Orang Muslim beriman kepada asmaul husna (nama-nama baik), dan sifat-sifat agung yang dimiliki Allah Ta’ala. Ia tidak mempersekutukan Allah Ta’ala dengan lain-Nya, tidak menafsirkannya kemudian meniadakannya, dan tidak menyerupakannya dengan sifat-sifat manusia dengan cara menyerupakan Allah Ta’ala dengan manusia. Itu sesuatu yang mustahil. Orang Muslim tidak bersifat seperti itu. Namun ia menegaskan untuk Allah Ta’ala apa yang telah ditegaskan Allah Ta’ala untuk diri-Nya, dan sifat-sifat dan nama-nama yang ditegaskan Rasulullah saw. untuk Allah Ta’ala. Ia buang dari Allah Ta’ala apa yang dibuang Allah Ta’ala dari dalam diri-Nya, dan aib dan kekurangan yang dibuang Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dari diri-Nya baik secara umum, atau secara rinci. Itu semua berdasarkan dalil-dalil wahyu, dan dalil-dalil akal seperti berikut.
Dalil-Dalil Wahyu
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), "Hanya milik Allah asmaul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaul husna dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan." (Al-A’raaf: 180).
"Katakanlah, 'Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kalian seru. Dia mempunyai asmaul husna (nama-nama yang terbaik)'." (Al-Isra: 110).
Allah Ta’ala mensifati diri-Nya bahwa Dia Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Mengetahui, Maha Bijaksana, Maha Kuat, Maha Perkasa, Maha Lembut, Maha Menerima Syukur, Maha Pemurah, Maha Pengampun, Maha Pengasih, Dia berdialog dengan Nabi Musa, bersemayam di atas Arasy-Nya, Dia menciptakan dengan kedua tangan-Nya, mencintai orang-orang yang baik, ridha kepada kaum mukminin, dan sifat-sifat kepribadian dan sifat-sifat tindakan lainnya seperti Dia datang, turun, dan lain sebagainya yang telah Dia turunkan di Kitab-Nya, dan diucapkan Rasul-Nya saw.
Rasulullah saw. menjelaskan tentang hal tersebut dalam hadits-hadits shahih dan tegas dari beliau. Sabda beliau saw. (yang artinya), "Allah tertawa kepada dua orang salah seorang dari keduanya membunuh orang satunya, namun keduanya masuk surga." (Muttafaq Alaih).
"Neraka Jahannam tidak henti-hentinya dimasuki (penghuninya). Jahannam berkata, ‘Adakah tambahan lagi?’ Hingga kemudian Pemilik kebesaran meletakkan kaki-Nya ke dalamnya – dalam riwayat lain telapak kaki-Nya – kemudian sebagian Jahannam menyatu dengan sebagian yang lain. Jahannam berkata, ‘Sudah, sudah’." (Muttafaq Alaih)
"Tuhan kita turun ke langit dunia pada setiap malam, tepatnya pada sepertiga malam terakhir, kemudian berfirman, ‘Siapakah yang berdoa kepada-Ku kemudian Aku kabulkan doanya? Siapakah yang memnita kepada-Ku kemudian dia Aku beri? Siapakah yang meminta ampunan kepada-Ku kemudian dia Aku beri ampunan?" (Muttafaq Alaih).
"Allah pasti lebih berbhagia dengan taubat hamba-Nya daripada kebahagiaan seseorang dengan hewannya yang hilang kemudian ia temukan kembali." (Diriwayatkan Muslim).
Sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada salah seorang budak wanita, "Di mana Allah?" Budak wanita tersebut menjawab, "Di langit". Rasulullah saw. bersabda, "Siapa saya?" Budak wanita tersebut menjawab, "Engkau Rasulullah," Rasulullah saw. bersabda,"Merdekakan budak wanita ini, karena ia beriman."
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Allah menggenggam bumi pada hari kiamat, dan melipat langit dengan tangan kanan-Nya, kemudian berfirman, ‘Aku raja. Mana raja-raja dunia?" (Diriwayatkan Al-Bukhari).
Pengakuan generasi salafush shalih dari para sahabat, tabi’in, dan empat imam tentang sifat-sifat Allah Ta’ala, ketidakmauan mereka mentakwilkannya, atau menolaknya, atau mengeluarkannya dari arti dzahirnya. Tidak ada seorang sahabat pun yang mentakwil salah satu sifat Allah Ta’ala, atau menolaknya, atau berkata bahwa arti dzahirnya tidak tidak seperti itu. Mereka beriman kepada maksud sifat, dan membawanya kepada arti dzahirnya. Mereka tahu, bahwa sifat-sifat Allah Ta’ala tidak sama dengan sifat-sifat makhluk-makhluk-Nya. Imam Malik Rahimahullah pernah ditanya tentang maksud firman Allah Azza wa Jalla, "(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas Arasy." (Thaha: 5).
Imam Malik menjawab, "Bersemayam itu sudah bisa diketahui, caranya itu tidak diketahui, dna menanyakan caranya adalah bid’ah."
Imam Syafi’i Rahimahullah berkata, "Aku beriman kepada Allah dan kepada apa yang dibawa dari Allah sesuai dengan maksud Allah. Aku beriman kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan kepada apa yang dibawa dari beliau sesuai dengan maksud beliau."
