, maka muncul diskriminasi dalam berbakti kepada ibu dan ayah. Kalau yang dijadikan alasan bagi keharusan berbakti kepada ibu tiga kali lipat dari pada kepada ayah adalah karena ibu menentang maut saat melahirkan putranya, maka dalam mencari nafkah pun seorang ayah, banyak sekali menentang maut dalam perjalanannya. Bahkan Nabi sendiri menyetarakan mencari nafkah untuk anak dan istri dengan jihad fi sabiilillah.
Terhadap hadis seperti tersebut di atas, kita mesti melakukan kajian kontekstual dengan mengkaji kondisi dan situasi pada zaman Nabi. Saat itu kaum wanita masih kurang memperoleh hak-haknya, dan bahkan tertindas akibat warisan-warisan jahiliyah yang melekat dalam tradisi bangsa Arab. Untuk mengangkat derajat mereka, maka nabi menyampaikan hadisnya yang seperti itu.
C. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa studi kontekstual atas hadis tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan pemahaman terhadap asbab wurud al-hadits. Kendatipun tidak semua hadis mempunyai sebab murud, namun kajian atasnya akan sangat membantu kita dalam memahami makna dan petunjuk sebuah hadis.
Tehnik lain yang dapat dilakukan dalam pendekatan kontekstual adalah menghimpun sebanyak mungkin hadis yang berada dalam satu tema. Ini mudah dilakukan mengingat kitab-kitab hadis telah memiliki sistematika yang baik, walaupun sebagian besar masih mengikuti bab-bab yang lazim berlaku pada fiqih. Sesudah terhimpun, hadis-hadis iitu dikaji berdasar konteksnya masing-masing, dan bukan di-tarjih berdasar kesahihan sanadnya semata-mata.
Tiba di sini, kajian mendalam terhadap sirah nabawiyah menjadi bagian sangat penting dalam pendekatan kontekstual. Sayangnya, kajian atas hadis nabi saw. selama ini masih dipijakkan pada kitab-kitab hadis dan kurang memberi perhatian pada sirah. Padahal, terdapat beberapa bagian dari sunnah rasul yang sama sekali tidak tercantum dalam kitab kitab hadis. Piagam madinah, misalnya, adalah bagian sunnah Rasul yang sangat penting dalam kaitannya dengan ketatanegaraan yang mengatur banyak aspek, termasuk hubungan dengan komunitas-komunitas non-muslim, hak-hak dan kewajiban mereka. Bila piagam madinah ini dimuat oleh hampir seluruh kitab sirah, maka seluruh kitab hadis yang ada sama sekali tidak memuatnya.
Dengan demikian pendekatan kontekstual atas hadis, berarti memahami hadis berdasar kaitannya dengan peristiwa-peristiwa dan situasi ketika hadis itu diucapkan, dan kepada siapa pula hadis itu ditujukan. Artinya, hadis Nabi saw. hendaknya tidak ditangkap makna dan maksudnya hanya melalui redaksi lahiriyah tanpa mengaitkannya dengan aspek-aspek kontektualnya.
Akhirnya, bagaimanapun juga, pendekatan kontekstual merupakan metode pemahaman hadis yang sudah semestinya dikembangkan oleh kaum muslimin dalam kaitannya dengan pemahaman yang lebih baik terhadap ajaran agama mereka, dan hendaknya hal itu—bila ternyata menyangkut studi kritis atas hadis—tidak dipahami sebagai usaha negatif untuk mengeroposi dasar ajaran Islam yang amat penting, yakni hadis Nabi saw.
Rujukan:
‘Abd al-Wahab Khallaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, al-Majlis al-A’la al-Indunisia li al-Da’wat al-Islamiyyat, Jakarta, 1972.
Abu Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’at, jilid I, editor Abdullah Darraz, al-Maktabat al-Tijariyyat al-Kubra, Mesir, t.t.
Al-Dehlawiy, Hujjatul al-Balighah, Dar al-Ma’arif, Beirut, t.t.
Al-Khatib, Ushul al-Hadits: ‘Ulumuh wa musthalahuhuh, Dar al-Fikr, Mesir, t.t.
Abu Rayyah, Adhwa’ ‘Alkla al-Sunnah al-Muhammadiyyah, Dar Ma’arif, Kairo, cet v, 1980
Faruq Abu Zayd, al-Syari’at al-Islamiyyatbain al-Muhafizhin wa mujaddidin, dar al-Ma’mun, Kairo, 1978
Muhammad al-Ghazali, Studi kritis atas hadis Nabi saw.: antara pemahaman tekstual dan kontekstual, Mizan, Bandung, 1991.
Mahmud Syaltut, Al-Islam Aqidah wa Syari’ah, Dar al-Qalam, Kairo, 1966.
M.M. Syarif (ed), The history of Muslim Philosophy, vol. I, Otto Horrasowitz Wisbaden, 1961
Nurcholis Madjid, Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, Editor Budhi Munawar Rahman, Paramadina, Jakarta, 1995.
____________(editor), Khazanah Pemikiran Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1994.
Shahih Bukhari, Juz II, dan juz IV
Tidak ada komentar:
Posting Komentar