Imam Ahmad Rahimahullah berkata seperti sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Sesungguhnya Allah turun ke langit dunia, sesungguhnya Allah melihat pada hari kiamat, sesungguhnya Allah merasa takjub, Allah tetawa dan marah, Allah ridha, membenci dan mencintai."
Imam Ahmad juga berkata, "Kita beriman kepada itu semua, dan membernarkan tidak dengan cara dan maknanya. Maksudnya, bahwa kita beriman bahwa Allah itu turun, bisa dilihat, dan di atas Arasy jauh dari makhluk-Nya. Namun kita tidak tahu cara turunnya Allah, cara penglihatan oleh-Nya, cara bersemayamnya Allah, dan arti hakiki itu semua. Kita serahkan pengetahuan tentang itu semua kepada Alah yang berfirman, dan mewahyukan kepada Rasul-Nya Shallallahu Alaihi wa Sallam. Kita tidak membantah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, tidak mensifati Allah melebihi penyifatan Allah terhadap Diri-Nya, dan tidak mensifati-Nya melebihi penyifatan oleh Rasul-Nya terhadap-Nya tanpa batas, dan tanpa tujuan. Kita tahu, bahwa tidak ada sesuatu yang mirip Allah, dan Allah Maha Mendengar, dan Maha Melihat."
Dalil-Dalil Akal
Allah Ta’ala telah mensifati Diri-Nya dengan sejumlah sifat, menamakan Diri-Nya dengan sejumlah nama, tidak melarang kita mensifati-Nya dengan sifat-sifat-Nya dan menamakan-Nya dengan nama-nama-Nya, serta tidak memerintahkan kita mentakwilkannya, atau membawanya kepada arti di luar arti dzahirnya. Apakah masuk akal kalau dikatakan, jika kita mensifati Allah Ta’ala dengan sifat-sifat-Nya itu berarti kita telah menyerupakan Allah Ta’ala dengan makhluk-Nya sehingga itu mengharuskan kita mentakwil arti sifat-sifat tersebut, dan membawanya kepada arti di luar arti dzahirnya? Kalau begitu, kita berarti menjadi orang-orang yang meniadakan, membuang sifat-sifat Allah Ta’ala, dan tidak mengakui nama-nama-Nya.
Allah Ta’ala mengancam orang-orang seperti itu dengan firman-Nya, "Hanya milik Allah asmaul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan." (Al-A’raaf: 180).
Bukankah orang yang menolak salah satu sifat Allah Ta’ala dengan alasan takut menyerupakan-Nya dengan makhluk itu malah menyerupakan sifat Allah Ta’ala dengan sifat-sifat makhluk? Ia takut menyerupakan sifat Allah Ta’ala dengan sifat makhluk, kemudian ia lari dari padanya menuju kepada penolakan sifat-sifat Allah Ta’ala, dan meniadakannya. Ia tolak sifat-sifat Allah Ta’ala yang ditegaskan Allah Ta’ala untuk Diri-Nya, dan ia meniadakannya. Jadi ia menghimpun dua dosa besar dosa menyerupakan sifat Allah Ta’ala dengan sifat makhluk, dan meniadakan sifat-sifat-Nya.
Dalam kondisi seperti itu, bukankah masuk akal kalau Allah Ta’ala bisa disifati dengan sifat-sifat yang Dia sifatkan untuk Diri-Nya, dan dengan sifat-sifat yang disifatkan Rasulullah saw. untuk Diri-Nya dengan disertai keyakinan bahwa Dia mempunyai sifat-sifat yang tidak mirip dengan sifat-sifat makhluk, dan bahwa Dzat Allah Azza wa Jalla tidak sama dengan dzat makhluk?
Iman kepada sifat-sifat Allah Ta’ala, dan pensifatan Allah Ta’ala dengan sifat-sifat-Nya tidak berarti menyerupakan sifat-sifat Allah Ta’ala dengan sifat-sifat makhluk, sebab akal tidak memustahilkan Allah Ta’ala memiliki sifat-sifat dengan Dzat-Nya yang tidak mirip dengan sifat-sifat makhluk, dan sifat-sifat-Nya tersebut tidak mempunyai titik temu dengan sifat-sifat makhluk kecuali pada namanya saja, sebab Al-Khaliq (Pencipta) memiliki sifat-sifat khusus untuk Diri-Nya, dan makhluk juga memiliki sifat-sifat khusus untuk dirinya.
Ketika orang Muslim beriman kepada sifat-sifat Allah Ta’ala, dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat-Nya, maka ia sama sekali tidak meyakini, dan bahkan tidak terlintas dalam benaknya bahwa tangan Allah Tabaraka wa Ta’ala itu sama dengan tangan makhluk dalam makna apa pun selain sama pada namanya saja. Ini karena perbedaan besar antara makhluk dan Al-Khaliq (Pencipta) dalam dzat, sifat, dan perbuatan.
Allah Ta’ala berfirman, "Katakanlah, ‘Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak diperankan. Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia’." (Al-Ikhlas: 1-4).
Allah Ta’ala berfirman, "Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (Asy-Syura: 11)
Sumber: Diadaptasi dari Abu Bakr Jabir al-Jazairi, Minhaajul Muslim, atau Ensiklopedi Muslim: Minhajul Muslim, terj. Fadhli Bahri (Darul Falah, 2002), hlm. 14-19.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar